Anda di halaman 1dari 2

Pelecehan seksual terhadap wanita sangat meluas dan telah ditemukan berdampak negatif terhadap

tempat kerja perempuan produktivitas, emosionalitas, dan hubungan dengan keluarga (Celik & Celik,
2007; Pryor, 1995).

Menurut Collier (1992) pelecehan seksual secara etiolog dapat diartikansebagai segala macam bentuk
perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukansecara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang
menjadi sasaran, dan penolakan atau penerimaan korban atas perilaku tersebut dijadikan sebagai bahan
pertimbangan baik secara implisit maupun eksplisit. Salah satunya yaitu street harrasshment. Salah satu
bentuk dari street harasshment yang sudah sangat sering dialami oleh perempuan adalah harasshment
dalam berbentuk verbal seperti catcalling. Bentuk riil dari perbuatan catcalling adalah berupa melakukan
hal-hal bertendensi seksual, entah bersifat implisit maupun eksplisit, diantaranya yang sering terjadi
adalah bersiul, berseru, memberi gestur atau komentar yang biasanya cenderung ditunjukkan kepada
perempuan walaupun tidak menutup kemungkinan kalau laki-laki juga dapat saja menjadi korban. Tetapi,
yang banyak terlihat di dalam masyarakat kita adalah siulan dan komentar-komentar bernada seksis yang
ditunjukkan kepada perempuan di ruang publik. Entah itu halte bis, stasiun kereta api, pinggir jalan raya,
maupun di kompleks perumahan. Biasanya ucapan-ucapan tersebut seperti, “Neng cantik mau
kemana?”, “Mau ditemenin ga neng?”, “Hai, cantik”, “Duh, judes banget sih mukanya neng”, atau bahkan
dalam bentuk ucapan yang lebih ekstrem lagi seperti, “Duh, (maaf), dadanya boleh lah tuh,”, “Seksi
banget sih”, “Pakai baju seksi kayak gitu mau kemana sih, Neng? Sini abang temenin” dan ucapan-ucapan
bernada seksual serta melecehkan lainnya. Dan bila perempuan yang menjadi target catcalling sedang
menggunakan hijab serta berpakaian tertutup, ucapan-ucapan bernada serupa juga tetap dilontarkan
seperti “Assalamualaikum, Bu Haji, mau kemana?”, “Neng, mau pergi pengajian ya?” dan ucapan-ucapan
tersebut biasanya diikuti oleh tatapan yang bersifat melecehkan dan membuat perempuan menjadi
merasa tidak aman dan merasa kehilangan harga dirinya sebagai manusia yang sedang menunjukkan
kebebasan berekspresinya. Saya sendiri pun sejak SMP cukup sering mengalami street harassment
seperti demikian sehingga terkadang saya merasa tidak nyaman untuk berjalan melewati sekumpulan
laki-laki di jalanan meski pada akhirnya saya berusaha untuk tidak mempedulikan mereka.

Fenomena catcalling atau verbal street harassment merupakan sesuatu yang hampir selalu dialami atau
disaksikan oleh setiap orang di dalam kehidupannya dengan perempuan sebagai korban sementara laki-
laki cenderung untuk tidak diobjektifikasi secara seksual oleh orang-orang asing [1]. Meski demikian,
bukan berarti saya ingin mengatakan bahwa laki-laki terbebas dari ancaman sexual harassment. Baik laki-
laki maupun perempuan sama berpotensinya menjadi korban sexual harassment namun di dalam tulisan
kali ini saya ingin membahas kecenderungan perempuan untuk menjadi korban catcalling.

Dua dari ilmuwan pertama yang mempelajari mengenai fenomena street harassment, Benard dan
Schlaffer (1981) menemukan bahwa para perempuan ketika berada di jalanan di Wina mengalami
pelecehan dan tidak memperhatikan umur, berat badan, pakaian yang dikenakan, atau ras oleh laki-laki
yang berasal dari latar belakang berbagai ras dan level sosio-ekonomi [2].

Seorang peneliti bernama Gardner (1995) pun menemukan bahwa pengalaman perempuan yang
mendapatkan pelecehan di jalan dan mendapat lontaran-lontaran komentar yang bersifat seksis oleh
laki-laki asing di jalan membuat mereka merasa lebih rentan dan merasa bahwa tubuhnya bagaikan
objek parade untuk dinikmati atau terdegradasi oleh laki-laki asing. [3]

Walaupun hal-hal seperti ini sudah sangat sering terjadi, bukan berarti kita dapat memaklumi tindakan
tersebut. Bukan pula merupakan sesuatu yang patut dibanggakan karena catcalling sama sekali bukan
merupakan sebuah pujian. Apalagi merupakan sesuatu yang dapat didiamkan begitu saja. Masih
suburnya fenomena catcalling pertanda bahwa masih kuatnya objektifikasi terhadap perempuan. Bila
melihat fenomena ini melalui sudut pandang feminisme eksistensialis, analisis dari Meredith Tax,
seorang aktivis gerakan pembebasan perempuan di Amerika Serikat memberi penjelasan bahwa
perempuan dipaksa untuk membiasakan diri dengan siulan atau komentar seksual dari laki-laki ketika
perempuan berjalan di jalanan umum [4]. Memperkuat dari analisis Tax, Sandra Bartky mengamati
bahwa fenomena siulan dan komentar seksual laki-laki seperti catcalling menunjukkan betapa meratanya
objektifikasi perempuan pada masyarakat kita. Ke mana pun perempuan pergi, tampaknya tidak akan
dapat melepaskan diri dari pandangan laki-laki [5]. Tidak peduli saat itu perempuan tersebut sedang
menggunakan pakaian yang seperti apa karena pelaku catcalling akan tetap melakukan perbuatan
tersebut karena ingin menunjukkan kepada siapapun di lingkungan sekitarnya dan yang mendengar
ucapannya bahwa mereka lebih berkuasa, jantan, dan ruang publik tersebut merupakan milik mereka
[6]. Pada akhirnya, hal seperti ini bermuara kembali pada ketimpangan gender yang diakibatkan oleh
kuatnya konstruksi patriarki di dalam masyarakat. Perempuan diperlakukan sebagai objek dan
diperlakukan sebagai manusia subordinat di bawah laki-laki. Padahal menurut seorang feminis
eksistensialis, Simone de Beauvoir, perempuan juga sama seperti laki-laki, yaitu bersifat subjek daripada
objek. Perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk mewujudkan kebebasan
berekspresi dalam kehidupan kesehariannya. Termasuk dalam hal berpakaian. Sangat kurang tepat bila
mengaitkan peristiwa catcalling dengan menyalahkan pakaian yang dikenakan perempuan karena mau
berpakaian seperti apapun, perempuan tetap akan rentan menjadi korban catcalling dari lingkungan di
sekitarnya. Apapun motivasi pelaku terhadap korban, perbuatan catcalling tetap harus diminimalisasi
dan direduksi intensitasnya agar perempuan dapat memiliki rasa aman dalam menunjukkan kebebasan
berekspresi dan juga tidak menjadi rentan terhadap street harasshment lainnya selain catcalling.

Anda mungkin juga menyukai