Anda di halaman 1dari 60

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK) DI RS

PARU DUNGUS MADIUN

KARYA TULIS ILMIAH

DISUSUN UNTUK MEMENUHI PERSYARATAN DALAM

MENDAPATKAN GELAR DIPLOMA III FISIOTERAPI

Disusun oleh :

MUHAMMAD IHSAN

J1001500015

PROGRAM STUDI DIII FISIOTERAPI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2018
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK) DI RS
PARU DUNGUS MADIUN

KARYA TULIS ILMIAH

DISUSUN UNTUK MEMENUHI PERSYARATAN DALAM

MENDAPATKAN GELAR DIPLOMA III FISIOTERAPI

Disusun oleh :

MUHAMMAD IHSAN

J100150015

PROGRAM STUDI DIII FISIOTERAPI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2018
HALAMAN PERSETUJUAN

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS


PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK) DI RS
PARU DUNGUS MADIUN

Karya Tulis Ilmiah Ini Telah Disetujui Untuk Dipertahankan Dalam Sidang

Program Studi D3 Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Diajukan Oleh :

Nama : Muhammad Ihsan

NIM : J100 150 015

Telah Disetujui Oleh :

Pembimbing,

Farid Rahman, SST.FT., M.OR

NIDN. 0610019101

ii
HALAMAN PENGESAHAN KARYA TULIS ILMIAH

Dipertahankan Di Depan Tim Penguji Karya Tulis Ilmiah Program Studi DIII
Fisioterapi Dan Diterima Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam
Mendapatkan Gelar Diploma III Fisioterapi

Hari :

Tanggal :

Tim Penguji Karya Tulis Ilmiah

Nama Penguji Tanda Tangan

1. Farid Rahman, SST.FT., M.OR ( )

2. ( )

3. ( )

Disahkan Oleh

Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Dr. Mutalazimah, SKM., M.Kes


NIK/NIDN : 786/06-1711-7301

iii
MOTTO

 Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu terdapat kemudahan (Q.S. Al-

Insyirah ayat 5)

 Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia maka wajib baginya

memiliki ilmu, dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat

maka wajib pula baginya memiliki ilmu, dan barangsiapa menghendaki

keduanya maka wajib baginya memiliki ilmu (H.R. Turmudzi)

iv
PERSEMBAHAN

Puji syukur ku panjatkan kehadirat Allah SWT karrena atas segala karunia

kesehatan dan segala kenikmatan yang telah diberikan kepadaku sehingga dapat

menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini. Karya Tulis ini kupersembahkan kepada :

 Ibu yang telah memberikanku dukungan, semangat serta doa yang tiada henti

dipanjatkan kepada-Nya untukku untuk setiap perjuanganku.

 Kakak yang kusayangi yang selalu memberikan dukungan dan semangat

kepada adiknya yang menyusahkan ini baik secara moral maupun materil.

 Ayah tercinta yang telah jauh di sana yang hangat dekap tubuhnya tak bisa

lagi ku rasa yang kasar tangannya tak dapat lagi ku cium tapi ku yakin dia

selalu mendukung dan menyemangatiku.

 Seluruh dosen dan staff progdi Fisioterapi UMS.

 Seluruh sahabat dan teman-teman fisioterapi UMS angkatan 2015.

 Seluruh kerabat, rekan kerja, teman seperjuangan dan keluaraga besar HMP

Fisioterapi UMS.

 Seluruh teman-teman BEM FIK UMS 2018.

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur tiada henti terucap ke hadirat Allah subhanu wa ta’ala karena

atas segala limpahan rahmat, nikmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat

melaksanakan dan menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dengan lancar.

Karya tulis ini dengan judul “Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) di RS Paru Dungus Madiun” disusun

sebagai syarat utama untuk menyelesaikan program DIII Fisioterapi Universitas

Muhammadiyah Surakarta.

Dalam kesempatan ini penulis juga menghaturkan rasa terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Sofyan Hanif, M.Si., selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta.

2. Dr. Mutalazimah, SKM., M.Kes., selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Surakarta.

3. Isnaeni Herawati, S.Fis., M.Sc., selaku Kaprodi Fisioterapi Universitas

Muhammadiyah Surakarta.a

4. Bapak Farid Rahman SSTFT, M.OR selaku pembimbing Karya Tulis Ilmiah,

yang telah membimbing dan mengarahkan dalam penyusunan Karya Tulis

Ilmiah.

5. Ibu Mulatsih Nita Utami, AMF selaku pembimbing praktek klinis RS Paru

Dungus Madiun.

6. Staf dosen dan karyawan Universitas Muhammadiyah Surakarta Program Studi

Fisioterapi.

vi
7. Ibu, Ayah, besarta Kakak tersayang yang telah mendoakan serta mendukung

penulis dalam menyelesaikan KTI ini.

8. Rekan-rekanku mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta jurusan

Fisioterapi dan semua pihak yang telah membantu dalam menyusun Karya

Tulis Ilmiah ini yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari akan adanya kekurangan dan kesalahan yang disebabkan

oleh keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis, sehingga Karya Tulis

Ilmiah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan

kritik yang membangun dari berbagai pihak yang nantinya akan bermanfaat untuk

perbaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

Penulis juga berharap semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat

untuk menambah pengetahuan bagi pembaca dan kita semua.

Surakarta, Mei 2018

Penulis

vii
ABSTRAK
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS PENYAKIT PARU
OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK) DI RS PARU DUNGUS MADIUN
(Farid Rahman, SSTFT., M.OR, Muhammad Ihsan, 2018)

Latar Belakang: Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit
paru-paru kronis yang bersifat progresif, penyakit ini ditandai dengan adanya sesak
napas, batuk serta sputum.
Tujuan: untuk mengetahui manfaat dari nebulizer, breathing control, dan
mobilisasi sangkar thoraks pada kasus Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
Hasil: setelah dilakukan terapi sebanyak 6 kali, terdapat penurunan derajat sesak
napas T0 : 5 menjadi T6 : 4, adanya peningkatan ekspansi sangkar thoraks pada
axilla T0 : 1,5 cm menjadi T6 : 2 cm, pada ICS 4 T0 : 2 cm menjadi T6 : 2,5 cm,
pada procesus xyphoid T0 : 1,5 cm menjadi T6 : 3 cm, serta terdapat peningkatan
kemampuan aktivitas fungsional T0 : 3 menjadi T6 : 2.
Kesimpulan: pemberian modalitas nebulizer, breathing control, dan mobilisasi
sangkar thoraks dapat mengurangi sesak napas, meningkatkan ekspansi sangkar
thoraks dan meningkatkan kemampuan aktivitas fungsional.
Kata kunci: Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), Nebulizer, Breathing
Control, dan Mobilisasi Sangkar Thoraks.

viii
ABSTRACT
PHYSIOTHERAPY MANAGEMENT IN CASE OF CHRONIC
OBSTRUCTIVE PULMONARY DISEASES (COPD) IN RS PARU
DUNGUS MADIUN
(Farid Rahman, SSTFT., M.OR, Muhammad Ihsan, 2018)

Background: Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a chronic lung


disease that is progressive, the disease is marked by shortness of breath, cough and
sputum.
Objectives: to determine the benefits of nebulizer, breathing control, and thoracic
cage mobilization in cases of Chronic obstructive pulmonary disease (COPD).
Results: after 6 weeks of therapy, there was a decrease in the degree of shortness
of breath T0: 5 to T6: 4, an increase in thoracic cage expansion in axilla T0: 1,5 cm
to T6: 2 cm, in ICS 4 T0: 2 cm to T6: 2,5 cm, on xyphoid procesus T0: 1,5 cm to
T6: 3 cm, and there is increased functional activity ability T0: 3 to T6: 2.
Conclusion: providing nebulizer modalities, breathing control, and thoracic cage
mobilization can reduce shortness of breath, increase thoracic expansion cage and
enhance functional activity capability.
Keywords: Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), Nebulizer, Breathing
Control, and Thoracic Cage Mobilization.

ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN.......................................................... ............. ii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iii
HALAMAN MOTTO .................................................................................. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
ABSTRAK ................................................................................................. viii
ABSTRACT ................................................................................................. ix
DAFTAR ISI ................................................................................................. x
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xv
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................. 3
C. Tujuan ................................................................................... 3
D. Manfaat ................................................................................. 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) ................................ 5
1. Definisi ............................................................................ 5
2. Etiologi ........................................................................... 5
3. Tanda dan Gejala ............................................................. 7
4. Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi .......................... 7
5. Patofisiologi .................................................................... 8
6. Diagnosa banding .......................................................... 10
7. Pemeriksaan Umum ....................................................... 11
8. Pemeriksaan Khusus ..................................................... 12
B. Permasalahan Fisioterapi ....................................................... 14
1. Impairment ............................................................... 14
x
2. Fuctional Limitattion ............................................... 14
3. Dissability ................................................................ 14
C. Modalitas ............................................................................... 15
1. Nebulizer .................................................................. 15
2. Breathing Control .................................................... 15
3. Mobilisasi Sangkar Thoraks ..................................... 16
BAB III. PELAKSANAAN FISIOTERAPI
A. Pengkajian Fisioterapi ........................................................ 19
1. Anamnesis ...................................................................... 19
2. Pemeriksaan Obyektif ................................................... 19
3. Pemeriksaan Subyektif .................................................. 20
B. Diagnosa Fisioterapi............................................................. 27
1. Impairment ..................................................................... 27
2. Functional Limitation .................................................... 27
3. Disability ........................................................................ 28
C. Tujuan Fisioterapi ................................................................ 28
1. Jangka Pendek ................................................................ 28
2. Jangka Panjang ............................................................... 28
D. Tindakan Fisioterapi............................................................. 29
1. Teknologi Fisioterapi ..................................................... 29
2. Edukasi ........................................................................... 31
E. Evaluasi ................................................................................ 32

BAB IV HASIL
A. HASIL .................................................................................. 34
1. Hasil Pemeriksaan Sesak Napas .................................... 34
2. Hasil Pemeriksaan Ekspansi Thoraks............................ 35
3. Hasil Pemeriksaan Kemampuan Aktivitas Fungsional . 36
B. Pembahasan .......................................................................... 36
1. Nebulizer ....................................................................... 36
2. Breathing Control.......................................................... 37
xi
3. Mobilisasi Sangkar Thoraks ......................................... 38
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 39
B. Saran ....................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi PPOK ........................................................................... 12

Tabel 3.1 Hasil Pemeriksaan Ekspansi Sangkar Thoraks .............................. 24

Tabel 3.2 Borg Scale ...................................................................................... 25

Tabel 3.3 Klasifikasi PPOK ........................................................................... 26

Tabel 3.4 Medical Research Council ............................................................. 27

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Paru-paru ....................................................................... 8

Gambar 2.2 Breathing Control ...................................................................... 16

Gambar 2.3 Mobilisasi Sangkar Thoraks Pasif .............................................. 18

Gambar 2.4 Mobilisasi Sangkar Thoraks Aktif ............................................. 18

Gambar 3.1 Perkusi ........................................................................................ 22

Gambar 3.2 Breathing Control ...................................................................... 30

Gambar 4.1 Grafik Pemeriksaan Sesak Napas ............................................... 34

Gambar 4.2 Grafik Pemeriksaan Ekspansi Sangkar Thoraks ........................ 35

Gambar 4.3 Grafik Pemeriksaan Kemampuan Aktivitas Fungsional ............ 36

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Status Klinis (SK)

Lampiran 2. Inform Consent

Lampiran 3. Log Konsultasi

xv
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Menurut World Health Organization (WHO) setiap tahun akan terjadi

peningkatan penyebab kematian yang disebabkan oleh penyakit paru obstruktif

kronik, pada tahun 2020 WHO memperkirakan Penyakit Paru Obstruktif

Kronis (PPOK) menjadi salah satu penyebab terbesar dalam angka kematian

di dunia. Penyakit ini bukan termasuk dalam penyakit yang menular dan jarang

terekspos oleh masyarakat karena kurangnya informasi yang diberikan. Pada

data tahun 2007 di Amerika Serikat menunjukkan prevelensi PPOK untuk laki-

laki sebesar 11,8% dan pada wanita sebesar 8,5%. Sedangkan prevelensi pada

negara-negara di Asia Tenggara diperkirakan sebesar 6,3%, dengan Vietnam

menjadi prevelensi terbanyak yaitu 6,7%. Indonesia dengan penduduk kurang

lebih 261,1 juta jiwa memiliki prevelensi PPOK sebesar 3,7% (Oemiati, 2013).

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan istilah untuk

menggambarkan penyakit paru-paru kronis yang mengakibatkan aliran udara

di paru-paru terbatas. Istilah yang sering dikenal dengan bronkitis kronis dan

empisema tidak lagi digunakan, tetapi sekarang termasuk dalam diagnosis

PPOK. Gejala yang paling sering terjadi PPOK ialah sesak napas, batuk yang

kronis dan produksi sputum yang berlebihan.

1
2

Faktor penyebab dari PPOK sendiri yang sering terjadi adalah karena

merokok dan polusi dari udara. Sedangkan faktor resiko lainnya ialah jenis

kelamin, usia dan infeksi saluran pernafasan yang sudah diderita sejak kecil

(Dimitrova, et Al., 2017).

Setiap penyakit yang ada di dunia ini pasti ada penawar atau obatnya

sebagaimana yang dijanjikan Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Al-

Qur’an surat Asy Syu’ara ayat 80 yang artinya “Dan apabila aku sakit, Dialah

yang menyembuhkanku” (Tafsirq, 2015). Ayat tersebut dapat ditarik

kesimpulan bahwa semua kesembuhan itu datangnya dari Allah tetapi cara

untuk mendapatkan kesembuhan tersebut tidak semata-mata hanya dengan kita

berdoa saja kepada-Nya tetapi juga diperlukan sebuah ikhtiar atau usaha yaitu

dengan cara melalui pengobatan. Salah satu pengobatan yang dapat dilakukan

pada kasus seperti ini ialah dengan tindakan fisioterapi.

Pada kasus PPOK fisioterapi mempunyai peran dalam membantu

mengatasi permasalahan yang muncul. Permasalahan yang sering terjadi pada

kasus ini seperti sesak napas, batuk yang disertai dahak, adanya spasme pada

otot-otot pernapasan dan juga penurunan kemampuan aktivitas fungsional

seperti berjalan, bekerja dan lain sebagainya.

Banyak modalitas yang dimiliki fisioterapi untuk mengatasi

permasalahan PPOK, namun secara umum modalitas yang sering digunakan

ialah nebulizer yaitu untuk memperlancar dan mengurangi obstruksi jalan

napas (Caia, 2011). Kemudian breathing control yaitu untuk mengatur dan

mengontrol pernapasan ketika terjadi serangan (Kisner & Colby, 2007). Lalu
3

mobilisasi sangkar thoraks yaitu untuk meningkatkan mobilitas dinding dada

dan meningkatkan ventilasi (Jennifer & Prasad, 2008).

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis ingin membahas lebih lanjut

tentang penyakit PPOK serta penatalaksanaan fisioterapi pada kasus tersebut.

Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini penulis mengambil judul

Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus PPOK di Rumah Sakit Paru Dungus.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengambil rumusan masalah

sebagai berikut :

1. Apakah nebulizer, breathing control dan mobilisasi sangkar thoraks

dapat mengurangi sesak napas pada penderita PPOK?

2. Apakah nebulizer, breathing control dan mobilisasi sangkar thoraks dapat

meningkatkan ekspansi sangkar thoraks pada penderita PPOK?

3. Apakah nebulizer, breathing control dan mobilisasi sangkar thoraks dapat

meningkatkan kemampuan aktivitas fungsional pada penderita PPOK?

C. TUJUAN

Tujuan penulis dalam menyusun karya tulis ilmiah ini adalah :

1. Tujuan Umum

Mengetahui peran fisioterapi pada kasus PPOK dan penatalaksanaan

fisioterapi pada kasus tersebut.


4

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui manfaat dari nebulizer, breathing control dan mobilisasi

sangkar thoraks dalam mengurangi sesak napas.

b. Mengetahui manfaat dari nebulizer, breathing control dan mobilisasi

sangkar thoraks dalam meningkatkan kemampuan aktivitas

fungsional.

D. MANFAAT

Dalam penulisan karya tulis ilmiah pada kasus PPOK diharapkan dapat

bermanfaat bagi:

1. Bagi Penulis

Manfaat yang diharapkan bagi penulis ialah menambah wawasan

dan pengetahuan tentang kasus PPOK serta penatalaksanaan fisioterapi

dengan menggunakan nebulizer, breathing control, dan mobilisasi

sangkar thoraks yang kemudian dapat diimplementasikan pada

pelayanan.

2. Bagi Institusi

Menambah wawasan dalam pemberian modalitas nebulizer,

breathing control dan mobilisasi sangkar thoraks untuk mengurangi

sesak napas dan meningkatkan kemampuan aktivitas fungsional.


5

3. Bagi Masyarakat

Hasil dari karya tulis ilmiah ini adalah dapat memberikan

pengetahuan dan wawasan kepada masyarakat tentang Penyakit Paru

Obstruktik Kronik serta penanganan dari segi fisioterapi


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)

1. DEFINISI

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit saluran

napas ireversibel progresif yang ditandai dengan emfisema dan bronkitis

kronis, yang menyebabkan sesak napas, batuk dan sputum (Students, et Al.,

2013). Keluhan yang sering terjadi pada penderita PPOK yaitu keterbatasan

dalam melakukan aktivitas yang disebabkan oleh disfungsi otot rangka.

Manifestasi sistemik PPOK ialah inflamasi sistemik, berat badan menurun,

meningkatnya penyakit pada kardiovaskuler, osteoporosis dan depresi

(Oemiati, 2013).

2. ETIOLOGI

Menurut Devereux & Graham (2006) penyakit paru obstruktif kronik

dapat disebabkan oleh :

a. Merokok

Merokok adalah faktor resiko utama PPOK, sekitar 80-90%

kasus PPOK di Amerika Serikat disebabkan karena merokok. Secara

fisiologis rokok berpengaruh pada hiperflasia kelenjar mukos, bronkus

dan metaplasia saluran pernapasan, sehingga menyebabkan

bronkokontriksi akut (Devereux & Graham, 2006).

5
6

b. Polusi Udara

Studi yang dilakukakan diberbagai negara telah ditemukan

bahwa orang yang berada di kota besar lebih beresiko terkena PPOK

daripada mereka yang berada di desa. Faktor yang menyebabkan hal

tersebut karena polusi udara di daerah perkotaan sehingga diduga

sebagai pemicu terlambatnya pertumbuhan normal pada paru-paru,

walaupun penelitian dalam jangka waktu yang panjang belum

dilakukan (Kennedy SM et al., 2007).

c. Genetik

PPOK lebih sering terjadi kepada keluarga pasien yang

merupakan seorang perokok. Faktor genetic juga dapat membuat paru-

paru dari beberapa orang rentan terhadap efek dari asap tembakau

sebagian belum diketahui (Oemiati, 2013).

d. Penyakit Autoimun

Beberapa orang dengan PPOK memiliki peradangan aktif pada

paru-paru setelah berhenti merokok. Penyakit ini akan terus memburuk

selama bertahun-tahun akibat merokok yang disebabkan peradangan

yang berlangsung. Peradangan secara berkelanjutan ini diduga

dimediasi oleh autoantibodi dan sel T autoreaktif (Feghali-Bostwick et

al, 2008).
7

3. TANDA DAN GEJALA

Tanda dan gejala yang paling sering terjadi pada pasien PPOK

adalah sesak napas. Sesak napas juga biasanya menjadi keluhan utama

pada pasien PPOK karena terganggunya aktivitas fisik akibat gejala ini.

Sesak napas biasanya menjadi komplain ketika FEV1 <60% prediksi.

Pasien biasanya mendefinisikan sesak napas sebagai peningkatan usaha

untuk bernapas, rasa berat saat bernapas, gasping, dan air hunger. Batuk

bisa muncul secara hilang timbul, tapi biasanya batuk kronis adalah gejala

awal perkembangan PPOK. Gejala ini juga biasanya merupakan gejala

klinis yang pertama kali disadari oleh pasien. Batuk kronis pada PPOK bisa

juga muncul tanpa adanya dahak (Soeroto & Suryadinata, 2014).

4. ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM RESPIRASI

Organ-organ pernapasan pada manusia meliputi struktu-struktur

yang menghubungkan udara menuju ke paru-paru. Saluran napas pada

manusia dibagi menjadi dua bagian yaitu saluran napas bagian atas dan

saluran napas bagian bawah.

Saluran napas bagian atas terdiri dari beberapa organ yaitu hidung

yang berfungsi sebagai menyaring udara dari benda-benda asing yang

bukan merupakan gas, kemudian faring berfungsi sebagai mengatur dalam

pergantian perjalanan udara dan makanan. Selanjutnya yaitu laring yang

berfungsi sebagai pembentukan suara dan juga sebagai pelindung jalan

napas bawah dari benda-benda asing serta tempat proses terjadinya batuk.

Kemudian yaitu trakea yang didalamnya terdapat silia yaitu untuk


8

mengeluarkan benda-benda asing yang masuk saat proses pernapasan

(Patwa & Shah, 2015).

Selanjutnya saluran napas bawah yang terdiri atas bronkus yaitu

merupakan trakea lanjutan yang terletak di ketinggian vertebra thorakal ke

IV dan V, bronkus tersebut berjalan menuju kebawah dan kesamping

menuju paru-paru. Kemudian bronkus terminalis yang berfungsi sebagai

penghantar udara ketempat terjadinya pertukaran gas paru-paru. Lalu

alveolus yang terdapat pada parenkim paru-paru yaitu ujung dari saluran

pernapasan dimana sebagai tempat pertukaran udara dengan darah.

Selanjutnya paru-paru yang terletak pada rongga dada yang berbentuk

kerucut, paru-paru dibagi atas dua bagian yaitu kanan dan kiri. Paru-paru

kanan memiliki tiga lobus dan paru-paru kiri memiliki dua lobus.

Gambar 2.1 Anatomi Paru-paru (Riswanalfarid, 2017)

5. PATOFISIOLOGI

Perubahan patologis di paru-paru menyebabkan perubahan fisiologis

yang sesuai karakteristik penyakit, termasuk hipersekresi mucus, disfungsi


9

silia, Keterbatasan ekspirasi aliran udara, hiperinflasi paru, kelainan

pertukaran gas, hipertensi pulmonal, dan korpulmonal. Lazimnya

berkembang sesuai perjalanan penyakit.

Ada peningkatan resistensi saluran udara dan hiperinflasi.

Hiperinflasi paru-paru merata, diafragma berkontraksi pendek termasuk

otot asesoris inspirasi dan mereka kerja menurunkan ventilasi

secaramekanik merugikan. Selain efisiensi berkurang dari enam otot

inspirasi, sejumlah besar pekerjaan tekanan diperlukan untuk mengatasi

tingginya pertahanan saluran udara (Imron, 2017)

Hipersekresi mukosa mengakibatkan batuk produktif kronis yang

merupakan karakteristik bronchitis kronis. Hipersekresi ini disebabkan

oleh metaplasia skuamosa, peningkatan jumlah sel goblet, dan peningkatan

ukuran kelenjar submukosa bronkial sebagai respons terhadap iritasi kronis

oleh partikel dan gas berbahaya. Disfungsi ciliary adalah karena metaplasia

skuamosa sel epitel dan menghasilkan eskalator mukosiliar abnormal dan

sulit dalam ekspektasi.

Penyumbatan aliran udara terjadi pada saluran napas kecil yang

disebakan oleh peradangan dan penyempitan serta eksudat inflamasi di

saluran udara kecil. Faktor lain yang berkontribusi terhadap obstruksi

aliran udara termasuk hilangnya rekurensi elastik paru-paru (karena

kerusakan dinding alveolar) dan penghancuran dukungan alveolar.

Kelainan pertukaran gas terjadi pada penyakit lanjut dan ditandai

dengan hipoksemia arteri dengan atau tanpa hiperkapnia. Distribusi


10

abnormal ventilasi: rasio perfusi karena perubahan anatomis yang

ditemukan pada PPOK adalah mekanisme utama pertukaran gas abnormal.

Hipertensi pulmonal terjadi karena beberapa faktor seperti

penyempitan arteri paru (akibat hipoksia), disfungsi endotel, remodeling

arteri pulmonalis (hipertrofi otot polos dan hiperplasia), dan penghancuran

tempat tidur kapiler pulmonal. Perubahan struktural pada arteriole

pulmonalis menyebabkan hipertensi pulmonal persisten dan hipertrofi

ventrikel kanan atau pembesaran dan disfungsi (cor pulmonale).

Peradangan sistemik dan pemborosan otot rangka berkontribusi

untuk membatasi kapasitas latihan pasien dan memperburuk prognosis

terlepas dari tingkat obstruksi aliran udara. Pasien juga memiliki

peningkatan risiko penyakit kardiovaskular, yang dikaitkan dengan

peningkatan protein reaktif C (MacNee, 2006).

6. DIAGNOSA BANDING

Banyak kondisi yang memiliki tanda dan gejala yang sama dengan

PPOK. Namun ada beberapa perbedaan walaupun tidak terlalu signifikan.

Diagnosa banding untuk PPOK adalah :

a) Asma

Asma ialah gangguan inflamasi kronis pada saluran napas,

banyak sel dan elemen yang terlibat. Inflamasi kronis mengakibatkan

peningkatan hiperesponsif pada jalan napas sehingga muncul gejala

episodik berulang seperti mengi, sesak napas, dada terasa berat dan

batuk terutama pada malam atau dini hari (PDPI, 2003).


11

b) Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan penyakit yang menular dengan

penyebab utama kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Kuman

TB sebagian besar menyerang paru, tetapi tidak menutup

kemungkinan menyerang organ tubuh yang lain. Gejala yang muncul

biasanya berupa batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk

juga dapat disertai dengan gejala yang lain seperti dahak bercampur

dengan darah, sesak napas, badan terasa lemas, menurunnya nafsu

makan, penurunan berat badan, malaise, berkeringat saat malam hari

meski tidak melakukan kegiatan fisik, demam meriang sekitar satu

bulan bahkan lebih (Werdhani, 2009).

7. PEMERIKSAAN UMUM

Menurut perhimpunan dokter paru Indonesia (2003), ada beberapa

pemeriksaan yang dilakukan untu menegakkan diagnosa PPOK.

a) Perkusi

Adanya hipersonor pada emfisema dan mengecilnya batas

jantung, letak diafragma yang rendah menyebabkan terdorongnya

hepar ke bawah.

b) Auskultasi

Suara napas vesikuler normal atau melemah, adanya ronchii

atau mengi saat bernapas biasa atau saat ekspirasi paksa, ekspirasi

memanjang, bunyi jantung terdengar jauh.


12

8. PEMERIKSAAN KHUSUS

a) Spirometri

Spirometri digunakan sebagai tes untuk menilai obstruksi aliran

udara dan mengklasifikasikan keparahan penyakit. Kriteria untuk

diagnosis yang didefinisikan dalam pedoman didasarkan pada rasio

ekspirasi paksa FEV 1 / FVC (FER) dan keparahannya didasarkan

pada volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV 1) (Johns, et al.,

2014). Berdasarkan hasil dari spirometri PPOK memiliki beberapa

klasifikasi tingkat keparahan, klasifikasi PPOK sebagai berikut :

Tabel 2.1. Klasifikasi PPOK (Lubis, 2014)

Klasifikasi Spirometri

Ringan VEP >80% prediksi VEP/KVP <75%

Sedang VEP 30-80% prediksi VEP/KVP <75%

Berat VEP1 <30% prediksi VEP1/KVP <75%

Prosedur pemakaian spirometri :

 Masukkan data pasien pada layar monitor.

 Pasang mouthpiece pada alat.

 Berikan arahan pada pasien untuk pelaksanaan spirometri.

 Tutup hidung pasien dengan alat penjepit hidung, letakkan tabung

spiro ke dalam mulut pasien.

 Tekan tombol SVC.


13

 Beri aba-aba pasien untuk menarik napas biasa dan kuat, kemudian

hembuskan (lakukan tiga kali).

 Tekan tombol FVC.

 Beri aba-aba pasien untuk menarik napas panjang dan hembuskan

dengan kuat (lakukan satu kali).

 Tekan tombol print untuk mengeluarkan hasil.

 Lepaskan penjepit hidung dan mouthpiece.

 Lakukan pencatatan hasil pemeriksaan.

b) Radiologi

Foto thoraks PA dapat ditemukan bronkhitis kronis atau

emfisema. Trakea dan bronkhus mayor terlihat bayangan tubular yang

berisi udara. Bayangan tubular yang diakibatkan penebalan dinding

hanya terlihat sampai bronkus intermedial kanan dan lobus bagian

bawah bronkus kiri, tetapi minimal. Hilus bagian luar dan area atas,

bayangan bronkial bercampur dengan bayangan alveoli saat keadaan

normal tidak terlihat, bayangan ini disebabkan inflamasi bronkhus

kronis disertai dengan hipertrofi muskular dan hiperplasi kelenjar.

Ukuran paru anteriorposterior yang bertambah mengakibatkan

bentuk thoraks barrel chest, ukuran paru vertikal yang bertambah

mengakibatkan diafragma letak rendah dengan diafragma berbentuk

datar dan rongga interkostalis melebar diakibatkan udara terjebak

dalam alveoli. Aerasi paru yang meningkat pada seluruh paru, lobaris

maupun segmental, sehingga menimbulkan bayangan lebih


14

radiolusen, kemudian corakan jaringan paru terlihat lebih jelas selain

gambaran fibrosisnya dan vaskuler paru yang relatif jarang (Sari et al.,

2010).

B. PERMASALAHAN FISIOTERAPI

1. Impairment

Impairment atau kelemahan yang biasa muncul dalam dunia

kesehatan atau keadaan fisiologis dan struktur serta fungsi anatomi yang

abnormal. Pada kasus Penyakit Paru Obstruktif Kronis impairment yang

biasa terjadi berupa sesak napas, batuk kronis dan terbentuknya sputum

kronis, episode yang buruk atau eksaserbasi sering muncul (Putra & Artika,

2007).

2. Functional limitation

Functional limitation adalah istilah yang digunakan untuk keadaan

dimana seseorang mengalami keterbatasan dalam fungsionalnya. Pada

penderita PPOK terdapat keterbatasan fungsional seperti gangguan saat

berjalan jauh dan aktivitas berat.

3. Disability

Disability atau ketidakmampuan dalam bidang kesehatan dianggap

sebagai ketidakmampuan atau kekurangan yang disebabkan impairment

yang ada sehingga terjadi gangguan dalam beraktivitas. Pada penderita

PPOK disability yang terjadi biasanya gangguan dalam bekerja dan

kegiatan sosial.
15

C. MODALITAS

1. Nebulizer

Nebulizer merupakan alat yang bisa mengubah obat dalam bentuk

larutan menjadi bentuk aerosol secara terus-menerus menggunakan tenaga

dari udara yang dipadatkan atau gelombang ultrsonik. Obat golongan

bronkodilator diberikan dengan nebulizer memberikan efek bronkodilatasi

yang bermakna tanpa menimbulkan efek samping. Selain itu tujuan

pemberian nebulizer adalah untuk mengurangi sesak napas, mengencerkan

dahak, bronkospasme berkurang atau menghilang (Wahyuni, 2002). Pada

alat ini akan dimasukan obat golongan bronkodilator agonis reseptor β2

inhalasi kerja pendek (digunakan bila diperlukan) yang berguna untuk

mengurangi obstruksi jalan napas. Nebulizer dengan metode inhalasinya

bukan hanya dianggap sebagai pemberian obat yang paling nyaman dan

praktis, tetapi juga yang terbaik dalam pengobatan pada masalah obstruksi

jalan napas (Caia, 2011). Pada kasus ini obat yang digunakan adalah

combivent, dosis yang dipakai pada serangan akut yaitu 1 unit vial 3-4 kali

sehari. Pada kondisi yang berat atau parah dosis dapat ditingkatkan menjadi

2 unit vial 3-4 kali sehari (MIMS, 2018).

2. Breathing Control

Kecemasan dan depresi adalah komorbiditas psikologis yang paling

umum pada pasien PPOK, dan menurunkan kualitas hidup. Kegelisahan

juga terkait dengan karakteristik penyakit PPOK, termasuk FVC, gejala

dada, dan dyspnea. Frekuensi pernapasan adalah meningkat dengan gairah


16

fisiologis, dan pada pasien PPOK, hiperventilasi yang diakibatkan oleh

kecemasan sangat memperburuk sesak napas dengan menyebabkan

bronkokonstriksi dan hiperinflasi paru. Hiperinflasi meningkatkan kerja

dan usaha bernapas dan mengurangi kapasitas cadangan inspirasinya

(Valenza et al., 2014).

Akhirnya, kecemasan adalah prediktor yang signifikan terhadap

frekuensi masuk rumah sakit untuk eksaserbasi PPOK, risiko kematian,

risiko kambuh, dan penerimaan masuk rumah sakit. Breathing control

menjadi pengobatan yang efektif untuk berbagai gejala paru. Pada pasien

PPOK, breathing control membebaskan dyspnea dengan mengurangi

hiperinflasi dinamis, memperbaiki pertukaran gas, meningkatkan kekuatan

dan daya tahan otot-otot pernapasan, dan mengoptimalkan pola gerakan

thoraco-abdominal. Selain itu, efek psikologis, seperti mengendalikan

pernapasan, juga dapat berkontribusi pada efektivitas pernapasan yang

dikendalikan (Valenza et al., 2014).

Gambar 2.2 Breathing Control (Brooke, 2018).

3. Mobilisasi Sangkar Thoraks

Mobilisasi dada adalah salah satu dari banyak teknik dan sangat

penting dalam terapi fisik dada konvensional untuk meningkatkan


17

mobilitas dinding dada dan meningkatkan ventilasi (Jennifer & Prasad,

2008). Mobilisasi dada pasif atau aktif membantu meningkatkan mobilitas

dinding dada, fleksibilitas, dan kepatuhan toraks. Mekanisme teknik ini

meningkatkan panjang otot interkostal dan karena itu membantu dalam

melakukan kontraksi otot yang efektif. Teknik mobilisasi dada terdiri dari

torsi tulang rusuk, peregangan lateral, perpanjangan belakang,

pembengkokan lateral, rotasi batang, dan lain-lain. Hal ini meningkatkan

biomekanik gerakan dada dengan meningkatkan arah anterior ke atas dari

batas atas dan kemudian ke luar dari pergerakan kosta yang lebih rendah,

termasuk ke bawah arah diafragma. Remover dinding ramping yang

maksimal membantu dalam mencapai kontraksi efektif setiap otot

interkostal. Dengan demikian, mobilisasi dada menggunakan latihan otot

pernapasan atau latihan fungsi memungkinkan manfaat klinis pada

penyakit paru kronis, terutama PPOK dengan hiperinflasi paru-paru atau

dada berbentuk barel (M Jones & F Moffatt, 2002).

Teknik mobilisasi dada adalah protokol asli yang digunakan pada

penyakit paru-paru kronis, yang memiliki kecenderungan menyebabkan

postur yang buruk, kekakuan, atau kurangnya tulang belakang dada dan

gerakan tulang rusuk. Teknik-teknik ini dibagi menjadi mobilisasi dada

pasif dan aktif, yang tergantung pada kondisi pasien (Leelarungrayub,

2012).

Dalam kasus pasien tidak sadar, seperti yang terlihat di unit

perawatan intensif (ICU) di mana perawatan jangka panjang dilakukan


18

dengan atau tanpa dukungan ventilator. Teknik mobilisasi dada pasif dapat

dilakukan di dinding dada oleh terapis.

Gambar 2.3 Mobilisasi Sangkar Thoraks Pasif (Leelarungrayub, 2012).

Sedangkan pada kasus seorang pasien dalam pemulihan atau kondisi

baik. Teknik mobilisasi dada aktif dapat dilakukan. Dalam beberapa

praktik umum, pasien yang baru saja pulih dapat memodifikasi mobilasi

dada pasif-aktif untuk meningkatkan fleksibilitas dinding dada. Tujuan

teknik ini adalah untuk meningkatkan mobilitas toraks di bagian atas,

tengah atau bawah dada. Selain itu, teknik-teknik ini perlu dipilih secara

hati-hati untuk meminimalkan dyspnea, dan mereka harus diterapkan

dalam posisi duduk, duduk bersandar ke depan atau posisi berbaring yang

tinggi.

Gambar 2.4 Mobilisasi Sangkar Thoraks Aktif (Leelarungrayub, 2012).


BAB III

PELAKSANAAN

A. PENGKAJIAN FISIOTERAPI

Pengkajian riwayat penyakit dibutuhkan untuk mengetahui suatu

penyakit, pengkajian tersebut meliputi anamnesis atau pemeriksaan.

Anamnesis atau pemeriksaan yang terarah maka akan mendapatkan hasil yang

tepat.

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan yang terjadi

pada penderita PPOK. Prosedur pemeriksaan terdiri dari pemeriksaan

subyektif dan pemeriksaan obyektif.

1. Anamnesis

Suatu teknik dalam mengumpulkan data dengan cara tanya jawab

yang dilakukan oleh terapis dengan pasien, data yang didapatkan melalui

anamnesis meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, alamat

serta hal-hal yang berhubungan dengan penderita. Setelah melakukan

didapatkan data : nama bapak suwarno, umur 73 tahun, jenis kelamin laki-

laki, agama Islam, pekerjaan petani, alamat jalan Semen 11/02,

Ngotomonadi, Magetan.

2. Pemeriksaan Subyektif

a. Keluhan Utama

Keluhan utama yang dirasakan pasien adalah sesak napas disertai

dengan batuk berdahak.

19
20

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluhkan sesak napas sejak tanggal 17 januari 2018

disertai dengan batuk berdahak yang sulit untuk dikeluarkan.

Kemudian pasien dirawat di Rumah Sakit Paru Dungus sejak tanggal

18 januari 2018. Sesak kambuh ketika pasien sedang melakukan

aktivitas yang berat seperti berjalan jauh, berjalan di daerah yang

menanjak, dan bekerja terlalu berat. Ketika kambuh pasien biasanya

langsung berhenti melakukan aktivitas dan pasien segera duduk lalu

istirahat. Apabila sesak tidak kunjung berkurang pasien langsung

dibawa ke rumah sakit terdekat, lalu pasien dipasangkan alat bantu

pernapasan yaitu tabung oksigen.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mulai merasakan sesak napas sejak tahun 2011 dan pasien

sudah 8 kali menjalani rawat inap di rumah sakit dengan diagnosa

terdahulu yaitu bronkitis.

d. Riwayat Pribadi

Pasien merupakan seorang perokok aktif, setiap harinya pasien bisa

menghabiskan 3-4 batang rokok.

3. Pemeriksaan Obyektif

a. Pemeriksaan tanda vital

Pada pasien tersebut didapatkan data tekanan darah 110/80 mmHg,

denyut nadi 90 kali/menit, pernapasan 24 kali/menit, temperatur


21

36℃, tinggi badan 165cm, berat badan 38kg dengan indeks massa

tubuh 13,96 kg/m2.

b. Inspeksi

1) Respiratori equipment

Pasien menggunakan alat bantu pernapasan yaitu oksigen.

2) Bentuk dada

Pasien memiliki bentuk dada barrel chest.

3) Pola pernapasan

Pasien menggunakan pernapasan perut dengan pola pernapasan

prolonged expiration.

4) Clubbing finger

Tidak ditemukan clubbing finger pada pasien

c. Palpasi

1) Ekspansi thoraks

Pemeriksaan dilakukan menggunakan midline dengan

cara mengukur selisih antara inspirasi dengan ekspirasi pada

bagian axilla, ICS 4 dan procesus xyphoid. Hasil didapatkan

penurunan ekspansi thoraks pada sisi kanan dan kiri bagian atas

dan bawah.

2) Vocal fremitus

Vocal fremitus pasien bagian depan dan belakang normal.

3) Spasme otot

Tidak terdapat spasme otot pada pasien.


22

4) Nyeri tekan

Tidak terdapat nyeri tekan pada pasien.

d. Perkusi

Pada pasien tersebut ditemukan sonor pada lobus bagian

dextra, sedangkan pada lobus sinistra ditemukan adanya redup.

Gambar 3.1 Perkusi

e. Auskultasi

1) Suara napas

Pada pasien tersebut terdapat ronchii pada intercostae 4 lobus

dextra, pada lobus sinistra terdapat wheezing pada intercostae 4.

2) Letak sputum

Pada pasien tersebut ditemukan sputum pada intercostae 4 lobus

bagian dextra.
23

f. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar

Pemeriksaan fungsi gerak adalah suatu pemeriksaan dengan

cara melakukan gerakan yang terdiri dari pemeriksaan gerak aktif,

pasif dan isometrik melawan tahanan.

1) Gerak Pasif

Suatu cara pemeriksaan yang dilakukan terapis kepada pasien

sementara pasien dalam keadaan pasif dan rileks. Pemeriksaan

gerak pasif dilakukan pada sendi bahu, leher dan dada dengan

gerakan fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, eksorotasi,

endorotasi, elevasi dan depresi, rotasi, protraksi dan retraksi.

Dari pemeriksaan tersebut pasien mampu melakukan secara full

ROM, tanpa ada nyeri dan end feel normal.

2) Gerak Aktif

Pasien diminta untuk menggerakkan sendi bahu, leher dan dada

secara aktif dengan gerakan fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi,

eksorotasi, endorotasi, elevasi, depresi, rotasi, protraksi dan

retraksi. Dari pemeriksaan gerak aktif tersebut pasien mampu

melakukannya secara full ROM dan tidak ada nyeri.

3) Gerak Isometrik

Suatu pemeriksaan dengan cara yang dilakukan pasien secara

aktif, lalu terapis memberikan tahanan pada arah yang

berlawanan dengan gerakan yang dilakukan oleh pasien.

Pemeriksaan dilakukan dengan tahanan minimal pada sendi


24

bahu, leher dan dada dengan gerakan fleksi, ekstensi, abduksi,

adduksi, eksorotasi, endorotasi, elevasi dan depresi, rotasi,

protraksi dan retraksi. Informasi yang diperoleh dari

pemeriksaan ini ialah nilai otot pasien normal dan tidak

ditemukan adanya nyeri.

g. Pemeriksaan Ekspansi Thoraks

Tabel 3.1. Hasil pemeriksaan ekspansi thoraks

Titik Inspirasi Ekspirasi Selisih

patokan

Axilla 82,5 cm 81 cm 1,5 cm

ICS 4 83 cm 81 cm 2 cm

Procesus 79,5 cm 78 cm 1,5 cm

xyphoid

Nilai selisih normal inspirasi dengan ekspirasi pada axilla

yaitu 3 cm, pada ICS 4 yaitu 3cm dan pada procesus xyphoid yaitu

5 cm. Berdasarkan hasil di atas maka pasien mengalami penurunan

ekspansi sangkar thoraks.

h. Pemeriksaan Sesak Napas

Pemeriksaan sesak napas menggunakan alat ukur dengan

borg scale. Borg scale ini berfungsi untuk mengetahui sensasi sesak

nafas yang dihasilkan selama beraktifitas fisik, sehingga dapat

memberikan informasi yang sesuai dengan yang sedang dirasakan


25

oleh pasien. Dari hasil pemeriksaan menggunakan borg scale

didapatkan nilai 5 yang artinya sesak berat. Berikut tabel interpretasi

dari skala borg:

Tabel 3.2. borg scale (Isnaini & Wahyuni, 2017)

Nilai Intensitas

0 Tidak sesak sama sekali

0,5 Sesak sangat ringan sekali

1 Sesak sangat ringan

2 Sesak ringan

3 Sesak sedang

4 Sesak kadang berat

5 Sesak berat

6 Sesak berat

7 Sesak sangat berat

8 Sesak sangat berat

9 Sesak sangat berat

10 Sesak sangat berat sekali, hampir maksimal

i. Pemeriksaan Spirometri

Dari hasil pemeriksaan spirometri didapatkan hasil FEV1:

34% dri nilai prediksi 2,49 yang bisa dicapai 0,85. Berdasarkan hasil

tersebut maka pasien masuk dalam kategori sedang. Berikut

merupakan interpretasi dari klasifikasi PPOK:


26

Tabel 3.3. Klasifikasi PPOK (Lubis, 2014)

Klasifikasi Spirometri

Ringan VEP >80% prediksi VEP/KVP <75%

Sedang VEP 30-80% prediksi VEP/KVP <75%

Berat VEP1 <30% prediksi VEP1/KVP <75%

j. Pemeriksaan Kognitif, Intrapersonal dan Interpersonal

Pemeriksaan kognitif terdiri dari pemeriksaan kosentrasi,

atensi, memori, memecahkan suatu masalah dan pengambilan sikap.

Kognitif pasien dalam kondisi baik, pasien mampu menjawab semua

pertanyaan terapis dengan baik dan pasien mampu menceritakan

riwayat penyakitnya.

Pemeriksaan intrapersonal ialah kemampuan pasien mengerti

dirinya sendiri, menerima keadaan, motivasi dan kemampuan

komunikasi dengan lingkungan sosial. Intrapersonal dalam kondisi

baik, pasien memiliki keinginan yang tinggi untuk sembuh.

Pemeriksaan interpersonal terdiri dari kemampuan seseorang

berinteraksi dengan orang lain baik antar individu, keluarga dan

masyarakat. Interpersonal pasien dalam kondisi baik, pasien sangat

komunikatif dan kooperatif dengan terapis.

k. Pemeriksaan Kemampuan Fungsional

Pemeriksaan kemampuan fungsional pada pasien ini

digunakan medical research counal (mrc) untuk mengukur aktivitas


27

yang mampu dilakukan pasien. Pada pasien ini nilai yang didapatkan

adalah 3 artinya berjalan lebih lambat karena merasakan sesak.

Berikut tabel interpretasi dari medical research council scale :

Tabel 3.3. medical research council scale (Isnaini & Wahyuni, 2017)

Nilai Tingkat sesak napas

1 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat

2 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga 1

tingkat

3 Berjalan lebih lambat karena merasakan sesak

4 Sesak timbul apabila berjalan 100 meter atau setelah

beberapa menit

5 Sesak bila mandi atau berpakaian

B. DIAGNOSA FISIOTERAPI

1. Impairment

Impairment yang terjadi pada pasien ini yaitu:

a. Pasien merasakan sesak napas pada pagi hari.

b. Adanya sputum pada intercostae 4 lobus dextra.

c. Penurunan ekspansi sangkar thoraks pada lobus kanan dan kiri bagian

atas dan bawah.

2. Functional Limitation

Functional limitation yang dialami pasien diakibatkan oleh

impairment sehingga adanya keterbatasan dalam beraktivitas. Pasien tidak


28

mampu berjalan terlalu lama dan jauh, pasien juga tidak mampu melakukan

aktivitas yang berat karena akan timbul sesak napas. Pasien kesulitan ketika

pergi ke kamar mandi untuk buang air dan mandi serta kesulitan saat

mengenakan pakaian.

3. Disability

Disability merupakan keterbatasan dalam beraktivitas yang

berhubungan dengan interaksi sosial. Pasien tidak mampu mengikuti

kegiatan sosial dilingkungannya seperti gotong royong, pergi ke masjid,

menghadiri acara seperti rapat maupun kondangan karena kondisinya

tersebut.

C. TUJUAN FISIOTERAPI

1. Jangka Pendek

Tujuan jangka pendek merupakan tujuan yang harus segera tercapai.

Pada pasien ini tujuan jangka pendeknya yaitu mengurangi sesak napas,

membantu mengeluarkan sputum dan meningkatkan ekspansi sangkar

thoraks.

2. Jangka Panjang

Tujuan jangka panjang adalah tujuan akhir dari suatu program

penyembuhan. Tujuan jangka panjang pada pasien ini adalah untuk

mengembalikan dan meningkatkan kemampuan aktivitas fungsional pasien

seperti pergi ke kamar mandi untuk buang air dan mandi serta kesulitan saat

mengenakan pakaian, bekerja, berjalan jauh serta mengikuti kegiatan sosial


29

dilingkungannya seperti gotong royong, pergi ke masjid, menghadiri acara

seperti rapat maupun kondangan.

D. TINDAKAN FISIOTERAPI

1. Teknologi Fisioterapi

Berdasarkan permasalahan yang terjadi pada pasien ini, penulis

memilih beberapa intervensi fisioterapi seperti nebulizer, breathing control

dan mobilisasi sangkar thoraks.

a. Nebulizer

1) Persiapan alat

a) Siapkan alat nebulizer.

b) Siapkan masker khusus untuk nebulizer.

c) Masukan 1 unit vial obat combivent ke dalam tabung obat yang

terpasang pada masker lalu pasangkan ke nebulizer.

2) Persiapan pasien

a) Posisi pasien duduk.

b) Pasangkan masker nebulizer ke area mulut dan wajah pasien.

c) Terapis menjelaskan kepada pasien tentang prosedurnya.

3) Pelaksanaan

a) Nyalakan alat nebulizer.

b) Jelaskan kepada pasien untuk menghirup uap melalui hidung

sedalam-dalamnya lalu menghembuskannya melalui mulut.


30

c) Setelah obat habis matikan alat lalu rapikan alat dan cuci masker

nebulizer.

b. Breathing Control

1) Persiapan pasien

a) Posisi pasien duduk atau semi fowler, senyaman pasien.

b) Terapis menjelaskan kepada pasien tentang prosedurnya.

2) Pelaksanaan

a) Pasien diminta untuk rileks lalu minta pasien untuk menarik

napas melalui hidung lalu menghembuskannya melalui mulut

secara perlahan-lahan.

b) Lakukan sebanyak 8 kali pengulangan.

Gambar 3.2 Breathing Control (Pngriver, 2017)

c. Mobilisasi sangkar thoraks

1) Persiapan pasien

a) Posisi pasien duduk

b) Terapis menjelaskan kepada pasien tentang prosedurnya.

2) Pelaksanaan

a) Terapis meletakkan semua jarinya pada bagian upper trapezius

lalu kedua jempolnya diletakkan pada garis tengah clavicula.


31

b) Lalu minta pasien menarik napas melalui hidung dan

menghembuskannya melalui mulut, ketika menghembuskan

napas terapis memberi sedikit tekanan pada bagian yang

diletakkan tangan tadi.

c) Terapis meletakkan ujung jarinya pada sisi lateral dada dekat

axilla dan kedua ibu jari pada garis tengah dada serta palmar di

bagian tulang rusuk ke 4 sampai 6.

d) Minta pasien untuk menarik napas melalui hidung dan

menghembuskan melalui mulut, ketika menghembuskan napas

memberikan sedikit tekanan pada bagian yang diletakkan

tangan.

e) Terapis meletakkan semua jarinya pada bagian belakang pasien

sisi lateral axilla dan kedua ibu jari pada garis tengah serta

palmar pada bagian bawah garis dari scapula.

f) Minta pasien untuk menarik napas melalui hidung dan

menghembuskan melalui mulut, ketika menghembuskan napas

memberikan sedikit tekanan pada bagian yang diletakkan

tangan.

2. Edukasi

Terapis memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga pasien

untuk melakukan breathing control dan mobilisasi sangkar thoraks aktif

setiap harinya. Latihan breathing control yang dilakukan di rumah sama

seperti yang diajarkan terapis yaitu posisi pasien rileks atau duduk
32

(senyaman pasien) lalu pasien diminta untuk menarik napas melalui hidung

sedalam-dalamnya lalu menghembuskannya melalui mulut secara perlahan.

Latihan mobilisasi sangkar thoraks aktif sama seperti yang diajarkan terapis

yaitu pasien diminta untuk membungkuk sambil meluruskan kedua

lengannya kemudian pasien mengangkat badannya dan kedua lengannya

sembari menarik napas melalui hidung kemudian membungkukan badannya

kembali sambil menghembuskan napas.

Jadwal latihan Tn. S adalah sebagai berikut:

No Latihan Pagi hari Sore hari

1 Breathing control Pada pukul 07.00 Pada pukul 16.00

WIB WIB

2 Mobilisasi sangkar Pada pukul 07.00 Pada pukul 16.00

thoraks aktif WIB WIB

E. EVALUASI

Evaluasi penatalaksanaan fisioterapi dilakukan pada saat sebelum terapi

dan sesudah terapi guna mengetahui sejauh mana peningkatan atau perubahan

yang terjadi setelah melakukan terapi. Evaluasi tersebut antara lain :

1. Borg scale untuk mengetahui derajat sesak pasien.

2. Midline untuk mengukur ekspansi sangkar thoraks pasien.

3. Medical research council scale untuk mengetahui kemampuan fungsional

pasien.
34

BAB IV

PEMBAHASAN

A. HASIL

Pada pasien dengan nama Tn. S dengan diagnosa medis Penyakit

Paru Obstruktif Kronis (PPOK) memiliki beberapa keluhan yaitu sesak

napas, batuk yang disertai dahak, penurunan ekspansi sangkar thoraks dan

penurunan kemampuan aktivitas fungsional. Setelah dilakukan tindakan

fisioterapi sebanyak 6 kali dengan menggunakan nebulizer, breathing

control, dan mobilisasi sangkar thoraks didapatkan hasil sebagai berikut :

1. Hasil pemeriksaan sesak napas dengan Borg Scale

Sesak Napas
6

0
T1 T2 T3 T4 T5 T6
Sesak Napas

Gambar Grafik 4.1 Pemeriksaan Sesak Napas.

Pada gambaran grafik di atas menunjukkan adanya penurunan

derajat sesak napas dari T0 sampai T6. Terapi dengan menggunakan

nebulizer, breathing control dan mobilisasi sangkar thoraks, sesak

napas berkurang yang awalnya T0 : 5 menjadi T6 : 4

34
35

2. Hasil pemeriksaan ekspansi sangkar thoraks dengan Midline.

Ekpansi Sangkar Thoraks


3.5

2.5

1.5

0.5

0
T1 T2 T3 T4 T5 T6

Axilla ICS 4 Procesus Xyphoid

Gambar Grafik 4.2 Pemeriksaan Ekspansi Sangkar Thoraks.

Pada gambaran grafik di atas menunjukkan adanya peningkatan

ekspansi sangkar thoraks dari T0 sampai T6. Terapi dengan

menggunakan nebulizer, breathing control dan mobilisasi sangkar

thoraks, ada sedikit peningkatan pada ekspansi sangkar thoraks yang

awalnya T0: axilla = 1,5 cm, ICS 4 = 2 cm, dan procesus xyphoid = 1,5

cm menjadi T6: axilla = 2 cm, ICS 4 = 2,5 cm, dan procesus xyphoid =

3 cm.
36

3. Hasil pemeriksaan kemampuan aktivitas fungsional dengan Medical

Research Council (MRC).

MRC
4

0
T1 T2 T3 T4 T5 T6

MRC

Gambar Grafik 4.3 Pemeriksaan Kemampuan Aktivitas Fungsional.

Pada gambaran grafik di atas menunjukkan adanya peningkatan

kemampuan aktivitas fungsional dari T0 sampai T6. Terapi dengan

menggunakan nebulizer, breathing control dan mobilisasi sangkar

thoraks, ada peningkatan dalam kemampuan aktivitas yang skor

awalnya T0 : 3 menjadi T6 : 2.

B. PEMBAHASAN

Pada pembahasan ini penulis akan menyampaikan tentang manfaat dari

modalitas nebulizer, breathing control, dan mobilisasi sangkar thoraks apakah

tujuan fisioterapi tercapai dengan menggunakan nebulizer, breathing control,

dan mobilisasi sangkar thoraks.

1. Nebulizer

Nebulizer adalah alat yang dapat mengubah obat berbentuk larutan

menjadi bentuk aerosol secara terus- menerus menggunakan tenaga yang


37

berasal dari udara yang dipadatkan atau gelombang ultrasonic (Wahyuni,

2002). Pada pasien ini penulis menggunakan obat golongan

anticholinergics. Obat golongan ini berfungsi sebagai bronkodilator

alternatif terutama pada pasien yang mengalami bronkospasme yang

diinduksi beta bloker. Selain itu obat golongan ini berfungsi untuk

menghambat reseptor kolinergik muskarinik dan mengurangi tonus vagal

intrinsik saluran napas, sehingga menyebabkan bronkodilatasi lalu luas

permukaan bronkus melebar dan bronkiolus pada paru-paru, dan membuat

kapasitas serapan oksigen paru-paru meningkat (Ics, 2016). Pada penelitian

klinis nebulizer paling efektif digunakan pada pagi hari dan malam hari

untuk mengelola PPOK dan meningkatkan kualitas hidup pasien (Tashkin,

et Al., 2007).

2. Breathing Control

Breathing control merupakan intervensi yang bertujuan untuk

megurangi upaya yang diperlukan untuk bernapas ketika sesak kambuh dan

membantu relaksasi dengan pernapasan yang lebih dalam, yang dapat

menghasilkan pola pernapasan yang ditingkatkan melalui penurunan laju

pernapasan dan mengurangi sesak napas (Borge, et Al., 2014). Breathing

control dapat mengurangi sesak napas dengan mengurangi hiperinflasi

dinamis, memperbaiki pertukaran gas, meningkatkan kekuatan dan daya

tahan otot-otot pernapasan (Valenza et Al., 2014).


38

3. Mobilisasi Sangkar Thoraks

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) ditandai dengan eksaserbasi

akut yang menyebabkan sesak napas, batuk dan penurunan ekspansi dada.

Salah satu intervensi fisioterapi dalam hal mengatasi permasalahn tersebut

adalah mobilisasi sangkar thoraks, yang bertujuan untuk meningkatkan

ekspansi thoraks dan juga mengurangi sesak napas pada pasien PPOK

(Mulay, et Al, 2017). Mobilasasi sangkar thoraks atau mobilisasi dada

terdiri dari dua teknik yaitu secara aktif dan pasif. Mobilisasi dada

membantu meningkatkan mobilitas dinding dada, fleksibilitas, dan

kepatuhan thoraks sehingga meingkatkan panjang otot intercostal dan

membantu dalam melakukan kontraksi otot yang efektif (M Jones & F

Moffatt, 2002). Mobilisasi sangkar thoraks ini dilakukan dua kali dalam

sehari dengan 3 set, setiap set terdiri dari 15 kali pengulangan (Mulay et

al., 2017).
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah dilakukan terapi sebanyak 6 kali pada kasus Penyakit Paru

Obstruktif Kronis pada Tn. S didapatkan hasil sebagai berikut:

1. Nebulizer dapat mengurangi sesak napas dan juga dapat membantu

pengeluaran sputum pada keluhan Penyakit Paru Obstruktif Kronis.

2. Breathing Control dapat membantu mengurangi sesak napas terutama

ketika sedang kambuh dan juga dapat meningkatkan aktifitas fungsional

pasien pada Penyakit Paru Obstruksi Kronis.

3. Mobilisasi sangkar thoraks dapat membantu meningkatkan ekspansi

sangkar thoraks pada Penyakit Paru Obstruksi Kronis.

B. Saran

Setelah melakukan terapi pada kasus Penyakit Paru Obstruktif Kronis,

sebaiknya fisioterapi memberikan saran:

1. Kepada pasien

Pasien harus memiliki keinginan dan kesungguhan yang kuat untuk

sembuh, agar semangat dalam melakukan latihan, sehingga semua tujuan

yang diharapkan dapat tercapai. Pasien juga disarankan untuk melakukan

latihan breathing control dan mobilisasi sangkar thoraks aktif pada pagi

hari dan sore hari saat di rumah.

39
40

2. Kepada fisioterapis

Sebelum melakukan tindakan terapi sebaiknya terapis mengawali

dengan pemeriksaan yang sesuai, karena sangat berpengaruh terhadap

penentuan diagnosa. Kemudian dalam menentukan modalitas dan juga

edukasi harus benar agar tercapai semua tujuan yang diharapkan baik itu

tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka panjang. Selain itu fisioterapis

juga harus mengevaluasi setelah melakukan terapi, agar dapat mengetahui

perkembangan yang telah dialami pasien. Ketika memberikan modalitas

hendaknya melakukan sesuai dengan prosedur yang sudah diatur, seperti

pemberian dosis pada modalitas sebagai berikut:

a. Nebulizer

Pemberian nebulizer pada pasien harus efektif, terapis harus

memperhatikan obat apa yang akan dimasukkan serta kontra indikasi

pada obat tersebut, dan juga dosis yang diberikan harus sesuai dengan

prosedur yang ada, yaitu dilakukan 2 kali sehari pada pagi hari dan

malam hari.

b. Breathing control

Pada prosedur breathing control pasien harus diberikan

penjelasan bagaimana prosedur yang benar agar tercapai tujuan yang

diharapkan.

c. Mobilisasi sangkar thoraks

Pada prosedur mobilisasi sangkar thoraks terapis harus

mengerti bagaimana teknik dan prosedur yang benar, dan juga terapis
41

harus mengetahui dosis yang tepat. Pada teknik ini dosis yang

disarankan yaitu dilakukan 2 kali dalam sehari 3 set, setiap set terdiri

dari 15 kali pengulangan.

3. Kepada masyarakat

Masyarakat diharapkan untuk menerapkan pola hidup sehat seperti

menjaga makanan dan minuman yang dikonsumsi, rutin berolahraga dan

tidak merokok, karena banyak dampak buruk yang terjadi akibat rokok

seperti Penyakit Paru Obstruktif Kronis.


DAFTAR PUSTAKA

Borge, C. R., Hagen, K. B., & Mengshoel, A. M. et al. (2014). Effects of controlled
breathing exercises and respiratory muscle training in people with chronic
obstructive pulmonary disease: Results from evaluating the quality of evidence
in systematic reviews. BMC Pulm Med, 14(1), 184.
https://doi.org/10.1186/1471-2466-14-184
Brooke, K. (2018). breathing control.
Caia, F. (2011). Perawatan Respirasi.
Crisafulli, E., Costi, S., Fabbri, L. M., & Clini, E. M. (2007). Respiratory muscles
training in COPD patients. International Journal of COPD, 2(1), 19–25.
https://doi.org/10.2147/copd.2007.2.1.19
Devereux, & Graham. (2006). ABC kronis penyakit paru obstruktif. Definisi,
epidemiologi, dan faktor risiko.
Dimitrova, A., Izov, N., Maznev, I., Vasileva, D., & Nikolova, M. (2017).
Рhysiotherapy in Patients with Chronic Obs tructive Pulmonary Disease, 5(6),
720–723.
El-yakubu, B. (2016). Objectives :, 20, 1–23. https://doi.org/10.1007/978-1-4614-
0944-1
Feghali-Bostwick, C., Gadgil, A., & Otterbein, L. (2008). Autoantibodies in
patients with chronic obstructive pulmonary disease.
Ics, C. (2016). Asthma & COPD Medication List LONG-TERM CONTROL
MEDICATIONS ( used for prevention / control of asthma , NOT treatment of
acute exacerbations ), 1–11.
Imron, M. A. (2017). Panduan Praktek Klinis Fisioterapi, (8), 375.
Indonesia, K. (2013). Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta: Badan Litbangkes, 20,
3. Retrieved from
http://biofarmaka.ipb.ac.id/biofarmaka/2014/Riskesdas2013 - Questionnaire -
RKD13. IND.pdf
Isnaini, & Wahyuni. (2017). Pemeriksaan Fisioterapi.
Jennifer, A., & Prasad, S. (2008). Physiotherapy for respiratory and cardiac
problems.
Johns, D. P., Walters, J. A. E., & Haydn Walters, E. (2014). Diagnosis and early
detection of COPD using spirometry. Journal of Thoracic Disease, 6(11),
1557–1569. https://doi.org/10.3978/j.issn.2072-1439.2014.08.18
Kennedy SM, Chambers R, Du W, & Dimich-Ward H. (2007). Eksposur
lingkungan dan pekerjaan: apakah mereka mempengaruhi penyakit paru
obstruktif kronik berbeda pada wanita dan laki-laki?
Kisner, & Colby. (2007). Theurapeutic Exercise Foundation and Techniques.
Leelarungrayub, D. (2012). World â€TM s largest Science , Technology & Medicine
Open Access book publisher Chest Mobilization Techniques for Improving
Ventilation and Gas Exchange in Chronic Lung Disease.
Lubis, E. F. (2014). Chronic Obstructive Pulmonary Disease ( Copd ) Management
in Old Male With History As Active. Agromed Unila, 1(2), 92–98.
Macintyre, N. R. (2009). Spirometry for the diagnosis and management of chronic
obstructive pulmonary disease. Respir Care, 54(8), 1050–1057. Retrieved
from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve&db=PubMed
&dopt=Citation&list_uids=19650946
MacNee, W. (2006). Pathology, pathogenesis, and pathophysiology. Bmj,
332(7551), 1202–1204. https://doi.org/10.1136/bmj.332.7551.1202
M Jones, & F Moffatt. (2002). Cardiopulmonary physiotherapy.
MIMS. (2018). MIMS. Retrieved from
https://www.mims.com/indonesia/drug/info/combivent/?type=brief
Mulay, S. U., Devi, T. P., & Jagtap, V. K. (2017). Effectiveness of Shoulder and
Thoracic Mobility Exercises on Chest Expansion and Dyspnoea in Moderate
Chronic Obstructive Pulmonary Disease Patients. International Journal of
Physiotherapy and Research, 5(2), 1960–1965.
https://doi.org/10.16965/ijpr.2017.115
Neuro, P. G. (1970). Control of breathing. Bmj, 3(5725), 720–721.
https://doi.org/10.1136/bmj.3.5725.720
Oemiati, R. (2013). Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK). Media Litbangkes, 23(2), 82–88. https://doi.org/1 Desember 2013
Patwa, A., & Shah, A. (2015). Anatomy and physiology of respiratory system
relevant to anaesthesia. Indian Journal of Anaesthesia, 59(9), 533–541.
https://doi.org/10.4103/0019-5049.165849
PDPI. (2003). Asma. Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksaan Asma Di Indonesia,
105.
Pngriver. (2017). No Title. Retrieved from www.pngriver.com
Putra, W., & Artika, I. D. M. (2007). Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Paru
Obstruktif Kronis. Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar,
1–16.
Riswanalfarid. (2017). kumpulan tentang penyakit paru. Retrieved from
https://riswanalfaridblog.wordpress.com/2017/10/25/beberapa-kumpulan-
tentang-penyakit-paru-paru/
Sari, P., Putri, S., Prasodjo, J. B., Murti, B., & Haryati, S. (2010). PPOK :
Spirometri vs . Foto Thorax PA. Cdk, 36–38.
Soeroto, A. Y., & Suryadinata, H. (2014). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia, 1(2), 32. Retrieved
from http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf
Students, N., Countries, N., & View, C. S. (2013). Effectiveness of Breathing
Exercises on Pulmonary Function Parameters and Quality of Life of Patients
with Chronic Obstructive ... International Journal of Health Sciences and
Research, 3(11), 80–85.
Tafsirq. (2015). No Title. Retrieved from https://tafsirq.com
Tashkin, D. P., Klein, G. L., Colman, S. S., Zayed, H., & Schonfeld, W. H. (2007).
Comparing COPD Treatment: Nebulizer, Metered Dose Inhaler, and
Concomitant Therapy. American Journal of Medicine, 120(5), 435–441.
https://doi.org/10.1016/j.amjmed.2006.07.043
Valenza, M. C., Valenza-Pena, G., Torres-Sanchez, I., Gonzalez-Jimenez, E.,
Conde-Valero, A., & Valenza-Demet, G. (2014). Effectiveness of Controlled
Breathing Techniques on Anxiety and Depression in Hospitalized Patients
With COPD: A Randomized Clinical Trial. Respiratory Care, 59(2), 209–215.
https://doi.org/10.4187/respcare.02565
Wahyuni, L. (2002). Effect of Nebulizer and Effective Cough on the Status of
Breathing Copd Patients Abstract.
WERDHANI, R. A. (2009). Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi
Tuberkulosis. Journal of Biological Chemistry, 1(1), 795–801.
https://doi.org/10.1016/j.chemphyslip.2013.12.004
Wise, R. J. S., & Adams, L. (n.d.). No Title.

Anda mungkin juga menyukai