Anda di halaman 1dari 10

A.

Pengertian Inklusif
Inklusif berasal dari Bahasa Inggris “inclusive” yang artinya “termasuk di
dalamnya”.Secara istilah berarti menempatkan dirinya ke dalam cara pandang orang lain/
kelompok lain dalam melihat dunia, dengan kata lain berusaha menggunakan sudut
pandang orang lain atau kelompok lain dalam memahami masalah. Dalam
perkembangannya istilah tersebut meluas digunakan untuk membangun sikap dalam
beragama sehingga melahirkan pluralisme beragama (semua agama memiliki kebenaran
yang sama) karena dilatarbelakangi konflik-konflik agama.

Jika dibedah dengan cermat, sikap inklusif dan eksklusif pada dasarnya adalah cara
seseorang memandang perbedaan yang ada. Sikap inklusif cenderung memandang positif
perbedaan yang ada, sedangkan sikap eksklusif cenderung memandang negatif perbedaan
tersebut. Dampak memandang positif perbedaan adalah memunculkan dorongan/ motivasi
untuk mempelajari perbedaan tersebut dan mencari sisi-sisi universalnya guna memperoleh
manfaat yang menunjang hidup/ cita-citanya. Sikap positif terhadap perbedaan lahir karena
adanya kesadaran bahwa perbedaan adalah fitrah/ alamiah, sehingga tidak menolak
perbedaan melainkan mengakui adanya potensi persamaan-persamaan yang bersifat
universal.

Islam inklusif merupakan suatu paham keberagamaan yang didasarkan pada


pandangan bahwa agama-agama lain yang ada di dunia ini sebagai yang mengandung
kebenaran dan dapat memberikan manfaat serta keselamatan bagi penganutnya. Di
samping itu, ia tidak semata-mata menunjukkan pada kenyataan tentang adanya
kemajemukan (pluralis), melainkan keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan
tersebut.

Dan Islam yang inklusif adalah rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam)
teologi tersebut adalah pilar moderatisme Islam. Di sini, ajaran Islam tidak diarahkan
kepada eksklusifisme seperti membenci agama lain, merendahkan non-muslim, atau
memusuhi dan menggunakan kekerasan dalam menyiarkan kebenaran, bahkan Islam
inklusif menyiarkan toleransi beragama dan juga kerja sama. Perbedaan agama tidak
menjadi penghalang untuk berinteraksi dan aksi.
B. Konsep Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang terbuka dan ramah terhadap
pembelajaran dengan mengedepankan tindakan menghargai dan merangkul
perbedaan. Untuk itu, pendidikan inklusif dipahami sebagai sebuah pendekatan yang
berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan yang dapat
menghalangi setiap individu siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan yang
dilengkapi dengan layanan pendukung.

Tujuan pendidikan inklusif adalah:

1. Memastikan bahwa semua anak meiliki akses terhadap pendidikan yang teerjangkau
efektif, relevan dan tepat dalam wilayah tempat tinggalnya.
2. Memastikan semua pihak untuk menciptakan linhkungan belajar yang kondusif agar
seluruh anak terlibat dalam proses pembelajaran. Jadi inklusif dalam pendidikan
merupakan proses peningkatan partisipasi ssiwa dan mengurangi keterpisahannya dari
budaya, kurikulum dalam komunitas sekolah setempat.
Prinsip pendidikan inkludif:

1. Pendidikan yang ramah. Lingkungan pembelajaran yang ramah berarti ramah


terhadap peserta didik dan pendidik, yaitu anak dan guru belajar bersama sebagai suatu
komunitas belajar, menempatkan anak sebagai pusat pembelajaran, mendorong
partisipasi anak dalam belajar, dan guru memiliki minat untuk memberikan layanan
pendidikan yang terbaik.
2. Mengakomodasi kebutuhan. Mengakomodasi kebutuhan setiap peserta didik
merupakan salah satu upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Oleh karenanya,
diharapkan sekolah penyelenggara harus dapat mengakomodasi kebutuhan setiap
peserta didik dengan cara sebagai berikut: (a) memerhatikan kondisi peserta didik,
yaitu kemampuan dan kebutuhan yang berbeda-beda serta gaya dan tingkat belajar
yang berbeda; (b) menggunakan kurikulum yang fleksibel; (c) menggunakan
metodologi pembelajaran bervariasi dan pengorganisasian kelas yang bisa menyentuh
pada semua anak dan menghargai perbedaan; (d) memanfaatkan lingkungan sekitar
sebagai sumber belajar; dan (e) melakukan kerja sama dengan berbagai pihak yang
terkait.
3. Mengembangkan potensi peserta didik seoptimal mungkin. Sekolah Inklusif
berupaya memberikan pelayanan pendidikan seoptimal mungkin, agar peserta didik
yang memiliki hambatan dapat mengatasi masalahnya dan dapat mengikuti proses
pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
C. Desain pembelajaran pendidikan agama islam inklusif
Wujud faktual bangsa Indonesia yang majemuk menuntut sikap toleran yang tinggi
dari setiap anggota masyarakat. Sikap toleran dapat dibangun atas dasar saling pengertian
antar pihak yang berbeda. Kemudian sikap saling pengertian hanya dapat ditumbuhkan
apabila komunikasi di antara mereka dapat terwujud dengan bebas dan intens. Atas dasar
itu, komunikasi adalah kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap komponen bangsa
apabila kita ingin membangun Indonesia yang damai.

Pemahaman agama secara eksklusif akan berdampak kepada sikap peserta didik
dalam memandang pluralitas. Mereka hanya melihat sisi kebenaran hanya ada dalam
kelompoknya. Peserta didik akan anti terhadap perbedaan di luar kelompoknya, dan sering
kali merambat pada ranah sosial, politik dan ekonomi. Akibatnya, mereka tidak mau
bekerja sama dengan kelompok lainnya dalam ranah tersebut, karena terbiasa oleh idiologi
atau pemahaman keagamaan yang eksklusif.

Terkait desain pembelajaran pendidikan agama islam kontemporer inklusif pada


prose pendidikan maka terdapat beberapa aspek yaiyu:

1. Aspek Guru
Guru dalam pandangan Islam adalah seorang pribadi yang mempunyai kecakapan
ilmu dan profesional dalam menjalankan proses pembelajaran. Guru dalam hal ini
mempunyai fungsi sebagai transformator gagasan dan pengetahuan dengan cara yang
bermakna dan membebaskan. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik, pada jalur pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah. Guru dalam konteks Islam, guru adalah pribadi yang
memiliki empat kompetensi yaitu komptensi personal, paedagogik, sosial dan profesional.

Guru memberikan peluang seluas-luasnya pada siswa untuk berpikir kritis, kreatif
dan memproduksi pengetahuan baru, tidak menghafal secara normatif dan tekstual. Guru
dengan berbagai strategi dan metode yang terbuka, membebaskan dan menyenangkan.
Guru yang mampu memotivasi siswa untuk terus belajar dan membaca. Guru memberikan
kebebasan pada siswa untuk berbeda pendapat dan mencari gagasan baru diluar gagasan
yang ada. Guru juga memberikan inspirasi kepada siswa untuk terus berkarya dan
berproses menuju sebuah kemajuan dan kesuksesan.

Guru yang mengembangkan nilai-nilai Islam inklusif adalah guru yang


membebaskan dan memerdekakan. Guru yang memposisikan subjek didik sebagai manusia
merdeka dan memiliki potensi hingga pembelajaran memberi ruang yang seluas-luasnya
bagi subjek didik untuk berkembang secara maksimal. Guru harus bersifat demokratis dan
transformatif dalam mengembangkan bahan ajar yang tidak terpaku pada kurikulum yang
baku dan statis, namun guru dalam konteks ini mampu menjadikan sesuatu yang ada di
sekelilingnya sebagai sumber belajar, singkatnya semua yang ada di alam ini bisa dibuat
sebagai sumber belajar. Guru yang memberikan kemerdekaan sepenuhnya pada peserta
didik untuk berkembang dan berikap kritis sesuai dengan ajaran Islam. Guru harus mampu
membentuk kesadaran kritis peserta didik untuk bisa menghargai perbedaan yang terjadi
di tengah masyarakat majemuk. Guru yang menghargai pluralitas dan toleransi antar umat
beragama. Guru yang tidak fanatik pada suatu paham atau aliran tertentu. Guru harus
berdiri di semua golongan masyarakat.

2. Aspek peserta didik


Dilihat dari segi kedudukannya peserta didik adalah makhluk yang sedang berada
dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka
memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal ke
mampuan fitrahnya.
Dalam pandangan yang lebih modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai
objek atau sasaran pendidikan sebagaimana disebut di atas, melainkan juga harus
diperlukan sebagai subjek pendidikan. Dalam pandangan Islam hakikat ilmu berasal dari
Allah. Sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru karena
ilmu berasal dari Allah, maka membawa konsekuensi perlunya anak didik mendekatkan
diri pada Allah atau menghiasi diri dengan akhlak mulia yang disukai Allah, dengan
sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang tidak disukai Allah . Karena seorang pelajar
yang ingin mendapatkan ilmu itu memerlukan bimbingan, pengarahan dan petunjuk dari
guru, maka muncul pula etika pergaulan yang baik yang harus dilakukan oleh seorang
murid kepada gurunya.
Dalam paradigma Islam inklusif peserta didik dipandang sebagai individu yang
memiliki potensi untuk berpikir kritis dan memiliki kepedulian sosial. Bebas berpendapat
dan bereksplorasi untuk menemukan pengetahuan dengan bahasanya sendiri tanpa ada
paksaan. Dengan demikian peran peserta didik sangat dihormati dalam konteks dia
manusia yang mempunyai potensi dan kecerdasan bawaan.
3. Aspek Kurikulum Pendidikan Islam
Pendidikan tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya kurikulum. Kurikulum
dalam pendidikan Islam yang inklusif dapat terlihat dalam dua aspek yaitu:
a. Materi
Gagasan paradigma Islam inklusif kaitannya dengan pendidikan adalah adanya
bahasan khusus yang terkait dengan hak minoritas khususnya minoritas dalam
kehidupan sosial beragama. Hal ini penting karena Indonesia adalah negara majemuk
yang terdiri dari berbagai etnis, budaya, dan agama yang berbeda. Kesadaran
menghormati minoritas merupakan keharusan untuk menciptakan kondisi yang aman
dan damai sesuai ajaran agama. Materi selanjutnya adalah mengenai hak-hak
nonmuslim karena seperti yang telah diketahui bahwa di Indonesia terdapat banyak
penganut agama selain agama Islam. Nonmuslim mempunyai hak yang sama untuk
bisa hidup damai dan berdampingan dengan umat lain. Pendidikan Islam harus
mmberikan bahasan materi yang terkait dengan hak-hak nonmuslim yang adil sesuai
prinsip demokrasi Islam.
b. Evaluasi
Rangkaian terakhir dari proses pendidikan adalah evaluasi, tak terkecuali pada
proses pendidikan Islam. Berhasil atau tidaknya pendidikan Islam dalam mencapai
tujuannya dapat dilihat setelah dilakukan evaluasi terhadap output yang dihasilkan. Jika
hasilnya sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam tujuan pendidikan Islam, maka
usaha pendidikan itu dapat dinilai berhasil, tetapi jika sebaliknya dinilai gagal. Dari sisi
ini dapat dipahami betapa urgennya evaluasi dalam proses pen didikan Islam.Pada
umumnya evaluasi berjalan satu arah yaitu evaluasi hanya dilakukan pada siswa dengan
memberi nilai sementara.
Sesuai dengan paradigma Islam inklusif siswa mempunyai hak untuk
membahasakan pengetahuan dengan bahasanya sendiri, kritis dan terbuka terhadap
berbagai perbedaan. Siswa adalah pribadi yang kreatif dan mempunyai ide-ide baru
untuk mengembangkan kritik pengetahuan terhadap pengetahuan yang konvensional
yang otoritatif dan doktriner. Oleh karena itu evaluasi dilakukan tidak hanya pada siswa
tetapi juga pada guru dan seluruh stakeholder sekolah agar tidak ada dominasi. Sebab
pendidikan merupakan seluruh satuan yang saling bekerjasama, mengevaluasi,
membangun untuk bekerjasama.

4. Aspek Metode
a. Metode Dialog

Dialog atau hiwar adalah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih
mengenai suatu topik mengarah kepada suatu tujuan. Hiwar mempunyai dampak yang
sangat dalam terhadap jiwa pendengar atau pembaca yang mengikuti topik percapakan
secara seksama dan penuh perhatian. Biasa meteode dialog ini di gunakan oleh Nabi
untuk memepengaruhi jiwa dan pikiran sahabatnya.

Dalam penerapan metode dialog dalam pembelajaran, pendidik dapat


mengaitkan hal-hal yang terjadi di sekitar dengan nilai-nilai religius. Pada setiap ada
momen yang tepat, maka hendaknya pendidik memulai pembicaraan dengan peserta
didik dengan sesuatu yang memancing rasa ingin tahunya dan memberikan kaitannya
dengan aspek ajaran Islam dan sejarah Islam. Dengan hal itu, terjadi dialog keilmuan
dan keimanan antara pendidik dan peserta didik yang dapat membentuk karakter
religius peserta didik dari aspek ilmu dan iman tersebut. Karena pada hakekatnya,
pembicaraan pendidik kepada peserta didik yang melibatkan emosional dengan rasa
ingin tahu peserta didik yang tinggi tersebut akan dapat mempengaruhi pikiran dan
sikapnya di kemudian hari.

b. Metode Deduktif

Metode pembelajaran induktif adalah sebuah pembelajaran yang bersifat


langsung tapi sangat efektif untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan
berpikir tingkat tinggi dan keterampilan berpikir kritis. Pada pembelajaran induktif
guru langsung memberikan presentasi informasi-informasi yang akan memberikan
ilustrasi-ilustrasi tentang topik yang akan dipelajari siswa, selanjutnya guru
membimbing siswa untuk menemukan pola-pola tertentu dari ilustrasi-ilustrasi yang
diberikan tadi.

Metode pembelajaran induktif dirancang berlandaskan teori konstruktivisme


dalam belajar. Pembelajaran ini membutuhkan guru yang terampil dalam bertanya
(questioning) dalam penerapannya. Melalui pertanyaan-pertanyaan inilah guru akan
membimbing siswa membangun pemahaman terhadap materi pelajaran dengan cara
berpikir dan membangun ide. Tingkat keefektifan model pembelajaran induktif ini,
sangat tergantung pada keterampilan guru dalam bertanya dan mengarahkan
pembelajaran, dimana guru harus menjadi pembimbing yang akan untuk membuat
siswa berpikir.
c. Metode Induktif
Pembelajaran deduktif adalah pembelajaran yang menerapkan penalaran dari
hal – hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian –
bagiannya yang khusus. Strategi deduktif ini merupakan pemberian penjelasan tentang
prinsip – prinsip isi pelajaran, kemudian dijelaskan dalam bentuk penerapannya atau
contoh- contohnya dalam situasi tertentu. Metode ini menjelaskan teori ke bentuk
realitas atau menjelaskan hal – hal yang bersifat umum ke yang bersifat khusus.
Pembelajaran deduktif merupakan imbangan yang sangat dekat bagi model
pembelajaran induktif. Keduanya dirancang untuk mengajarkan konsep dan
generalisasi, mengandalkan contoh dan bergantung pada keterlibatan guru secara aktif
dalam membimbing siswa. Perbedaan terletak pada urutan kejadian selama
pembelajaran, keterampilan berpikir, cara memotivasi dan waktu yang diperlukan serta
biasanya pada pembelajaran pendekatan deduktif seorang guru harus lebih aktif
daripada siswanya.
d. Metode Reflektif
Refleksi dalam pembelajaran dalah aktivitas pembelajaran berupa peilaian atau
umpan balik peserta didik terhadapa guru setelah mengikuti seranglaian proses belajar
mengajar dalam jangka waktu tertentu. Refleksi juga dapat diartikan sebagai ativitas
peserta didik yang berisi uangkapan perasaan, pesan dan kesan atas pemeblajaran yang
telah diikuti. Dalam melakukan kegiatan refleksi peserta didik tidak boleh di bawah
tekanan atau intimidasi guru. Peserta didik harus dipastikan benar-benar jujur dan
terbuka agar seluruh beban-beban pikiran yang menggangunya dapat tersalurkan
dengan baik dan aman.
5. Aspek Strategi
a. Promblem Based Learning
Menurut Barbara J. Duch (1996), Problem Based Learning (PBL) adalah satu
model yang ditandai dengan penggunaan masalah yang ada di dunia nyata untuk
melatih siswa berfikir kritis dan terampil memecahkan masalah, dan memperoleh
pengetahuan tentang konsep yang penting dari apa yang dipelajari.
PBL merupakan suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa dihadapkan pada
masalah autentik (nyata) sehingga diharapkan mereka dapat menyusun
pengetahuannya sendiri, menumbuh kembangkan keterampilan tingkat tinggi dan
inkuiri, memandirikan siswa, dan meningkatkan kepercayaan dirinya
Tujuan yang ingin dicapai oleh PBL adalah kemampuan siswa untuk berpikir
kreatif, analitis, sistematis, dan logis untuk menemukan alternatif pemecahan masalah
malalui eksplorasi data secara empiris dalam rangka menumbuhkan sikap ilmiah.
b. Contextual Teaching and Learning
Menurut Jonhson dalam Sugiyanto (2007) CTL adalah sebuah proses
pendidikan yang bertujuan untuk menolong para siswa melihat siswa melihat makna
didalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subyek-
subyek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa CTL adalah
konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkanya
dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
c. Afektif
Strategi pembelajaran afektif erat kaitannya dengan nilai (value) yang dimiliki
seseorang, yang sulit diukur, karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh
dari dalam. Sikap merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki. Maka pendidikan sikap
pada dasarnya adalah pendidikan nilai. Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam
pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris.
Dengan demikian pendidikan nilai melalui pembelajaran afektif pada dasarnya
merupakan proses penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan.Siswa dapat
berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan
dengan norma-norma agama yang berlaku.Pada pengajaran afektif sangat sulit diukur
karena masalah afektif ini bersifat kejiwaan. Pembelajaran afektif ini perlu dilakukan
pada mata pelajaran PAI karena dalam setiap materi pelajaran memiliki nilai yang
harus ditanamkan pada siswa yaitu nilai-nilai moral.
Penerapan pembelajaran afektif dilaksanakan sesuai dengan materi dan target
nilai yang akan ditanamkan kepada siswa. Melalui pembelajaran afektif siswa dibina
kesadaran emosionalnya melalui cara kritis rasional, melalui klarifikasi dan mampu
menguji kebenaran, kebaikan keadilan, kelayakan dan ketepatan. Pembelajaran afektif
pada mata pelajaran PAI dapat dilaksanakan oleh seorang guru dengan menggunakan
metode percontohan dan pengaplikasian materi pembelajaran melalui learning by
doing. Penerapan pembelajaran afektif akan berhasil baik apabila ada keterbukaan dan
kesediaan atau kesiapan para siswa dalam memberikan tanggapan setiap stimulus yang
diberikan guru. Melalui metode stimulus ini siswa akan menemukan jati dirinya
sehingga guru dapat memahami potret diri siswa itu sendiri.
Oleh karena itu, maka tugas utama guru adalah menjelajahi jenis ragam dan
tigkat kesadaran nilai-nilai yang ada dalam diri siswa melalui berbagai indikator,
meluruskan nilai yang kurang baik dan menangkal masuknya nilai yang naif dan
negatif, membina, mengembangkan dan meningkatkan nilai yang ada dalam diri siswa
baik kualitatif maupun kuantitatif, menanamkan nilai-nilai baru. Sehingga dalam
pembelajaran afektif akan mengantarkan terbentuknya akhlak mulia dalam diri setiap
siswa sehingga akan memudahkan bagi guru dan siswa dalam mencapai tujuan
pendidikan agama islam yaitu menjadi insan kamil.

Anda mungkin juga menyukai