Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

DASAR-DASAR ADMINISTRASI DAN MANAJEMEN RUMAH SAKIT


“Tata Kelola Rumah Sakit”

DOSEN PENGAMPU : IBU LIDYA PARAMITHA MOHA, S.KM, M.M

Kelompok 2
NINDI SAPUTRI (2420221006)
NISA ARSYAD (2420221026)
NURVA LAKAMATI (2420221023)
NAYA AURELIA BILONDATU (2420221042)
CINDI LESTARI (2420221048)
AULIYAH MARHABA (2420221056)
ZAENAB MUHAMMAD (2420221020)

UNIVERSITAS BINA MANDIRI GORONTALO


FAKULTAS SAINS, TEKNOLOGI, DAN ILMU KESEHATAN
S-1 ADMINISTRASI RUMAH SAKIT
2023
COVER
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
D. Manfaat
BAB 2 PEMBAHASAN
A. Sistem Tata Kelola Rumah Sakit
B. Tata Kelola Klinis Yang Baik (Good Clinical Govermance)
1. Fokus pada costumer (costumer value)
2. Kinerja dan evaluasi klinis (clinical performance and evaluation)
3. Manajemen risiko klinis (clinical risk management)
4. Pengembanghan dan manajeman professional (profesional development and
management)
C. Manajemen Risiko Tata Kelola Rumah Sakit
D. Current Issue (tata kelola rumah sakit)
E. Jurnal Penelitian Tata Kelola Rumah Sakit
BAB 3 PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, senantiasa kita ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang hingga
saat ini masih memberikan kita nikmat iman dan kesehatan, sehingga penulis diberi untuk
menyelesaikan makalah tentang "Tata Kelola Rumah Sakit". Makalah ini ditulis untuk
memenuhi syarat nilai mata kuliah Dasar-Dasar Administrasi Dan Manajemen Rumah Sakit.
Pada makalah ini akan di bahas mengenai pentingnya tata kelola rumah sakit, tata
kelola rumah sakit ini memiliki peran yang signifikan dalam membangun tata kelola rumah
sakit. Makalah ini berisi paparan peran secara keseluruhan mengenai tata kelola rumah sakit.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna
serta kesalahan yang penulis yakini di luar batas kemampuan penulis. Maka dari itu penulis
dengan senang hati menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Penulis
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Gorontalo, 06 Juni 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Seiring berkembangnya zaman, membaiknya laju perekonomian serta derajat
kesehatan masyarakat yang juga meningkat, berdampak terhadap kebutuhan akan
pelayanan rumah sakit yang memiliki kualitas bagus. Kebijakan pemerintah tentang
pendirian rumah sakit, poliklinik, dan puskesmas pun merambah ke berbagai daerah
(Ella, 2015). Masyarakat tidak hanya menilai kualitas tenaga medis rumah sakit
tempatnya berobat namun masyarakat juga akan menyoroti kualitas pelayanan yang
diberikan oleh pihak rumah sakit yang bersangkutan. Hal ini juga diungkapkan oleh
Divianto (2012) bahwa bukan hanya sekedar kualitas tempat pelayanan saja yang
menjadi sorotan masyarakat umum tetapi kualitas dari pelayanan yang menjadi
prioritas utama yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam memenuhi kebutuhan akan
pelayanan pengobatan.
Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan
karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan
kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus
tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh
masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggitingginya (DEPKES RI,
2009). Rumah sakit menurut WHO (World Health Organization) dalam Azwar (2010)
adalah suatu organisasi sosial dan kesehatan yang mempunyai fungsi untuk
memberikan pelayanan kesehatan lengkap kepada 2 2 masyarakat, baik sebagai
penyembuhan penyakit (kuratif) maupun pencegahan penyakit (preventif) kepada
masyarakat. Rumah sakit bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan yang
bermutu sesuai den.gan standar untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan individu
penggunanya (Azwar, 2010).
Good Corporate Governance juga sangat diperlukan dalam struktur tatanan
organisasi sebuah sektor publik (Ella dkk, 2015). Menurut PP Republik Indonesia No.
77 tahun 2015 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit, pada pasal 2 dikatakan
bahwa Pengaturan pedoman organisasi Rumah Sakit bertujuan untuk mewujudkan
organisasi Rumah Sakit yang efektif, efisien, dan akuntabel dalam rangka mencapai
visi dan misi Rumah Sakit sesuai tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate
Governance) dan tata kelola klinis yang baik (Good Clinical Governance).
Untuk rumah sakit, tata kelola yang diberlakukan akan berbeda dengan
organisasi yang tidak bergerak di bidang kesehatan, sehingga tata kelola rumah sakit
yang baik dan berbasis medis bisa disebut dengan Good Clinical Governance.
Berbeda dengan organisasi atau perusahaan yang tidak berbasis medis, Clinical
governance yang baik dinilai tanggungjawab atau akuntabilitasnya berdasarkan
kinerja klinis bukan kinerja yang lain karena ini berdasarkan setting rumah sakit (Ella
dkk, 2015), Clinical Governance merupakan suatu kerangka kerja organisasi yang
akuntabel untuk meningkatkan kualitas layanan dan menerapkan standar tinggi
layanan dengan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk melakukan layanan
klinis (NHS-UK Department of Health 1998) dalam (Ella dkk, 2015).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu sistem tata kelola rumah sakit?
2. Mengetahui apa yang di maksud dengan tata kelola klinis yang baik (Good
Clinical Govermance)?
3. Mengetahui apa saja manajemen risiko yang terjadi di dalam tata kelola rumah
sakit?
4. Mengetahui bagaimana current issue yang ada dalam tata kelola rumah sakit?
5. Mengetahui jurnal peneletian tata kelola rumah sakit?
C. TUJUAN
1. Bisa mengetahui bagaimana sistem tata kelola rumah sakit.
2. Mampu mengetahui tentang tata kelola klinis yang baik.
3. Mampu mengetahui resiko apa saja yang terjadi di dalam tata kelola rumah sakit.
4. Mampu mengetahui current issue dari tata kelola rumah sakit.
5. Mampu mengetahui jurnal penelitan tentang tata kelola rumah sakit.

D. MANFAAT
Makalah ini dapat bermanfaat untuk memberikan informasi mengenai tata
kelola rumah sakit, tata kelola klinis yang baik, dan manajemen resiko yang terjadi
terjadi di dalam tata kelola rumah sakit. Makalah ini dapat dijadikan sarana untuk
menambah pengetahuan dan sebagai pedoman bagi pembaca.
BAB 2
PEMBAHASAN

A. SISTEM TATA KELOLA RUMAH SAKIT


Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan medis
bagi rawat inap, rawat jalan, gawat darurat serta pelayanan penunjang seperti
laboratorium, radiologi serta layanan lainnya. Untuk dapat memberikan pelayanan prima
kepada pasien, rumah sakit dituntut memiliki kepemimpinan yang efektif.
Kepemimpinan efektif ini ditentukan oleh sinergi yang positif antara Pemilik
Rumah Sakit/Representasi Pemilik/Dewan Pengawas, Direktur Rumah Sakit, para
pimpinan di rumah sakit, dan kepala unit kerja unit pelayanan. Direktur rumah sakit
secara kolaboratif mengoperasionalkan rumah sakit bersama dengan para pimpinan,
kepala unit kerja, dan unit pelayanan untuk mencapai visi misi yang ditetapkan serta
memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan pengelolaan peningkatan mutu dan
keselamatan pasien Kepemimpinan, pengelolaan kontrak, serta pengelolaan sumber
daya.
Operasional rumah sakit berhubungan dengan seluruh pemangku kepentingan
yang ada mulai dari pemilik, jajaran direksi, pengelolaan secara keseluruhan sampai
dengan unit fungsional yang ada. Setiap pemangku kepentingan memiliki tugas dan
tanggung jawab sesuai ketentuan peraturan dan perundangan yang berlaku.

Fokus pada Tatakelola Rumah Sakit mencakup:


 Representasi Pemilik/Dewan Pengawas
 Akuntabilitas Direktur Utama/Direktur/Kepala Rumah Sakit
 Akuntabilitas Pimpinan Rumah Sakit
 Kepemimpinan Rumah Sakit Untuk Mutu dan KeselamatanPasien
 Kepemimpinan Rumah Sakit Terkait Kontrak
 Kepemimpinan Rumah Sakit Terkait Keputusan MengenaiSumber Daya
 Pengorganisasian dan Akuntabilitas Komite Medik, KomiteKeperawatan, dan Komite
Tenaga Kesehatan Lain
 Etika Rumah Sakit
 Kepemimpinan Untuk Budaya Keselamatan di Rumah Sakit
 Manajemen risiko
 Program Penelitian Bersubjek Manusia di Rumah Sakit
Rumah sakit yang menerapkan tata kelola yang baik memberikan kualitas
pelayanan yang baik yang secara kasat mata, terlihat dari penampilan keramahan staf dan
penerapan budaya 5 R (rapi, resik, rawat, rajin, ringkas) secara konsisten pada seluruh
bagian rumah sakit, serta pelayanan yang mengutamakan mutu dan keselamatan pasien.
Tata kelola rumah sakit dapat sobat temui dalam Pasal 36 Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dimana dalam pasal tersebut disebutkan
bahwasannya:
"Setiap Rumah Sakit harus menyelenggarakan tata kelola Rumah Sakit dan tata kelola
klinis yang baik"
Kemudian berdasarkan Penjelasan Pasal 36 tersebut dijelaskan bahwa:
"Tata kelola rumah sakit yang baik adalah penerapan fungsi-fungsi manajemen rumah
sakit yang berdasarkan prinsip-prinsip transparansi akuntabilitas, independensi dan
responsibilitas, kesetaraan dan kewajaran”.

B. TATA KELOLA KLINIS YANG BAIK (GOOD CLINICAL GOVERMANCE)


Banyak konsep tentang komponen kegiatan clinical governance akan tetapi
secara garis besar terdiri atas empat pilar.
1. Fokus pada customer (customer value)
Keterlibatan konsumen yang efektif memerlukan kepemimpinan yang baik pula
untuk memastikan bahwa keterlibatan tersebut bermanfaat, efektif dan memberikan hasil
yang positif hasil bagi pelayanan kesehatan.
Berikut adalah hal-hal penting dari customer value:
a) Hubungan yang berkelanjutan, yaitu melibatkan konsumen yang menekankan
komunikasi dua arah antara konsumen dan rumah sakit. Contohnya adalah termasuk
informed consent, manajemen keluhan, survei kepuasan pasien dan memberikan
informasi tentang layanan bagi pasien dan keluarganya.
b) Partisipasi konsumen, yaitu melibatkan konsumen dalam perencanaan rumah sakit,
kebijakan pembangunan dan pengambilan keputusan. Hal ini dilakukan untuk
memastikan kepada konsumen bahwa rumah sakit benar-benar menyediakan
pelayanan yang mudah diakses, adil dan responsif terhadap prioritas-prioritas
setempat.
Outcome yang diharapkan adalah:
- Peningkatan pemahaman karyawan terhadap pelayanan kesehatan dan lebih
responsive terhadap kebutuhan pelanggan/pasien
- Peningkatan pengetahuan pelanggan/pasien dan juga peningkatan partisipasi
pelanggan/pasien dalam pelayanan kesehatan dan manajemen.
- Peningkatan kepercayaan pelanggan/pasien terhadap organisasi pelayanan
kesehatan/rumah sakit.
- Peningkatan outcome pelanggan/pasien.
Dengan menerapkan Clinical Governance diharapkan RS dapat lebih
memperhatikan konsumen dengan memperhatikan nilai-nilai yang dianut oleh
konsumen tersebut.
2. Kinerja dan Evaluasi klinis (clinical performance and evaluation)
Pilar yang kedua ini bertujuan untuk menjamin penggunaan serta monitoring
dan evaluasi standar klinis yang berbasis bukti (evidence-based). Hasilnya adalah
sebuah budaya, di mana evaluasi organisasi dan kinerja klinis, termasuk audit klinis
merupakan hal yang umum dan diharapkan ada di setiap organisasi pelayanan klinis.
Terdapat tiga buah alat yang dapat digunakan untuk membantu organisasi layanan
kesehatan untuk mencapai hasil ini, yaitu standar klinis, indikator klinik, dan audit
klinik.
Hal ini sudah diwujudkan oleh RS dengan telah dimilikinya daftar indikator
klinik yang digunakan untuk mengukur kinerja klinik. Tahap yang masih harus
dilakukan RS adalah melakukan evaluasi terhadap hasil dari pengukuran kinerja
klinik tersebut. Perlu ada kerjasama dari semua pihak di rumah sakit, antara lain
komite medis, keperawatan, hingga marketing. Jika pengukuran kinerja klinik
menunjukkan hasil yang baik, maka hal ini dapat digunakan sebagai alat untuk
marketing rumah sakit, yaitu dengan menunjukkan kepada masyarakat bahwa RS
mampu memberikan pelayanan klinik dengan baik yang ditunjukkan dengan bukti
pengukuran kinerja klinik.
Outcome yang diharapkan adalah:
- Pengembangan clinical pathway di dalam praktek klinis.
- Peningkatan kepatuhan terhadap praktek klinis berbasis bukti dan berkurangnya
variasi dalam praktek klinis.
- Peningkatan outcome pelanggan/pasien.
- Berkurangnya biaya perawatan kesehatan melalui pengurangan efek samping.

3. Manajemen Risiko Klinis (clinical risk management)


Segala kegiatan di rumah sakit memiliki risiko, baik untuk pasien maupun
untuk petugas yang berada di dalam rumah sakit tersebut. Meskipun demikian perlu
dilakukan penjaminan bahwa risiko yang muncul minimal. Pilar ketiga ini
menitikberatkan untuk meminimalisir risiko klinis dan meningkatkan keamanan
kepada pasien dan petugas secara keseluruhan. Hal ini dicapai dengan melakukan
identifikasi, mengurangi risiko, dan mengurangi kejadian yang tidak diinginkan.
Aspek-aspek yang tercakup dalam manajemen risiko klinis adalah:
a) pelaporan, monitoring, dan analisis trend kejadian yang tidak diinginkan,
b) pelaporan, monitoring, dan penyelidikan klinis kejadian yang jarang terjadi
(sentinel
event).
c) analisis risiko, termasuk identifikasi, penyelidikan, evaluasi dan analisis risiko
klinis.
Sebagai catatan komite atau subkomite keselamatan pasien bukanlah satu-
satunya pihak yang berperan dalam menerapkan pilar ini, namun menjadi tanggung
jawab dari seluruh staf dan seluruh pihak yang ada di rumah sakit.
Outcome yang diharapkan:
- Peningkatan monitoring dan pelaporan kejadian yang tidak diharapkan.
- Peningkatan pemantauan terhadap insiden klinik dan kejadian yang tidak
diharapkan.
- Peningkatan proses risk management.
- Pengurangan jumlah kejadian yang tidak diharapkan.

4. Pengembangan dan Manajemen Profesional (profesional development and


management)
RS melakukan upaya agar semua staf dapat meningkatkan kompetensinya,
baik dalam skala besar maupun skala kecil. Dalam skala besar misalnya adalah
dengan menjalani pendidikan formal, mengikuti pelatihan-pelatihan. Sedangkan
peningkatan kompetensi dalam skala kecil dicontohkan dengan belajar melalui
pengalaman yang ada sehari-hari yang muncul dan dibahas di dalam kegiatan
morning meeting, yaitu masalah yang ada dipecahkan berumah sakitama dan
diupayakan kegiatan tindak lanjutnya. Termasuk dalam profesional development and
management adalah pengelolaan kinerja para staf. RS telah memiliki Key
Performance Indicators (KPI), bahkan KPI yang ada telah sampai pada level individu.
Perlu juga dikembangkan KPI untuk para dokter, KPI untuk para perawat, dan KPI
untuk para profesional.
Bagian SDM bukanlah satu-satunya bagian yang bertanggung jawab terhadap
profesional development and management di rumah sakit, namun merupakan
tanggung jawab dari seluruh staf yang ada di rumah sakit, dan tugas tim auditor
internal adalah memastikan bahwa semua staf terlibat di dalamnya.
Outcome yang diharapkan adalah:
- Peningkatan kredensial dokter
- Peningkatan pengembangan profesional dan pelatihanketerampilan untuk karyawan
- Peningkatan kinerja manajemen
- Peningkatan kepuasan kerja karyawan.
C. MANAJEMEN RISIKO DALAM TATA KELOLA RUMAH SAKIT
Program manajemen risiko yang terintegrasi digunakan untuk mencegah
terjadinya cedera dan kerugian di rumah sakit. Manajemen risiko adalah proses yang
proaktif dan berkesinambungan meliputi identifikasi, analisis, evaluasi, pengendalian,
informasi komunikasi, pemantauan, dan pelaporan risiko, termasuk berbagai strategi
yang dijalankan untuk mengelola risiko dan potensinya. Tujuan penerapan manajemen
risiko untuk mencegah terjadinya cedera dan kerugian di rumah sakit. Rumah sakit perlu
menerapkan manajemen risiko dan rencana penanganan risiko untuk memitigasi dan
mengurangi risiko bahaya yang ada atau mungkin terjadi.

Beberapa kategori risiko yang harus diidentifikasi meliputi namun tidak terbatas
pada risiko:

1.Operasional adalah risiko yang terjadi saat rumahsakit memberikan pelayanan kepada
pasien baik klinis maupun non klinis.

2.Risiko klinis yaitu risiko operasional yang terkait dengan pelayanan kepada pasien
(keselamatan pasien) meliputi risiko yang berhubungan dengan perawatan klinis dan
pelayanan penunjang seperti kesalahan diagnostik, bedah atau pengobatan

3.Risiko non klinis yang juga termasuk risiko operasional adalah risiko PPI (terkait
pengendalian dan pencegahan infeksi misalnya sterilisasi, laundry, gizi, kamar jenazah dan
lain-lainnya), risiko MFK (terkait dengan fasilitas dan lingkungan, seperti kondisi bangunan
yang membahayakan, risiko yang terkait dengan ketersediaan sumber air dan listrik, dan lain
lain. Unit klinis maupun non klinis dapat memiliki risiko yang lain sesuai dengan proses
bisnis/kegiatan yang dilakukan di unitnya

4.Misalnya unit humas dapat mengidentifikasi risiko reputasi dan risiko keuangan;

 Risiko keuangan; risiko kepatuhan (terhadap hukum dan peraturan yang berlaku).
 Risiko reputasi (citra rumah sakit yang dirasakan oleh masyarakat).
 Risiko strategis (terkait dengan rencana strategis termasuk tujuan strategis rumah
sakit).
 Risiko kepatuhan terhadap hukum dan regulasi.

Proses manajemen risiko yang diterapkan di rumah sakit meliputi:

 Komunikasi dan konsultasi.


 Menetapkan konteks.
 Identifikasi risiko sesuai kategori risiko
 Analisis risiko.
 Evaluasi risiko.
 Penanganan risiko.
 Pemantauan risiko.
Program manajemen risiko rumah sakit harus disusun setiap tahun berdasarkan daftar risiko
yang diprioritaskan dalam profil risiko meliputi:

 Proses manajemen risiko


 Integrasi manajemen risiko di rumah sakit.
 Pelaporan kegiatan program manajemen risiko.
 Pengelolaan klaim tuntunan yang dapat menyebabkan tuntutan.

Kategori Resiko:

 Resiko Keuangan adalah resiko yang disebabkan oleh segala sessuata yang
menimbulkan tekanan terhadap pendapatan dan belanja organisasi

 Resiko Kebijakan adalah resiko yang disebabkan oleh adanya penetapan kebijakan
organisasi baik internal maupun eksternal yang berdampak langsung terhadap
organisasi
 Resiko kepatuhan adalah resiko yang disebabkan oleh organisasi atau pihak eksternal
tidak mematuhi dan atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan
ketentuan lain yang berlaku.
 Resiko legal adalah resiko yang disebabkan oleh adanya tuntutan hukum kepada
organisasi
 Resiko Fraud adalah resiko yang disebabkan kecurangan yang di sengaja Oleh pihak
internal yang merugikan keuangan negara
 Resiko Reputasi adalag Resiko yang disebabkan oleh menurunnya kepercayaan
publik atau masyarakat yang bersumber dari persepsi negatif organisasi
 Resiko Operasional adalah resiko yang disebabkan oleh :
1. ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal kesalahan manusia
atau kegagalan sistem
2. adanya kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional organisas

D. CURRENT ISSUE (Tata Kelola Rumah Sakit)

Tata Kelola Rumah Sakit Pada Era Pandemi


Covid-19 memporakporandakan sistem pelayanan kesehatan yang tadinya sudah
stabil termasuk tata kelola institusi rumah sakit yang sudah mapan dan berjalan dengan
baik. Keadaan ini menjadikan rumah sakit sulit melakukan perencanaan yang bisa
dianggap stabil dan tidak berubah. Peran rumah sakit benar-benar diuji, Covid-19 memicu
rumah sakit untuk menyusun, memperbarui bahkan mengubah tata kelola yang tadinya
sudah mapan. Pandemi Covid-19 juga menantang rumah sakit untuk senantiasa tanggap
dalam memberikan pelayanannya, dengan konsekuensi, bila tidak cepat tanggap maka
rumah sakit berpotensi kehilangan arah dalam memberikan pelayanannya.
1.Tata Kelola Rumah Sakit Korporat Selama Pandemi
dr. Lies Nugrohowati, MARS (Direktur RS Hermina Depok) menyampaikan
bahwa langkah awal dimulai dengan pembentukan Tim Satgas Covid Pusat yang
menyusun kebijakan standar, Panduan Praktis Klinis, Standar Prosedur Operasional
sesuai dengan ketetapan Kementerian Kesehatan, kemudian digunakan sebagai acuan di
40 cabang rumah sakit di seluruh Indonesia. Strategi penanganan Covid-19 terus
diperbarui menyesuaikan evidence base dalam forum pertemuan berkala dengan seluruh
satgas rumah sakit cabang, perubahan pola skrining 3 lapis bagi pasien dan pencegahan
penularan dengan perubahan lama kerja perawat dalam 1 shift yang sebelumnya 8 jam
menjadi 6 jam.

2.Tata Kelola Rumah Sakit Pemerintah Selama Pandemi


dr. Luzy Adryanti, SpKJ, MARS (Wakil Direktur Pelayanan Medis RSUD Pasar
Minggu) menyampaikan bahwa sebagai rumah sakit rujukan pelayanan radioterapi di
Jakarta Selatan dimana banyak kunjungan pasien dengan status imun rendah bersamaan
dengan pelayanan kasus Covid-19, maka RSUD melakukan berbagai strategi aksi dalam
tata kelola rumah sakit, diantaranya: pengaturan zonasi, limitasi kunjungan pasien,
sosialisasi pada karyawan dan komitmen untuk tidak tertular dan tidak menularkan,
membuat jejaring sebagai rumah sakit penampung bagi rumah sakit di bawahnya
serta monitoring dan evaluasi secara berkala. Semua perubahan pelayanan kemudian
dibuatkan SK direktur yang bersifat tidak permanen dan disesuaikan dengan kondisi saat
ini.
3. Tata Kelola Rumah Sakit Khusus Selama Pandemi
RSIA Brawijaya merupakan rumah sakit khusus non rujukan Covid-19 namun
tetap memberikan pelayanan bagi pasien datang dengan keluhan yang dicurigai sebagai
Covid-19, serta memfasilitasi pemeriksaan diagnostik swab PCR bekerjasama dengan
Labkesda. dr. Petra Ade Paramita, MARS (Kadep Pelayanan Medis dan Ketua PMKP
RSIA Brawijaya Duren Tiga) menyampaikan penting untuk mengaktualisasikan
kebijakan dalam operasional untuk keberlangsungan tata kelola di dalam rumah sakit,
bagaimana kita menjadi fleksibel namun kualitas pelayanan tidak jauh berbeda
dengan kualitas layanan sebelum pandemi dan tetap mengacu pada Patient Centered
Care. Pada RS khusus seperti RSIA dengan Core Bisnis Ibu dan Anak, hal yang
paling dikhawatirkan adalah terjadinya transmisi vertikal, sehingga aturan yang berlaku
di rumah sakit harus jelas.

E. JURNAL PENELITIAN (Tata Kelola Rumah Sakit)

Evaluasi Tata Kelola Rumah Sakit Badan Layanan Umum pada 4 Rumah
Sakit Vertikal Kelas A di Jawa dan Bali

Evaluate Governance at Type A Vertical Hospitals in Java and Bali


Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati
Jl. RS Fatmawati, Cilandak, Jakarta Selatan

ABSTRAK

Rumah Sakit sebagai sebuah institusi perlu menerapkan good corporate governance dan
good clinical governance dalam meningkatkan mutu pelayanannya secara
berkesinambungan. Badan Layanan Umum (BLU) adalah instansi di lingkungan
Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa
penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mencari keuntungan dan dalam
melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Pemerintah
menyadari perlunya keleluasaan praktik berbisnis yang sehat di berbagai instansinya,
sehingga diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 (PP 23/2005) mengenai
Pengelolaan Keuangan BLU dan mengijinkan penerapannya dapat dilaksanakan di
berbagai instansi pemerintah termasuk Rumah Sakit. Mengevaluasi tata kelola pada 4
(empat) Rumah Sakit Vertikal Kelas A di Jawa dan Bali. Terdapat perbedaan
implementasi pada ke 4 (empat) RS Vertikal tipe A di Jawa dan Bali yang diteliti.
Perbedaan tersebut adalah perbedaan pencapaian kelengkapan persyaratan dokumen tata
kelola serta perbedaan pada 4 (empat) unsur tata kelola BLU sesuai PP 23/2005 yang
meliputi 12 (dua belas) faktor terkait peningkatan mutu pelayanan menurut skema
Donabedian1.a dan Glickman2.a, yaitu budaya korporat, penetapan BLU, hospital by
laws, Renstra & RBA, pengembangan layanan, pengadaan barang dan jasa, standar
pelayanan, penetapan tarif, pejabat pengelola, penetapan remunerasi, kepegawaian,
pembinaan dan pengawasan. Perlunya peningkatan pemahaman pejabat pengelola satuan
kerja, peningkatan kualitas pembinaan dan pengawasan, pembentukan pengelola khusus
BLU di Kemenkes, pembentukan tim terpadu yang melibatkan seluruh pemangku
kepentingan. Diperlukan juga perubahan budaya organisasi, seleksi dan evaluasi RS
BLU, pemenuhan syarat kelembagaan BLU, reward and punishment, peraturan yang
jelas, rencana strategis dan rencana bisnis anggaran yang sesuai. Kebijakan publik yang
tepat sangat dibutuhkan dan menentukan keberhasilan suatu negara dalam mencapai
tujuannya.

Kata kunci: good corporate governance, RS BLU, 4 RS vertikal tipe A, evaluasi, PP


23/2005

ABSTRACT

A hospital as an institution needs to implement good corporate governance and good clinical
governance to improve service quality continuously. Public Service Agency (BLU) is a
government agency established in order to provide services to the community in the form of
supply of goods and/or services being sold without profit and doing activities based on the
principles of efficiency and productivity. The government realized the needs for flexibility in
healthy business practices of practices of various institution, so it has issued Government
Regulation No. 23, 2005 (PP 23/2005) of the Financial Management BLU and allow its
application to be implemented in a variety of government agencies including the hospitals.
The purpose of this research is to A hospital as an institution needs to implement good
corporate governance and good clinical governance to improve service quality continuously.
Public Service Agency (BLU) is a government agency established in order to provide
services to the community in the form of supply of goods and/or services being sold without
profit and doing activities based on the principles of efficiency and productivity. The
government realized the needs for flexibility in healthy business evaluate governance at four
(4) type A vertical hospitals in Java and Bali. There are differences in the implementation.
These include differences in achievement of the completeness document on good corporate
governance as well as governance requirements documents as well as differences in the 4
(four) elements of governance from PP 23/2005 that includes 12 (twelve) related factors of
Donabedian1.a and Glickman’s2.a scheme: corporate culture, BLU establishment, hospital
by laws, strategic planning & business plan budget, service development, procurement of
goods and services, service standards, tariffs, management officer, remuneration, staffing,
training and supervision. This research suggested the need for improved understanding of
work force management officer, the quality of guidance and supervision, the establishment of
specialized managers in BLU in Ministry of Health, the establishment of an integrated team
involving all stakeholders. Improvements needed in change organizational culture, BLU’s
hospital selection & evaluation, BLU’s institutional requirements, reward & punishment
system, clear rules and strategic plan & business plan budget. Appropriate public policy to
determine the success of a country in achieving its objectives is needed.

Keywords: good corporate governance, RS BLU, 4 type A vertical hospitals, evaluation, PP


23/2005.

PENDAHULUAN

Pemerintah melalui amanat UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit mengharapkan pada
tahun 2011 semua Rumah Sakit pemerintah baik vertikal yang secara struktur berada
langsung di bawah Kementerian Kesehatan RI maupun RS daerah sudah menjadi organisasi
BLU/BLUD. Saat ini, pengelolaan keuangan negara telah mencanangkan sebuah paradigma
baru yang turut memperhatikan tiga aspek manajemen keuangan negara, yaitu orientasi pada
hasil atau mutu pelayanan, profesionalitas, serta transparansi dan akuntabilitas. Dalam
Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005, telah dinyatakan secara gamblang bahwa konsep
BLU merupakan paket reformasi untuk mengubah satuan kerja pemerintah menjadi
berorientasi kinerja atau hasil.

Konsep BLU yang dituangkan dalam UU dan diterjemahkan menjadi kebijakan


berupa Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri telah diimplementasikan oleh hampir
seluruh RS vertikal sejak tahun 2007. Terdapat 40 RS Pemerintah yang berstatus vertikal di
Indonesia dan seluruhnya sudah berstatus BLU dengan pencapaian kinerja yang berlainan.
Beberapa permasalahan masih harus mendapat perhatian agar RS yang berstatus BLU tetap
memperhatikan konsep pengelolaannya sebagai organisasi yang memberikan pelayanan
publik dengan tetap menyandang fungsi sosialnya bagi seluruh lapisan masyarakat.

Dengan mendapatkan data dari RS Pemerintah vertikal kelas A sebagai model,


diharapkan diketahui manfaat dan kekurangan yang mungkin ditemukan dari kajian tersebut
dan dapat dibuat usulan untuk meningkatkan penerapan Peraturan Pemerintah 23/2005
khususnya mengenai Tata Kelola BLU di RS vertikal di Indonesia agar mencapai kinerja
terbaiknya.

Tinjauan Pustaka

Good Governance

Tata kelola atau dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi “governance”. Menurut
The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) (2012), tata kelola merupaka
suatu istilah yang terkait dengan mekanisme mengarahkan, mengendalikan baik suatu
organisasi atau lembaga atau pun suatu fungsi, agar sesuai dengan tujuan yang hendak
dicapai ya dan harapan seluruh pihak yang berkepentingan (stakesholder). Berbagai
pengertian tentang tata kelola memiliki cakupan yang luas dan meliputi aspek pengambilan
keputusan, penjabaran ekspektasi, kejelasan pengawasan terhadap penggunaan kewenangan,
serta pemenuhan akuntabilitas dan pertanggungjawabannya, perencanaan strategik, pemastian
kinerja, kepemimpinan dan manajemen, keteraturan dan kepatuhan, serta serangkaian proses,
mekanisme dan struktur yang berlaku.

Menurut Mc Sherry dalam Clinical Governance (2009), terdapat hal pokok yang perlu
dicermati yaitu Public Perceived Experience dan Organizational Evidence of Healthcare
Delivery. Pandangan publik selalu berdasarkan pengalaman individu, pandangan media serta
pelayanan yang diberikan. Seringkali pandangan baik adalah tertuju kepada para dokter dan
perawat RS, sedangkan pandangan-pandangan buruk ditujukan kepada manajemen pengelola
serta kebijakan. Lebih jauh, Mc Sherry dan Pearce (2007) menyatakan bahwa terdapat tiga
unsur penting guna mencapai Good Cinical Governance atau pencapaian atas mutu pelayanan
yang baik dalam sebuah organisasi, antara lain:

1. internal financial control,


2. operasional yang efisien dan efektif,
3. serta kesesuaian/compliance dengan hukum dan juga regulasi.

Rumah Sakit BLU

Setelah krisis moneter tahun 1998 ditambah adanya krisis keuangan global 2008,
timbul kesadaran RS pemerintah untuk menjadi lebih mandiri. Saat itu, pemerintah
mengakomodasi ide-ide kemandirian tersebut dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah RI
No. 6 Tahun 2006 tentang Perusahaan Jawatan bagi 13 Rumah Sakit Pendidikan Pemerintah.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 23 Tahun 2005 tentang Pola Pelayanan Keuangan
Badan Layanan Umum, sejak awal tahun 2006 semua Rumah Sakit Perjan (Perusahaan
Jawatan) telah kembali menjadi Unit Pelaksana Teknis milik Kementerian Kesehatan dengan
status baru sebagai RS BLU. Alasan Pemerintah memilih bentuk BLU bagi satuan kegiatan
yang berpotensi dikelola secara efisien dan efektif adalah agar satuan kerja yang mendapat
imbalan dari masyarakat dalam proporsi pelayanan mempunyai keleluasaan mengelola
sumber daya untuk meningkatkan pelayanannya. Peluang ini diberikan secara khusus untuk
satuan kerja yang melaksanakan tugas operasional pelayanan publik. Melalui pola BLU ini,
satuan kerja termasuk Rumah Sakit Pemerintah juga dapat melakukan pengamanan terhadap
aset negara yang dikelola satuan kerja tersebut (Website Direktorat Pembinaan Pengelolaan
Keuangan BLU, 2013). Karakteristik BLU RS berdasarkan pada Keputusan Menteri
kesehatan No. 1981/Menkes/SK/XII/2010 adalah:
a. BLU RS bertujuan meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dalam rangka
memajukan kesejahteraan umum dan juga mencerdaskan kehidupan bangsa dengan
memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip efisiensi dan juga
produktivitas serta penerapan praktik bisnis yang etis dan sehat dengan tidak semata-mata
mencari keuntungan.

b. BLU RS merupakan unit pelaksana teknis Kementerian Kesehatan yang diberikan tugas
serta wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan jasa pelayanan, pendidikan, penelitian dan
pengembangan serta usaha lain dalam bidang kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan
derajat kesehatan dan senantiasa berorientasi kepada kepentingan masyarakat.

Menurut Rochmanadji (2009), permasalahan umum yang dimiliki oleh RS di


Indonesia adalah kurangnya sarana dan lemahnya daya saing organisasi (low competitive
advantage), yang diperburuk dengan kurangnya sifat sigap serta tanggap dalam
mengantisipasi persaingan bebas pasar regional dan global. RS BLU mengharapkan adanya
penerapan praktik bisnis yang sehat dengan persyaratan substantif, teknis, dan juga
administratif yang perlu dipenuhi. Gitosardjono S, mengatakan dalam kata pengantarnya di
buku Leadpreunership, bahwa Pendekatan Strategic Management dalam Kewirausahaan oleh
Susanto AB (2009)7, menyatakan bahwa kewirausahaan sangat dibutuhkan bangsa Indonesia,
kewirausahaan bukan sematamata hanya berperan sebagai motor penggerak perekonomian
masyarakat, namun juga sebagai pendorong perubahan sosial bagi peningkatan kualitas hidup
SDM. Adapun penjabaran mengenai leadpreunership adalah cara pandang dalam melihat
peluang dan membuat nilai tambah dengan menangkap peluang bisnis dan mengelola sumber
daya secara maksimal untuk mewujudkannya. Peran kepemimpinan dalam sebuah organisasi
menjadi sangat penting karena dapat mempengaruhi kecepatan dan pemenuhan pencapaian
tujuan (Baldridge Performance Excellence Program, 2013.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bertujuan mengetahui kondisi tata
kelola RS BLU saat ini dibandingkan dengan persyaratan tata kelola BLU yang tercantum
dalam PPNo. 23/2005 dan aturan terkait lainnya. Penelitian terdiri dari dua tahap, tahap
pertama adalah pertanyaan tentang aspek persyaratan dokumentasi tata kelola RS BLU, dan
tahap ke dua adalah pertanyaan kedalaman atau indepth dari jawaban tahap pertama.
Pertanyaan ini dilakukan terhadap 4 RS BLU vertikal di Jawa dan Bali Indonesia yang
dianggap mewakili seluruh populasi yang ada, yaitu RSUP Hasan Sadikin Bandung, RSUPN
Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta, RSUP Dr. Kariadi Semarang, dan RSUP Sanglah
Denpasar.

Interpretasi data-data yang diperoleh dengan menguraikan dan membandingkan


persepsi antar informan serta menemukan gap antara persepsi, pengamatan, dan juda
kesesuaian dengan implementasi Permenkeu 23/2005 dari 4 RS kelas A vertikal BLU di
Indonesia. Dilakukan juga triangulasi data dengan menggunakan informan dari beberapa
orang narasumber pemangku kepentingan (stakesholder) di antaranya Kementerian
Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara yang
bertujuan menambah validasi penelitian. Validasi triangulasi dilaksanakan dengan triangulasi
sumber berupa studi literatur, triangulasi metode menggunakan kuesioner dan wawancara,
dan triangulasi data dengan cara analisis dan interpretasi oleh lebih dari satu orang serta
umpan balik hasil analisis dengan informan. Secara keseluruhan, hal-hal yang dinilai pada
penelitian iniberdasarkan PP 23/2005 adalah kelembagaan organisasi atau dasar hukum BLU,
pejabat pengelola, kepegawaian, pembinaan dan pengawasan, remunerasi, budaya korporat
atau budaya organisasi, leadpreunership, Hospital by Laws (HBL), rencana strategis BLU
(Renstra BLU), sistem manajemen informasi keuangan, Rencana Belanja Anggaran (RBA),
pengembangan layanan, pengadaan barang dan jasa, fleksibilitas BLU, standar pelayanan,
dan tarif pelayanan.

Hasil dan Pembahsan

1.Hasil Penelaahan Dokumen

Dalam penelitian ini dipisahkan antara dokumen input, proses, dan output agar dapat
dibedakan tahapan pemikiran dan masukan dari peneliti dalam pemenuhan pencapaian mutu
pelayanan yang baik.

2.Kelengkapan Dokumen Input

Hampir seluruh informan menyatakan mempunyai kebijakan budaya organisasi dengan


berbagai versi, walaupun belum semua berisi hubungan langsung dengan BLU. Belum semua
informan dapat menunjukkan dokumen tertulis terkait budaya terkait BLU seperti Surat
Keputusan (SK) Direktur dan SOP. Belum semua informan memiliki dokumen tertulis yang
berupa kebijakan, SK Direktur, dan SOP tentang manajemen informasi keuangan, seperti
kapan dilaksanakan pembahasan akuntabilitas kinerja keuangan secara rutin di internal RS.

3.Kelengkapan Dokumen Proses

Kebijakan RS BLU mulai dari SK penetapan kelembagaan, termasuk struktur organisasi,


pejabat pengelola, kepegawaian, dan struktur organisasi telah dimiliki oleh semua RS
informan. Dokumen Renstra, Rencana Bisnis Anggaran, Hospital by Lawsyang telah
disetujui oleh Dewan Pengawas ada di seluruh RS informan. Kebijakan mengenai laporan
kinerja BLU serta proses pembinaan dan pengawas juga ada di semua RS informan.
Kebijakan pembagian insentif di masing-masing RS informan baru berdasarkan kebijakan
internal, belum mendapatkan pengesahan dari Kementerian Keuangan.

4.Kelengkapan Dokumen Output

Dari semua dokumen output yang ditanyakan hanya dokumen remunerasi yang belum
dimiliki oleh ke 4 (empat) informan. Seluruh RS telah melaksanakan proses penyusunan dan
pengajuan ke Kementerian Kesehatan, tetapi dari Kementerian Kesehatan belum memberikan
pengajuan kepada Kementerian Keuangan, sehingga belum ada satu pun SK remunerasi yang
disahkan. Kebijakan lain yang terkait BLU adalah dokumen tarif RS yang sudah diajukan
oleh ke 4 (empat) informan ke Kementerian.

Faktor yang Berpengaruh pasa Tata Kelola RS BLU

 Budaya
 Penetapan RS BLU
 Hospital by laws
 Rencana strategi (renstra) dan RBA
 Pengembangan pelayanan dan investasi
 Pengadan barang dan jasa
 Penetapan standar pelayanan
 Penetapan tarif pelayanan
 Pejabat pengelola
 Kepegawaian
 Pembinana dan kepegawaian

Kesimpulan dan Saran

Dari hasil penelitian yang bertujuan mengevaluasi implementasi Tata Kelola Badan
Layanan Umum pada 4(empat) Rumah Sakit Vertikal Kelas A di Jawa dan Bali,
didapatkan bahwa:

1. Implementasi tata kelola RS BLU pada RS vertikal kelas A masih belum maksimal,
dibuktikan dengan masih banyaknya kendala yang dirasakan oleh RS dan narasumber.

2. Terdapat perbedaan persepsi atau implementasi PP 23/2005 terhadap:

a. Pencapaian kelengkapan persyaratan dokumen tata kelola BLU di RS

 Belum semua informan dapat menunjukkan dokumen tertulis tentang desain


budaya dalam organisasi dan manajemen informasi keuangan berupa SK
Direktur dan SOP.
 Kebijakan RS BLU seperti halnya SK penetapan kelembagaan, kebijakan
laporan kinerja BLU serta proses pembinaan dan pengawasan telah dimiliki
oleh keempat informan. Seluruh dokumen output telah dimiliki RS kecuali
dokumen remunerasi.

b. Perbedaan pada 4 (empat) unsur tata kelola yang meliputi 12 unsur terkait.

 Ada perbedaan antar RS vertikal dalam implementasi kebijakan yang terkait


dengan pengorganisasian BLU, yaitu masalah (1) desain budaya organisas, (2)
aturan internal manajemen informasi keuangan, serta (3) isi dan pelaksanaan
hospital by laws.
 Ada perbedaan antar RS vertikal dalam implementasi kebijakan tentang
pejabat pengelola dan kepegawaian, karena belum terpadunya (4) tupoksi
pejabat pengelola keuangan dan teknis. BLU masih diartikan merupakan unsur
keuangan saja, peran para pejabat teknis dan kerja sama dalam pembuatan
perencanaan, evaluasi pelaksanaan, dan juga pelaporan perlu ditingkatkan.
Selain itu, penerimaan (5) Non PNS BLU juga perlu pertimbangan lebih ke
arah kebutuhan pelayanan dan kemampuan RS karena sudah ada ketentuannya
dalam Peraturan Pemerintah 23/2005 bahwa satker boleh menentukan,
dibandingkan menunggu keputusan kementerian.
 Ada perbedaan antar RS vertikal dalam implementasi kebijakan tentang
pembinaan dan pengawasan, dalam hal penyusunan sera pelaksanaan (6)
Renstra dan RBA, (7) pengembangan layanan dalam bentuk investasi, (8)
pengadaan barang dan jasa, (9) standar pelayanan, (10) penetapan tarif, (11)
fungsi Dewas dan SPI, penjelasan dan pengarahan dari kementerian terkait
(Kemenkes, Kemenkeu, Kemenpan) mengenai filosofis BLU. Seluruh RS
yang diteliti menyatakan bahwa mereka masih perlu kejelasan dari pemilik
mengenai mana yang boleh dan tidak boleh sesuai dengan aturan.
 Ada perbedaan antar RS vertikal dalam impelementasi kebijakan tentang (12)
remunerasi. Seluruh RS yang diteliti menyatakan bahwa mereka tidak berani
untuk melaksanakan remunerasi secara total sebelum ada pernyataan
persetujuan dari pihak Kemenkes maupun Kemkeu, walaupun ada RS yang
sudah melaksanakan sebagian sistem remunerasi dengan kebijakan internal.

3. Faktor-faktor yang berpengaruh pada perbedaan implementasi dalam proses input-


proses-output tata kelola RS BLU antara lain:

a. perbedaan pemahaman Peraturan Pemerintah 23/2005 dari


pengelola dan pemilik.
b. aturan pelaksanaan yang kurang jelas atau belum ada.
c. pembinaan dan pengawasan yang kurang tegas.
d. kurang berani menanggung risiko dalam memanfaatkan
fleksibilitas.

4. Pendapat pemangku kepentingan tentang implementasi tata kelola RS BLU adalah:

 Perlu adanya perubahan budaya di semua lini.


 Perlunya diuraikan kembali kebijakan yang telah ada agar tidak ada
benturan dalam implementasinya.
 Perlu ditambahkan kebijakan yang belum ada dalam rangka
mempermudah pencapaian target kinerja yang telah dicanangkan.
 Perlu dimaksimalkan pemanfaatan fleksibilitas yang telah diberikan.

Adapun saran perbaikan secara umum terhadap kebijakan tata kelola RS BLU antara
lain:

1. Perlunya peningkatan pemahaman pejabat pengelola satker tentang


aturan-aturan BLU beserta dengan detail upaya pengembangan
layanan yang dapat dijalankan;
2. Perlunya pembinaan dan pengawasan internal dan eksternal,
termasuk pula bimbingan dari pejabat kementerian yang
berwenang mengatur atau bertanggung jawab terhadap suksesnya
RS BLU dalam mencapai tujuannya;
3. Perlunya penunjukkan satu pengelola khusus BLU di tubuh
Kemenkes agar permasalahan BLU di RS dapat diselesaikan
dengan cepat dan tuntas.
4. Perlu adanya tim terpadu yang melibatkan semua pemangku
kepentingan.
5. Pada setiap tahapan tata kelola BLU, yang diperlukan adalah:
a. Input
Perlu ada perubahan budaya organisasi yang didesain oleh
korporat agar memunculkan sikap leadpreunership yang
memiliki strong leadership (faktor SDM). Selain itu, juga
dibutuhkan seleksi dan evaluasi RS BLU secara berkala,
agar pembinaan dan pengawasan dapat lebih terfokus.
b. Proses
Dalam tahapan proses, diperlukan pemenuhan syarat
kelembagaan sesuai target BLU, struktur organisasi sesuai
kebutuhan, kerja sama pejabat pengelola keuangan dan
teknis serta perlunya reward dan punishment dalam hal
remunerasi dan aturan kerja.
c. Output
Pada tahap output, dibutuhkan aturan yang jelas agar tidak
berbenturan antara satu output dengan output lainnya.
Selain itu, dibutuhkan pula Renstra dan RBA dalam proses
pembuatan strategic plan-strategic mapkey performance
indicator.

Apabila RS BLU serta kementerian yang terlibat telah menyadari kedudukannya


dalam tatanan BLU dan masingmasing pihak berpedoman pada ketentuan yang telah
ada, maka RS BLU tidak perlu lagi takut akan isu “melanggar peraturan” dalam
mengembangkan pelayanannya.

Daftar Rujukan

1. Donabedian, A. (1977). Quality of Care: How Can It Be Assessed. Arch of Path &
Lab Med. (pp. 11).

2. Glickmann, S. (2007). Promoting Quality: The Health-Care Organization From a


Management Perspective. Int. J. Qual. Health Care. 19(6): 341-8.

3. The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG). (2012). Good


Corporate Governance (GCC) pada Perspektif.

4. Organisasi Pembelajar. Jakarta.

5. Ms Sherry, Frank D. (2009). Procceding of The 2009 ACM SIGMOD International


Conference on Management of Data (SIGMOD). Melbourne: Association for
Computing Machinery, Inc.

6. Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan (PPK) BLU. (2013). Himpunan


Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengelolaan Keuangan BLU (Badan Layanan
Umum). Jakarta: Kementerian Keuangan RI.

7. Widajat, Rochmanadji. (2009). Being a Great and Sustainable Hospital. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama.

8. Soesanto, A. (2009). Leadpreunership. Pendekatan Strategic Management dalam


Kewirausahaan. Jakarta: EEG (Esensi. Erlangga Grup).

9. National Institute of Standards Technology (NIST). (2013). About The Criteria for
Performance. Gaithersburg: Baldridge Performance Excellent. (2013).
10. Collins, Jim. (2004). Good to Great. Batam: KPG (Karisma Publishing Groups).

11. Nugroho, Riant. (2012). Public Policy: Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan,
Manajemen Kebijakan. Jakarta: Kompas Gramedia.

BAB 3
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya dapat
diambil suatu kesimpulan yaitu; UU No. 44/2009 Pasal 36 disebutkan bahwa
"Tata Kelola Rumah Sakit" sudah menganut prinsip tata kelola rumah sakit
yang baik yaitu prinsip legalitas, prinsip hukum perlindungan hak asasi
manusia (HAM) yang terimplementasi dalam prinsip persamaan, prinsip
keadilan, selanjutnya adalah prinsip transparansi, prinsip profesionalitas,
prinsip perlindungan hukum, dan prinsip pertanggung jawaban hukum.
Bahwasannya tata kelola rumah sakit di Indonesia berdasarkan prinsip Good
Governance yaitu prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, independensi dan
responsibilitas, kesetaraan dan kewajaran.

B. SARAN
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, perlu menetapkam
pemberlakukan SNARS (Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit) edisi
dalam bentuk instrumen hukum, sehingga ada jaminan kekuatan mengikat
secara hukum. Komisi Akreditasi Rumah Sakit selain melakukan workshop,
bimbingan, dan penilaian, perlu menerbitkan contoh form yang digunakan di
rumah sakit yang isinya terkait seperti elemen penilaian dalam standar
sehingga staf Rumah Sakit bisa lebih cepat belajar untuk menerapakan standar
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Eeckloo, K. et al. (2004) ‘From Corporate Governance To Hospital


Governance . Authority , Transparency and Accountability of Belgian Non-
Profit Hospitals ’ Board and Management’, 68, pp. 1–15. doi:
10.1016/j.healthpol.2003.07.009.

Hanevi Djasri, 2006. Penerapan Clinical Governance Melalui ISO 9000:


Studi Kasus di Dua RSUD Provinsi Jawa Timur. Jurnal Manajemen
Pelayanan Kesehatan Volume 09 No. 03. September 1 2006 Halaman 121-128

Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2009) ‘Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit’. Available at:
www.bpkp.go.id

Western Australian Clinical Governance Guidelines, 2005

Anda mungkin juga menyukai