Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam kehidupan sehari-hari, trauma pada sendi pergelangan kaki dan
terutama dari sendi talo-cruralnya, adalah trauma yang sering sekali terjadi. Tidak
hanya mereka yang memang kerjanya menggunakan sendi ini secara dipaksakan
(seperti misalnya olahragawan dan terutama pemain sepakbola) tetapi juga para
ibu yang menggunakan hak sepatu yang tinggi sangat peka terhadap trauma di
daerah ini. Penting diingat bahwa sendi ini mutlak untuk lokomosi manusia.
Selain sering, trauma yang ringan saja sudah akan menimbulkan cacad untuk
berjalan. Cacad ini kadang-kadang tidak berupa cacad yang temporair, tapi dapat
merupakan suatu cacad yang permanen apabila tidak dilakukan pengelolaan serta
penatalaksanaan secara baik sejak semula. Ditambah lagi oleh suatu fakta bahwa
trauma pada daerah ini mudah diikuti oleh suatu Osteoarthritis post-traumatika
karena memang bentuk persendiannya yang khas dan majemuk. Oleh karena itu
problema pengelolaan trauma pada sendi ini mempunyai arti sosial dan ilmu
kedokteran yang cukup penting. Dan harus diakui bahwa pengobatannya memang
sulit. Trauma pada sendi ini yang dapat menimbulkan patah tulang, pada dasarnya
juga dapat menyebabkan robekan ligamen, dan apa yang disebutkan sebagai
Ligamen Tous Fracture terlepasnya insersi ligamen pada tulang. Atau dengan
kata-kata lain, mekanisme dasar yang bertanggung jawab terhadap sprain,
ligamentous injuries dan fraktur sekitar sendi ini adalah sama.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi fraktur ankle?
2. Apa saja etiologi fraktur ankle?
3. Bagaimana klasifikasi fraktur ankle?
4. Bagaimana patofisiologi fraktur ankle?
5. Bagaimana manifestasi klinis fraktur ankle?
6. Apa saja komplikasi fraktur ankle?

1
7. Bagaimana pemeriksaan radiologi fraktur ankle?
8. Bagaimana penatalaksanaan fraktur ankle?
9. Bagaimana asuhan keperawatan fraktur ankle?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk menegetahui definisi fraktur ankle
2. Untuk mengetahui apa penyebab fraktur ankle
3. Untuk mengetahui apa saja klasifikasi fraktur ankle
4. Untuk mengetahui patofisiologi fraktur ankle
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis fraktur ankle
6. Untuk mengetahui komplikasi fraktur ankle
7. Untuk mengetahui bagaimana pemeriksaan radiologi fraktur ankle
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan fraktur ankle
9. Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan fraktur ankle

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Fraktur (patah tulang) pada ujung distal fibula dan tibia merupakan istilah
yang digunakan untuk menyatakan fraktur pergelangan kaki (ankle fracture).
Fraktur ini biasanya disebabkan oleh terpuntirnya tubuh ketika kaki sedang
bertumpu di tanah atau akibat salah langkah yang menyebabkan tekanan yang
berlebihan (overstressing) pada sendi pergelangan kaki. Fraktur yang parah dapat
terjadi pada dislokasi pergelangan kaki. Fraktur ankle itu sendiri yang
dimaksudkan adalah fraktur pada maleolis lateralis (fibula) dan atau maleolus
medialis.
Pergelangan kaki merupakan sendi yang kompleks dan penopang badan
dimana talus duduk dan dilindungi oleh maleolus lateralis dan medialis yang
diikat dengan ligament. Dahulu, fraktur sekitar pergelangan kaki disebut sebagai
fraktur Polt. Fraktur pada pergelangan kaki sering terjadi pada penderita yang
mengalami kecelakaan (kecelakaan lalu lintas atau jatuh). Bidang gerak sendi
pergelangan kaki hanya terbatas pada satu bidang yaitu untuk pergerakan
dorsofleksi dan plantar fleksi. Maka mudah dimengerti bila terjadi gerakan-
gerakkan di luar bidang tersebut, menyebabkan fraktur atau fraktur dislokasi pada
daerah pergelangan kaki. Bagian-bagian yang sering menimbulkan fraktur dan
fraktur dislokasi yaitu gaya abduksi, adduksi, endorotasi atau eksorotasi.
B. Etiologi
1. Fraktur pergelangan kaki paling sering terjadi pada trauma akut,
seperti jatuh, salah langkah, atau cedera saat berolahraga
2. Lesi patologis jarang menyebabkan fraktur pergelangan kaki

Kondisi yang berkaitan dengan fraktur pergelangan kaki

a. Keseleo pergelangan kaki (sprain ankle)


b. Keseleo PTT (sparin PTT)

3
C. Klasifikasi
Lauge-Hansen (1950) mengklasifikasikan menurut patogenesis terjadinya
pergesaran dari fraktur, yang merupakan pedoman penting untuk tindakan
pengobatan atau manipulasi yang dilakukan.
Klasifikasi yang sering dipakai adalah klasifikasi dari Danis-Weber yang
berdasarkan pada level fraktur fibula. Klasifikasi lainnya adalah dari AO serta
Lange-Hansen yang berdasarkan patogensanya. Klasifikasi Danis-Weber adalah
sebagai berikut :
1. Weber type A
Fraktur fibukla dibawah tibiofibular syndesmosis yang disebabkan
adduksi atau abduksi. Media maleolus dapat fraktur atau deltoid ligamen
robek.
2. Weber type B
Fraktur oblique dari fibula yang menuju ke garis syndesmosis.
Disebabkan cedera dengan pedis external rotasi syndesmosisnya intak tapi
biasanya struktur dibagikan medial ruptur juga.
3. Weber type C
Fibulanya patah diatas syndemosis disebut C1 bila 1/3 distal dan C2
bila lebih tinggi lagi. Disebabkan abduksi saja atau kombinasi abduksi dan
external rotasi. Syndsmosis dan membrana interosseus robek juga.
D. Patofisiologi
Penyelidikan-penyelidikan mekanisme trauma pada sendi talocrural ini telah
dilakukan sejak lama sekali. Tapi baru setelah tahun 1942 oleh penemuan-
penemuan berdasarkan penyelidikan eksperimentil pada preparat-preparat
anatomik, Lauge Hansen dari Denmark berhasil melakukan pembagian dari jenis-
jenis trauma serta berdasarkan pembagian ini hampir semua fraktur serta trauma
dapat dibagi dalam 5 dasar mekanismenya.
1. Trauma supinasi / Eversi
Dalam jenis ini termasuk lebih deri 60% dari fraktur sekitar sendi
talocrural.

4
2. Trauma Pronasi / Eversi
Tidak begitu sering, hanya < 7 – 8% fraktur sekitar sendi talocrural.
3. Trauma Supinasi / Adduksi
Antara 9-15% dar fraktur sendiri talocrural termasuk golongan ini.
4. Trauma Pronasi / Abduksi
Sekitar 6-17% fraktur sendi talocrural.
5. Trauma Pronasi / Dorsifleksi
Sangat jarang terjadi tapi perlu disebutkan.

Fraktur maleolus dengan atau tanpa subluksasi dari talus, dapat terjadi dalam
beberapa macam trauma.

a. Trauma abduksi
Trauma abduksi akan menimbulkan fraktur pada maleolus lateralis yang
bersifat , oblik, fraktur pada maleolus medialis yang bersifat avulsi atau robekan
pada ligamen bagian medial.
b. Trauma adduksi
Trauma adduksi akan menimbulkan fraktur pada maleolus medialis yang
bersifat oblik atau avulsi maleolus lateralis atau keduanya. Trauma adduksi juga
bisa hanya menyebabkan strain atau robekan pada ligamen bilateral, tergantung
dari beratnya trauma.
c. Trauma rotasi ekterna
Trauma rotasi eksterna biasanya disertai dengan trauma abduksi dan terjadi
fraktur pada fibula di atas sindesmosis yang disertai dengan robekan ligamen
medial atau fraktur avulsi pada maleolus medialis. Apabila trauma lebih hebat
disertai dengan disolkasi talus.
d. Trauma kompresi vertikel
Pada kompresi vertikel dapat terjadi fraktur tibia distal bagian depan disertai
dengan dislokasi talus ke depan atau terjadi fraktur komunitif disertai dengan
robekan diastasis.

5
E. Manifestasi Klinis
Pada fraktur pergelangan kaki penderita akan mengeluh sakit sekali dan
tidak dapat berjalan. Ditemukan adanya pembengkakan pada pergelangan kaki,
kebiruan, atau deformitas. Yang penting diperhatikan adalak lokalisasi dari nyeri
tekan apakah pada daerah tulang atau pada ligamen.
Nyeri pada pergelangan kaki dan ketidakmampuan menahan berat tubuh.
Deformitas daoat timbul bersama dengan fraktur atau dislokasi. Sering juga
ditemukan pembengkakan dan ekimosis.
F. Komplikasi
1. Vaskuler
Apabila terjadi fraktur subluksasi yang hebat maka dapat terjadi
gangguan pembuluh darah yang segera, sehingga harus dilakukan reposisi
secepatnya.
2. Malunion
Reduksi yang tidak komplit akan menyebabkan posisi persendian
yang tidak akurat yang akan menimbulkan osteoarthritis.
3. Osteoartritis
4. Algodistrofi
Algodistrofi adalah komplikasi dimana penderita mengeluh nyeri,
terdapat pembengkakan dan nyeri tekan di sekitar pergelangan kaki. Dapat
terjadi perubahan trofik dan osteoporosis yang hebat.
5. Kekakuan yang hebat pada sendi.
G. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologik perlu dilakukan bilamana dicuriga adanya patah
tulang atau disangka adanya suatu robekan ligamen. Biasanya pemotretan dari dua
sudut, anteroposterior dan lateral sudah akan memberikan jawaban adanya hal-hal
tersebut. Pandangan oblique tidak banyak dapat menambah keterangan lain.
Untuk mendapatkan pandangan yang lebih baik mengenai permukaan sendi
talocrural, suatu pandangan anteroposterior dengan kaki dalam inversi dapat
dilakukan. Suatu stress X-ray dapat dibuat untuk melihat berapa luas robekan dari
ligamen,hal ini terutama berguna untuk ligamenta lateral. Diastasis sendi

6
(synesmosis) tibiofibular distal penting sekali untuk dikenali. Tapi tidak ada suatu
cara khusus untuk melihat luasnya di diastasis ini. Suatu fraktur fibula diatas
permukaan sendi talocrural (dapat sampai setinggi 1/3 proksimal fibula) secara
tersendiri (tanpa fraktur tibia pada ketinggian yang sama), selalu harus
diperhatikan akan kemungkinan adanya suatu diastasis. Diastasis juga jelas bila
ada subluksasi talus menjauhi malleolus medialis. Tapi bila tidak terdapat
subluksasi ini, belum berarti tidak adanya suatu diastasis.
H. Penatalaksanaan Fraktur Ankle
1. Reduksi fraktur terbuka atau tertutup
Tindakan manpulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat
mungkin untuk kembali seperti letak semula.
2. Imobilisasi fraktur
Dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna
3. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan,
pemberian analgetik untuk mengurangi nyeri, status neurovaskuler (misal :
peredaran darah, nyeri, perabaaan gerakan) dipantau, latihan isometrik dan
setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan peredaran darah.
4. Langkah umum
a. Analgesik dan elevasi adalah terapi yang harus dilakukan
b. Semua fraktur pergelangan kaki harus dipasangi splint dalam posisi
netral
c. Fraktur fibula yang terisolasi atau fraktur malleolus media yang tidak
bergeser harus dipasangi casting-below-the-knee.
d. Fraktur stabil harus diterapi secara fungsional dengan splint udara dan
peningkatan fungsi weightbearing secara bertahap.
e. Kesesuaian sendi pergelangan kaki penting untuk dipikirkan ketika
melakukan reduksi pada arthritis post trauma.
f. Dislokasi harus secepatnya di reduksi dengan menggunakan sedasi
yang sesuai.

7
g. Pasien yang mengalami fraktur terbuka harus dimasukkan keruang
operasi untuk dilakukan irigasi, debridement, dan fiksasi alam jangka
waktu 8 jam.
h. Pasien dilarang bertumpu pada pergelangan kaki yang mengalami
fraktur hingga tidak ada lagi nyeri dan tanda-tanda penyembuhan
fraktur telah tampak pada gambaran radiologi.
i. Fraktur bimalleolar atau fraktur fibula dengan cedera ligament media
atau cedera synedesmosis hanya dapat diterapi dengan melakukan
operasi.
5. Aktivitas
a. Pergelangan kaki harus diangkat untuk mengurangi pembengkakan.
b. Weightbearing dan ROM yang lebih dini sangat penting dilakukan
untuk mencegah kekakuan.
6. Perawatan
Penggosokan pada splint atau cast sebaiknya tidak dilakukan.
7. Terapi fisik
ROM pada sendi MTP dan kemudian pada pergelangan kaki dan
pertengahan kaki penting dilakukan untuk mencegah kontraktur dan
mengurangi parut jaringan lunak.
8. Medikamentosa
a. Analgesik
b. Operasi
1) Fraktur malleolus medialis dengan interposisi jaringan lunak.
2) Diastasis syndesmosis Tibiofibular inferior (distal).
3) Fraktur Posterior marginal dari Tibia, bilamana lebih dari 1/3
permukaan sendi
4) Fraktur Anterior marginal dari Tibia (pronation/dorsiflexion
injury)
9. Follow Up
a. Gambaran radiologi pasien harus di follow-up tiap 1- dua minggu

8
b. Setelah splint awal dilepaskan, pasien sebaiknya dipasangi cast below-
the-knee atau moon boot selama 4 minggu.
c. Setelah itu gambaran radiografi di follow-up lagi setiap 6 minggu
hingga fraktur sembuh
10. Disposisi
11. Rujukan
Fraktur tidak stabil atau yang bergeser harus segera dirujuk kedokter
spesialis orthopedi.
I. Asuhan Keperawatan
1. Anamnesa
a. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah,
no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:
1) Provoking Incident : apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
2) Quality of Pain : seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
3) Region : radiation, relief : apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
4) Severity (Scale) of Pain : seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri.
5) Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.

9
c. Riwayat penyakit sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh
mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain.
d. Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain
itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya
osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang.
e. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang
yang cenderung diturunkan secara genetic.
f. Riwayat psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun
dalam masyarakat.
g. Pola-pola fungsi kesehatan
1) Pola Kesehatan
Menggambarkan pola pemahaman klien tentang kesehatan,
kesejahteraan, dan bagaimana kesehatan mereka diatur.
2) Pola Metabolik – Nutrisi

10
Menggambarkan konsumsi relatif terhadap kebutuhan metabolik
dan suplai gizi : meliputi pola konsumsi makanan dan cairan.
3) Pola Eliminasi
Menggambarkan pola fungsi ekskresi (usus besar, kandung
kemih, dan kulit) termasuk pola individu sehari hari.
4) Pola Aktivitas – Latihan
Menggambarkan pola aktivitas kehidupan sehari-hari.
5) Pola Tidur – Istirahat
Menggambarkan pola tidur, istirahat, relaksasi, dan setiap
bantuan untuk menambah pola tertentu.
6) Pola Persepsi – Kognitif
Menggambarkan pola presepsi-sensori dan pola kognitif:
7) Pola Persepsi Diri – Konsep Diri
Menggambarkan bagaima seseorang memandang dirinya sendiri
: kemampuan mereka, gambaran diri, dan perasaan.
8) Pola Hubungan Peran
Menggambarkan pola keterikatan peran dengan hubungan.
9) Pola Reproduksi – Seksualitas
Menggambarkan kepuasan dan ketidakpuasan dalam seksualitas.
10) Pola Koping- Toleransi Stress
Menggambarkan pola koping umum, dan keefektifan
keterampilan koping dalam menoleransi stress.
11) Pola Nilai Kepercayaan
Menggambarkan pola nilai, tujuan, atau kepercayaan (termasuk
kepercayaan spriritual) yang mengarahkan pilihan dan keputusan gaya
hidup.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Gambaran umum
1) Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda
seperti :

11
a) Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit : akut, kronik, ringan, sedang, berat
dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e) Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi
perdarahan).
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
- Paru

12
Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.
Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba
sama.
Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara
tambahan lainnya.
Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau
suara tambahan lainnya seperti stridor dan
ronchi.

- Jantung
Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.
Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
Perkusi : Pekak
Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
i) Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar, simetris
Auskultasi : Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
Perkusi : Suara thympani
Palpasi : Turgor baik, tidak ada defands muskuler,
hepar tidak teraba.
j) Genetalia : Tampak tidak ada kelainan.
b. Keadaan lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu Pain,
Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem
muskuloskeletal adalah:
1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain :
a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi)

13
b) Cape au lait spot (birth mark)
c) Fistulae
d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hiperpigmentasi
e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal
yang tidak biasa (abnormal)
f) Posisi dan bentuk dari ekstremitas (deformitas)
g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)

2) Feel (Palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini
merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik
pemeriksa maupun klien. Yang perlu dicatat adalah :
a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit. Capillary refill time à Normal > 3 detik.
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan
(1/3 proksimal, tengah, atau distal).
Otot : tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan
yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang.
Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada
benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar
atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan
dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan
nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat

14
dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0
(posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan
apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang
dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
3. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik ditandai dengan
keluhan nyeri, distraksi, fokus pada diri sendiri / fokus menyempit,
wajah menunjukkan nyeri, peilaku berhati-hati, melindungi,
perubahan tonus otot, respon otonomik.
b. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan mekanik
(tekanan,teriris,gesekan) ditandai dengan keluhan gatal, nyeri,
kebas, tekanan pada area yang sakit / area sekitar, gangguan
permukaan kulit, invasi struktur tubuh, destruksi lapisan kulit /
jaringan.
c. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka
neuromuscular : nyeri / ketidaknyamanan, terapi restriktif
(imobilisasi tungkai) ditandai dengan ketidakmampuan untuk
bergerak sesuai tujuan dalam lingkungan fisik, menolak untuk
bergerak, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan / kontrol
otot.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
primer, kerusakan kulit, trauma jaringan prosedur invasive, traksi
tulang.
e. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran
darah / emboli lemak, perubahan membran alveolus / kapiler,
interstitisial, edema paru kongesti
f. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurang terpajannya informasi,
salah interpretasi informasi ditandai dengan pertanyaan /
permintaan informasi, pernyataan salah konsepsi.

15
4. Intervensi
Diagnosa 1 : Nyeri akut

Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik

Ditandai dengan : keluhan nyeri, distraksi, fokus pada diri sendiri /


fokus menyempit, wajah menunjukkan nyeri, perilaku berhati-hati,
melindungi, perubahan tonus otot, respon otonomik.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam,


diharapkan nyeri yang dialami pasien terkontrol dengan kriteria hasil :

 Pasien dapat mengkaji factor penyebab , durasi terjadinya


nyeri
 Pasien melaporkan nyerinya terkontrol
 Pasien dapat menggunakan teknik non-analgetik untuk
menangani nyeri.

Intervensi :

1. Lakukan pengkajian secara komprehensif tentang nyeri meliputi


lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, qualitas, intensitas nyeri
dan factor presipitasi.
R/ : mempengaruhi pilihan / pengawasan keefektifan intervensi.

2. Observasi respon nonverbal dari ketidaknyamanan terutama


ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara efektif.
R/ : Tingkat ansietas dapat mempengaruhi persepsi/ reaksi
terhadap nyeri.

3. Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengetahui


pengalaman nyeri dan penerimaan respon nyeri pasien.
R/ : Strategi komunikasi terapeutik dapat membantu untuk
menentukan intervensi yang diperlukan.

16
4. Kaji efek pengalaman nyeri terhadap kualitas hidup (ex :
tidur,aktivitas, kognisi, perasaan, hubungan, pekerjaan)
R/ : Mengetahui pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup pasien.
5. Ajarkan menggunakan teknik nonanalgetik (relaksasi progresif,
latihan napas dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan terapeutik,
akupresure)
R/ : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol
dan dapat meningkatkan kekuatan otot; dapat meningkatkan harga
diri dan kemampuan koping.
6. Kontrol factor - factor lingkungan yang yang dapat
mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan
(ruangan, suhu, cahaya, dan suara)
R/ : memberikan ketenangan kepada pasien sehingga nyeri tidak
bertambah
7. Sediakan informasi tentang nyeri seperti : penyebab nyeri, berapa
lama nyeri itu akan berakhir, antisipasi ketidaknyamanan dari
prosedur.
R/ : Meningkatkan pengetahuan pasien
8. Laksanakan penggunaan kontrol analgetik, jika perlu.
R/ : Analgetik dapat menurunkan nyeri dan atau spasme otot

Diagnosa 2 : Kerusakan integritas jaringan


Berhubungan dengan mekanik (tekanan,teriris,gesekan)
Ditandai dengan : rusaknya atau hancurnya jaringan (kornea, membran
mucus, integumentum, subkutan)

Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama …x 24 jam


diharapkan luka dapat sembuh dengan kriteria hasil :

 Tidak ada bau


 Tidak ada kemerahan di sekitar luka.
 Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh

17
 Luka menjadi kering.
 Cairan pada luka telah kering

Intervensi :

1) Catat karakteristik luka


R/ : memberikan informasi tentang masalah yang mungkin
disebabkan oleh alat / pemasangan gips, bebat / traksi

2) Catat karakteristik cairan


R/ : untuk mengobservasi adanya cairan yang timbul dari luka

3) Berikan masase pada area sekitar luka


R/ : mempunyai efek pengering, yang menguatkan kulit. Krim
dan losion tidak dianjurkan karena terlalu banyak minyak dapat
menutup perimeter gips, tidak memungkinkan gips untuk
“bernapas”. Bedak tidak dianjukan karena potensial akumulasi
berlebihan di dalam gips.

4) Memelihara kepatenan pada saluran drainage


R/ : untuk mengurangi risiko terjadinya infeksi

5) Berikan balutan
R/ : untuk mencegah terkontaminasi dengan lingkungan sekitar

6) Memelihara kesterilan dalam merawat luka.


R/ : untuk mencegah terkontaminasi dengan bakteri

7) Inspeksi perubahan warna dari luka


R/ : memberikan informasi tentang sirkulasi kulit

8) Membandingkan dan mencatat secara teratur adanya perubahan


pada luka
R/ : memantau perkembangan luka dan adanya perubahan pada
luka

18
9) Memberi posisi pada bagian yang terluka agar tidak menjadi
tegang.
R/ : untuk meminimalkan tekanan pada bagian yang terluka

10) Ajari pasien dan keluarga bagaimana cara merawat luka.


R/ : untuk memberikan informasi kepada keluarga dan pasien
tentang cara perawatan luka yang baik dan benar untuk
mencegah terjadinya infeksi

Diagnosa 3 : Kerusakan Mobilitas Fisik

Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskletal

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ….x 24 jam, diharapkan


pasien dapat meningkatkan mobilitas, dengan kriteria hasil :

 Pasien dapat memperlihatkan keseimbangan saat berjalan.


 Pasien dapat menggerakan otot.
 Pasien dapat menggerakan sendi.
 Pasien dapat berpindah : berjalan
Intervensi :

1. Kaji keterbatasan pergerakan sendi dan efek fungsinya.


R/ : pasien mungkin dibatasi oleh pandangan diri/ persepsi diri
tentang keterbatasan fisik actual, memerlukan informasi/ intervensi
untuk meningkatkan kemajuan kesehatan
2. Kaji tingkat motivasi pasien untuk memelihara/mengembalikan
pergerakan sendi.
R/ : Motivasi diri pasien dapat mempercepat proses menyembuhan
3. Jelaskan kepada pasien/ keluarga tujuan dan rencana latihan
R/ : Memberikan informasi kepada pasien/keluarga tentang tujuan
dan rencana sehingga tidak membinggungkan pasien atau keluarga
4. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan/nyeri selama
pergerakan/aktivitas.

19
R/ : Nyeri/ketidaknyaman dapat menghambat pergerakan sehingga
sebelumnya harus diketahui lokasi dari nyeri
5. Lindungi pasien dari trauma selama latihan.
R/ : mencegah atau mengurangi risiko jatuh pada pasien
6. Lakukan latihan ROM aktif / pasif sesuai indikasi.
R/ : Meningkatkan aliran ke otot dan tulang untuk meningkatkan
tonus otot, mempertahankan gerak sendi, mencegah kontraktur
/atrofi dan reabsobsi kalsium karena tidak digunakan.
7. Dorong latihan ROM aktif secara teratur menurut jadwal yang
direncanakan.
R/ : Meningkatkan aliran ke otot dan tulang untuk meningkatkan
tonus otot, mempertahankan gerak sendi, mencegah kontraktur
/atrofi dan reabsobsi kalsium karena tidak digunakan.
8. Bantu pasien dalam posisi tubuh optimal untuk pergerakan sendi
aktif / pasif.
R/ : Menggurangi atau mencegah risiko jatuh pada pasien
9. Instruksikan kepada pasien/keluarga bagaimana melaksanakan
latihan ROM pasif secara sistematis atau ROM aktif
R/ : Meningkatkan pengetahuan pasien/keluarga mengenai latihan
ROM aktif / pasif
10. Dorong pasien untuk duduk di tempat tidur, di samping tempat
tidur/ di kursi jika ditoleransi
R/ : mencegah / menurunkan insiden komplikasi kulit / pernapasan
(contoh dekubitus, pneumonia).
11. Dorong perpindahan , jika memungkinkan.
R/ : mobilisasi dini menurunkan komplikasi tirah baring (contoh
flebitis) dan meningkatkan penyembuhan dan normalisasi fungsi
organ. Belajar memperbaiki cara menggunakan alat penting untuk
mempertahankan mobilitas dan keamanan pasien
12. Kolaborasi dengan terapi fisik dalam mengembangkan dan
melaksanakan program latihan.

20
R/ : berguna dalam membuat aktifitas individual / program latihan.
Pasien dapat memerlukan bantuan jangka panjang dengan gerakan,
kekuatan, dan aktifitas yang mengandalkan berat badan, juga
penggunaan alat
Diagnosa 4 : Resiko infeksi

Resiko infeksi

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam,


diharapkan resiko infeksi tidak menjadi aktual, dengan kriteria hasil :

 Tidak terjadi tanda - tanda infeksi


 Suhu tubuh dalam batas normal
 Kadar WBC dalam batas normal (4,10-10,9 10^3/uL)
Intervensi :

1. Kaji tanda- tanda infeksi


R/ : mengetahui dini terjadinya infeksi

2. Batasi jumlah pengunjung.


R/ : mengurangi kontaminasi silang.

3. Jaga asepsis selama pasien berisiko.


R/ : meminimalkan kesempatan untuk kontaminasi

4. Sediakan perawatan kulit pada area yang edema


R/ : perawatan kulit pada area yang edema dapat membantu
mencegah terjadinya infeksi yang lebih luas.

5. Inpeksi kulit dan membrane mukosa selama kemerahan, panas


tinggi atau drainase
R/ : apabila kulit kembali kemerahan dan terdapat drainase purulen
menandakan terjadi proses inflamasi bakteri.

6. Inpeksi kondisi luka / bekas operasi.


R/ : Mencegah terjadinya infeksi yang lebih luas

21
7. Dorong intake cairan.
R/ : mempertahankan keseimbangan cairan untuk mendukung
perfusi jaringan.

8. Anjurkan intake nutrisi yang cukup.


R/ : mempertahankan keseimbangan nutrisi untuk mendukung
perpusi jaringan dan memberikan nutrisi yang perlu untuk
regenerasi selular dan penyembuhan jaringan

9. Dorong istirahat
R/ : Mencegah kelelahan/ terlalu lelah dan dapat meningkatkan
koping terhadap ketidaknyamanan

10. Ajarkan pasien dan keluarga tentang tanda dan gejala infeksi dan
melaporkan kepada petugas perwatan ketika terdapat tanda dan
gejala infeksi.
R/ : Meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga

11. Intruksikan pasien untuk minum antibiotic sesuai indikasi.


R/ : antibiotik dapat menghambat proses infeksi

12. Monitor absolute granulosit, WBC ,dan hasil normal.


R/ : WBC merupakan salah satu data penunjang yang dapat
mengidentifikasi adanya bakteri di dalam darah. Sel darah putih
akan meningkat sebagai kompensasi untuk melawan bakteri yang
mnginvasi tubuh.

Diagnosa 5 : Gangguan pertukaran gas


Berhubungan dengan perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran
alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
TUJUAN (NOC)
 Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi da oksigenasi yang adekuat
 Memelihara kebersihan paru-paru dan bebas dari tanda-tanda distress
pernafasan

22
 Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada
sianosis dan dispneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan
mudah, tidak ada pursedlips)
 Tanda vital dalam rentang normal
INTERVENSI (NIC)
1. Airway Management
2. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
3. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
4. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat atau jalan nafas buatan
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
8. Monitor respirasi dan status O2
9. Respiratory Management
10. Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi
11. Catat pergerakan dada, amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan,
retraksi otot supraclavicular dan intercostal
12. Monitor suara nafas : bradipnea, takipnea, kussmaul, hiperventilasi,
cheyne stokes, biot
13. Auskultasi suara nafa, catat area penurunan atau tidak adanya ventilasi
dan suara tambahan

Diagnosa 5 : Kurang Pengetahuan

Kurang pengetahuan tentang prosedur.perawatan

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ….x 24 jam,


diharapkan pengetahuan pasien mengetahui prosedur perawatan meningkat
dengan kriteria hasil :

 Pasien dapat mendiskripsikan prosedur perawatan.


 Pasien dapat menjelaskan tujuan prosedur
 Pasien dapat menjelaskan langkah – langkah pengobatan
 Pasien dapat menunjukan prosedur perawatan
Intervensi :

23
1. Informasikan kepada keluarga tentang kapan dan dimana prosedur
perawatan akan dilaksanakan.
R/ : memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat
pilihan berdasarkan informasi.

2. Informasikan kepada pasien tentang berapa lama prosedur atau


perawatan yang diharapkan berakhir.
R/ : dapat mengurangi kecemasan pasien sehingga mengurangi beban
pikiran pasien.

3. Informasikan kepada pasien tentang siapa yang akan melakukan


prosedur/perawatan
R/ : memberi pasien informasi mengenai pelaku prosedur perawatan,
sehingga kepercayaan pasien meningkat kepada petugas.

4. Kaji pengalaman pasien sebelumnya dan tingkat pengetahuan yang


berhubungan dengan prosedur perawatan.
R/ : pengalaman pasien sebelumnya dapat mempengaruhi perawatan
saat ini dapat berkembang menjadi baik maupun buruk tergantung
persepsi pasien mengenai pengalaman prosedur perawatan
sebelumnya.

5. Jelaskan tujuan prosedur perawatan.


R/ : meningkatkan pengetahuan pasien dan mengurangi tingkat
kecemasan pasien.

6. Diskusikan peralatan tertentu yang diperlukan dan fungsinya.


R/ : meningkatkan pengetahuan pasien dan mengurangi tingkat
kecemasan pasien mengenai prosedur pengobatan.

7. Sediakan informasi apa yang didengar, dicium, dilihat, dirasakan


selama prosedur perawatan.
R/ : meningkatkan pengetahuan pasien dan memberi intervensi yang
tepat saat pasien menanyakan informasi mengenai persepsi sensori
yang dirasakan pasien

24
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Fraktur (patah tulang) pada ujung distal fibula dan tibia merupakan
istilah yang digunakan untuk menyatakan fraktur pergelangan kaki (ankle
fracture). Fraktur ini biasanya disebabkan oleh terpuntirnya tubuh ketika
kaki sedang bertumpu di tanah atau akibat salah langkah yang menyebabkan
tekanan yang berlebihan (overstressing) pada sendi pergelangan kaki.
Klasifikasi yang sering dipakai adalah klasifikasi dari Danis–Weber yang
berdasarkan pada level fraktur fibula. , Lauge Hansen dari Denmark berhasil
melakukan pembagian dari jenis-jenis trauma serta berdasarkan pembagian
ini hampir semua fraktur serta trauma dapat dibagi dalam 5 dasar
mekanismenya, yaitu : trauma supinasi / eversi, trauma pronasi / eversi,
trauma supinasi / adduksi, trauma pronasi / abduksi, dan trauma pronasi /
dorsifleksi.
Sebaiknya tindakan operatip dilakukan secepatnya. Penting diingat
bahwa tindakan operatip pada penderita, dimana harus dijelaskan bahwa
tujuannya adalah mendapatkan sendi yang sebaik mungkin dan kemauan
penderita untuk melatih setelah operasi akan memegang peranan terjadinya
kekakuan atau tidak. Dengan menekankan bahwa rehabilitasi setelah
tindakan konservatip maupun operatip adalah suatu keharusan, kiranya
pengertian dasar mengenai trauma pada persendian talocrural dalam
karangan ini telah diuraikan.
B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas
dengan sumber – sumber yang lebih banyak yang tentunga dapat di
pertanggung jawabkan

25
DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. 2002. Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8 vol.
Jakarta. EGC

Carpenito, LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6. Jakarta. EGC

Dongoes, M.E., 2000. Rencana asuhan keperawatan, Jakarta. EGC

Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita selekta kedokteran, jilid 1 edisi 3. Jakarta. Media
Asculapis

Smeltzer, S.C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta.EGC

26

Anda mungkin juga menyukai