Anda di halaman 1dari 27

CORPORATE GOVERNANCE

“Komite Audit dan Komite Lainnya: Peran, Tanggung Jawab, Komposisi, Keefektifan dan
Kasus PT Kereta Api Indonesia”

Oleh

Kelompok 1

1. Ni Luh Ratna Pradnya Maitriyadewi (1607531074)


2. A.A Sg Mas Gita Pramita (1607531146)
3. Desak Nyoman Sri Juliartini (1607531149)
4. Ni Putu Pradina Mas Jaya Ningrum (1607531153)
5. Ni Kadek Jeshi Dwivayani (1607531156)

PROGRAM S1 REGULER

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2018/2019

1. PENGERTIAN KOMITE AUDIT


Komite audit di Indonesia masih merupakan hal yang relatif baru. Perkembangan komite
audit di negara kita, sangat terlambat dibandingkan dengan negara lain. Hal tersebut antara
lain disebabkan Pemerintah baru saja menetapkan kebijakan tentang pemberlakuan komite
audit pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tertentu pada tahun 1999. Selain itu anjuran
dari Bapepam kepada perusahaan yang telah go publik agar memiliki komite audit baru
ditetapkan pada tahun 2000. Mengingat pentingnya keberadaan Komite Audit dalam
meningkatkan kinerja perusahaan, terutama dari aspek pengendalian, maka Komite Audit
perlu mendapatkan perhatian dari manajemen dan Dewan Komisaris serta pihak-pihak
terkait yang bertindak sebagai regulator seperti Menteri keuangan, Menteri BUMN,
Bapepam, Bursa Efek Jakarta & Bursa Efek Surabaya.

Peraturan Kementerian Keuangan Republik Indonesia Badan Pengawas Pasar Modal


Dan Lembaga Keuangan Nomor IX.I.5 tentang Pembentukan Dan Pedoman
Pelaksanaan Kerja Komite Audit
1. Ketentuan Umum
a. Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1) Komite Audit adalah komite yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada
Dewan Komisaris dalam membantu melaksanakan tugas dan fungsi Dewan
Komisaris.
2) Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang berasal dari luar
Emiten atau Perusahaan Publik dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam angka 2 huruf c.
b. Emiten atau Perusahaan Publik wajib memiliki Komite Audit.
c. Komite Audit bertindak secara independen dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya.
d. Anggota Komite Audit diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Komisaris.
e. Emiten atau Perusahaan Publik wajib memiliki piagam Komite Audit (audit committee
charter).
f. Piagam Komite Audit (audit committee charter) paling kurang memuat:
1) tugas dan tanggung jawab serta wewenang;
2) komposisi, struktur, dan persyaratan keanggotaan;
3) tata cara dan prosedur kerja;
4) kebijakan penyelenggaraan rapat;
5) sistem pelaporan kegiatan;
6) ketentuan mengenai penanganan pengaduan atau pelaporan
7) sehubungan dugaan pelanggaran terkait pelaporan keuangan; dan
8) masa tugas Komite Audit.
g. Piagam Komite Audit (audit committee charter) sebagaimana dimaksud dalam huruf f
wajib dimuat dalam laman (website) Emiten atau Perusahaan Publik.

2. PERAN KOMITE AUDIT


Komite audit adalah titik penting dari kontak dan komunikasi dengan auditor eksternal.
Komite audit juga bertanggung jawab untuk memantau efektivitas dari fungsi internal audit
dan membuat rekomendasi yang dibutuhkan kepada dewan.

Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK
berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan peraturan ini,
termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Komite
audit menurut Pedoman Good Corporate Governance antara lain bertugas untuk:
a. Mendorong terbentuknya struktur pengawasan internal yang memadai;
b. Meningkatkan kualitas keterbukaan dan pelaporan keuangan;
c. Mengkaji ruang lingkup dan ketepatan external audit, ketepatan biaya external audit serta
kemandirian dan obyektivitas external auditor;
d. Mempersiapkan surat (yang ditandatangani oleh ketua Komite Audit) yang menguraikan
tugas dan tanggung jawab Komite Audit selama tahun buku yang sedang diperiksa oleh
external auditor, surat tersebut harus disertakan dalam laporan tahunan yang
disampingkan kepada pemegang saham

Masa tugas anggota Komite Audit tidak boleh lebih lama dari masa jabatan Dewan
Komisaris sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar dan dapat dipilih kembali hanya untuk
satu periode berikutnya.

3. TANGGUNG JAWAB KOMITE AUDIT


a. Melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan emiten atau
perusahaan publik kepada publik dan/atau pihak otoritas antara lain laporan keuangan,
proyeksi, dan laporan lainnya terkait dengan informasi keuangan emiten atau perusahaan
publik;
b. Melakukan penelaahan atas ketaatan terhadap peraturan perundangundangan yang
berhubungan dengan kegiatan emiten atau perusahaan publik;
c. Memberikan pendapat independen dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara manajemen
dan akuntan atas jasa yang diberikannya;
d. Memberikan rekomendasi kepada dewan komisaris mengenai penunjukan akuntan yang
didasarkan pada independensi, ruang lingkup penugasan, dan fee;
e. Melakukan penelaahan atas pelaksanaan pemeriksaan oleh auditor internal dan mengawasi
pelaksanaan tindak lanjut oleh direksi atas temuan auditor internal;
f. Melakukan penelaahan terhadap aktivitas pelaksanaan manajemen risiko yang dilakukan
oleh direksi, jika emiten atau perusahaan publik tidak memiliki fungsi pemantau risiko di
bawah dewan komisaris;
g. Menelaah pengaduan yang berkaitan dengan proses akuntansi dan pelaporan keuangan
emiten atau perusahaan publik;
h. Menelaah dan memberikan saran kepada dewan komisaris terkait dengan adanya potensi
benturan kepentingan emiten atau perusahaan publik; dan
i. Menjaga kerahasiaan dokumen, data dan informasi emiten atau perusahaan publik.

4. KOMPOSISI KOMITE AUDIT


Komite Audit biasanya terdiri dari dua hingga tiga orang anggota, dipimpin oleh seorang
Komisaris Independen. Seperti komite pada umumnya, Komite audit yang beranggotakan
sedikit cenderung dapat bertindak lebih efisien. Akan tetapi, Komite Audit beranggota terlalu
sedikit juga menyimpan kelemahan yakni minimnya ragam pengalaman anggota. Sedapat
mungkin anggota Komite Audit memiliki pemahaman memadai tentang pembuatan laporan
keuangan dan prinsip-prinsip pengawasan internal.Agar mampu bekerja efektif, Komite
Audit dibantu staff perusahaan dan auditor eksternal. Komite juga harus memiliki akses
langsung kepada stand dan penasehat perusahaan seperti keuangan dan penasehat hukum.
Keberadaan Komite Audit diatur melalui Surat Edaran Bapepam Nomor: SE/03 PM/2002
(bagi perusahaan publik) dan keputusan Menteri BUMN Nomor: Kep-103/MBU/2002 (Bagi
BUMN) Komite Audit sedikitnya terdiri dari tiga orang, diketuai oleh seorang Komisaris
Independen perusahaan dengan dua orang eksternal yang independen serta menguasai dan
memiliki latar belakang akuntansi dan keuangan.

5. KOMITE LAINNYA
Komite Lainnya Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG)
1) Komite Nominasi dan Komite Renumerasi
Di Indonesia Komite Nominasi dan Remunerasi adalah Komite Dewan Komisaris
Perusahaan yang dibentuk untuk memenuhi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan no.
34/POJK.O4/2014 tentang Komite Nominasi dan Remunerasi Emiten atau Perusahaan
Publik yang diterbitkan pada 8 Desember 2014 (POJK no. 34/2014). Menurut POJK No
34 POJK.04/2014 Tanggung Jawab.
Komite Nominasi Dan Remunerasi Melakukan Evaluasi serta menyusun dan
memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris Mengenai sistem/kebijakan
remunerasi dan nominasi bagi Komisaris, Direksi, Pejabat eksekutif secara menyeluruh.
Dengan demikian, tugas utama komite remunerasi adalah membantu Board of Directors
dalam merancang paket kebijakaan balas jasa Directors dan eksekutif senior yang
memandai dan kompetitif, namun masih dalam batas kewajaran. Dengan demikian,
diharapkan kinerja perusahaan serta komisaris dan eksekutif meningkat. Sedangkan
komite nominasi bertanggung jawab mencari dan menominasi kandidat yang memenuhi
syarat untuk menduduki jabatan Presiden Direktur, Direktur dan Manajer Senior. Secara
periodik melakukan evaluasi kinerja Direktur dan merencanakan penggantian jika
diperlukan.
Tugas Komite Nominasi dan Remunerasi:
(1) Komite Nominasi dan Remunerasi bertugas membantu Dewan Komisaris dalam
menetapkan kriteria pemilihan calon anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta
sistem remunerasinya.
(2) Komite Nominasi dan Remunerasi bertugas membantu Dewan Komisaris
mempersiapkan calon anggota Dewan Komisaris dan Direksi dan mengusulkan
besaran remunerasinya. Dewan Komisaris dapat mengajukan calon tersebut dan
remunerasinya untuk memperoleh keputusan RUPS dengan cara sesuai ketentuan
anggaran dasar.
(3) Bagi Perusahaan yang sahamnya tercapai di bursa efek, perusahaan negara,
perusahaan daerah, perusahaan yang menghimpun dan mengelola dana masyarakat,
perusahaan yang produk atau dananya digunakan oleh masyarakat lusa, serta
perusahaan yang mempunyai dampak luas terhadap kelestarian lingkungan, komite
nominasi, dan remunerasi diketua oleh komisaris independen dan anggotanya dapat
terdiri dari komisaris dana tau pelaku profesi dari luar perusahaan.
(4) Keberadaan Komite Nominasi dan Remunerasi serta tata kerjanya dilaporkan dalam
RUPS.
2) Komite Kebijakan Risiko
Komite ini bertugas membantu Dewan Komisaris dalam mengkaji sistem
manajemen risiko yang disusun oleh Direksi serta menilai toleransi risiko yang dapat
diambil oleh perusahaan. Anggota Komite Kebijakan Risiko terdiri dari anggota Dewan
Komisaris, namun bilamana perlu dapat juga menunjuk pelaku profesi dari luar
perusahaan.
3) Komite Kebijakan Corporate Governance
Komite Kebijakan Corporate Governance bertugas membantu Dewan Komisaris
dalam mengkaji kebijakan GCG secara menyeluruh yang disusun oleh Direksi serta
menilai konsistensi penerapannya, termasuk yang bertalian dengan etika bisnis dan
tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Anggota Komite
Kebijakan Corporate Governance terdiri dari anggota Dewan Komisaris, namun bilamana
perlu dapat juga menunjuk pelaku profesi dari luar perusahaan. Komite Kebijakan
Corporate Governance dapat digabung dengan Komite Nominasi dan Remunerasi.
Komite Lainnya Di BUMN
Berdasarkan pasal 70 UU No. 17 tahun 2003 tentang BUMN antara lain disebutkan bahwa
komisaris dan dewan pengawas BUMN wajib membentuk komite audit yang bekerja secara
kolektif dan berfungsi membantu komisaris dan dewan pengawas dalam melaksanakan tugasnya.
Selain komite audit, komisaris atau dewan pengawas dapat membentuk komite lain yang
ditetapkan oleh menteri. Sesuai penjelasan pasal 70 UU BUMN, komite lain yang dimaksud
disini, yaitu komite remunerasi dan komite nominasi.
Komite-Komite Lainnya di Perbankan
Bank Indonesia melalui surat edaran kepada semua bank umum konvensional di Indonesia
No 15/15/DPNP tangal 29 april 2013 mengenai pelaksanaan Good Corporate Governance bagi
Bank Umum, pada bagian IV komite, menyebutkan bahwa dewan komesaris wajib membentuk
susunan organisasi setidaknya komite audit, komite pemantau risiko, serta komite remunerasi
dan nominasi, dalam rangka mendukung efektivitas tugas dan tanggung jawab dewan komesaris.
Komite Komite Lainnya di Perusahaan Publik
Berdasarkan peraturan OJK No.34/POJK.04/2014 tanggal 8 Desember 2014 tentang
Komite Nominasi dan remunerasi emiten atau perusahaan public, antara lain menyebutkan:
1) Pasal 1 ayat 1, yang dimaksud dengan komite nominasi dan remunerasi adalah komite
yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada dewan komesaris dalam membantu
melaksanakan fungsi dan tugas dewan komesaris dalam membantu melaksanakan fungsi
dan tugas dewan komesaris terkait nominasi dan remunerasi terhadap anggota dewan
komesaris.
2) Pasal 2, emiten atau perusahaan public wajib memiliki fungsi nominasi dan remunerasi
yang wajib dilaksanakan oleh dewan komesaris. Komite nominasi dadan remunerasi
dapat dibentuk secara terpisah.
3) Mengenai keanggotaan diatur dalam pasal 3,yaitu komite nominasi dan remunerasi
paling kurang terdiri dari 3 orang anggota dengan ketentuan : Satu orang ketua
merangkap anggota yang merupakan komesaris independen,dan Anggota lainnya yang
dapat berasal dari :
(1) Anggota dewan komesaris
(2) Pihak yang berasal dari luar emiten atau perusahan public yang bersangkutan atau
(3) Pihak yang menduduki jabatan manajerial di bawah direksi yang membidangi sumber
daya manusia.
4) Pasal 8, komite nominasi dan remunerasi mempunyai tugas dan tanggung jawab paling
kurang :
Terkait dengan fungsi nominasi:
(1)Memberikan rekomendasi kepada dewan komesaris mengenai :
Komposisi jabatan anggota direksi dan atau anggota dewan komesaris, Kebijakan dan
kreteria yang dibutuhkan dalam proses nominasi, dan Kebijakan evaluasi kinerja bagi
anggota direksi dan atau anggota dewan komesaris.
(2)Membantu dewan komesaris melakuakn penilaian kinerja dewan direksi dan atau
anggota dewan komesaris berdasarkan tolok ukur yang telah disusun sebagai bahan
evaluasi.
(3)Memberikan rekomendasi kepada dewan komesaris mengenai program pembangunan
kemampuan anggota direksi dan atau anggota dewan komesaris; dan
(4)Meberikan usulan calon yang memenuhi syarat sebagai anggota direksi dan atau
anggota dewan komesaris kepada dewan komesaris untuk disampaikan kepada RUPS.
Terkait dengan fungsi remunerasi:
(1)Memberikan rekomendasi kepada dewan komesaris mengenai :
Struktur remunerasi, Kebijakan atas remunerasi, dan Besaran atas remunerasi.
(2) Membantu dewan komesaris melakukanpenilaian kinerja dengan kesesuaian
remunerasi yang diterima masing masing anggota direksi dan atau anggota dewan
komesaris.

6. PRINSIP-PRINSIP GCG KOMITE AUDIT

Penerapan prinsip-prinsip GCG secara menyeluruh dan konsisten merupakan hal yang
bersifat fundamental bagi organisasi. Salah satu unsure kelembagaan dalam kerangka GCG
yang diharapkan mampu memberikan kontribusi tinggi dalam level penerapannya adalah
“Komite Audit”. Keberadaannya diharapkan mampu meningkatkan kualitas pengawasan
internal perusahaan, serta mampu mengoptimalkan mekanisme checks and balances, yang
pada akhirnya ditujukan untuk memberikan perlindungan yang optimum kepada para
pemegang saham dan para pemangku kepentingan lainnya.

Tugas pokok dari komite audit pada prinsipnya adalah membantu Dewan Komisaris
dalam melakukan fungsi pengawasan. Hal tersebut mencakup review terhadap system
pengendalian internal perusahaan, kualitas laporan keuangan, dan efektivitas fungsi audit
internal. Tugas komite audit juga erat kaitannya dengan penelaahan terhadap risiko yang
dihadapi perusahaan, dan juga kepatuhan terhada pregulasi.

Dari gambaran sederhana mengenai tugas dan fungsi dari lembaga tersebut, sudah barang
tentu, keberadaan komite audit menjadi sangat penting sebagai salah satu perangkat utama
dalam penerapan good corporate governance.

Dalam tataran praktis, figure anggota komite audit yang mampu menjalankan tugas
kesehariannya secara efektif tidak mudah ditemukan. Perlu criteria khusus bagi seseorang
yang akan menjabat sebagai ketua maupun anggota komite audit, mengingat tugas dan
tanggungjawabnya yang sangat strategis.

Berdasarkan pemikiran tersebut di atas Indonesian Society of Independent


Commissioners (ISICOM) bersama dengan praktisi komite audit yang memiliki perhatian
yang tinggi terhadap hal tersebut di atas, sepakat untuk membentuk Ikatan Komite Audit
Indonesia (The Indonesian Institute of Audit Committee) yang merupakan organisasi yang
akan memayungi serta melakukan pendidikan dan pengakuan terhadap kualifikasi anggota
komite audit dalam rangka mempercepat transformasi perusahaan menuju good corporate
governance.

7. KOMITE AUDIT DI BERBAGAI NEGARA

Komite audit di Indonesia masih merupakan hal yang relative baru. Perkembangan
komite audit di Negara kita ,sangat terlambat dibandingkan dengan negara lain. Hal tersebut
antara lain disebabkan Pemerintah baru saja menetapkan kebijakan tentang pemberlakuan
komite audit pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tertentu pada tahun 1999. Selain itu
anjuran dari Bapepam kepada perusahaan yang telah go publik agar memiliki komite audit
baru ditetapkan pada tahun 2000. Mengingat pentingnya keberadaan Komite Audit dalam
meningkatkan kinerja perusahaan, terutama dari aspek pengendalian, maka Komite Audit
perlu mendapatkan perhatian dari manajemen dan Dewan Komisaris serta pihak-pihak terkait
yang bertindak sebagai regulator seperti Menteri keuangan, Menteri BUMN, Bapepam,
Bursa Efek Jakarta & Bursa Efek Surabaya.

Komite Audit di Beberapa Negara Lain

Apabila kita ingin mengetahui lebih jauh tentang sejarah keberadaan Komite Audit, mau
tidak mau kita harus melihat perkembangan Komite Audit di negara lain. Berikut ini
dijelaskan perkembangan Komite Audit di Amerika Serikat, Inggris dan Kanada sebagai
bahan studi perbandingan untuk melihat keberadaan Komite Audit di Indonesia.

1. Komite Audit di AmerikaSerikat


Peraturan yang mewajibkan dibentuknya komite audit di Amerika Serikat antara
lain Accounting Series Release (ASR) No. 19/1940 dari The Securities Exchange
Commission (SEC). Ketentuan tersebut menganjurkan agar perusahaan yang telah masuk
Pasar Modal (go publik) memiliki komite audit yang beranggotakan pihak independen
dari luar perusahaan.
Menurutstudi Korn& Ferry International (1989) ternyata 98 % perusahaan
Amerika yang disurveinya telah memiliki komite audit. Di Amerika Serikat eksistensi
komite audit selain membawa dampak internal juga membawa dampak eksternal bagi
perusahaan. Harga saham perusahaan yang telah memiliki komite auditnya cenderung
lebih diminati oleh para investor.Pada saat ini hamper semua perusahaan di Amerika
Serikat terdapat komite audit, padahal tidak terdapat satu pun ketentuan hukum yang
mengikat bahwa keberadaan tersebut merupakan suatu keharusan (mandatory).
Rekomendasi dari kongres di Amerika Serikat, SEC dan AICPA, maupun persyaratan
yang ditetapkan oleh New York Stock Exchange bukan sebagai produk hukum (required
by law), karena sifatnya hanya sebatas anjuran saja. Oleh karena itu pengakuan perlunya
dibentuk komite audit di perusahaan dapat dipandang sebagai persyaratan mekanisme
pasar (required by the market) dalam rangka mempertahankan kepercayaan masyarakat
terhadap mekanisme akuntansi, auditing, serta system pengendalian yang lain, sehingga
unsur-unsur pengendalian tersebut tetap berjalan secara optimal dalam system ekonomi
pasar.
American Institute Certified of Public Accountants (AICPA) menerbitkan SAS
No. 60 dan 61 yang bertujuan untuk menciptakan link antara auditor dengan pemilik,
yakni melalui komunikasi antara auditor independen dengan komite audit. Hal penting
yang disebutkan dalam standar tersebut , antara lain pengungkapan kelemahan
pengendalian internal, adanya perbedaan pendapat dengan manajemen, pengaruh dari
kebijakan akuntansi tertentu yang signifikan, serta kendala yang dihadapi dalam
melakukan audit.
2. Komite Audit di Inggris (U.K.)
Inggris merupakan Negara pelopor dibentuknya komite audit. Komite audit
tersebut sudah ada sejak pertengahan abad ke-19. Anggotanya dipilih diantara para
pemegang saham (shareholders) yang dipandang memiliki keahlian (kompetensi)
dibidang akuntansi dan auditing. Tujuannya sebagai mediator antara para pemegang
saham, manajemen serta pihak eksternal perusahaan. The Promotion of Non-Executive
Directors (Pro-ned) goup (1982) telah memperbaiki code of practice. Pada tahun 1987
group tersebut merekomendasikan agar perusahaan- perusahaan public memiliki komite
audit yang terdiri dari non-executive director yang bertugas memberikan konsultasi
masalah penting tentang audit dan pengendalian.
Institute of Chartered Accountant pada England & Wales Working Party (1986) telah
merekomendasikan agar komite audit bertanggungjawab atas pertemuan dan remunerasi
auditor independen, menyetujui perencanaan audit (audit plan) dan mereview laporan
manajemen (management report) yang dikeluarkan oleh auditor independen.
3. Komite Audit di Kanada
Komite audit pertama kali diperkenalkan oleh Pemerintah Kanada pada tahun
1965. The Canada Business Corporation Act telah melakukan amandemen pada tahun
1975. Menurut ketentuan ini semua perusahaan public harus memiliki komite audit yang
mereview laporan keuangan tahunan sebelum disampaikan pada Board of Director. The
Adams Report (1998) merekomendasikan tentang tanggung jawab komite audit. The
Canadian Institute of Chartered Accountants (1988) mengeluarkan the Macdonald Report
(Macdonald Commission) yang antara lain mengemukakan agar semua perusahaan public
harus memiliki komite audit, Komite audit harus melaporkan tentang tanggung jawabnya
kepada pemegang saham secara tahunan (annual report) dan Komite audit harus
mereview laporan keuangan interim dan tahunan sebelum dipublikasikan. Selain itu
ketentuan mengenai perlunya komite audit di Kanada telah dimuat dalam Undang-
Undang Perseroan Terbatas .The Business Corporation Act (1975) telah diberlakukan di
Negara Bagian Ontario dan British Columbia.

8. KOMITE AUDIT DI INDONESIA

Bermula dari Forum-forum diskusi dan Forum Komite Audit dari The Indonesian Society
of Independent Commissioners (ISICOM), yang secara konsisten banyak membahas masalah
seputar Good Corporate Governance (GCG) dan juga peranan dari para Komisaris dan
Komite Audit dalam membantu perusahaan agar mampu beroperasi sesuai dengan prinsip-
prinsip GCG, lahirlah suatu keinginan agar pemikiran-pemikiran yang telah dihasilkan dalam
forum tersebut, tidak hanya berkisar pada tataran konsep atau pemikiran saja, tetapi juga
mampu ditularkan dan direalisasikan.

Keinginan yang begitu besar mendorong ISICOM dengan juga beberapa praktisi komite
audit yang memiliki concern yang tinggi terhadap pola pengembangan komite audit – agar
komite audit selalu updated, well informed, dan efektif dalam menjalankan tugasnya- sepakat
untuk membentuk The Indonesian Institute of Audit Committee.

Komite Audit memiliki peran penting sebagai salah satu organ perusahaan yang mutlak
harus ada dalam penerapan good corporate governance. Ikatan Komite Audit Indonesia
didirikan dengan tujuan untuk memayungi serta melakukan pendidikan dan pengakuan
terhadap kualifikasi anggota komite audit dalam rangka mempercepat transformasi
perusahaan menuju good corporate governance.

Dengan melalui beberapa kali pertemuan antara ISICOM dengan beberapa praktisi
komite audit yang bertujuan untuk membahas lebih dalam mengenai pembentukan The
Indonesian Institute of Audit Committee, maka disepakati segera mendeklarasikan organisasi
ini. Maka pada tanggal 20 April 2004 di Jakarta, dideklarasikanlah The Indonesian Institute
of Audit Committee (Ikatan Komite Audit Indonesia) yang lebih dikenal secara singkat
dengan nama IKAI.

IKAI dicetuskan oleh 9 orang anggota pendiri, yaitu Soedarjono (Komisaris Utama PT.
Danareksa (Persero)), Irwan Sofjan (Ketua Komite Audit PT. Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk)., Subarto Zaini (Ketua Komite Audit PT. BAT Indonesia Tbk.), M. Tjoek
Soeroso (Ketua Komite Audit PT. Jasa Raharja), Tjuk Kasturi Sukiadi (Ketua Komite Audit
PT. Semen Gresik Tbk.), Kanaka Puradiredja (Anggota Komite Audit PT. Astra International
Tbk.dan PT. Bank Niaga Tbk.), dan Indra Safitri (Anggota Komite Audit PT. Inco Tbk.).

Pada tanggal 31 Juli 2004 di Jakarta, Ikatan Komite Audit Indonesia (IKAI) berhasil
menyelenggarakan Rapat Umum Anggota yang Pertama, dengan beberapa keputusan yang
telah disepakati oleh Anggota, diantaranya adalah:

 Terpilihnya Anggota Dewan Kehormatan dan Anggota Dewan Pengurus periode 2004-
2007
 Disahkannya Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dengan beberapa perbaikan
 Disetujuinya Program Kerja Ikatan Komite Audit Indonesia periode 2004-2007

9. KOMUNIKASI KOMITE AUDIT

Salah satu fungsi komite audit adalah menjembatani pemegang saham (share holder) dan
dewan komisaris dengan kegiatan pengendalian yang diselenggarakan oleh manajemen,
auditor internal dan eksternal auditor. Komite audit pada umumnya memiliki akses langsung
dengan setiap unsur pengendalian dalam perusahaan.

Pada saat ini komunikasi antara komite audit dengan berbagai pihak, belum terjalin
dengan erat dan belum berjalan sebagaimana mestinya. Komunikasi komite audit dengan
pihak yang berkepentingan yang berjalan dengan lancar, akan menghasilkan kinerja
perusahaan meningkat, terutama dari aspek pengendalian.

Berikut ini dijelaskan komunikasi komite audit dengan berbagai pihak yang
berkepentingan, antara lain :

1. Komunikasi Komite Audit dengan Dewan Komisaris


Salah satu fungsi pokok komite audit adalah membantu tugas komisaris dalam aspek
pengendalian perusahaan. Dalam rapat internal yang diselenggarakan secara rutin,
komite audit melaporkan hasil tugas yang dibebankan oleh komisaris dalam bentuk
laporan berkala. Selain itu apabila ditugaskan secara khusus oleh komisaris, maka
komite audit akan membuat laporan khusus yang ditujukan kepada komisaris.
2. Komunikasi Komite Audit dengan Manajemen
Komunikasi antara komite audit dengan manajemen memegang peranan yang cukup
penting dalam trangka meningkatkan pengendalian perusahaan. Menurut the Institute
of Internal Auditors Research Foundation tanggung jawab komite audit memerlukan
interaksi secara signifikan dengan manajemen secara efektif. Namun kehadiran
manajemen tidak diharuskan dalam tiap rapat. Praktek yang baik membutuhkan
partisipasi aktif dari manajemen dalam rapat komite. Laporan atas beberapa aktivitas
manajemen yang krusial terhadap komite merupakan salah satu tanggungjawabnya.
3. Komunikasi Komite Audit dengan Internal Auditor
Komunikasi internal auditor dengan komite audit antara lain diatur dalam Statement on
Auditing Standard (SAS) No. 61, yaitu disebutkan 8 (delapan) hal, sebagai berikut :
a. Pertanggungjawaban atas struktur kendali internal dan Laporan Keuangan bebas
kesalahan material,
b. seleksi kebijakan akuntansi,
c. estimasi akuntansi,
d. dampak adjustment hasil audit,
e. pertanggungjawaban data non keuangan yang disepakati bersama,
f. ketidaksepakatan manajemen dan internal auditor,
g. diskusi pilihan eksternal auditor,
h. Masalah proses akuntansi, keterlambatan laporan tak masuk akal dan batas waktu
laporan tak masuk akal.
4. Komunikasi Komite Audit dengan Eksternal Auditor
Salah satu tanggungjawab komite audit adalah menilai (mereview) hasil laporan
audit dari eksternal auditor. Kedudukan komite audit yang merupakan kepanjangan
tangan dari dewan komisaris dengan kompetensi yang dimililiki diharapkan dapat
mengoptimalkan fungsi auditor eksternal bagi perusahaan. Dalam Standar Profesional
Akuntan Publik (SPAP) Standar Auditing No. 380 diatur mengenai komunikasi antara
Akuntan Publik (Eksternal Auditor) dengan komite audit. Komunikasi antara Komite
Audit dengan Eksternal Auditor dapat berbentuk lisan atau tertulis. Masalah yang dapat
dikomunikasikan antara lain :
1) Tanggung jawab auditor berdasarkan standar auditing yang ditetapkan Institut
Akuntan Publik Indonesia.
Audit yang dilaksanakan berdasarkan standar auditing yang ditetapkan Institut
Akuntan Publik Indonesia dapat ditujukan ke berbagai masalah yang menjadi
kepentingan komite audit. Sebagai contoh, komite audit biasanya berkepentingan
dengan pengendalian intern dan apakah laporan keuangan bebas dari salah saji
material. Agar komite audit memahami sifat keyakinan yang diberikan oleh suatu
audit, auditor harus mengkomunikasikan tingkat tanggung jawab yang dipikulnya
mengenai masalah-masalah tersebut berdasarkan standar auditing yang ditetapkan
Institut Akuntan Publik Indonesia. Juga penting bagi komite audit untuk
memahami bahwa standar auditing yang ditetapkan Institut Akuntan Publik
Indonesia didesain untuk memperoleh keyakinan memadai, bukan mutlak, atas
laporan keuangan.
2) Kebijakan akuntansi signifikan.
Auditor harus menentukan bahwa komite audit mendapatkan informasi tentang
pemilihan dan perubahan kebijakan akuntansi atau pelaksanaannya. Auditor juga
harus menentukan bahwa komite audit mendapatkan informasi tentang metode
yang digunakan untuk mempertanggungjawabkan transaksi signifikan yang tidak
biasa dan dampak kebijakan akuntansi signifikan untuk isu akuntansi yang baru
atau kontroversial yang belum ada panduan atau kesepakatan mengenai perlakuan
akuntansinya dari badan berwenang. Sebagai contoh, mungkin terdapat isu
akuntansi signifikan dalam bidang seperti pengakuan pendapatan, pendanaan
tidak disajikan di laporan posisi keuangan (neraca) (off-balance sheet financing),
dan akuntansi untuk investasi ekuitas (equity investment).
3) Pertimbangan manajemen dan estimasi akuntansi.
Estimasi akuntansi merupakan bagian terpadu dari laporan keuangan yang
disusun oleh manajemen dan didasarkan atas pertimbangan kini manajemen.
Pertimbangan tersebut biasanya didasarkan atas pengetahuan dan pengalaman
tentang peristiwa sekarang dan masa lalu serta asumsi tentang peristiwa masa
yang akan datang. Estimasi akuntansi tertentu sangat sensitif karena estimasi
tersebut signifikan bagi laporan keuangan dan karena kemungkinan bahwa
peristiwa masa yang akan datang yang mempengaruhinya dapat sangat berbeda
dari pertimbangan sekarang manajemen. Auditor harus menentukan bahwa komite
audit mendapatkan informasi tentang proses yang digunakan oleh manajemen
dalam merumuskan estimasi akuntansi yang sangat sensitif tersebut dan tentang
dasar yang dipakai oleh auditor dalam menyimpulkan kewajaran estimasi
tersebut.
4) Penyesuaian audit signifikan.
Auditor harus memberikan informasi kepada komite audit tentang
penyesuaian yang timbul dari audit yang menurut pertimbangannya dapat
berdampak signifikan atas proses pelaporan entitas, baik secara individu atau
secara bersama-sama. Untuk tujuan ini, penyesuaian audit, baik yang dicatat
maupun yang tidak dicatat oleh entitas, merupakan koreksi yang diusulkan
terhadap laporan keuangan yang menurut pertimbangan auditor, mungkin tidak
akan terdeteksi kecuali melalui prosedur audit yang dilaksanakan. Masalah yang
menjadi dasar penyesuaian yang diusulkan oleh auditor, namun tidak dicatat oleh
entitas dapat secara potensial menyebabkan salah saji material dalam laporan
keuangan masa yang akan datang, meskipun auditor berkesimpulan bahwa
penyesuaian tersebut tidak material bagi laporan keuangan sekarang.
5) Informasi lain dalam dokumen yang berisi laporan keuangan auditan.
Komite audit seringkali mempertimbangkan informasi yang disusun oleh
manajemen yang menyertai laporan keuangan entitas. Perusahaan tertentu yang
menyerahkan laporan kepada Bapepam diharuskan untuk menyajikan informasi
"Analisis dan Pembahasan Umum oleh Manajemen" terhadap kondisi keuangan
dan hasil usaha dalam laporan tahunan kepada pemegang saham. SA Seksi 550
[PSA No. 44] Informasi Lain dalam Dokumen yang Berisi Laporan Keuangan
Auditan menetapkan tanggung jawab auditor untuk informasi semacam itu.
Auditor harus membicarakan dengan komite audit mengenai tanggung jawabnya
atas informasi lain dalam dokumen yang berisi laporan keuangan auditan, dan
prosedur yang telah dilaksanakan, serta hasilnya.
6) Ketidaksepakatan dengan manajemen.
Ketidaksepakatan dengan manajemen dapat terjadi sehubungan dengan penerapan
prinsip akuntansi terhadap transaksi dan peristiwa khusus entitas serta basis yang
digunakan oleh manajemen untuk membuat estimasi akuntansi. Ketidaksepakatan
dapat juga timbul berkaitan dengan lingkup audit, pengungkapan yang
dicantumkan dalam laporan keuangan entitas, serta kata-kata yang digunakan oleh
auditor dalam laporan auditnya. Auditor harus membahas dengan komite audit
setiap ketidaksepakatannya dengan manajemen, baik yang dapat diselesaikan
dengan memuaskan maupun yang tidak, tentang masalah-masalah yang secara
individual maupun bersama-sama signifikan terhadap laporan keuangan entitas
atau laporan auditor. Untuk tujuan ini, ketidaksepakatan tidak mencakup
perbedaan pendapat berdasarkan fakta yang tidak lengkap atau informasi awal
yang dapat diselesaikan kemudian.
7) Konsultansi dengan Akuntan lain.
Dalam beberapa hal, manajemen dapat memutuskan untuk berkonsultasi dengan
akuntan lain tentang masalah auditing dan akuntansi. Bila auditor mengetahui
bahwa konsultasi semacam ini terjadi, ia harus membahas dengan komite audit
mengenai pandangannya terhadap masalah signifikan yang dikonsultasikan oleh
manajemen.
8) Isu besar yang dibicarakan dengan manajemen sebelum keputusan
mempertahankan Auditor.
Auditor harus membahas dengan komite audit mengenai isu utama yang telah
dibahas dengan manajemen yang berkaitan dengan usaha mula-mula atau usaha
selanjutnya untuk tetap mempertahankan penggunaan jasa auditor tersebut
termasuk, di antaranya, pembahasan mengenai penerapan prinsip akuntansi dan
standar auditing.
9) Kesulitan yang dijumpai dalam pelaksanaan audit.
Auditor harus memberikan informasi kepada komite audit bila terdapat kesulitan
serius yang dijumpainya dalam berhubungan dengan manajemen mengenai
pelaksanaan audit. Hal ini termasuk, di antaranya, penundaan yang tidak beralasan
oleh manajemen mengenai saat dimulainya audit atau penyediaan informasi yang
diperlukan, dan apakah jadwal waktu yang dibuat oleh manajemen masuk akal
dalam keadaan tersebut. Masalah lain yang mungkin dijumpai oleh auditor adalah
tidak tersedianya personel klien dan kegagalan personel klien untuk menyelesaikan
daftar yang dibuat klien pada waktunya, Jika auditor menganggap masalah ini
signifikan, ia harus memberi tahu komite audit.

10. KASUS PT KERETA API INDONESIA


I. Profil Perusahaan
PT Kereta Api Indonesia (Persero) (disingkat KAI atau PT KAI) adalah Badan Usaha
Milik Negara Indonesia yang menyelenggarakan jasa angkutan kereta api. Layanan PT
Kereta Api Indonesia meliputi angkutan penumpang dan barang. Pada
akhir Maret 2007, DPR mengesahkan revisi UU No. 13/1992 yang menegaskan bahwa
investor swasta maupun pemerintah daerah diberi kesempatan untuk mengelola jasa
angkutan kereta api di Indonesia. Pada tanggal 14 Agustus 2008 PT Kereta Api Indonesia
melakukan pemisahan Divisi Jabodetabek menjadi PT KAI Commuter Jabodetabek
(KCJ) untuk mengelola kereta api yang melaju di daerah Jakarta dan sekitarnya. Selama
tahun 2008 jumlah penumpang melebihi 197 juta.
Pemberlakuan UU Perkeretaapian No. 23/2007 secara hukum mengakhiri monopoli
PT Kereta Api Indonesia dalam mengoperasikan kereta api di Indonesia. Pada 29
Oktober 2014 PT KAI ini dipimpin oleh Edi Sukmoro yang sebelumnya menjabat
sebagai Direktur pengelolaan aset nonproduksi Railways di PT KAI (Persero),
menggantikan Direktur sebelumnya Ignasius Jonan.

Adapun sejarah PT KAI hingga saat ini yaitu:

Periode Status Dasar Hukum


Th. 1864 Pertama kali dibangun Jalan Rel sepanjang
26 km antara Kemijen Tanggung oleh
Pemerintah Hindia Belanda
1864 s.d 1945 Staat Spoorwegen (SS) Verenigde IBW
Spoorwegenbedrifj (VS) Deli Spoorwegen
Maatschappij (DSM)
1945 s.d 1950 DKA IBW
1950 s.d 1963 DKA - RI IBW
1963 s.d 1971 PNKA PP. No. 22 Th. 1963
1971 s.d.1991 PJKA PP. No. 61 Th. 1971
1991 s.d 1998 PERUMKA PP. No. 57 Th. 1990
1998 s.d. 2010 PT. KERETA API (Persero) PP. No. 19 Th. 1998
Keppres No. 39 Th.
1999
Akte Notaris Imas
Fatimah
Mei 2010 s.d PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) Instruksi Direksi No.
sekarang 16/OT.203/KA 2010

II. Kronologi atau Pemaparan Kasus


Kasus PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI) berawal dari pembukuan yang tidak
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Sebagai akuntan sudah selayaknya
menguasai prinsip akuntansi berterima umum sebagai salah satu penerapan etika profesi.
Kesalahan karena tidak menguasai prinsip akuntansi berterima umum bisa menyebabkan
masalah yang sangat menyesatkan. Beberapa data disajikan tidak sesuai dengan standar
akuntansi keuangan. Hal ini mungkin sudah biasa terjadi dan masih bisa diperbaiki.
Namun, yang menjadi permasalahan adalah pihak auditor menyatakan Laporan Keuangan
itu Wajar Tanpa Pengecualian sehingga menimbulkan kecurigaan. Dari informasi yang
didapat, sejak tahun 2004 laporan PT KAI diaudit oleh Kantor Akuntan Publik.
Sedangkan tahun-tahun sebelumnya melibatkan BPK sebagai auditor perusahaan kereta
api tersebut. Hal itu menimbulkan dugaan kalau Kantor Akuntan Publik yang mengaudit
Laporan Keuangan PT KAI melakukan kesalahan.
Kasus PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI) juga dianggap telah melakukan
kecurangan dalam penyajian laporan keuangan. Ini merupakan suatu bentuk penipuan
yang dapat menyesatkan investor dan stakeholder lainnya. Kasus ini juga berkaitan
dengan masalah pelanggaran kode etik profesi akuntansi. Diduga terjadi manipulasi data
dalam laporan keuangan PT KAI tahun 2005, Komisaris PT KAI Hekinus Manao yang
juga sebagai Direktur Informasi dan Akuntansi Direktorat Jenderal Perbendaharaan
Negara Departemen Keuangan mengatakan, laporan keuangan itu telah diaudit oleh
Kantor Akuntan Publik S. Manan. Perusahaan BUMN itu dicatat meraih keutungan
sebesar Rp, 6,9 Miliar. Padahal apabila diteliti dan dikaji lebih rinci, perusahaan
seharusnya menderita kerugian sebesar Rp. 63 Miliar.
III. Pihak-pihak Yang Terlibat
Kasus di atas merupakan Kasus Manipulasi Laporan Keuangan PT KAI yang
dilakukan oleh Manajemen PT KAI dan Ketidakmampuan KAP dalam mengindikasi
terjadinya manipulasi. Komisaris PT KAI yaitu Hekinus Manao menolak menyetujui
laporan keuangan PT KAI tahun 2005 yang telah diaudit oleh akuntan publik. Setelah
hasil audit diteliti dengan seksama, ditemukan adanya kejanggalan dari laporan keuangan
PT KAI tahun 2005 :
1. Pajak pihak ketiga sudah tiga tahun tidak pernah ditagih, tetapi dalam laporan
keuangan itu dimasukkan sebagai pendapatan PT KAI selama tahun 2005.
Seharusnya dibabankan sebagai piutang tak tertagih.
2. Masalah piutang PPN.
Kewajiban PT KAI untuk membayar surat ketetapan pajak (SKP) pajak
pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 95,2 Miliar yang diterbitkan oleh Direktorat
Jenderal Pajak pada akhir tahun 2003 disajikan dalam laporan keuangan sebagai
piutang atau tagihan kepada beberapa pelanggan yang seharusnya menanggung
beban pajak itu. Padahal berdasarkan Standart Akuntansi, pajak pihak ketiga yang
tidak pernah ditagih itu tidak bisa dimasukkan sebagai aset. Di PT KAI ada
kekeliruan direksi dalam mencatat penerimaan perusahaan selama tahun 2005.
Piutang tak tertagih
3. Masalah Beban Ditangguhkan yang berasal dari penurunan nilai persediaan.
Penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp 24 Miliar
yang diketahui pada saat dilakukan inventarisasi tahun 2002 diakui manajemen PT
KAI sebagai kerugian secara bertahap selama lima tahun. Pada akhir tahun 2005
masih tersisa saldo penurunan nilai yang belum dibebankan sebagai kerugian sebesar
Rp 6 Miliar, yang seharusnya dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005. Diakui
beban depresiasi
4. Bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya dengan modal total nilai
komulatif sebesar Rp 674,5 Miliar dan penyertaan modal negara sebesar Rp 70
Miliar oleh manajemen PT KAI disajikan dalam neraca per 31 Desember 2005
sebagai bagian dari hutang. Akan tetapi menurut Hekinus bantuan pemerintah dan
penyertaan modal harus disajikan sebagai bagian dari modal perseroan. Seharusnya
dicatat kas pada modal karena bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya
itu diterima sebagai modal bukan hutang.
5. Manajemen PT KAI tidak melakukan pencadangan kerugian terhadap kemungkinan
tidak tertagihnya kewajiban pajak yang seharusnya telah dibebankan kepada
pelanggan pada saat jasa angkutannya diberikan PT KAI tahun 1998 sampai 2003.
Oleh karena itu seharusnya PT KAI melakukan pencatatan terhadap cadangan
piutang tak tertagih.
6. Masalah persediaan dalam perjalanan.
Berkaitan dengan pengalihan persediaan suku cadang Rp. 1,4 milyar yang dialihkan
dari satu unit kerja ke unit kerja lainnya di lingkungan PT. KAI yang belum selesai
proses akuntansinya per 31 Desember 2005, menurut Komite Audit seharusnya telah
menjadi beban tahun 2005. persediaan suku cadang Rp. 1,4 milyar yang seharusnya
diakui sebagai beban
7. Masalah uang muka gaji.
Biaya dibayar dimuka sebesar Rp. 28 milyar yang merupakan gaji Januari 2006 dan
seharusnya dibayar tanggal 1 Januari 2006 tetapi telah dibayar per 31 Desember
2005 diperlakukan sebagai uang muka biaya gaji, yang menurut Komite Audit harus
dibebankan pada tahun 2005. Oleh karena itu seharusnya diakui sebagai beban gaji
pada tahun berjalan.
Perbedaan pendapat terhadap laporan keuangan antara komisaris dan auditor akuntan
publik terjadi karena PT KAI tidak memiliki tata kelola perusahaan yang baik. Akuntan
publik yang telah mengaudit laporan keuangan PT KAI tahun 2005 segera diperiksa oleh
Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik. Jika terbukti bersalah, akuntan publik itu diberi
sanksi teguran atau pencabutan izin praktek. PT KAI dapat dikenakan sanksi sesuai Pasal
107 UU No.8 Tahun 1995 yang menyatakan: “Setiap Pihak yang dengan sengaja
bertujuan menipu atau merugikan Pihak lain atau menyesatkan Bapepam,
menghilangkan, memusnahkan, menghapuskan, mengubah, mengaburkan,
menyembunyikan, atau memalsukan catatan dari Pihak yang memperoleh izin,
persetujuan, atau pendaftaran termasuk Emiten dan Perusahaan Publik diancam dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah)”. (Harian KOMPAS Tanggal 5 Agustus 2006 dan 8 Agustus 2006).

IV. Pelanggaran Yang Dilakukan PT. KAI


Pelanggaran terkait prinsip-prisip CG
Kasus Manipulasi Laporan Keuangan yang dilakukan oleh PT KAI ditinjau dari
Good Corporate Governance (GCG). Dalam tata kelola perusahaan dibutuhkan corporate
governance untuk mengatur dan mengendalikan perilaku pengelola perusahaan agar
bertindak tidak menguntungkan dirinya sendiri tetapi juga menguntungkan semua pihak
yang berkepentingan di dalamnya termasuk masyarakat luas. Adapun prinsip-prinsip
Good Corporate Governance (GCG) adalah transparency, accountability, responsibility,
indepandency, dan fairness.
Berdasarkan Good Corporate Governance (GCG), akuntan PT. KAI dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya belum sesuai dengan prinsip- prinsip GCG
di bawah ini :
1. Transparancy (Keterbukaan)
Akuntan internal PT KAI dalam menyusun laporan keuangan belum
mengemukakan informasi yang material dan relevan serta belum ada keterbukaan
dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan.
2. Accountability (Akuntabilitas)
Akuntan internal PT KAI dalam menyusun laporan keuangan tidak meyiapkan
laporan keuangannya dengan akurat dan melakukan pembukuan yang tidak sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan.
3. Responsibility (Pertanggungjawaban)
Akuntan internal PT KAI dalam menyusun laporan keuangan tidak melakukan
sesuai dengan tanggung jawabnya yang telah diatur dalam undang-undang Akuntansi
dan tidak memperhatikan kepentingan steakholder yang lain dan hanya
memperhatikan kepentingan pihak-pihak tertentu saja.
4. Indepandency (Kemandirian)
Akuntan internal PT KAI melakukan manupulasi dalam menyajikan laporan
keuangan yang mengisyratkan terdapat kepentingan atau tekanan atau intervensi dari
pihak lain untuk melakukan manupulasi demi menguntungkan pihak-pihak tertentu
yang berada di PT. KAI.
5. Fairness (Kewajaran atau Keadilan)
Akuntan internal PT KAI dalam menyusun laporan keuangan tidak menerapkan
prinsip-prinsip kewajaran, kejujuran dan keadilan karena melakukan manipulasi
laporan keuangan. Perbuatan manajemen PT KAI merugikan publik/masyarakat dan
pemerintah. Publik (investor) dirugikan karena memperoleh informasi yang
menyesatkan, sehingga keputusan yang diambil berdasarkan informasi keuagan PT
KAI menjadi tidak akurat/salah. Pemerintah dirugikan karena dengan rekayasa
keuangan tersebut maka pajak yang diterima pemerintah lebih kecil.

Dilihat dari beberapa aspek, adapun yang dilanggar oleh PT KAI:


1. Profitable
a. Pihak yang diuntungkan adalah Manajemen PT KAI karena kinerja keuangan
perusahaan seolah-olah baik (laba Rp6.9 M), meskipun pada kenyataannya
menderita kerugian Rp 63 M. Tidak tertutup kemungkinan, pihak manajemen
memperoleh bonus dari “laba semu” tersebut.
b. Pihak lain yang diuntungkan adalah KAP S. Manan & Rekan, dimana
dimungkinkan memperoleh Fee khusus karena memberikan opini Wajar Tanpa
Pengecualian.
2. Legal
1. PT KAI melanggar Pasal 90 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal “Dalam
kegiatan perdagangan efek, setiap pihak dilarang secara langsung maupun tidak
langsung:
a. Menipu atau mengelabui Pihak lain dengan menggunakan sarana dan atau
cara apa pun;
b. Turut serta menipu atau mengelabui Pihak lain; dan
c. Membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak
mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak
menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat
dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk
diri sendiri atau Pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk
membeli atau menjual Efek.”
3. KAP S. Manan & Rekan melanggar Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP)
4. Prinsip Etika Yang Dilanggar
Selain akuntan eksternal dan komite audit yang melakukan kesalahan dalam hal
pencatatan laporan keuangan, akuntan internal di PT. KAI juga belum sepenuhnya
menerapkan 8 prisip etika akuntan. Dari kedelapan prinsip akuntan yaitu tanggung
jawab profesi, kepentingan publik, integritas, objektifitas, kompetensi dan kehati-
hatian profesional, kerahasiaan, perilaku profesional, dan standar teknis, prinsip-
prinsip etika akuntan yang dilanggar antara lain :
1) Tanggung jawab profesi ;
Dimana seorang akuntan harus bertanggung jawab secara professional terhadap
semua kegiatan yang dilakukannya. Akuntan Internal PT. KAI kurang
bertanggung jawab karena dia tidak menelusuri kekeliruan dalam pencatatan
dan memperbaiki kesalahan tersebut sehingga laporan keuangan yang
dilaporkan merupakan keadaan dari posisi keuangan perusahaan yang
sebenarnya.
2) Kepentingan Publik ;
Dimana akuntan harus bekerja demi kepentingan publik atau mereka yang
berhubungan dengan perusahaan seperti kreditur, investor, dan lain-lain. Dalam
kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak bekerja demi kepentingan publik
karena diduga sengaja memanipulasi laporan keuangan sehingga PT. KAI yang
seharusnya menderita kerugian namun karena manipulasi tersebut PT. KAI
terlihat mengalami keuntungan. Hal ini tentu saja sangat berbahaya, termasuk
bagi PT. KAI. Karena, apabila kerugian tersebut semakin besar namun tidak
dilaporkan, maka PT. KAI bisa tidak sanggup menanggulangi kerugian
tersebut.
3) Integritas ;
Dimana akuntan harus bekerja dengan profesionalisme yang tinggi. Dalam
kasus ini akuntan PT. KAI tidak menjaga integritasnya, karena diduga telah
melakukan manipulasi laporan keuangan.
4) Objektifitas ;
Dimana akuntan harus bertindak obyektif dan bersikap independen atau tidak
memihak siapapun. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak obyektif
karena diduga telah memanipulasi laporan keuangan sehingga hanya
menguntungkan pihak-pihak tertentu yang berada di PT. KAI.
5) Kompetensi dan kehati-hatian professional ;
Akuntan dituntut harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan penuh
kehati-hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk
mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesionalnya pada tingkat
yang diperlukan. Dalam kasus ini, akuntan PT. KAI tidak melaksanakan kehati-
hatian profesional sehingga terjadi kesalahan pencatatan yang mengakibatkan
PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian namun dalam laporan keuangan
mengalami keuntungan.
6) Perilaku profesional ;
Akuntan sebagai seorang profesional dituntut untuk berperilaku konsisten
selaras dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat
mendiskreditkan profesinya. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak
berperilaku profesional yang menyebabkan kekeliruan dalam melakukan
pencatatan laporan keuangan, dan hal ini dapat mendiskreditkan (mencoreng
nama baik) profesinya.
7) Standar teknis ;
Akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus mengacu dan
mematuhi standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan
keahliannya dan dengan berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban untuk
melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan
dengan prinsip integritas dan obyektifitas. Dalam kasus ini akuntan tidak
melaksanakan prinsip standar teknis karena tidak malaporkan laporan
keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Contohnya, pada saat PT
Kereta Api Indonesia telah tiga tahun tidak dapat menagih pajak pihak ketiga.
Tetapi, dalam laporan keuangan itu, pajak pihak ketiga dinyatakan sebagai
pendapatan. Padahal, berdasarkan standar akuntansi keuangan tidak dapat
dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset.
V. Solusi
Terlepas dari pihak mana yang benar, permasalahan ini tentunya didasari oleh tidak
berjalannya fungsi check and balances yang merupakan fungsi substantif dalam
perusahaan. Yang terpenting adalah mengidentifikasi kelemahan yang ada sehingga dapat
dilakukan penyempurnaan untuk menghindari munculnya permasalahan yang sama di
masa yang akan datang. Berikut ini beberapa solusi yang disarankan kepada PT KAI
untuk memperbaiki kondisi yang telah terjadi :
1. Komite Audit tidak memberikan second judge atas opini Auditor Eksternal, karena
opini sepenuhnya merupakan tanggung jawab Auditor Eksternal.
2. Harus ada upaya untuk membenarkan kesalahan tahun-tahun lalu, karena konsistensi
yang salah tidak boleh dipertahankan.
3. Komite Audit tidak berbicara kepada publik, karena esensinya Komite Audit adalah
organ Dewan Komisaris sehingga pendapat dan masukan Komite Audit harus
disampaikan kepada Dewan Komisaris. Apabila Dewan Komisaris tidak setuju
dengan Komite Audit namun Komite Audit tetap pada pendiriannya, Komite Audit
dapat mencantumkan pendapatnya pada laporan komite audit yang terdapat dalam
laporan tahunan perusahaan.
4. Managemen menyusun laporan keuangan secara tepat waktu, akurat dan full
disclosure.
5. Komite Audit dan Dewan Komisaris sebaiknya melakukan inisiatif untuk
membangun budaya pengawasan dalam perusahaan melalui proses internalisasi,
sehingga pengawasan merupakan bagian tidak terpisahkan dari setiap organ dan
individu dalam organisasi.
Berikut ini beberapa solusi yang disarankan kepada KAP S. Manan & Rekan - Rekan
untuk memperbaiki kondisi yang telah terjadi :
1. Melakukan jasa profesional sesuai SPAP, dimana tiap anggota harus berperilaku
konsisten dengan reputasi profesionalnya dengan menjauhi tindakan yang dapat
mendiskreditkan profesioreksi
2. Melakukan koreksi atas opini yang telah dibuat
3. Melakukan konferensi pers dengan mengungkapkan bahwa oknum yang melakukan
kesalahan sehingga menyebabkan opini atas Laporan Keuangan menjadi tidak
seharusnya telah diberikan sanksi dari pihak otorisasi, dan berjanji tidak mengulang
kembali kejadian yang sama di masa yang akan datang.
VI. Kesimpulan
Kasus PT. KAI berawal dari perbedaan pandangan antara Manajemen dan
Komisaris, khususnya Ketua Komite Audit dimana Komisaris menolak menyetujui dan
menandatangani laporan keuangan yang telah diaudit oleh Auditor Eksternal. Dan
Komisaris meminta untuk dilakukan audit ulang agar laporan keuangan dapat disajikan
secara transparan dan sesuai dengan fakta yang ada.
Dari kasus ini terdapat pelanggaran Etika dalam berbisnis itu merupakan suatu
pelanggaran etika profesi perbankan pada PT KAI pada tahun tersebut yang terjadi
karena kesalahan manipulasi dan terdapat penyimpangan pada laporan keuangan PT
KAI . Pada kasus ini juga terjadi penipuan yang menyesatkan banyak pihak seperti
investor tersebut. Seharusnya PT KAI harus bertindak profesional dan jujur sesuai pada
asas-asas etika profesi akuntansi.
DAFTAR PUSTAKA

Putri, I Gusti Ayu Made Asri Dwija, dan Ulupui, I Gusti Ketut Agung. 2017. Pengantar
Corporate Governance. Denpasar: CV. Sastra Utama.

FCGI. 2001. Peranan Dewan Komisaris dan Komite Audit dalam Pelaksanaan Corporate
Governance (Tata Kelola Perusahaan). Jilid II, Edisi 2.

Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Nomor : KEP-102/M-PBUMN/2002 tanggal


31 Juli 2002 tentang pembentukan komite audit bagi BUMN.

Sutojo, Siswanto dan Aldridge, E John. 2008. Good Corporate governance. Jakarta : PT. Damar
Mulia Pustaka

Utama, Marta. 2004. Komite Audit, Good Corporate Governance Dan Pengungkapan Informasi.
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia Vol. 1 pp. 61 – 79.

http://aguszulbay.blogspot.co.id/2013/05/makalah-etika-bisnis.html (diakses tanggal 30 Maret


2019)
http://alfianma.blogspot.co.id/2015_01_01_archive.html (diakses tanggal 30 Maret 2019)
https://id.wikipedia.org/wiki/Kereta_Api_Indonesia (diakses tanggal 30Maret 2019)
https://kereta-api.co.id/ (diakses tanggal 30Maret 2019)
http://nadhiadisiini.blogspot.co.id/2009/11/kasus-pt-kai.html (diakses tanggal 30 Maret 2019)
http://praatiwii.blogspot.co.id/2014/11/kasus-manipulasi-laporan-keuangan-pt-kai.html (diakses
tanggal 30 Maret 2018)
http://wine-homework.blogspot.com/2011/08/blog-post.html?m=1 (diakses tanggal 30 Maret
2019)
http://www.komiteaudit.or.id/tentang-komite-audit/visi-dan-misi/ diakses tanggal 30 Maret
2019)

https://www.kompasiana.com/riqirahman/596e99ceda1e4a44321fb872/struktur-dan-peran-
komite-audit (diakses tanggal 31 Maret 2019)

Anda mungkin juga menyukai