Anda di halaman 1dari 14

UAS LINGKUNGAN UNTUK PENYEMBUHAN

RUMAH SAKIT PUSAT OTAK NASIONAL

LAPORAN INI DIBUAT UNTUK MEMENUHI PERSYARATAN


UJIAN AKHIR SEMESTER MATA KULIAH
DI 4007 LINGKUNGAN UNTUK PENYEMBUHAN

Oleh :

Ammar Ghiyas Dharmawan 17315010


M Ginang Prasidina Rahim 17315031

PROGRAM STUDI DESAIN INTERIOR


FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Manusia hidup sampai mereka meninggal. Tubuh mahluk hidup juga memiliki sistem
yang bekerja untuk bertahan hidup. Dan ketika sistem tersebut tidak berjalan sesuai
normalnya, maka terjadi hal yang dapat mengganggu tubuh manusia atau bahkan mengancam
nyawa mereka.
Menghadapi penyakit ini, setiap zaman manusia selalu berusaha untuk mencari solusi
yang tepat untuk mengidentifikasi dan memberantas masalah tersebut. Sejak awal peradaban
bermula, tidak hanya dokter saja yang berusaha memahami dan mencoba untuk
menyembuhkan penyakit, namun juga penduduk awam yang bekerja sehari-hari dikarenakan
belum adanya konsep rumah sakit dimana orang dapat berkumpul untuk menyembuhkan
penyakit. Dan sejak zaman pertukaran dagangan, banyak orang yang menyebarkan tidak
hanya obat namun juga menyebarkan penyakit secara tidak langsung.
Semenjak manusia menemukan media aksara alias penulisan, banyak catatan tentang
pengobatan yang ditulis tentang menyembuhkan berbagai macam penyakit, atau bahkan
untuk mencegah penyakit tersebut muncul. Keahlian dalam pengobatan dan panduan lewat
aksara inilah lama-kelamaan memperbanyak munculnya profesi dokter yang juga akhirnya
mencetuskan ide awal mulanya rumah sakit, dimana para dokter berkumpul di bawah satu
atap untuk menangani banyak pasien.
Profesi dokter yang sangat menjanjikan dikarenakan penyakit yang terus berubah dan
berkembang menjadikan pengembangan rumah sakit menjadi salah satu prioritas pertama
manusia dalam bertahan hidup.
Seiring berjalannya waktu, terutama ketika mata uang telah terbentuk, rumah sakit
mulai memiliki banyak bentuk seperti kantor praktik, puskesmas, rumah sakit umum dan
swasta. Semuanya memiliki peran yang berbeda sesuai kebutuhan masing-masing. Dalam pe-
rancangannya, mereka sama-sama bertujuan untuk menyembuhkan pasien-pasien yang
berobat. Yang paling berbeda adalah fasilitas yang dimilikinya. Seperti kantor praktik tidak
memiliki fasilitas rawat inap karena hanya dapat merawat pasien rawat jalan, dan puskesmas
dijalankan oleh sebuah unit organisasi dengan berbagai sumber pemasukan sedangkan rumah
sakit swasta maupun negeri memiliki satu pemasukan belaka yaitu dari rumah sakit yang
sama itu sendiri.
Rumah sakit di Indonesia memiliki berbagai protokol yang kompeten dengan negara
maju, namun dalam masalah teknologi masih mengejar. Dimana kualitas masih dijadikan
prioritas, dalam tingkat kuantitas Indonesia juga ditolong dengan adanya puskesmas pada tiap
daerah permukiman. Perkembangan dan munculnya banyak fasilitas kesehatan tersebut
tentunya memunculkan kompetisi pada tiap Rumah Sakit, berkompetisi dengan satu sama
lain untuk memajukan kinerja Rumah Sakit dan mempercerah masa depan tidak hanya pasien
mereka sendiri namun juga dokter mereka. Kompetisi Rumah Sakit dalam meningkatkan
kinerja mereka ini tentunya tidak bersifat linear.

Yang menjadi faktor terkuat dari Rumah Sakit ternyata bukanlah dokternya, namun
fasilitasnya. Sepandai apapun dokter atau tenaga kerja lainnya, akanlah sia-sia jika tidak
ditemani dengan fasilitas yang mencukupi. Alasan inilah, yang menjadikan zaman teknologi
yang sudah serba ada ini menjadikan pemasukkan uang menjadi sangat penting dalam
pembangunan Rumah Sakit.
Beberapa rumah sakit tentunya mendahulukan tenaga kerja sebelum fasilitas-fasilitas
rumah sakit, dimana tenaga kerja yang mencukupi nantinya akan menjadikan pembangunan
fasilitas tersebut lebih mudah dikembangkan. Dalam pembangunan fasilitas ini, banyak faktor
yang harus ditentukan agar input yang ada dapat segaris dengan output yang ada dalam
Rumah Sakit.
Pembangunan Rumah Sakit yang dapat memaksimalkan kinerja inilah menjadi masalah
utama dalam Rumah Sakit itu sendiri, jika kinerja dapat dimaksimalkan dengan desain yang
ada, maka akan semakin banyak tenaga kerja yang ingin bekerja pada instansi tersebut dan
menambah pemasukkan Rumah Sakit tersebut sehingga dapat menambahkan fasilitas dan
teknologi yang dapat memajukan kinerja dan menyelamatkan lebih banyak nyawa.
Salah satu rumah sakit pada daerah Cawang, Jakarta, yaitu Rumah Sakit Pusat Otak
Nasional merupakan sebuah Rumah Sakit swasta yang menjadi salah satu Rumah Sakit yang
akan dijadikan contoh subjek dalam permasalahan ini.

1.2. Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan
permasalahan pada penelitian ini:
1. Pada layout di RSPON Cawang memang terlihat banyak yang tidak efisien dan
kurang cocok untuk pasien namun perlu diteliti bila benar atau tidak? Apabila tidak
efisien seberapa inefisiensinya dan dampak apa yang dapat dihasilkan dari itu?

2. Desain layout seperti apakah yang lebih cocok untuk dapat diterapkan dalam
pengembangan RSPON Cawang dengan mempertimbangkan standar
Kementrian Kesehatan dan Departemen Kesehatan RI?

1.3. Tujuan Penelitian


Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, penelitian ini bertujuan
antara lain:

1. Mengevaluasi tingkat efisiensi layout di RSPON Cawang yang ada sekarang,


berdasarkan hasil layout analisis.

2. Merencanakan layout pengembangan RSPON Cawang yang sesuai dengan


standar rumah sakit dari Kementrian Kesehatan dan Departemen Kesehatan RI
dan efisiensi movement tenaga medis dan pasien.

1.4. Manfaat Penelitian


Penelitian ini memberikan manfaat bagi beberapa pihak, antara lain:
1. Bagi pihak manajemen RSPON Cawang, bahwa hasil penelitian ini diharapkan
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan manajemen dalam mendesain
ulang layout RSPON Cawang, sehingga movement lebih efisien, tidak mudah
lelah dan lebih fokus ke pelayanan.

2. Bagi peneliti lain, diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi dalam
penelitian yang terkait dengan hospital layout, untuk pengembangan ilmu
manajemen rumah sakit yang biasanya hanya membahas pada level
aktifitasnya saja, kini harus menghubungkan dengan desain fisik rumah sakit.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1. Studi Literatur

Untuk mengidentifikasi sesuai tidaknya standar perancangan RSPON Cawang ini,


maka diperlukannya studi literatur mengenai tata cara pembangunan Rumah Sakit yang
sesuai dengan standar Rumah Sakit dari Kementrian Kesehatan dan Departemen
Kesehatan RI dan efisiensi movement tenaga medis dan pasien.
Tidak hanya itu namun juga dalam upaya memaksimalkan desain diperlukan juga
referensi dari berbagai Rumah Sakit agar usaha yang dilakukan dapat sejajar dengan
keinginan dan keperluan.

2.1.1. Standar Kesehatan Rumah Sakit


Pengertian Standar adalah rumusan tentang penampilan atau nilai
diinginkan yang mampu dicapai, berkaitan dengan parameter yang telah
ditetapkan (Donabedian, 1980 dalam Azwar, 1996).
Definisi Standar adalah spesifikasi dari fungsi atau tujuan yang harus
dipenuhi oleh suatu sarana pelayanan agar pemakai jasa dapat memperoleh
keuntungan yang maksimal dari pelayanan yang diselenggarakan (Rowland
dan Rowland, 1983 dalam Azwar, 1996).
Keputusan Menteri Kesehatan no. 228 tahun 2002 menyatakan bahwa
standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan sebagai patokan
dalam melakukan kegiatan. Standar ini dapat ditentukan berdasarkan
kesepakatan propinsi, kabupaten/kota sesuai dengan evidence base. Standar
pelayanan rumah sakit daerah adalah penyelenggaraan pelayanan manajemen
rumah sakit, pelayanan medik, pelayanan penunjang dan pelayanan
keperawatan, baik rawat inap maupun rawat jalan yang minimal harus
diselenggarakan oleh rumah sakit.
Standar pelayanan dokter/dokter gigi yang harus diatur adalah standar
pelayanan yang diberikan secara langsung oleh dokter kepada pasien, terlepas
dari strata unit pelayanan tempat dia bekerja. Masalah keterbatasan sarana dan
teknologi hanya menjadi pertimbangan ketika kelak terjadi penyimpangan
(Mohamad, 2005).
Standar pelayanan yang digunakan harus sesuai dengan standar profesi
yang berlaku dan kode etik kedokteran saat ini. Setiap rumah sakit gigi dan
mulut dalam memberikan pelayanan mempunyai kewajiban untuk
melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar profesi kedokteran gigi yang
ditetapkan.
Standar profesi berdasarkan Undang-Undang No.23 Tahun 1992 adalah
pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan
profesi secara baik. Tenaga kesehatan yang berhadapan dengan pasien seperti
dokter dan perawat dalam melaksanakan tugasnya harus menghormati hak
pasien. Hak pasien adalah hak informasi, hak untuk memberikan persetujuan,
hak atas rahasia kedokteran dan hak atas pendapat kedua (second opinion)
(Nasution, 2005). Setiap RSGM dalam memberikan pelayanan mempunyai
kewajiban-kewajiban, salah satunya adalah melaksanakan pelayanan sesuai
dengan standar pelayanan RSGM dan standar profesi kedokteran gigi yang
ditetapkan.
Pelayanan kesehatan adalah suatu sistem lembaga, orang, tekonologi dan
sumber daya yang dirancang untuk meningkatkan status kesehatan suatu
populasi, misalnya pencegahan, promosi, pengobatan dan sebagainya
(Adikoesoemo, 1997).

Standar pelayanan yang harus dimiliki oleh rumah sakit menurut Azwar
(1996) adalah sebagai berikut:

 Pelayanan farmasi harus dilakukan dibawah pengawasan tenaga ahli


farmasi yang baik
 Rumah sakit harus menyediakan pelayanan laboratorium patologi anatomi
dan patologi klinik
 Rumah sakit harus menyediakan ruang bedah lengkap dengan fasilitasnya
 Rumah sakit harus dibangun, dilengkapi dan dipelihara dengan baik untuk
menjamin kesehatan dan keselamatan pasiennya.
Crosby dalam Azwar (1997) menyatakan bahwa mutu adalah kepatuhan
terhadap standar yang telah ditetapkan, sedangkan Aditama (2002)
menyatakan bahwa mutu adalah pelayanan yang mengacu pada kemampuan
rumah sakit memberi pelayanan yang sesuai dengan standar profesi kesehatan
dan dapat diterima oleh pasiennya.

Mutu pelayanan hanya dapat diketahui apabila telah dilakukan penilaian-


penilaian, baik terhadap tingkat kesempurnaan, sifat, wujud, ciri-ciri pelayanan
kesehatan dan kepatuhan terhadap standar pelayanan. Setiap orang mempunyai
kriteria untuk kualitas dan mempunyai cara-cara penilaian yang berbeda.
Penyedia layanan kesehatan tidak dapat mengetahui apakah para pasien yang
memberikan pendapat yang positif atau negatif bisa mewakili seluruh populasi
yang dilayani (Kongstvedt, 2000). Perbedaan tersebut dapat diatasi
dengan kesepakatan bahwa mutu suatu pelayanan kesehatan dianggap baik
apabila tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standar
pelayanan profesi yang telah ditetapkan (Azwar, 1996).

Kegiatan penilaian secara umum harus meliputi tiga tahap.


 Tahap pertama adalah menetapkan standar, kemudian
 Tahap kedua adalah menilai kinerja yang ada dan membandingkan dengan
standar yang sudah disepakati dan
 Tahap ketiga meliputi upaya memperoleh kinerja yang menyimpang dari
standar yang sudah ditetapkan (Aditama, 2002).
Standar ini telah dikembangkan oleh badan usaha, atau badan usaha dapat
menggunakan standar yang dikembangkan oleh organisasi profesional dan
dipublikasikan dalam literatur medis (Kongstvedt, 2000).
Tiga aspek penilaian mutu pelayanan menurut Jonas dan Rosenberg dalam
Aditama (2002), yaitu:

a. Aspek pendekatan

1. Pendekatan secara umum


Pendekatan secara umum dilakukan dengan menilai kemampuan rumah sakit
dan atau petugas dan membandingkannya dengan standar yang ada. Para
petugas dapat dinilai tingkat pendidikannya, pengalaman kerjanya, serta
pengalaman yang dimilikinya. Rumah sakitnya dapat dinilai dalam segi
bangunan fisik, administrasi organisasi dan manajernya, kualifikasi SDM
yang tersedia dan kemampuan memberi pelayanan sesuai standar yang
berlaku saat itu.

2. Pendekatan secara khusus


Pendekatan secara khusus dilakukan dengan menilai hubungan antara pasien
dengan pemberi pelayanan di rumah sakit.

b. Aspek teknik
Dilakukan penilaian atas tiga komponen, yaitu:

1. Komponen struktur
Komponen struktur menilai keadaan fasilitas yang ada, keadaan
bangunan fisik, struktur organisasi, kualifikasi staf rumah sakit dan lain-lain.

2. Komponen proses
Komponen proses menilai apa yang terjadi antara pemberi pelayanan dengan
pasiennya.
3. Komponen hasil
Komponen hasil menilai hasil pengobatan (dengan berbagai kekurangannya).
Penilaian dapat dilakukan dengan menilai dampak pengobatan terhadap
status pengobatan dan kepuasan pasiennya.

c. Aspek kriteria

1. Kriteria eksplisit, yaitu kriteria yang nyata tertulis


2. Kriteria implisit ,yaitu kriteria yang tidak tertulis.
BAB III

ANALISIS STUDI KASUS

3.1 Alasan Pemilihan Tempat Survey


Lokasi survey yang kami lakukan adalah rumah sakit pusat otak nasional yang terletak di
Jakarta. RSPON dipilih karena dirasa memiliki tingkat stress yang lebih tinggi dibandingkan
rumah sakit lain karena rumah sakit tersebut menangani pasien pasien dengan gangguan
otak yang biasanya terhubung dengan masalah kesehatan yang serius. Oleh karena itu
RSPON dipilih untuk melihat bagaimana fasilitas kesehatan mengurangi stress yang dibawa
oleh pasien.

3.2 Hasil Survey


Survey dilakukan dengan mengamati area lobi rumah sakit dan ruang tunggu karena
keterbatasan akses sehingga tidak memungkinkan untuk memasuki ruang rawat inap pasien.

gambar 1. Lobi Rumah Sakit

Lobi rumah sakit merupakan gerbang untuk melakukan kegiatan dirumah sakit. Area lobi
rumah bersatu dengan area ruang tunggu registrasi. Area registrasi berfungsi sebagai
tempat pasien melakukan melakukan registrasi untuk kemudian melakukan pemeriksaan
di poliklinik.
Kondisi lobi dan area registrasi cukup ramai. Hal tersebut dikarenakan rata-rata kondisi
pasien yang datang ke RSPON tidak dapat melakukan kegiatan normal seperti
melakukan pendaftaran seorang diri maka satu orang pasien rata-rata ditemani 2-3 orang
pengantar yang bertugas menemani dan melakukan kegiatan administrasi.
3.2.1 Sumber Stress
Yang membedakan RSPON dengan rumah sakit umum adalah di rumah
sakit otak ini pengunjung kerap menemukan kondisi pasien yang
kondisinya telah setengah lumpuh sehingga banyak yang harus
mengunakan ranjang rawat inap untuk membawa pasien tersebut.
Hal ini dapat menimbulkan tekanan dan perasaan takut kepada pasien lain
yang kondisinya tidak terlalu parah. Hasil dari wawancara kepada pasien
dan keluarganya tentang perasaan pasien saat melihat pasien lain yang
kondisinya lebih parah lalu lalang di area publik membuat perasaan
mereka takut. Takut apabila kelak mereka mengalami kondisi yang
serupa. Perasaan takut pasien tersebut meruapakan stress yang muncul
akibat kondisi lingkungan fasilitas kesehatan tersebut. Apabila ditambah
dengan stress akibat penyakit yang diderita oleh pasien tersebut maka
dapat menurunkan semangat hidup pasien dan memperlambat proses
penyembuhan.

gambar 2 ruang tunggu

3.3 Solusi dari Pihak Rumah Sakit

Solusi dari pihak fasilitas kesehatan untuk mengurangi stress dari pasien dilakukan dengan
berbagai langkah sesuai dengan kebutuhan penggunanya.
Pencahayaan buatan digunakan untuk mereduksi stress dari pasien yang berada
diruang tunggu karena pencahayaan alami tidak sampai dibeberapa titik rumah
sakit dikarenakan ukuran bangunan yang luas. Pencahayaan difasilitas kesehatan
menggunakan warna warna yang temaram. Untuk RSPON menggunakan warna
pink kengunan yang lembut yang bertujuan untuk memberikan perasaan tenang
kepada pasien dan keluarga sehingga dapat meningkatkan harapan untuk sembuh
bagi pasien tersebut. Penggunaan warna yang lembut tersebut juga merupakan
salah satu syarat pencahayaan seperti yang ditulis pada Peraturan menteri
kesehatan republik Indonesia nomor 24 tahun 2016 Pasal 22 ayat 4 yaitu
pencahayaan tidak boleh menimbulkan efek silau.

Sedangkan untuk ruang inap walaupun tidak mendapat kesempatan unutk melihat
interiornya namun peletakan kamar inap sebagian besar berada di area bukaan yang
mendapat pencahayaan alami. Ruang seperti kamar inap diletakkan didekat jendela agar
mendapat pemandangan yang menghadap keluar. Tujuannya untuk mereduksi stress saat
melakukan perawatan dengan cara memberikan pemandangan dunia luar sebagai
metodenya.
BAB IV

Kesimpulan dan Alternatif Solusi Desain

4.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari hasil survey di RSPON adalah RSPON memperhatikan interior untuk
mengurangi stres dari pasien. Salah satu upayanya melalui pencahayaan dan penggunaan
warna. Pencahayaan pada ruang tunggu dibuat temaram berfungsi untuk menenangkan
pasien. Pencahayaan temaram termasuk dalam standar rumah sakit yang telah ditetapkan.
Selain itu interior rumah sakit menggunakan warna warna yang lembut dan tidak
mencolok. Dari pihak rumah sakit mengatakan bahwa menghindari warna warna yang
mencolok. Warna mencolok dapat menyebabkan shock hingga kejang pada pasien di
rumah sakit otak nasional maka dari itu penggunaan warna pada rumah sakit pusat otak
nasional dibuat se soft mungkin.

4.2 Alternatif Solusi Desain

Alternatif solusi desain yang dapat diterapkan pada RSPON adalah memisahkan area
publik dengan jalur sirkulasi pasien. Sirkulasi pasien dihubungkan langsung ke dalam area
perawatan dan tidak melewati pasien. Area publik yang berhubngan dengan area pasien
dapat menyebabkan mental pengunjung dan pasien yang hanya melakukan kontrol
menrurun dan meningkatkan stress didalam diri mereka. Baiknya sirkulasi tersebut dipisah
agar tidak menambah tingkat stress pada pasien
Daftar Pustaka

Azwar, Azrul. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta: Bina Rupa Aksara
Mohamad, Kartono.2005. UU Praktik Kedokteran Melindungi Pasien atau Dokter
Adikoesoemo, Suparto. 1994. Manajemen Rumah Sakit. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 228/MENKES/SK/III/2002 tentang


Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit Yang Wajib Dilaksanakan
Daerah.

Undang-Undang Praktik Kedokteran. 2005. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 29


Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Beserta Penjelasannya. Yogyakarta: Mocomedia

Nasution, Bahder Johan.2005. Hukum Kedokteran Pertanggungjawaban Dokter. Jakarta:


Rineka Cipta.

Aditama, Tjandra Yoga. 2002. Manajemen Administrasi Rumah Sakit. Jakarta :


Universitas Indonesia

Kongstvedt, P. R. 2000. Pokok-Pokok Pengelolaan Usaha Pelayanan Kesehatan. Alih


Bahasa: Susi Purwoko. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai