Anda di halaman 1dari 12

PENGERTIAN PENDIDIKAN

A. PENDAHULUAN

Pengertian pendidikan ini dimaksudkan untuk menjelaskan tentang beberapa pengertian yang
berhubungan dengan pendidikan orang dewasa sehingga mahasiswa dapat mengetahui ruang lingkup
materi yang akan dipelajari selanjutnya. Pengertian ini juga akan memperlancar proses belajar karena
proses belajar akan selalu dilandasi oleh kerangka pikir khusus tentang, pendidikan orang dewasa. Dalam
pembelajaran ini mahasiswa akan segera dapat memahaminya apabila diberi contoh-contoh dan
ilustrasi.

Sehubungan dengan istilah pendidikan orang dewasa, sering timbul pertanyaan, misalnya apa
pendidikan orang dewasa itu, apa perbedaannya dengan pendidikan yang lain, bagaimana kaitannya
dengan sistem pendidikan nasional, dan sebagainya. Pertanyaan ini perlu mendapat jawaban yang jelas.

Pengertian pendidikan yang akan diuraikan dalam bab ini terdiri atas beberapa jenis pendidikan,
pengertian sistem pendidikan nasional, pengertian pendidikan formal, pendidikan nonformal, pendidikan
informal, dan pengertian pendidikan orang dewasa.

B. JENIS PENDIDIKAN

Beberapa jenis pendidikan yang akan dijelaskan di sini antara lain: (1) pendidikan massal, (2) pendidikan
masyarakat, (3) pendidikan dasar, (4) penyuluhan, (5) pengembangan masyarakat, (6) pendidikan orang
dewasa, (7) masyarakat belajar, (8) pendidikan seumur hidup, dan (9) pendidikan formal, nonformal, dan
informal. Untuk lebih jelasnya, masing-masing jenis pendidikan akan dijelaskan secara singkat.

1. Pendidikan Massal

Menurut Faisal (1981), pendidikan massal (mass education) ialah aktivitas pendidikan yang terdapat di
masyarakat dengan sasaran individu-individu dan orang dewasa yang mengalami ketelantaran
pendidikan. Contoh: pemberantasan buta huruf. Tujuannya, di samping agar dapat baca tulis dan
memperoleh pengetahuan umum, juga agar dapat mengikuti perkembangan dan kehidupan masyarakat
sekelilingnya (Faisal, 1981; Joesoef,1992)

2. Pendidikan Masyarakat

Pendidikan masyarakat (community education) diartikan sebagai suatu gerakan pendidikan yang
ditujukan bagi persekutuan. persekutuan hidup sehingga mereka mempunyai pandangan, sikap,
kebiasaan, dan kemampuan tertentu. Persekutuan hidup ini dilihat sebagai satu keutuhan sosial budaya.
Pelaksanaannya melalui penyuluhan dan penyempurnaan lembaga dan prosesnya melalui pembelajaran,
misalnya gerakan koperasi dan pembangunan masyarakat.

Menurut Rahman (1989), pendidikan masyarakat yang dikoordinasi oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (sekarang Departemen Pendidikan Nasional) antara lain: (1) pendidikan dasar, misalnya
pemberantasan buta huruf yang sekarang dikembangkan menjadi paket A, (2) pendidikan pemuda dan
olahraga, (3) pendidikan kesejahteraan keluarga (PKK), dan (4) berbagai kursus keterampilan lain yang
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Pendidikan kesejahteraan keluarga (PKK) biasanya terdiri
atas keterampilan memasak, mengatur perabot rumah tangga, dan pelatihan berorganisasi.

3. Pendidikan Dasar

Pendidikan dasar (fundamental education) diartikan suatu gerakan pendidikan yang ditujukan untuk
meningkatkan perkehidupan masyarakat, di bidang sosial ekonomi melalui pendidikan minimum.
Sasarannya ialah pria, wanita, pemuda, orang dewasa, anak—anak di daerah terbelakang sehingga
anggota masyarakat menjadi lebih mampu menyesuaikan diri dan mengembangkan lingkungannya
(Faisal, 1981; Joesoef, 1992). Pendidikan minimum, menurut Coombs (1973) dalam Soedomo, (1989),
meliputi enam hal pokok, yakni (1) sikap positif terhadap kerja sama, (2) melek huruf dan mampu
berhitung, (3) pengetahuan dasar tentang alam, (4) pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan
kesejahteraan keluarga, (5) pengetahuan dan keterampilan untuk memperoleh penghasilan, dan (6)
pengetahuan dan keterampilan untuk berpartisipasi sebagai warga negara.

J. Penyuluhan
Penyuluhan (extensioz) ialah suatu gerakan pendidikan, bimbingan, dan penyuluhan kepada masyarakat
yang dilakukan oleh lembaga pendidikan tinggi/kejuruan menengah bekerja sama dengan instansi
pemerintah yang relevan. Di sini berbagai pengetahuan, inovasi, dan teknologi diintroduksi di tengah-
tengah masyarakat yang memerlukan dengan cara yang memikat dan persuasif. Pelaksanaannya melalui
penyuluhan dan bimbingan, baik secara individual maupun kelompok (Faisal, 1981). Di lain pihak,
Swanson & Clear (1984) menyatakan bahwa penyuluhan adalah suatu proses penyampaian informasi
kepada seseorang (dimensi komunikasi), dan kemudian membantu orang itu memperoleh pengetahuan,
keterampilan dan sikap yang diperlukan (dimensi pendidikan) untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Materinya bisa bermacam-macam, seperti teknologi pertanian, ekonomi keluarga, kerajinan rumah
tangga, keluarga berencana, analisis usaha tani, dan lain—lain.

5. Pengembangan Masyarakat

Menurut Faisal (1981), pengembangan masyarakat (community development) digunakan untuk


menjelaskan usaha, proses atau gerakan yang dimaksudkan agar masyarakat sebagai satu sistem sosial
dapat berkembang menjadi mampu menolong diri sendiri untuk meningkatkan kualitas hidupnya di
bidang ekonomi dan sosial. Semboyannya adalah help the people to help them selves. Pelaksanaannya
melalui bimbingan persuasif secara perorangan maupun berkelompok kepada penggerak perubahan
seperti tokoh masyarakat, kontak tani, tokoh agama, dan lain—lain.

Sejalan dengan itu, Mardikanto (2003) memberi arti pengembangan masyarakat sebagai usaha yang
dilakukan oleh suatu “komunitas (dengan atau tanpa bantuan pihak luar) untuk menumbuhkan
kesadaran, mengembangkan daya pikir, sikap, dan keterampilan masyarakat setempat agar mereka
secara mandiri mampu memanfaatkan potensi dan peluang untuk mengelola program pembangunan
demi perbaikan kualitas hidup mereka secara berkelanjutan.

Keduanya mempunyai persamaan pada tujuan pengembangan masyarakat, yakni mampu menolong
dirinya sendiri. Perbedaannya terletak pada penekanan masing-masing. Faisal menekankan pada
pelaksanaannya, sedangkan Mardikanto menekankan bahwa pemanfaatan potensi dan peluang itu
secara berkelanjutan (terus- menerus).

6. Masyarakat Belajar

Masyarakat belajar (learning society) menunjuk pada kenyataan bahwa warga masyarakat secara aktif
menggali pengalaman belajar di dalam setiap segi kehidupannya. Aktivitas warga masyarakat tersebut
termasuk membaca buku, majalah, surat kabar, mendengar radio atau melihat TV, dan mencari
pengetahuan apa pun, di manapun, dari siapa pun, dan kapan pun. Tempat belajar dapat di tempat
kerja, di organisasi, di kelompok kegiatan, di perpustakaan, di pusat kesenian dan olahraga, dan lain-lain
(Faisal, 1981). Sementara itu, menurut Haribinson (1974) dalam Soedomo (1989), masyarakat belajar
dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yakni (1) mereka yang belum bekerja dan siap memasuki dunia
kerja, (2) mereka yang sedang bekerja dan ingin meningkatkan kualitas kerjanya, dan (3) mereka yang
kualitas hidupnya belum mencukupi.

7. Pendidikan Seumur Hidup

Pendidikan seumur hidup (lifelong education) digunakan untuk menjelaskan suatu kenyataan, kesadaran,
asas, dan harapan baru bahwa proses dan kebutuhan pendidikan berlangsung sepanjang hidup manusia.
Slogan pendidikan seumur hidup adalah tidak ada kata “terlambat”, “terlalu tua”, atau “terlalu dini”
untuk belajar. Ini berarti bahwa manusia dalam hidupnya perlu selalu mencari pengetahuan,
pengalaman, dan pemikiran baru apa pun, kapan pun, dan di manapun.

Lebih lanjut Knowledge, 1983 (Soedomo, 1989) mengembang kan anggapan dasar tentang pendidikan
seumur hidup, antara lain (1) belajar dalam dunia yang pesat berubah harus merupakan proses seumur
hidup, (2) belajar merupakan proses pencarian aktif dengan prakarsa utama dari diri warga belajar, dan
(3) maksud pendidikan adalah membantu pengembangan kecakapan yang diperlukan dalam kehidupan
sehari-hari.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa. pendidikan tidak mengenal usia dan dapat diperoleh di
mana saja. Oleh karena itu, kita harus selalu memotivasi warga masyarakat yang masih mempunyai pola
pikir tradisional, baik yang tinggal di perkotaan maupun di pedesaan untuk selalu belajar dan mengikuti
perkembangan zaman. Demikian juga bagi remaja, pemuda, atau orang dewasa yang putus sekolah, kita
anjurkan untuk melanjutkan pendidikannya hingga lulus pada ujian persamaan.

C. PENGERTIAN SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Sistem pendidikan nasional menurut Undang—Undang RI No. 20 Tahun 2003 didefinisikan:


Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu
untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Pendidikan nasional sebagai suatu sistem mempunyai ciri—ciri sebagai berikut: (1) mempunyai
komponen yang saling berhubungan satu sama lain, (2) komponen tersebut merupakan satu kesatuan,
(3) mempunyai tujuan tertentu, dan (4) tujuan itu dapat dicapai dengan berfungsinya komponen
tersebut. (Faisal, 1981)

Di samping mempunyai ciri—ciri, pendidikan nasional pun mempunyai dasar, fungsi, dan tujuan (UU No.
20 Tahun 2003). Dasar pendidikan nasional adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pada
prinsipnya pendidikan nasional mempunyai tiga fungsi, yakni (1) mengembangkan kemampuan, (2)
membentuk watak dan peradaban yang bermartabat, dan (3) mencerdaskan bangsa. Sedangkan tujuan
pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang: (1)
beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) sehat, (4) berilmu, cakap,
kreatif, (5) mandiri, (6) demokratif, dan (7) bertanggung jawab.

Sistem Pendidikan Nasional ini mempunyai prinsip sebagai berikut: (1) demokratis, (2) sebagai satu
kesatuan yang sistemik dengan sistem yang terbuka dan multimakna, dan (3) sebagai suatu proses
pembudayaan.

Pendidikan dilaksanakan melalui tiga jalur, yaitu (1) pendidikan formal, (2) pendidikan nonformal dan (3)
pendidikan infomal. Jalur pendidikan yang pertama, yakni pendidikan formal merupakan pendidikan
sistem persekolahan. Pendidikan formal terdiri atas tiga jenjang, yakni pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi.

Jenis pendidikan dalam sistem pendidikan nasional meliputi (1) pendidikan umum, (2) pendidikan
kejurusan, (3) pendidikan akademik, (4) pendidikan profesi, (5) pendidikan vokasi (6) pendidikan
keagamaan, dan (7) pendidikan khusus.

Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tersebut dapat diselenggara kan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan/atau masyarakat. Penjelasan yang lebih rinci mengenai sistem pendidikan nasional dapat
diperoleh dari Undang—Undang Nomor 20 Tahun 2003 Mengenai tiga jalur pendidikan, yakni pendidikan
formal, nonformal dan pendidikan informal akan dijelaskan lebih rinci pada subbagian berikut ini.
D. PENGERTIAN PENDIDIKAN FORMAL, NON. FORMAL, DAN INFORMAL

Berikut ini adalah pengertian pendidikan formal, nonformal, dan informal; serta persamaan dan
perbedaan ketiganya menurut Hamijoyo (1973) (Faisal, 1981) dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2003.

l. Pendidikan Formal

Menurut Undang—Undang Nomor 20 Tahun 2003, pendidikan formal didefinisikan sebagai berikut
“Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.” Sedangkan, Axia (1976) (Soedomo, 1989)
mendefinisikan pendidikan formal sebagai'kegiatan belajar yang disengaja, baik oleh warga belajar
maupun pembelajamya di dalam suatu latar yang distruktur sekolah.

Sehubungan dengan pendidikan formal tersebut, Faisal (1981) berpendapat bahwa pendidikan formal
adalah pendidikan sistem persekolahan. Di samping itu, ia juga mencoba memberi ciri—ciri pendidikan
formal secara lebih rinci, yakni terstandardisasi legalitas formalnya, jenjangnya, lama belajarnya, paket
kurikulumnya, persyaratan pengelolaannya, persyaratan usia dan tingkat pengetahuan peserta didiknya,
perolehan dan keberanian ijazahnya, prosedur evaluasi belajarnya, sekuensi penyajian materi dan latihan
latihannya, persyaratan presensinya, waktu liburannya, serta sumbangan pendidikannya.

Dari detinisi dan pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan formal mempunyai
ciri:. (1) merupakan sistem persekolahan, (2) berstruktur, (3) berjenjang, dan (4) penyelenggaraannya
disengaja.

2. Pendidikan Nonformal

Pendidikan nonformal dapat didefinisikan sebagai jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003). Sedangkan
menurut Axin (1976) (Soedomo, 1989), pendidikan nonformal adalah kegiatan belajar yang disengaja
oleh warga belajar dan pembelajar didalam suatu latar yang diorganisasi (berstruktur) yang terjadi di luar
sistem persekolahan.
Adapun menurut Faisal (1981) pendidikan nonformal mempunyai ciri sebagai berikut: (1) berjangka
pendek pendidikannya, (2) program pendidikannya merupakan paket yang sangat khusus, (3)
persyaratan pendaftarannya lebih fleksibel, (3) sekuensi materi lebih luwes, (4) tidak berjenjang
kronologis, (5) perolehan dan keberartian ijazah tidak seberapa terstandardisasi. Contoh: kursus,
penataran, dan latihan.

Sementara itu, menurut Kleis et al. (1986) (Nurdin, 1988), ciri-ciri pendidikan nonformal adalah sebagai
berikut: (1) biasanya berkaitan dengan misi yang mendesak dan praktis, (2) tempat pendidikan biasanya
di luar kelas atau di situasi belajar yang sebenarnya, (3) bukti memiliki ilmu pengetahuan dinilai dari
keterampilannya, bukan dari sertifikatnya, (4) biasanya tidak terlalu terikat dengan ketentuan yang ketat,
(5) isi, staf atau strukturnya tidak terorganisasi, (6) peserta biasanya bersifat sukarela, (7) biasanya
merupakan aktivitas sampingan, (8) pelajaran jarang bertingkat dan berurutan, (9) biaya pendidikan
biasanya lebih murah dari pendidikan formal, (10) persyaratan penerimaan pesertanya lebih ringan, (11)
penilaian keberhasilan peserta berdasarkan kemampuan mendemonstrasikan keterampilan, dan (12)
tidak terbatas untuk peserta dan kurikulum tertentu, tetapi dapat diperbarui dan dikembangkan.

Dari pendapat Klies, et al. (1986) mengenai ciri—ciri pendidikan nonformal, jika diterapkan di Indonesia
perlu penyesuaian. Contohnya ciri nomor 3 di mana “bukti memiliki ilmu pengetahuan tidak dinilai dari
sertifikatnya, tetapi dari keterampilannya”, kenyataan yang sering kita lihat di negeri kita bahwa pada
pendidikan, nonformal kursus inggris misalnya, sertifikat TOEFL diperlukan untuk melanjutkan
pendidikan S-2 atau S~3. Di samping itu, terdapat tumpang-tindih, seperti ciri-ciri no. 4 dan 12, keduanya
menjelaskan hal yang sama, yaitu ketentuan tidak ketat (luwes) Pada ciri no. 6, “peserta biasanya bersifat
sukarela”, sebaiknya tidak dicantumkan karena pada setiap pendidikan yang diikuti, baik pendidikan
nonformal, formal, ataupun informal, peserta bersifat sukarela.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan nonformal sekurang-
kurangnya mempunyai ciri- ciri sebagai berikut: (1) merupakan pendidikan luar sistem persekolahan, (2)
jarang berjenjang, dan (3) tidak ketat ketentuan ketentuannya.

3. Pendidikan Informal

Pendidikan informal menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 adalah jalur pendidikan keluarga
dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Sementara menurut Axin (1976)
(Soedomo, 1989), pendidikan informal adalah pendidikan di mana warga belajar tidak sengaja belajar
dan pembelajar tidak sengaja untuk membantu warga belajar.
Adapun ciri-ciri pendidikan informal seperti yang diungkapkan oleh Faisal (1981) antara lain sama sekali
tidak terorganisasi, tidak berjenjang kronologis, tidak ada ijazah, tidak diadakan dengan maksud
menyelenggarakan pendidikan, lebih merupakan hasil pengalaman belajar individual—mandiri. Contoh:
pendidikan sebagai akibat dari fungsi keluarga, media massa, acara keagamaan, pertunjukan seni,
hiburan, kampanye, partisipasi dalam organisasi, dan lain-lain.

4. Persamaan antara Pendidikan Nonformal dan Pendidikan Formal

Persamaan antara pendidikan nonformal dan pendidikan formal antara lain: (1) berbeda dengan
pendidikan informal, medan pendidikan keduanya memang diadakan untuk menyelenggarakan
pendidikan yang bersangkutan, (2) materi pendidikan diprogram secara tertentu, (3) ada peserta didik
tertentu yang diharapkan datang ke bidangnya, (4) mempunyai jam belajar tertentu (5) diadakan evaluasi
pelaksanaan programnya, (6) diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau swasta.

5. Perbedaan antara Pendidikan Nonformal dan Pendidikan Formal

Seperti halnya antara pendidikan nonformal dan informal, ada beberapa perbedaan antara pendidikan
nonformal dan pendidikan formal. Perbedaan tersebut antara lain mengenai tempat, penjenjangan.
waktu, umur peserta didik, orientasi studi, materi, penyajian materi, evaluasi, ijazah, persyaratan
kelembagaan, perlengkapan, pengajar, peserta didik, dan biaya. Pada prinsipnya, ketentuan pendidikan
formal lebih ketat daripada ketentuan pendidikan nonformal. Untuk mengetahui lebih jelas perbedaan
kedua jenis pendidikan tersebut, perhatikan Tabel 1.1 berikut.

6. Perbedaan antara Pendidikan Nonformal dan Informal

Terdapat beberapa perbedaan antara pendidikan nonformal dan pendidikan informal. Pada prinsipnya
perbedaannya terletak pada maksud penyelenggaraannya. Pada pendidikan nonformal, memang sengaja
dimaksudkan untuk pendidikan; sedangkan pada pendidikan informal, tidak dimaksudkan khusus untuk
pendidikan, pendidikan tersebut hanya diperoleh dari pengalaman, baik di keluarga maupun di luar
keluarga. Untuk mengetahui lebih jelas perbedaan kedua jenis pendidikan tersebut, perhatikan Tabel 1.2
berikut.

Penjelasan di atas adalah secara garis besar saja. Jika pembaca ingin mengetahui lebih dalam, disarankan
untuk membaca literatur pendukung, seperti Cooms, et al. (1973). Non-formal Education for Rural
Development; New Path to Learning for Rural Children and Youth, USA; McCall (1971). Non—formal
Education; A definition, USA.

E. PENGERTIAN PENDIDIKAN ORANG DEWASA

Sejak tahun 1920 pendidikan orang dewasa telah dirumuskan dan diorganisasikan secara sistematis.
Pendidikan dewasa dirumuskan sebagai suatu proses yang menumbuhkan keinginan untuk bertanya dan
belajar secara berkelanjutan sepanjang hidup. Belajar bagi orang dewasa berhubungan dengan
bagaimana mengarahkan diri sendiri untuk bertanya dan mencari jawabannya

(Pannen,1997).

Pendidikan orang dewasa (andragogy) berbeda dengan pendidikan anak-anak (paedagogy). Pendidikan
anak—anak berlangsung dalam bentuk identifikasi dan peniruan, sedangkan pendidikan orang dewasa
berlangsung dalam bentuk pengarahan diri sendiri untuk memecahkan masalah.

Ada perbedaan antara anak-anak dan orang dewasa jika ditinjau berdasarkan umur, ciri psikologis, dan
ciri biologis. Ditinjau dari segi umur, seseorang yang berumur antara 16-18 tahun dapat dikatakan
sebagai orang dewasa dan yang kurang dari 16 tahun dapat dikatakan masih anak-anak. Ditinjau dari ciri-
ciri psikologis, seseorang yang dapat mengarahkan diri sendiri, tidak selalu tergantung pada orang lain,
mau bertanggung jawab, mandiri, berani mengambil risiko, dan mampu mengambil keputusan, orang
tersebut dikatakan telah dewasa secara psikologis. Sedangkan ditinjau dari ciri-ciri biologis, seseorang
yang telah menunjukkan tanda-tanda kelamin sekunder, orang tersebut dikatakan telah dewasa secara
biologis. Tanda-tanda kelamin sekunder pada laki-laki, antara lain tumbuhnya jakun pada leher,
berubahnya suara menjadi besar dan berat, dan tumbuhnya bulu-bulu pada tubuh seperti kumis,
jenggot, cambang, bulu dada. Pada perempuan antara lain terjadinya menstruasi dan tumbuhnya
payudara (Pannen, Paulina, & Ida,1997).

Menurut Flores, et al. (1983), seseorang akan termotivasi untuk belajar apabila ia dapat memenuhi
keinginan dasarnya. Keinginan dasar tersebut, antara lain (1) keamanan: secara ekonomis, sosial,
psikologis, dan spiritual; (2) kasih sayang atau respons: keakraban, kesukaan berkumpul dan bergaul,
atau merasa memiliki; (3) pengalaman baru: petualangan, minat, ide, cara, dan teman baru; (4)
pengakuan: status, prestise, dan menjadi terkenal. Di samping itu, faktor-faktor yang juga dapat
memengaruhi orang belajar antara lain faktor fisik seperti suasana belajar, ruangan, penerangan, dan
faktor psikologi seperti sikap pembimbing, dorongan atau dukungan teman, kebutuhan, dan lain—lain
(Mardikanto, 1981). )

Pendidikan orang dewasa mempunyai beberapa definisi, tergantung pada penekanan yang dibuat oleh
penyusun definisi itu. Sebagai contoh, UNESCO (Townsend Coles, 1977 dalam Lanundi, 1982)
mendefinisikan pendidikan orang dewasa sebagai berikut.

Keseluruhan proses pendidikan yang diorganisasikan, apa pun isi, tingkatan, metodenya, baik formal atau
tidak, yang melanjutkan maupun menggantikan pendidikan semula di sekolah, akademi dan universitas
serta latihan kerja, yang membuat orang yang dianggap dewasa oleh masyarakat mengembangkan
kemampuannya, memperkaya pengeta-huannya, meningkatkan kualifikasi teknis atau profesionalnya,
dan mengakibatkan perubahan pada sikap dan perilakunya dalam perspektif rangkap perkembangan
pribadi secara utuh dan partisipasi dalam pengembangan sosial, ekonomi, dan budaya yang seimbang
dan bebas.

Definisi tersebut memberikan penekanan ganda, yaitu pada kecapaian perkembangan individual dan
peningkatan partisipasi sosial.

Di samping definisi pendidikan orang dewasa menurut UNESCO, masih ada definisi lain, yaitu menurut
Bryson, Reeves, Fansler, dan Houle (Morgan, Barton, et a1. 1976). Bryson menyatakan bahwa pendidikan
orang dewasa adalah semua aktivitas pendidikan yang dilakukan oleh orang dewasa dalam kehidupan
sehari-hari yang hanya menggunakan sebagian waktu dan tenaganya untuk mendapatkan tambahan
intelektual. Di sini penekanan diberikan pada penggunaan sebagian waktu dan tenaganya (bukan seluruh
waktu dan tenaga) untuk memperoleh peningkatan intelektualnya. Sedangkan Reeves, Fansler, dan
Houle menyatakan bahwa pendidikan orang dewasa adalah suatu usah yang ditujukan untuk
pengembangan diri yang dilakukan oleh individu dan paksaan legal, tanpa usaha menjadikan bidang
utama kegiatannya. Penekanan di sini diberikan pada usaha yang tidak dipaksa, dan tidak menjadikan
usaha utamanya.

Pemberdayaan masyarakat, pelatihan partisipatif, dan perencanaan partisipatif (Proyek Deliveri, 2000a,
2000b, dan 2000c) juga termasuk. Dalam perencanaan partisipatif dan pelatihan partisipatif yang
dilakukan oleh Proyek Deliveri telah digunakan metode-metode pendidikan orang dewasa, yakni untuk
memotivasi partisipasi dari semua pihak yang terkait dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat
pedesaan tersebut. Selain itu, yang juga termasuk pendidikan orang dewasa ialah (1) pendidikan bekal
bekerja, (2) pendidikan jiwa baru dan kerohanian, (3) pendidikan kader, dan (4) pendidikan yang bersifat
rekreatif-apresiatif dan kesegaran jasmani (Faisal, 1981).
RANGKUMAN

Dalam pendidikan dikenal beberapa jenis pendidikan seperti mass education, community education,
fundamental education, extension, community development, adult education, learning society, life-long
education, formal, nonformal, dan informal education.

Pelaksanaan pendidikan di Indonesia dikenal dengan sistem pendidikan nasional yang dilaksanakan
melalui tiga jalur pendidikan, yaitu pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal.
Jenis pendidikan dalam sistem pendidikan nasional terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejurusan,
pendidikan akademik, pendidikan profesi, pendidikan vokasi, pendidikan keagamaan, dan

pendidikan khusus.

Pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal masing-masing mempunyai ciri-
cirinya sendiri yang dapat membedakannya satu sama lain. Pada umumnya pendidikan formal
mempunyai ketentuan yang lebih ketat daripada pendidikan nonformal. Sementara itu, pendidikan
informal dikenal sebagai pendidikan yang terjadi akibat dari fungsi keluarga, media massa, acara
keagamaan, partisipasi dalam organisasi, dan lain-lain.

Ada beberapa definisi pendidikan orang dewasa, antara lain menurut UNESCO, Bryson, dan Reeves, et al.
Rangkuman dari definisi-definisi tersebut menghasilkan pengertian pendidikan orang dewasa sebagai
berikut. Pendidikan bagi orang dewasa yang menggunakan sebagian waktunya dan tanpa dipaksa ingin
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan mengubah sikapnya dalam rangka pengembangan
dirinya sebagai individu dan meningkatkan partisipasi dalam pengembangan sosial, ekonomi, dan budaya
secara seimbang dan utuh.

LATIHAN

Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan singkat dan jelas!

1. Jelaskan beberapa jenis pendidikan berikut ini!

a. Pendidikan masyarakat (community education)


b. Pendidikan seumur hidup (lifelong society)

c. Penyuluhan (extension)

d. Pengembangan masyarakat (community development)

2. Jelaskan beberapa hal yang berhubungan dengan Sistem Pendidikan Nasional Indonesia berikut ini!

a. Arti sistem dan tujuan Sistem Pendidikan Nasional

b. Jenis pendidikan dalam Sistem Pendidikan Nasional

3. Tunjukkan persamaan dan perbedaan antara pendidikan nonformal, informal, dan formal !

4. Jelaskan definisi pendidikan orang dewasa menurut UNESCO, Bryson, dan Reeves et al!

5. Tunjukkan perbedaan antara pendidikan orang dewasa dan pendidikan anak-anak!

6. Uraikan faktor-faktor yang memengaruhi orang dewasa belajar, baik secara fisik, psikologis, maupun
biologis!

Anda mungkin juga menyukai