Transfer pricing merupakan kebijakan perusahaan dalam menentukan harga transfer atas
transaksi barang, jasa, harta tidak berwujud maupun transaksi finansial yang menjadi
aktivitas perusahaan. Dapat juga diartikan sebagai besaran harga yang dibebankan satuan
usaha individual pada perseroan multi satuan usaha atas transaksi yang terjadi di antara
mereka.
Setiap satuan usaha menggunakan konsep ini jika usaha tersebut dijadikan sebagai pusat laba,
serta memiliki tanggung jawab atas laba yang berasal dari penanaman modal. Melalui
penerapan transfer pricing, perusahaan dapat melakukan pelaporan rugi sehingga tidak harus
membayar pajak.
Perusahaan diwajibkan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan transaksi afiliasi di
dalam dan luar negeri. Hal ini dilakukan untuk menyusun dan menyerahkan Dokumen
Penetapan Harga Transfer sesuai dengan kebijakan pelaporan yang ditetapkan.
Kemungkinan transfer pricing dapat terjadi antar perusahaan, baik dalam anggota perusahaan
tersebut maupun dengan pihak-pihak yang mempunyai keterikatan istimewa di dalam dan
luar negeri.
Adanya transaksi transfer pricing yang dilakukan antar perusahaan biasanya terjadi
dimulai dengan suatu hubungan istimewa antara perusahaan tersebut. Sehingga, hubungan
istimewa dalam memperoleh penghasilan menjadi indikasi terpenting untuk menghitung
laba kena pajak.
Dalam pemaparan yang lebih lanjut mengenai tujuan transfer pricing sebagai berikut.
Hukum
Dari sisi hukum perseroan dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi dan
sinergi antara perusahaan dengan pemegang sahamnya (Wolfgang Schon, 2014).
Akuntansi
Sementara dari sisi akuntansi manajerial, kegunaan transfer pricing adalah untuk
memaksimalkan laba pada perusahaan lewat penetapan harga barang atau jasa yang
dilakukan oleh unit organisasi dari suatu perusahaan kepada unit organisasi lainnya dalam
perusahaan yang sama.
Perpajakan
Dari perspektif perpajakan, transfer pricing merupakan kebijakan harga dalam transaksi yang
dilakukan oleh pihak- pihak yang memiliki hubungan istimewa. Harga transfer dijelaskan
sebagai harga yang ditentukan Wajib Pajak pada saat menjual, membeli dan membagi sumber
daya dengan afiliasinya.
Pejoratif
Anggapan terhadap transfer pricing lebih dikonotasikan sebagai sesuatu yang tidak baik dan
memiliki makna pejoratif, yaitu pengalihan atas penghasilan kena pajak dari satu perusahan
dalam suatu grup perusahaan multinasional kepada perusahaan lain dalam satu grup
perusahaan yang sama di negara dengan tarif pajak lebih rendah. Pengalihan tersebut
dilakukan untuk mengurangi total beban pajak dari grup suatu perusahaan multinasional.
Penjelasan pejoratif yang dipaparkan berlandaskan pada manipulasi transfer pricing, abuse of
transfer pricing, transfer mispricing, dan lain sebagainya. Dalam hal ini manipulasi transfer
pricing dimaknai sebagai aktivitas menentukan harga transfer pada ketetapan yang terlalu
besar atau terlalu kecil dengan tujuan membuat pajak yang terutang menjadi lebih rendah.
Perusahaan Bintang Timur mempunyai 2 divisi, yaitu Divisi Batu dan Divisi Bata.
Divisi Batu merupakan divisi pemasok komponen utama Divisi Bata dengan harga transfer
Rp10/unit. Divisi Batu juga menjual ke pasar dengan harga Rp 12,50 /unit. Biasanya
penjualan ke pasar berjumlah 25% dari penjualan sebanyak 2.000 unit komponen per
tahun.
Berikut ini adalah data Laporan Laba/Rugi Divisi Batu untuk tahun 2017.
Penjualan Rp21.250,-
Biaya Variabel @ Rp8/unit Rp16.000,-
Contribution Margin Rp5.250,-
Biaya Tetap Rp 2.000,-
Laba Bersih Rp 3.250,-
Divisi Bata mendapat penawaran dari pihak luar untuk membeli komponen dengan harga
Rp9 /unit. Divisi Batu menyatakan bahwa tidak mungkin untuk menjual dengan harga
seperti penawaran pihak luar karena tidak akan memperoleh laba sama sekali.
Diminta :
a) Jika Anda seorang manajer, berilah komentar Anda terhadap pernyataan Divisi Batu
tersebut. Asumsikan bahwa kapasitas Divisi Batu sudah dipakai secara maksimum!
Jawab :
Jika divisi batu menjual ke divisi Bata dengan harga Rp 9 /unit.
Jadi, dengan demikian Divisi Batu masih bisa menjual produk ke Divisi Bata dengan
harga Rp 9 /unit, karena Divisi Batu masih mendapatkan laba sebesar Rp1.750,-
b) Divisi Batu dapat menaikan penjualan produk ke pasar sebesar 1.500 unit komponen
dengan menaikan biaya tetap sebesar Rp2.000,- dan biaya Variabel Rp1 /unit. Misalkan
kapasitas maksimum 2.000 unit komponen /tahun, apakah sebaiknya Divisi Batu
memusatkan penjualan produk ke luar dan mengabaikan transfer intern. Jelaskan dengan
perhitungan !
Jawab :
Jika divisi Batu menjual ke pasar sebesar 1.500 unit
Maka, sebaiknya divisi Batu memusatkan penjualan produk ke pasar eksternal saja dan
mengabaikan transfer internal, karena penjualan produk ke divisi Bata ( transfer Internal )
hanya mendapatkan laba sebesar Rp500,-
Jika divisi Batu memusatkan seluruh penjualan produk ke pasar eksternal, maka Laba
Bersih yang di peroleh adalah sebesar Rp2.000,-. dengan perhitungan sebagai berikut :
Transfer Pricing
Pada umumnya perusahaan didirikan untuk terus berkembang menjadi besar, sesuai dengan
konsep berkelanjutan. Perusahaan yang semakin besar akan memiliki kapasitas produksi yang
cukup besar pula. Oleh karena itu, banyak perusahaan besar yang menggunakan sistem
pembagian departemen untuk setiap kali produksi. Jadi pada satu rangkaian produksi, suatu
bahan akan melewati beberapa departemen. Hal ini dirasa efektif karena masing-masing
departemen memiliki kefokusan yang lebih, tentang hasil output dari departemennya.
Sehingga kualitas produk perusahaan secara global memiliki nilai yang baik.
Pembagian satu lini produksi menjadi beberapa departemen akan memunculkan transfer
pricing. Transfer pricing secara umum merupakan pengalihan beban dari satu devisi ke
devisi lain yang masih dalam satu organisasi. Oleh karena itu, transfer pricing berbeda
dengan harga jual yang merupakan nilai produk atau jasa yang ditransfer ke luar organisasi
(pihak eksternal).
Pembebanan laba pada proses transfer pricing terkadang akan menimbulkan masalah. Hal ini
terjadi jika terdapat departemen yang hanya berfokus pada laba departemen nya, sehingga
akan membebani departemen berikutnya. Kondisi yang seperti ini akan membuat harga jual
produk ke luar perusahaan (eksternal) menjadi tinggi sehingga kalah dalam persaingan.
Mungkin laba pada satu departemen meningkat, tapi hal itu menjadi tidak penting ketika
tidak ada pendapatan yang masuk ke dalam perusahaan.
Pada penekanan masalah dalam proses transfer pricing terdapat beberapa alternatif yang
digunakan untuk menentukan harga transfer yang akan digunakan pada masing-masing
departemen. Terdapat tiga alternatif yaitu:
1. mengijinkan manajer devisi untuk menegosiasikan harga transfernya,
2. menyusun harga transfer berdasarkan biaya tetap serta biaya variabel yang
dikeluarkan masing-masing devisi, dan
3. menyusun harga transfer sesuai harga pasar.
Contoh:
Perusahaan memiliki dua departemen dalam kegiatan produksinya. Data untuk ke dua
departemennya dapat dijelaskan pada tabel berikut:
Keterangan Departemen 1 Departemen 2
Produksi satu tahun 100.000 Produk 80.000 Produk
Harga Jual Per Unit Rp3.000,- Rp6.000,-
Biaya Tetap Rp170.000.000,- Rp150.000.000,-
Biaya Variabel :
a. Biaya Produksi Rp60.000.000,- Rp50.000.000,-
b. Biaya Pemasaran Rp40.000.000,- Rp30.000.000,-
Kondisinya jika departemen 1 memiliki opsi untuk melakukan penjualan kepada departemen
2 atau ke pasar reguler (di luar perusahaan/eksternal). Jika departemen 1 memilih opsi
menjual seluruh produksinya, maka departemen 1 tidak perlu lagi mengeluarkan biaya
pemasaran. Maka harga transfer yang digunakan dapat dijelaskan sebagai berikut:
Metode yang digunakan untuk menentukan harga transfer (transfer pricing) yang wajar
Metode yang dapat digunakan untuk menentukan harga transfer (transfer pricing) yang wajar
yang dilakukan oleh perusahaan multinasional yang melakukan transfer pricing, yaitu:
Metode ini membandingkan harga transaksi dari pihak yang ada hubungan istimewa tersebut
dengan harga transaksi barang sejenis dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa (pembanding independen), baik itu internal CUP maupun eksternal CUP. Metode
ini sebenarnya merupakan metode yang paling akurat, tetapi yang sering menjadi
permasalahan adalah mencari barang yang benar-benar sejenis.
Contoh:
PT ABG menyerahkan penjualan barang X kepada afiliasinya PT Generasi Y dengan harga
franko tujuan Rp10.000.000,-. Di saat yang sama PT ABG juga menjual barang X kepada
pihak ketiga PT KLM dengan harga franko pabrik Rp10.000.000,- dan biaya pengangkutan
dan asuransi Rp500.000,- Dengan metode CUP harga jual wajar barang X dari PT ABG
kepada PT Generasi Y adalah Rp10.000.000,-+ Rp500.000,- = Rp10.500.000,-
Metode ini digunakan dalam hal Wajib Pajak bergerak dalam bidang usaha perdagangan,
dimana produk yang telah dibeli dari pihak yang mempunyai hubungan istimewa dijual
kembali (resale) kepada pihak lainnya (yang tidak mempunyai hubungan istimewa). Harga
yang terjadi pada penjualan kembali tersebut dikurangi dengan laba kotor (mark up) wajar
sehingga diperoleh harga beli wajar dari pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
Contoh:
PT A3 menyerahkan barang kepada afiliasinya PT B3 dengan harga Rp10.000.000,-. PT B
kemudian menyerahkan barang tersebut kepada pihak ketiga PT C3 (independen) dengan
harga Rp20.000.000,-. Diketahui ternyata ada transaksi antara pihak independen, yaitu PT Z3
yang juga menyerahkan produk yang sejenis kepada PT Y3 dengan kenaikan harga jual
(mark up) 20%. Dengan demikian, harga jual yang wajar dari PT A3 kepada PT B3 adalah
Rp20.000.000,- - (20% x Rp20.000.000,-) = Rp16.000.000,-. Jadi, harga jual PT A3 terlalu
rendah dari yang seharusnya karena ada transfer pricing.
Metode ini dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh
perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi
sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa. Umumnya digunakan
pada usaha pabrikasi.
Contoh:
PT A3 memproduksi barang dengan biaya Rp500.000,- dan menyerahkan barang tersebut
kepada afiliasinya PT B3 dengan harga Rp900.000,-. PT Y3 juga memproduksi produk
sejenis dengan biaya sebesar Rp600.000,- dan menjualnya kepada PT Z3 (tidak ada hubungan
istimewa) dengan harga Rp900.000,-. Dari penjualan PT Y3 terlihat bahwa persentase laba
kotor dari biaya adalah sebesar 30 : 60 = 50%. Dengan cost-plus method, dapat diketahui
bahwa harga wajar penjualan PT A3 ke PT B3 adalah: Rp500.000,- + (50% x Rp500.000,-) =
Rp750.000,-. Jadi, bisa dianggap bahwa harga beli PT B3 lebih mahal (sebesar Rp150.000,-
Rp900.000,- - Rp750.000,-)dari yang seharusnya dan dapat dikoreksi biayanya oleh DJP
(Fiskal).
Kesimpulan
Akibat harga yang lebih mahal ini, mengakibatkan Laba Perusahaan PT B3 semakin kecil
dengan sendirinya membawa kerugian negara akan jumlah pajak yang dapat dipungut dari PT
B3
Metode ini dilakukan dengan membandingkan persentase laba bersih operasi terhadap biaya,
terhadap penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara pihak-
pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan persentase laba bersih operasi yang
diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa atau persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding yang
dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa lainnya.
Contoh:
PT ABC merupakan produsen alat-alat kecantikan yang menjual ke perusahaan grup di
Malaysia (ABC Bhd) dan menggunakan merk ABC Bhd. Dalam hal ini, ABC Bhd hanya
menjual produk PT ABC. Berdasarkan analisis, diketahui juga bahwa PT XYZ yang
menjual produk serupa dan memperoleh laba operasi sebesar 10%. Untuk itu, harga
transfer PT ABC kepada ABC Bhd berdasarkan metode TNM adalah sebagai berikut
image.pn
1. Mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, penyerapan tenaga kerja dan
peningkatan standar hidup yang berkelanjutan,
2. Perluasan ekonomi yang sehat,
3. Kontribusi perluasan perdagangan dunia secara multilateral berdasarkan non-
diskriminasi dari semua anggota.
Bidang yang menangani perpajakan dalam OECD dilakukan oleh Committee on Fiscal
Affairs (CFA). Terkait dengan transfer pricing CFA melalui sub groupnya yaitu working
party No.6 menerbitkan OECD transfer pricing guidelines (Darussalam, 2008). OECD
Transfer Pricing Guidelines berguna sebagai panduan bagi perusahaan multinasional dan
otoritas pajak dalam masalah transfer pricing.
Guidelines ini dibuat untuk membantu otoritas pajak maupun perusahaan multinasional
dalam memberikan panduan tentang cara penyelesaian perselisihan transfer pricing yang
saling menguntungkan antara masing-masing otoritas pajak, dan antara otoritas pajak dengan
perusahaan multinasional.
Beberapa ketentuan umum dalam pedoman (OECD, 1997) antara lain yaitu:
Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price)
atau disingkat CUPM adalah metode penentuan harga transfer yang dilakukan dengan
membandingkan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa dengan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang
tidak mempunyai hubungan istimewa dalam kondisi atau keadaan yang sebanding.
a. Barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki karakteristik yang identik dalam
kondisi yang sebanding, atau
b. Kondisi transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak memiliki Hubungan Istimewa identik
atau memiliki tingkat kesebandingan yang tinggi atau dapat dilakukan
penyesuaian yang akurat untuk menghilangkan pengaruh dari perbedaan kondisi
yang timbul.
Apabila tak ada kondisi di atas yang sesuai, maka CUPM tidak dapat digunakan dan Wajib
Pajak harus menggunakan metode lainnya yang sesuai.
Cost-Plus Method (CPM)
Harga pasar wajar ditentukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh
yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau
tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan
pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa pada harga pokok penjualan yang telah
sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Kondisi yang tepat untuk
menggunakan CPM adalah:
Apabila tak ada kondisi di atas yang sesuai, maka metode CPM tidak dapat digunakan dan
Wajib Pajak harus menggunakan metode lainnya yang sesuai.
Metode harga penjualan kembali (resale price method) atau disingkat RPM adalah metode
penentuan harga transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi
suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa
dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi laba kotor wajar, yang
mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali produk tersebut kepada pihak
lain yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau penjualan kembali produk yang
dilakukan dalam kondisi wajar.
a. Tingkat kesebandingan yang tinggi antara transaksi antara Wajib Pajak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antara Wajib Pajak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa, khususnya tingkat kesebandingan berdasarkan
hasil analisis fungsi, meskipun barang/jasa yang diperjualbelikan berbeda, dan
b. Pihak penjual kembali (reseller) tidak memberikan nilai tambah yang signifikan
atas barang atau jasa yang diperjualbelikan.
Profit Split
a. Metode ini juga digunakan apabila data pembanding tidak cukup lengkap,
b. Membandingkan laba bersih dengan Harga Pokok Penjualan (HPP), Penjualan
atau aktiva yang dipergunakan untuk menghasilkan laba bersih tersebut, setelah
itu laba bersih atas transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa.
OECD Guidelines tidak memperkenankan metode lainnya untuk menentukan harga pasar
wajar karena metode ini tidak mencerminkan harga pasar wajar yang sesungguhnya. Metode
ini terdiri dari global split method dan juga formulary apportionment method.
Dalam Pasal 18 ayat (3) UU PPh, dinyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang
untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang
sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan
kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan
metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali,
metode biaya-plus atau metode lainnya.
Maksud diadakannya ketentuan ini (pasal 18 ayat 3 UU PPh) adalah untuk mencegah
terjadinya penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila
terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari
semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian,
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan
dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak
terdapat hubungan istimewa.
Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut digunakan metode
perbandingan harga antara pihak yang independen (Comparable Uncontrolled Price Method),
metode harga penjualan kembali (Resale Price Method), metode biaya-plus (Cost-Plus
Method) atau metode lainnya seperti metode pembagian laba (Profit Split Method) dan
metode laba bersih transaksional (Transactional Net Margin Method).
Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,-
(lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima
puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a)
yang dikenai atas PKP dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,- (empat
miliar delapan ratus juta rupiah).
Pembahasan lebih Luas tentang Transfer Pricing ada di buku Bapak.
Selamat membaca.