Anda di halaman 1dari 7

KAJIAN HUKUM

ATAS
GUGATAN ATAS DASAR GIRIK / PETOK D / LETTER C DESA

I. LATAR BELAKANG / KRONOLOGI PERKARA :

Dari berbagai permasalahan agraria kawasan hutan di wilayah kerja Perum Perhutani
tercatat beberapa sengketa atau klaim atas kawasan hutan yang mendasarkan kepada bukti surat
Girik. Petok D, dan/atau Kutipan Letter C Desa. Dapat disebutkan disini beberapa kasus sengketa
yang terjadi di beberapa Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH), yaitu : di wilayah Perum Perhutani
Divisi Regional Jawa Tengah : di RPH Candiroto, BKPH Candiroto, KPH Kedu Utara, dikenal
sebagai kasus Dusun Rimpak, Desa Lowungu, Kecamatan Bejen, Kabupaten Temanggung. Di
wilayah Divisi Regional Jawa Barat terjadi di KPH Ciamis, yang dikenal dengan nama Blok
Cibadakpaeh. Di wilayah Divisi Regional Jawa Timur : pernah terjadi gugatan atas kawasan hutan
di RPH Wagir, BKPH Kepanjen, KPH Malang, termasuk wilayah administrasi pemerintahan Desa
Petungsewu, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang dan yang saat ini sedang berlangsung sidang
gugatan di Pengadilan adalah gugatan atas kawasan hutan Petak 156 RPH Gendogo, BKPH
Kepanjen, KPH Malang termasuk wilayah administrasi pemerintahan Desa Kesamben,
Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang, dimana tanah kawasan hutan digugat oleh masyarakat
dengan dalih kawasan hutan tersebut merupakan tanah hak milik adat dengan mengajukan bukti
berupa kutipan Letter C Desa.

II. PEMBAHASAN
Guna memahami status hukum dari Girik, Kikitir atau Petok D dan Letter C Desa, berikut
diuraikan sejarah timbulnya alat-alat bukti berupa Girik, Kikitir atau Petok D dan Letter C Desa
tersebut sebagai berikut :

A. ASPEK SEJARAH
Pada masa sebelum berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960, di wilayah Indonesia
terdapat dualisme hukum tanah. Ada tanah-tanah yang tunduk kepada hukum perdata barat
seperti tanah dengan hak eigendom, hak erfpacht, hak opstal, dan tanah-tanah yang tunduk
kepada hukum adat, seperti tanah yasan, tanah gogolan, dan lain-lain. Terhadap tanah-tanah ini
dipungut pajak tanah.
Sampai dengan tahun 1961, ada tiga macam pungutan pajak tanah, yaitu :
a. bagi tanah-tanah hak barat : Verponding Eropa;
b. Tanah-tanah hak adat yang berada di wilayah gemeente (kota) : Verponding Indonesia; dan
c. Tanah-tanah hak adat di luar wilayah gemeente : Pajak Bumi atau Landrente.
Dasar penentuan obyek pajaknya adalah status tanahnya sebagai tanah hak barat dan tanah
hak milik adat. Sedang wajib pajak adalah pemegang hak/pemiliknya. Biarpun yang menguasai
tanah memintanya, kalau tanah yang bersangkutan bukan tanah hak barat dan tanah hak milik
adat, tidak akan dikenakan Verponding atau Landrente.
Pengenaan Verponding Eropa administrasinya oleh Jawatan Pajak dikaitkan dengan
penyelenggaraan pendaftaran haknya oleh Pejabat Balik Nama (Overschrijving Ambtenaar).
Hubungan administratifnya sedemikian eratnya, hingga sebagai kode pengenal tanah-tanah yang
didaftar, juga dalam akta tanahnya yang dibuat oleh Pejabat Overschrijving, digunakan nomor
Verpondingnya, misalnya Recht van Eigendom, disingkat RvE, verponding sekian, surat ukur
(meetbrief) nomor sekian. Oleh karena keterkaitan administratif inilah masyarakat biasa
menyebut bukti penguasaan tersebut dengan nama eigendom verponding saja.

1
Pada masa Hindia Belanda selain pendaftaran tanah-tanah Hak Barat dalam rangka
memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, dijumpai juga kegiatan
pendaftaran tanah dengan tujuan lain. Kegiatannya sama dan yang menyelenggarakan juga
Pemerintah, tetapi bukan ditujukan untuk kepentingan rakyat, melainkan bagi kepentingan
Negara sendiri yaitu untuk keperluan pemungutan pajak tanah (fiscal cadastre).
Pengenaan pajak dilakukan dengan penerbitan surat pengenaan pajak atas nama pemilik
tanah, yang di kalangan rakyat dikenal dengan sebutan: Petuk pajak, Pipil, Girik, Petok dan lain-
lainnya. Karena pajak dikenakan pada yang memiliki tanahnya, petuk pajak yang berfungsi
sebagai surat pengenaan dan tanda pembayaran pajak, di kalangan rakyat dianggap dan
diperlakukan sebagai tanda bukti pemilikan tanah yang bersangkutan. Masyarakat mengartikan
pengenaan dan penerimaan pembayaran pajaknya oleh pemerintah sebagai pengakuan hak
pembayar pajak atas tanah yang bersangkutan oleh Pemerintah. Jika ada gangguan, pembayar
pajak berharap memperoleh perlindungan dari Pemerintah. Sehubungan dengan sikap dan
anggapan di atas, orang belum merasa aman, selama petuk pajak tanah yang dibelinya belum
diganti dengan yang baru atas namanya.
Dalam ketentuan, dinyatakan bahwa tanah yang berstatus hak milik adat saja yang
dikenakan Landrente dan Verponding Indonesia. Hal ini menimbulkan keinginan dan usaha
orang untuk mempunyai petuk pajak (atau Girik/kikitir demikian disebut di daerah Jawa Barat)
dengan dirinya sebagai wajib-pajak. Hal tersebut membenarkan praktik untuk menggunakan
data yang tercantum dalam petuk pajak sebagai petunjuk yang kuat mengenai status tanahnya
sebagai tanah hak milik adat dan wajib-pajak sebagai pemiliknya.
Dalam kenyataannya kemudian, petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir dan
Verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 diakui
sebagai bukti kepemilikan dalam konversi/pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
Landrente atau pajak bumi hanya dikenakan di Jawa dan Madura (S. 1927-163 jo. 1931-
168), Bali dan Lombok, Sulawesi, Daerah Hulu Sungai Kalimantan, dan Bima, Dompu dan Anggar,
serta Sumbawa. Verponding Indonesia dipungut berdasarkan S. 1923-425 jo. S. 1931-168.
Sejalan dengan ketentuan, bahwa hanya tanah yang berstatus hak milik adat saja yang
dikenakan Landrente dan Verponding Indonesia, serta adanya keinginan dan usaha orang untuk
mempunyai petuk pajak dengan dirinya sebagai wajib pajak, membenarkan praktik untuk
menggunakan data yang tercantum dalam petuk pajak sebagai petunjuk yang kuat mengenai
status tanahnya sebagai tanah hak milik adat dan wajib pajak sebagai pemiliknya. Kenyataan
tersebut dapat digunakan sebagai unsur pembantu dalam penegasan konversinya hak milik adat
menjadi hak milik menurut UUPA mengenai tanah-tanah yang dimintakan pendaftaran menurut
PP. 10/1961 dan PP No. 24 tahun 1997.

Berdasarkan konstruksi hukum pada masa sebelum berlakunya Undang-undang No. 5


tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), pengenaan pajak tanah
(Landrente) terhadap tanah hak milik adat hanya dibebankan kepada PEMILIK TANAH, bukan
PENGGARAP maupun PENYAKAP (vide : pasal 1 Peraturan Landrente op Java en Madoera –
Bepalingen nopens den aanslag en de inning der landrente op Java en Madoera, uitgezonderd de
Vorstenlanden, Staatsblad 1907 No. 227 juncto Pasal 4 Undang-Undang Pajak Hasil Bumi 1959)

B. KEDUDUKAN PETA DESA


Guna memungut dan menghitung pajak atas tanah-tanah hak adat yang dikenakan pajak
bumi (landrente) maka terlebih dahulu perlu diketahui luas tanahnya, untuk itu luas tanah dalam
suatu desa yang harus dikenakan pajak bumi harus diukur. Tanah dibagi dalam kelompok-
kelompok/katagori tanah basah (sawah atau tanah “S”) dan tanah kering (tanah darat atau tanah
“d”). Pekerjaan pengelompokan dan pengukuran ini menjadi tugas Jawatan Topografi
(Topografische Dienst) dengan dibimbing oleh kepala-kepala desa untuk menegaskan persil-

2
persil yang termasuk pada satu kelompok. Persil adalah sekumpulan tanah dari satu jenis (sawah
atau tanah darat) yang terletak dalam satu lingkungan yang nyata terlihat batas-batasnya secara
jelas, batas-batas ini biasanya berupa batas alam, misalnya sungai, puncak bukit, jalan, tanggul,
selokan, dan lain-lain1.
Survey tanah inilah yang merupakan pekerjaan awal dari klasifikasi tanah tersebut. Hasil
penelitian dan pengukuran ini kemudian oleh Jawatan Topografi dibuat suatu Peta Desa skala 1 :
5000. Pekerjaan Jawatan Topografi (Topografische Dienst/Top Dienst) selesai dengan
penyerahan peta desa dimaksud.

C. PEKERJAAN KLASERING
Setelah pekerjaan membuat peta desa selesai, baru mulailah pekerjaan teknis oleh Mantri-
mantri klasir yang membagi dan menyusun tanah-tanah tersebut dalam kelas-kelas atau
golongan-golongan. Tanah-tanah dalam suatu desa yang kira-kira sama produktivitasnya
dimasukkan dalam satu kelas atau golongan. Pemasukan tanah itu ke dalam kelas-kelas atau
golongan dilakukan oleh mantri klasir setelah berunding dengan kepada daerah serta rakyat
dengan membandingkan satu persil dengan persil-persil lain yang berdekatan.
Pekerjaan pengelompokan tanah itu selanjutnya diikuti oleh survey tanah yang kedua,
yaitu pengelompokan tanah berdasarkan pemilikan. Survey kedua ini berbeda dengan survey
pertama yang menggunakan metode triangle dan quadrangle. Metode survey kedua ini cukup
sederhana, disebut rincikan dan dilakukan oleh pegawai desa. Dalam pada pekerjaan kelasiran di
lapangan langsung diikuti oleh pekerjaan rincikan (repartisi) oleh para juru-rincik, ialah
pengukuran luas bidang tanah guna menetapkan perincian besarnya masing-masing bidang
tanah dalam suatu persil atas nama pemiliknya. Seperti diketahui, ketetapan pajak tanah
dilakukan persil demi persil (perceelsgewijze aanslag), sedang sebuah persil landrente dapat
meliputi belasan atau beberapa puluh bidang tanah.
Dengan demikian, setelah obyek tersebut dikelompokkan per persil, maka subyek pajak
perorangan dapat dijangkau dengan survey yang kedua yang memberikan data yang tepat,
seperti nama pemilik tanah dan ukuran tanahnya sebagai tambahan informasi dan dimasukkan
dalam suatu daftar buku tanah desa yang biasa dinamakan Letter C (Register C) yang disimpan di
kantor desa2.
Hasil ukuran rincikan berupa data luas dan nama pemilik satu per satunya bidang tanah,
bersama tarif-tarif pajak per hektar seperti disebut diatas, merupakan dasar bagi pekerjaan akhir
dari pembaharuan, ialah pembukuan pajak tanah berupa pembuatan buku/daftar pengenaan
pajak tanah desa demi desa sebagai unit tata usaha pengenaan pajak.
Pengenaan pajak tanah desa demi desa tersebut menghasilkan pembukuan pajak tanah
berupa pembuatan buku/daftar sebagai unit tata usaha pengenaan pajak, yang terdiri atas : 3
a. Daftar dasar (legger) model huruf A, berisikan luas tanah dan perhitungan pajak per persil
tanah sawah dan darat, sebagai pokok ketetapan pajak dari masing-masing desa;
b. Buku kohir (model huruf) B, memuat perincian luas tanah dan ketetapan pajak per bidang
tanah serta nomor dan nama wajib pajak dari masing-masing persil. Kohir B disusun dari
Buku Rincikan hasil repartisi dan merupakan perincian dari daftar A;
c. Buku register (model huruf) C, dimana tercatat data luas dan ketetapan-ketetapan pajak dari
berbagai bidang tanah atas nama masing-masing wajib pajak sedesa. Buku C disusun dari

1
Rochmat Soemitro, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944, N.V. Eresco, Bandung,1961, hal. 148.
2
Azhari A. Samudra, Perpajakan di Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1995, h. 6
3
Sa’ban, R., Pajak Bumi Di Indonesia Dari Masa Ke Masa – Sejarah Lahir dan Perkembangannya, cet. 1, Penerbit Yayasan
Bina Artha, Jakarta, 1988, hal. 98-99.

3
Buku Carakan (yang memuat nomor urut dan dan nama wajib pajak, yang disusun
berdasarkan abjad) dan Buku B. Buku register (model huruf) C inilah yang biasa disebut
masyarakat pada umumnya sebagai buku Letter C Desa;
d. Petuk (model huruf) D, sebagai pemberitahuan/ ketetapan pajak atas nama masing-masing
wajib pajak, merupakan petikan dari Buku C, walaupun dalam prakteknya dibuat lebih dahulu
dari pada buku C. Surat model ini biasa disebut masyarakat pada umumnya dengan nama
Kekitir, Petok D, atau Girik.
e. Daftar pengumpulan pajak (model huruf) E, berisi himpunan jumlah-jumlah ketetapan pajak
tanah sawah/darat per desa se Kawedanan, dihimpun dari daftar A dan dijadikan lampiran
dari surat keputusan ketetapan pajak tanah;
f. Buku pemungutan pajak (model huruf) F, memuat nama dan jumlah hutang pajak masing-
masing wajib pajak sedesa, digunakan untuk mencatat pembayaran-pembayaran (angsuran)
pajak.
Perangkat buku/daftar pembukuan pajak tanah tersebut setelah siap, dengan dilengkapi
peta-peta desa dan risalah Kawedanan/Kabupaten dilimpahkan kepada Kantor Cabang Pajak
Tanah yang bersangkutan untuk dikelola ketetapan pajaknya tiap tahun selama masa pajak 10
tahun berjalan. Buku C dan Daftar F disertai salinan peta desa diserahkan kepada desa masing-
masing, sedangkan petuk D dibagikan kepada para wajib pajak. Selama masa pajak 10 tahun
berjalan, daftar A dan buku B dipelihara tiap tahun dengan (dimana perlu) membuat daftar A dan
buku B tambahan. Buku C dan petuk D disesuaikan terus-menerus dengan mutasi tanah yang
terjadi berdasarkan daftar (wira-wiri) Rapat Minggon, sedang daftar E dan buku F dibuat untuk
tiap tahun pajak.
Jadi, dalam menentukan apakah suatu persil atau bidang-bidang tanah merupakan tanah
hak milik adat, tidak bisa hanya semata-mata didasarkan kepada Peta Desa produk TopDam saja,
namun harus didukung dan sinkron dengan data yang ada pada Kantor PBB yang bersangkutan.

 Pekerjaan Topografische Dienst (sekarang TopDam) hanya sebatas sampai dengan


selesai dibuatnya PETA DESA kedar 1 : 5000.
 Peta Desa buatan TopDam tersebut hanya memuat nomor-nomor persil saja dan
informasi terestris, tidak menyebut status tanah maupun kepemilikannya.
 Setelah pembagian persil-persil oleh Top Dienst yang kemudian digambarkan dalam
Peta Desa dimaksud, maka tugas menentukan klas tanah dan siapa pemiliknya
(pekerjaaan repartisi) yang melakukan adalah Jawatan Pajak Bumi (Landrente)
bersama dengan aparat Desa.
 Pengenaan pajak tanah desa demi desa tersebut menghasilkan pembukuan pajak tanah
berupa pembuatan buku/daftar sebagai unit tata usaha pengenaan pajak (Daftar A s.d.
Daftar F). Perangkat buku/daftar pembukuan pajak tanah tersebut dengan dilengkapi
peta-peta desa dan risalah Kawedanan/Kabupaten dilimpahkan kepada Kantor
Cabang Pajak Tanah yang bersangkutan
 Dengan demikian : Informasi tentang kepemilikan tanah dalam suatu persil harus
dapat dirujukkan ke dokumen administrasi perpajakan yang ada di Kantor PBB
setempat. (Peta Desa/TopDam, Letter C Desa, Girik/Kikitir dengan dokumen yang ada
di Kantor PBB setempat (dahulu KDL Ipeda).

Status Hukum Girik


Atas sengketa pertanahan yang didasarkan pada bukti hak berupa surat girik dan berujung
di Pengadilan, maka dapat ditemukan beberapa putusan Mahkamah Agung yang telah
berkekuatan hukum tetap (Yurisprudensi), yang memberikan status hukum terhadap bukti
berupa surat Girik, antara lain :

4
1. Putusan MA Nomor 34 K/Sip/1960, tanggal 3 Pebruari 1960 : bahwa surat pajak bumi bukan
merupakan suatu bukti mutlak, bahwa sawah sengketa adalah milik orang, yang namanya
tercantum dalam petuk pajak bumi tersebut.
2. Putusan PN Ciamis dalam perkara No. 43/1966/Sip.Cms, tanggal 11 Mei 1967, dikuatkan oleh
MA tanggal 13 Maret 1971 Nomor 767 K/Sip/1970. Bahwa surat ketetapan pajak bukan
merupakan tanda bukti yang mutlak karena sering terjadi bahwa pada surat ketetapan pajak
masih tetap tercantum nama pemilik tanah yang lama padahal tanahnya sudah menjadi milik
orang lain.
3. Putusan PT Bandung dalam perkara No. 178/1971/Perd/PTB, tanggal 3 Juni 1972, dikuatkan
oleh MA tanggal 11 Juli 1973 Nomor 393 K/Sip/1973. Bahwa surat-surat kikitir tidak
merupakan bukti yang menguatkan adanya hak milik, tetapi hanya dinilai sebagai tanda
pembayaran pajak saja.
Surat ketetapan pajak hanya merupakan tanda pembayaran dan tidak memberikan jaminan
bahwa nama orang yang tercantum di dalamnya adalah pemiliknya (PN Pandeglang tgl. 15
September 1969, no. 24/1969/Perd. Pdg.; PT Bandung tgl 20 Pebruari 1971, nomor 54/197-
/Perd/PTB; M.A. tgl. 6 Oktober 1971, nomor 775 K/Sip/1971

PERKEMBANGAN ADMINISTRASI PAJAK ATAS TANAH SETELAH DIBERLAKUKANNYA UU


PBB (UU No. 12 tahun 1985)
Sebelum diberlakukannya UU Nomor 12 tahun 1985, dalam pengadministrasian Pajak hasil
bumi/IPEDA antara lain dikenal formulir pembukuan data PBB berupa: buku A (daftar pokok
pajak), buku B (daftar perincian pajak), buku C (daftar himpunan ketetapan pajak), blangko
girik/petok D (daftar keterangan objek pajak untuk ketetapan pajak).
Dengan diberlakukannya UU PBB, maka formulir yang dipergunakan adalah:
1. Surat Pemberitahuan Objek Pajak individu/kolektif (Lampiran Kep.Menkeu Nomor
1006/KMK.04/1985)
2. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (Lampiran Kep.Menkeu Nomor 19/KMK.04/1986)
3. Register Desa (KP. PBB-36);
4. Buku Carakan/Abjad (KP. PBB-37);
5. Pokok Pajak Bumi dan Bangunan (KP. PBB-38);
6. Daftar Perincian Pajak Bumi dan Bangunan (KP. PBB-39);
7. Himpunan Ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan (KP. PBB-40);
8. Daftar Keterangan obyek Pajak Untuk Ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan (KP. PBB-41).
Dijelaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE–62/PJ.7/1988 tentang
penggunaan nama (penyebutan) formulir pembukuan bahwa :
 KP. PBB-38 disamakan dengan buku A
 KP. PBB-39 disamakan dengan buku B
 KP. PBB-40 disamakan dengan buku C
 KP. PBB-41 disamakan dengan girik/petok D 1
Dengan diberlakukannya ketentuan yang baru maka dalam rangka kadaster pajak juga
dilakukan upaya pembaharuan data PBB. Ketentuan pembaharuan data PBB tersebut diatur
sebagai berikut (Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-96/PJ.7/1987 tentang Tata Cara
Pendataan/Pembaharuan Data Pajak Bumi dan Bangunan):
1. Pembaharuan Data PBB untuk jenis obyek pajak Perkebunan, Perhutanan dan
Pertambangan ataupun obyek-obyek lain yang bersifat khusus seperti Jalan Tol, Bandar

5
Udara (Angkasa Pura) dan sebagainya, dilaksanakan dengan memberikan SPOP kepada
subyek pajak yang bersangkutan.
2. Untuk obyek pajak eks IPEDA sektor Perkotaan pada umumnya dapat dilaksanakan dengan
memberikan Surat Pemberitahuan Objek Pajaka (SPOP) kepada subyek pajaknya. Namun
mengingat jumlah subyek/obyek pajak yang demikian banyak serta dengan sifat-sifat yang
heterogen, maka pendataan/pembaharuan data PBB dapat dilaksanakan pula dengan jalan
pemetaan dan pengukuran obyek pajak/rincikan objek pajak.
3. Untuk tanah eks IPEDA sektor Pedesaan, pembaharuan datanya tetap dilaksanakan dengan
cara Klasiran Praktis sesuai Pedoman Klasiran Praktis (Vide : SE-01/PJ.7/1984 tanggal 4
Januari 1984). Dalam pelaksanaannya dibuatkan lebih dahulu Peta Ikhtisar kelurahan/Desa
yang terbagi menjadi persil-persil Sawah (S) dan Darat (D) lengkap dengan nomor-nomor
persil. Pembukuan dari hasil pembaharuan data ini berupa Register Desa, Buku A, Buku B.
Buku Abjad/Carakan, Buku C dan lain-lain.
4. Mengingat banyaknya subyek pajak eks IPEDA, serta kemampuannya untuk mengisi SPOP,
maka dibuat bentuk formulir SPOP kolektif. Sistem pembukuan PBB tersebut selanjutnya
diubah dengan komputerisasi melalui aplikasi SISTEP (Sistim Tempat Pembayaran) yang
dimulai tahun 1990 s/d tahun 1993.
Langkah awal yang dilakukan adalah dengan melakukan perekaman data (hasil rekaman
dicetak pada DHR dan divalidasi). Sistem ini mengganti formulir pembukuan data PBB yang
diadministrasikan sebelumnya secara manual. Hasil Keluaran berupa Surat Pemberitahuan Pajak
Terhutang (SPPT), Surat Tanda Terima Setoran (STTS), Daftar Hasil Rekaman (DHR) dan Daftar
Himpunan Ketetapan Pajak (DHKP) dicetak secara otomasi.
Namun demikian, meskipun telah terbentuk SISTEP, Kantor Pelayanan PBB masih
menerbitkan Girik/Petuk D/Kekitir/Keterangan Objek Pajak (KP.PBB 41). Pada kenyataannya
sampai saat tersebut masih banyak Kepala KP.PBB yang menerbitkan Girik/Petak
D/Kekitir/Keterangan Obyek Pajak (KP.PBB 41) atau salinannya atas permintaan perseorangan
atau badan yang akan digunakan oleh yang bersangkutan sebagai alat pembuktian hak atas tanah.
Dan hal ini telah banyak menimbulkan masalah dan mengganggu tugas pokok KP.PBB.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka diterbitkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-
15/PJ.6/1993 tentang Larangan Penerbitan Girik/Petuk D/Kekitir/Keterangan Objek Pajak
(KP.PBB 41). Apabila masyarakat memerlukan pelayanan yang berhubungan dengan penentuan
status hukum/hak atas tanah disarankan agar menghubungi Kantor Pertanahan setempat, sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun
1962 tanggal 1 Agustus 1962, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: SK.26/DDA/1970
tanggal 14 Mei 1970 juncto Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor: Reg. 34.K/Sip/1960 tanggal
10 Februari 1960.

KESIMPULAN
1. Girik/Pipil/Kikitir/Petok D adalah kutipan dari Buku Letter C Desa yang diberikan kepada
setiap wajib pajak guna kepentingan pembayaran pajak Tanah.
2. Kepemilikan bukti Girik/Pipil/Kikitir/Petok D harus dapat dirujukkan kepada Buku Letter C
Desa dan data yang ada pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP-PBB)
setempat.
3. Pengenaan pajak atas tanah pada masa berlakunya Undang-Undang Pajak Hasil Bumi 1959
hanya dikenakan pada tanah-tanah hak Milik adat, setelah berlakunya ketentuan IPEDA
maka pengenaan pajak diterapkan pada semua tanah yang dimiliki/dikuasai dengan hak-hak
sesuai UUPA yang menurut ketentuan Undang-Undang tanah-tanah tersebut dikenakan
IPEDA.

6
4. Berdasarkan beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung yang telah diuraikan di atas,
Girik/Pipil/Kikitir/Petok D bukan bukti kepemilikan tanah.

SARAN
1. Apabila terdapat klaim terhadap kawasan hutan berdasarkan Girik/Pipil/Kikitir/Petok D,
agar dilakukan pencermatan dalam dokumen penguasaan kawasan hutan Perhutani (SK
Penunjukan Gubernur Jenderal/Aanwijzing Besluit, BATB/Proces Verbal van Grensregeling,
khususnya pada Nota Penjelasannya/Nota van Toelicting yang terdapat pada bagian
belakang BATB); apakah secara historis pernah ada pemasukan tanah hak milik
adat/masyarakat yang dimasukkan ke dalam kawasan hutan?.
2. Koordinasikan dengan Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP-PBB) setempat
apakah dalam Peta wilayah yang digunakan sebagai data awal administrasi pemungutan
pajak bumi dan bangunan oleh Kantor PBB memang terdapat tanah milik masyarakat di
kawasan hutan yang diklaim/disengketakan, lalu hubungkan dengan Nota van Toelichting
yang terdapat pada BATB.

Jakarta, Agustus 2018


Kadiv Hukum & Kepatuhan

Bambang Eko Supriyadi

Anda mungkin juga menyukai