Identitas Buku
The giver berkisah tentang seorang anak laki-laki berumur 12 tahun yang
bernama Jonas. Jonas merupakan anak ke sembilan belas yang dilahirkan pada
tahunnya. Jonas hidup di dunia yang sempurna. Semuanya terkendali dan teratur. Tak
ada perang, kelaparan, ketakutan, atau kesakitan. Juga tak ada yang namanya
pilihansemua sudah diatur oleh para tetua komite. Dalam Komunitas semua orang
memiliki kehidupan yang ‘sama’. Semua orang memiliki peran di Komunitas. Jonas
tinggal di sebuah Komunitas bersama Ayah dan Ibu serta Lily, adik perempuannya yang
hampir berusia tujuh tahun. Ayah dan Ibu Jonas bukanlah Ayah dan Ibu kandung,
melainkan sepasang pria dan wanita yang dipilih Komite untuk membentuk sebuah
unit keluarga. Selain menentukan pasangan, para Komite di Komunitas juga mengatur
dan menentukan anak-anak yang dilahirkan oleh ibu kandung agar dapat dirawat oleh
satu unit keluarga.
Asher adalah anak yang humoris, sedikit ceroboh namun sigap. Seringkali Asher
berbicara terlalu cepat dan mengacak kata-kata sehingga nyaris tidak dapat dikenali
dan sering kali terdengar lucu. Jonas dan Asher sering menghabiskan waktu bersama,
seperti bermain lempar tangkapJonas tidak terlalu tertarik dengan permainan
lempar tangkap, malah terkadang Jonas merasa bosanyang disukai oleh Asher,
karena berguna untuk melatih ketangkasannya. Namun Jonas merasa aneh ketika buah
apel yang digunakannya sebagai objek untuk bermain lempar-tangkap berubah. Jonas
tidak mengerti hal aneh yang berubah pada buah itu ketika melayang di udaraketika
dilempar oleh Asher.
Akhirnya Jonas dan Sang Pemberi merencanakan sesuatu, namun rencana itu
gagal ketika Jonas mengetahui bahwa Gabrielseorang anak baru yang tinggal di
rumah Jonas untuk di rawatakan dilepaskan. Jonas bersama Gabriel pergi
meninggalkan Komunitas menuju Tempat Lain.
Buku-buku distopia selalu memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri dalam
menarik perhatian pembaca, tapi ada beberapa poin penting yang membuat The Giver
menarik. Dimulai dari covernya yang sederhana namun sarat akan makna, tebal
bukunya yang tipis untuk seukuran buku bergenre distopia, dan ide ceritanya yang
cukup menarik. Jika kebanyakan buku-buku yang bergenre distopia memiliki halaman
yang cukup banyak, berbeda dengan The Giver. Lowry banyak menggunakan gaya
penceritaan yang didominasi dengan ‘tell’ ketimbang ‘show’. Lowry lebih sering
memaparkan dan menceritakan apa saja yang dilakukan oleh tokoh-tokohnya dengan
bahasa yang sederhana, tidak mempertontonkan pembacanya untuk menebak, apa
yang akan dilakukan tokohnya. Mungkin inilah alasan, mengapa The Giver sendiri
cukup tipis. Lowry banyak menceritakan keadaan dunia yang ditempati Jonas dengan
cukup sederhana. Detail namun sederhana, cukup untuk membuat para pembaca
dapat membayangkan seperti apa dunia yang ditinggali oleh Jonas.
Ide cerita The Giver sendiri berawal dari pemikiran Lowry mengenai
pengalamannya di masa lalu. Disebutkan dalam ulasan di akhir buku tentang seorang
Lois Lowry yang perlu berjalan kembali ke masa lalu, ketika dirinya hanyalah seorang
gadis berumur sebelas tahun. Seorang gadis dalam lingkungan asing yang mencoba
menarik kesimpulan dari setiap bayangan yang ada di dalam benaknya ketika di Jepang
dulu. The Giver pun dibuka dengan sebuah ketenangan yang menakjubkan. Dengan
sebuah latar Komunitas yang menghargai setiap persamaan. Seperti kebanyakan novel
distopia lainnya, dengan sederet peraturan yang mengekang setiap penghuni
Komunitasnya. Darisanalah Lowry mencoba memilah setiap kebaikan dan keburukan
yang berdampak dibalik sebuah kesamaan. Bagaimana kesamaan membuat semuanya
menjadi lebih aman. Segalanya terasa lebih bahagia. Terlepas dari hal itu, Lowry
menghadirkan tokoh Jonas, yang mirip dengan dirinya kala berumur sebelas tahun.
Dengan banyak rasa keingintahuan dan ingin merasakan perbedaan.
Namun, ada kalanya The Giver membuat pembacanya masuk ke dalam zona
jenuh. Dengan banyak penjelasan di awal, kemudian terkesan terburu-buru ketika
mengakhirinya. Tetapi, menurut saya, masih bagus. Buku ini memiliki makna untuk
menikmati hidup. Menikmati semua perasaan dan warna-warna yang ada di dunia.
Menikmati adanya perbedaan dan menghargai sebuah pilihan.
Hal yang menarik pada The Giver selain ide ceritanya, ada pada diri Jonas.
Karakter Jonas yang dibentuk Lowry adalah seorang jelmaan anak muda yang penuh
rasa ingin tahu dan keberanian yang besar. Bagian yang saya suka adalah ketika Jonas
tahu, jika ada beragam warna yang ada di dunia. Dimana warna dapat menciptakan
perbedaan. Dan perbedaan membuat kita bisa memilih.
Gaya Lowry dalam menjelaskan memori masa lalu yang di transfer oleh Sang
Pemberi dijelaskan dengan sangat sederhana, hingga membuat pembaca dapat
mengerti dengan mudah dan masuk ke dalam ceritanya. Kisah ini memiliki alur yang
lambat tapi menghanyutkan. Diakhiri juga dengan ending yang bagus. Tanpa kepastian,
membuat pembaca dibiarkan menebak apa yang terjadi selanjutnya.
Kekurangan novel ini tidak banyak, menurut saya. Ada sedikit typo dan salah
ketik, namun hal ini tidak terlalu mengganggu jalan ceritanya. Selain itu, gaya
penceritaan Lowry yang banyak menggunakan ‘tell’ membuat beberapa bagian terasa
membosankan dan mudah ditebak. Namun secara keseluruhan, buku ini sangat layak
untuk dibaca para remaja.
Kesimpulan
Novel The Giver ini sangat cocok dibaca oleh kalangan remaja maupun dewasa.
Novel ini sarat akan makna tentang kehidupan dan perbedaan. Selain itu, kesamaan
dan keteraturan yang berlebihan ternyata tidak selamanya baik. Novel ini juga
memberikan kekuatan untuk para pembacanya, untuk mengungkapkan kemunafikan
manusia, meruntuhkan kebohongan, dan merasakan kebebasan setelahnya.
UNSUR INTRINSIK
Penokohan:
Jonas: Sosok yang selalu ingin tahu, polos, sopan, pemikir yang pintar, dan
berani.
Sang Pemberi: Digambarkan sebagai sosok yang baik dan bijaksana serta kuat
menanggung kesengsaraan dan kenikmatan kehidupan sekaligus.
Gabriel : seorang anak balita yang dirawat oleh keluarga Jonas.
Orang-orang di Komunitas
Latar:
Amanat: Kita harus menikmati kehidupan yang walaupun penuh akan kepedihan, rasa
sakit, penderitaan, namun juga dihiasi dengan warna, cinta, musik, kasih sayang,
kebahagiaan, dan keluarga.
UNSUR EKSTRINSIK
Nilai Moral: Kita harus bersikap bijaksana seperti yang dicontohkan oleh Sang Pemberi.
Kita juga harus bersikap pantang menyerah dan berani seperti yang dicontohkan oleh
Jonas pada saat ia membawa dirinya dan Gabriel dengan penuh harapan menuju
Tempat Lain.
Nilai Sosial: Kita harus peduli sesama seperti yang dicontohkan oleh Jonas—yang
dengan caranya sendiri, berusaha memberikan ingatan akan warna, kebahagian,
kepada teman-temannya—dan, kita juga tidak boleh egois dan hanya menyimpan
kebahagian untuk diri kita sendiri. Selain itu, kita juga harus bersikap sopan terhadap
orang lain.