Anda di halaman 1dari 20

PAPER ADMINISTRASI KEBIJAKAN RUMAH SAKIT

PENERAPAN PENETAPAN KELAS RAWAT INAP STANDAR (KRIS)


TERHADAP KINERJA RUMAH SAKIT

Dosen Pengampu : Safari Hasan, S.IP,MMRS

DISUSUN OLEH :

ZHALWA ANGGORO QUROTUAINI

NIM 10821032

Program Studi S1 Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Teknologi Manajemen


Kesehatan, Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri, Jl. KH Wachid Hasyim
No.65, Bandar Lor, Kec. Mojoroto, Kota Kediri, Jawa Timur 64114

Telp : (0354) 773299 Website : https://g.page/iikbwkediri?share


ABSTRAK

Rumah Sakit merupakan salah satu sarana atau tempat yang digunakan
sebagai pelayanan kesehatan masyarakat, dan sesuai dengan standar yang
ditetapkan oleh Peraturan Menteri Republik Indonesia, Rumah Sakit memberikan
pelayanan yang tepat dan akurat kepada pasien, dengan pelayanan yang tinggi dan
pelayanan yang minimal. Harus disediakan. Dari Indonesia. Standar medis rumah
sakit dipertahankan melalui kinerja profesional, efisiensi, efektivitas, dan kepuasan
pasien staf rumah sakit.

Masyarakat berhak memperoleh manfaat pelayanan dan perlindungan


kesehatan untuk memenuhi Kebutuhan Kesehatan Dasar (KDK) dan apabila
masyarakat memerlukan rawat inap di rumah sakit dilayani dalam kelas standar.
Hal tersebut tertuang dalam roadmap Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yaitu
penyeragaman paket manfaat medis dan non medis bagi peserta JKN di rumah sakit,
namun sejauh ini belum di terealisasikan.
BAB I

PENDAHULUAN

Dalam UU no. 40 Tahun 2004 pasal 19 dan pasal 23, diatur bahwa jaminan
kesehatan diselenggarakan secara nasional sesuai dengan asas jaminan sosial dan
asas pemerataan, dengan tujuan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan
kesehatan dan perlindungan untuk pemenuhan Kebutuhan Kesehatan Dasar (KDK),
dan jika peserta memerlukan rawat inap di Rumah Sakit maka dilayani di Rumah
Sakit sesuai standar kelas.

Rumah Sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang memberikan


pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan memiliki peran strategis dalam
percepatan peningkatan derajat kesehatan masyarakat sebagai tujuan pembangunan
kesehatan, oleh karena itu rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan yang
bermutu sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan


Badan Layanan Umum, telah diatur tentang Standar Pelayanan Minimal yang
meliputi dimensi mutu, pemerataan dan pemerataan, biaya dan kemudahan, khusus
untuk rumah sakit, Pemerintah mengeluarkan Kepmenkes Nomor 228 Tahun 2002
yang menyatakan bahwa Standar Pelayanan Minimal rumah sakit harus memuat
standar pelayanan medis, pelayanan penunjang, pelayanan keperawatan, pelayanan
keluarga miskin dan standar manajemen rumah sakit, yang terdiri dari manajemen
sumber daya manusia, keuangan, sistem informasi rumah sakit, infrastruktur dan
manajemen mutu pelayanan. .

Rumah sakit memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya percepatan
peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Paradigma baru pelayanan kesehatan
menuntut rumah sakit untuk memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan
kebutuhan dan keinginan pasien dengan tetap mengacu pada kode etik profesi.
Dalam perkembangan teknologi yang semakin pesat dan persaingan yang semakin
ketat, rumah sakit dituntut untuk terus meningkatkan kualitas pelayanannya
(Depkes RI, 2007).

Kemampuan rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan pasien dapat diukur


dari tingkat kepuasan pasien. Pada umumnya pasien yang tidak puas akan
mengarsipkan pengaduan ke pihak rumah sakit. Pengaduan yang tidak segera
ditangani akan mengakibatkan menurunnya kepuasan pasien terhadap kemampuan
pelayanan kesehatan di rumah sakit. Kepuasan konsumen telah menjadi konsep
sentral dalam wacana bisnis dan manajemen. (Assauri, 2003).

Saat ini pemerintah memperkuat pelayanan kesehatan bagi masyarakat


miskin dengan prinsip jaminan kesehatan melalui mekanisme jaminan sosial
sebagai awal dari pembangunan kesehatan sosial yang komprehensif. sistem
asuransi yang bersifat wajib bagi semua masyarakat. . Berdasarkan pengalaman
masa lalu dan pembelajaran dari pengalaman berbagai negara lain yang sebelumnya
telah mengembangkan asuransi kesehatan, sistem ini dirasa menjadi pilihan yang
tepat untuk dapat menyelenggarakan subsistem pelayanan kesehatan sejalan dengan
subsistem pembiayaan kesehatan. Sistem jaminan pemeliharaan ini akan mampu
mendorong perubahan mendasar seperti penataan standarisasi pelayanan,
standarisasi tarif pelayanan berdasarkan perhitungan yang benar, penataan
formularium dan penggunaan obat yang rasional, yang berdampak pada
pengendalian mutu dan pengendalian biaya. (Depkes RI, 2006).

Standar dan tujuan kebijakan menentukan keberhasilan pencapaian tujuan


implementasi kebijakan. Pemahaman tentang tujuan umum dari suatu standar dan
tujuan/tujuan kebijakan adalah penting. Implementasi kebijakan yang berhasil
mungkin gagal (frustrasi) ketika para pelaksana, tidak sepenuhnya menyadari
standar dan tujuan kebijakan.

Menurut peneliti, pemahaman pelaksana di lapangan mengenai standar


kebijakan sudah cukup, terbukti dengan adanya renovasi atau pembangunan
ruangan sesuai kriteria KRIS, ruangan intensif dan ruangan isolasi, baik dari segi
kuantitas maupun kualitas yang dilakukan oleh rumah sakit. Pemahaman informan
tentang tujuan kebijakan berbeda-beda, sesuai dengan informasi informan sebagai
berikut:

1. Kesamaan dalam hal fasilitas

2. Kenyamanan

3. Penyederhanaan jenis iuran (khusus PBI dan non-PBI)

4. Memudahkan masyarakat mendapatkan pelayanan, karena proporsi KRIS


sudah ditentukan, intensif dan isolasi dibandingkan total TT yang ada di
rumah sakit.

BAB II

ISI

2.1 Analisis Kinerja

Kinerja adalah catatan mengenai akibat-akibat yang dihasilkan pada


sebuhan fungi pekerjaan atau aktivitas selama periode tertentu yang berubungan
dengan tujuan organisasi (Suhendi dan Anggara 2010). Keberhasilan dan pelayanan
keperawatan sangat ditentukan oleh kinerja para perawat. Oleh karena itu,
peningkatan kinerja perawat perlu dan harus selalu dilaksanakan melalui sutau
sistem yang terstandar sehingga hasilnya lebih optimal.

Standar dan tujuan kebijakan menentukan keberhasilan pencapaian tujuan


implementasi kebijakan. Pemahaman tentang tujuan umum dari suatu standar dan
tujuan/tujuan kebijakan adalah penting. Implementasi kebijakan yang berhasil
mungkin gagal (frustrasi) ketika para pelaksana, tidak sepenuhnya menyadari
standar dan tujuan kebijakan.

Menurut peneliti, pemahaman pelaksana di lapangan mengenai standar


kebijakan sudah cukup, terbukti dengan adanya renovasi atau pembangunan
ruangan sesuai kriteria KRIS, ruangan intensif dan ruangan isolasi, baik dari segi
kuantitas maupun kualitas yang dilakukan oleh rumah sakit. Pemahaman informan
tentang tujuan kebijakan berbeda-beda, sesuai dengan informasi informan sebagai
berikut:

1. Kesamaan dalam hal fasilitas

2. Kenyamanan

3. Penyederhanaan jenis iuran (khusus PBI dan non-PBI)

4. Memudahkan masyarakat mendapatkan pelayanan, karena proporsi KRIS


sudah ditentukan, intensif dan isolasi dibandingkan total TT yang ada di
rumah sakit.

Terkait klasifikasi rumah sakit, kewajiban rumah sakit, akreditasi rumah


sakit, pembinaan dan pengawasan rumah sakit, serta tata cara pengenaan sanksi
administratif, PP ini sejalan dengan kebijakan yang dikeluarkan sebelumnya dalam
hal rawat inap, dengan beberapa penyesuaian. Ada beberapa kebijakan yang ada
terkait gedung, sarana, dan prasarana di rumah sakit, yaitu:

1. Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Rawat Inap (Kemenkes RI,


2012)

2. Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sakit Intensive Care (Kemenkes


RI, 2012)

3. Pedoman teknis infrastruktur sistem tata udara di gedung rumah sakit.

Hal ini dikarenakan desain KRIS dibuat sesuai dengan pedoman dan
ketentuan tersebut. Penyesuaian yang dilakukan di beberapa rumah sakit yang
ukuran ruangannya tidak sesuai dengan desain konsensus KRIS akan
mengakibatkan penurunan TT yang pada akhirnya akan berdampak pada
ketidaksesuaian jumlah TT dengan jenis kelas rumah sakit, menurut SIO saat ini.
Sehingga beberapa rumah sakit melakukan penyesuaian dengan mengubah fungsi
beberapa ruangan yang ada untuk pengelolaan rumah sakit menjadi ruang rawat
inap atau dengan membangun gedung baru. Preferensi KRIS kelas A atau kelas B
yang disiapkan rumah sakit disesuaikan dengan segmen peserta yang banyak
berobat ke rumah sakit. Rumah sakit pemerintah akan menyiapkan lebih banyak
KRIS kelas A dan rumah sakit swasta akan menyiapkan lebih banyak KRIS kelas
B. Beberapa rumah sakit akan menyiapkan KRIS A dan KRIS B dengan jumlah TT
maksimal, misalnya kelas A disiapkan maksimal tiga TT/kamar dan kelas B hanya
lima TT/kamar sebagai nilai kompetitif.

2.2 Analisis Motivasi Kerja dengan Kinerja Perawat

Motivasi kerja bisa dikarenakan faktor insentif dan kondisi kerja. Menurut
peneliti pemberian insentif diharapkan dapat meningkatkan kinerja perawat
sehingga produktivitas kerja perawat akan meningkat. Seperti pemberian insentif
finansial berupa gaji yang sesuai dengan hasil pekerjaannya dan penghargaan bagi
perawat berprestasi dalam menjalankan tugas memberikan pelayanan keperawatan
kepada pasien merupakan salah satu motivator yang menyebabkan seseorang
senang dalam bekerja sehingga termotivasi melakukan pekerjaannya dengan baik.
Dan kondisi lingkungan kerja dalam melaksanakan asuhan keperawatan merupakan
salah satu faktor meningkatkan kinerja perawat, baik kinerja individu maupun
kinerja rumah sakit. Keadaan kondisi kerja yang nyaman dinilai dari lingkungan
kerja tenang seperti bersih dan rapi akan membuat perawat nyaman dan semangat
dalam melaksanakan pekerjaanya dan ada jaminan keamanan sehingga perawat
akan merasa tenang dalam melakasanakan aktivitas. Kondisi lingkungan kerja yang
baik tersebut dapat mendukung pelaksanaan dalam bekerja sehingga mendorong
semangt bekerja dan meningkatkan kinerja perawat.

2.3 Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik

WHO merumuskan tiga dimensi dalam mencapai universal coverage yaitu


seberapa besar penduduk yang dijamin, jenis pelayanan kesehatan yang terjamin
dan proporsi biaya kesehatan yang masih ditanggung penduduk. Dimensi pertama
adalah populasi terjamin. Dimensi kedua adalah jaminan pelayanan kesehatan
(terbatas pada rawat inap atau termasuk rawat jalan). Dimensi ketiga adalah
proporsi biaya kesehatan yang dijamin (biaya kesehatan ditanggung sepenuhnya
oleh pemerintah atau warga harus membayar sebagian biaya rumah sakit).
Perluasan jaminan ke tiga dimensi tergantung pada kemampuan keuangan suatu
negara dan preferensi penduduknya2.

Untuk acara jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan,


pelaksanaannya telah dimulai sejak tanggal 1 Januari 2014. Acara tersebut
selanjutnya disebut acara Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pengaturan teknis
lebih lanjut pelaksanaan JKN acara tertuang dalam berbagai peraturan yang
merupakan turunan dari kedua undang-undang tersebut di atas, baik berupa
Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes), Peraturan Menteri. Keputusan Kesehatan (Kepmenkes),
Surat Edaran (SE) Menteri Kesehatan, Pedoman Pelaksanaan (Manlak), Pedoman
Teknis (Juknis), Pedoman Praktik dan lain-lain.

Kelengkapan dokumen arsip merupakan bagian penting dari proses klaim.


Jika pihak rumah sakit dapat memenuhi kelengkapan dokumen, tidak menutup
kemungkinan proses reimbursement atas pelayanan kesehatan yang telah diberikan
akan lebih cepat. Ada beberapa persyaratan yang harus dilengkapi dalam proses
klaim, yaitu sebagai berikut : formulir pengajuan klaim, softcopy hasil aplikasi,
kwitansi asli bermaterai, bukti pelayanan yang telah ditandatangani oleh peserta
atau anggota keluarga, dan kelengkapan lain yang dipersyaratkan oleh masing-
masing tagihan klaim.

Pembayaran klaim diajukan dan diverifikasi setelah lima belas hari kerja
dan dibayarkan ke BPJS. Dan masih terdapat kendala atau kendala dalam proses
claim yaitu kelengkapan administrasi pasien yang masih kurang, seperti pasien
tidak membawa KTP, kartu keluarga dan lain-lain. Sehingga petugas BPJS
kesehatan memberikan waktu kepada pasien 3x24 jam untuk menyelesaikan arsip,
jika melebihi batas maka akan dikenakan denda, dan lamanya waktu sejak klaim
diajukan adalah 6-7 hari.
Sejak pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), banyak kendala
yang dihadapi. Masyarakat mengeluhkan sulitnya mendapatkan pelayanan yang
memadai. Saat melakukan pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan laboratorium
maupun radiologi terkadang harus datang beberapa kali karena alokasi biaya sudah
melebihi paket INA-CBG's. Tidak jarang pasien mengeluh saat minum obat di
apotek disebabkan oleh obat yang tidak tersedia (kosong) atau jumlah obat yang
diterima dirasakan pasien kurang (manajemenrumahsakit.net/2014/01/perjualan-
dalam- pelaksanaan JKN). Di sisi lain, banyak rumah sakit yang mengeluhkan
besaran tarif pembiayaan yang diatur dalam Permenkes Nomor 59 Tahun 2014.
Tarif dalam peraturan tersebut dinilai terlalu kecil dan tidak sesuai dengan
pelayanan medis, harga obat saat ini dan reagen atau bahan habis pakai. Bagi pasien,
timbul kesan bahwa pihak rumah sakit hanya memberikan pelayanan seadanya
disertai dengan ketidakramahan dari petugas kesehatan.

2.4 Kepuasan Pasien

Kepuasan dapat diartikan sebagai perasaan puas, senang dan lega bagi
seseorang akibat mengkonsumsi suatu produk atau jasa untuk mendapatkan
pelayanan suatu jasa. Kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah
membandingkan kinerja atau hasil yang dirasakannya dengan harapannya. Tingkat
kepuasan adalah fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dan harapan.
Jika kinerja di bawah harapan, pelanggan akan sangat kecewa. Jika kinerja sesuai
dengan harapan, pelanggan akan puas. Sedangkan jika kinerja melebihi harapan,
pelanggan akan sangat puas. Harapan pelanggan dapat dibentuk oleh pengalaman
masa lalu, komentar dari kerabat dan janji serta informasi dari berbagai media.
Pelanggan yang puas akan setia lebih lama, tidak terlalu sensitif terhadap harga, dan
meninggalkan komentar yang baik tentang perusahaan.

Ada beberapa aspek yang mempengaruhi perasaan puas pada pasien yang
berasal dari dalam rumah sakit, yaitu:
1. Sikap pendekatan staf terhadap pasien, yaitu sikap staf terhadap pasien
saat pertama kali datang ke rumah sakit.

2. Kualitas pelayanan yang diterima pasien adalah apa yang telah dilakukan
oleh pemberi pelayanan kepada pasien, berapa banyak pelayanan perawatan
yang berhubungan dengan proses penyembuhan penyakit pasien dan
kelangsungan perawatan pasien selama di rumah sakit.

3. Prosedur administrasi berkaitan dengan pelayanan administrasi pasien


mulai dari masuk rumah sakit selama perawatan sampai keluar dari rumah
sakit.

4. Waktu tunggu berkaitan dengan waktu yang diperbolehkan untuk


berkunjung dan melindungi dari keluarga dan orang lain dengan
memperhatikan ruang tunggu yang memenuhi standar rumah sakit, antara
lain: ruang tunggu yang nyaman, tenang, fasilitas yang memadai seperti
televisi, kursi, air minum dan seterusnya.

5. Fasilitas umum lainnya seperti kualitas pelayanan berupa makanan dan


minuman, privasi dan kunjungan. Fasilitas ini berupa pelayanan untuk
memenuhi kebutuhan pasien seperti makanan dan minuman yang
disediakan serta privasi ruang tunggu sebagai sarana bagi masyarakat yang
berkunjung ke rumah sakit.

6. Fasilitas ruang rawat inap bagi pasien yang harus dirawat. Fasilitas kamar
rawat inap ini disediakan berdasarkan permintaan pasien mengenai kamar
rawat inap yang diinginkan.

Hasil pengobatan atau hasil pengobatan yang diterima pasien adalah


pengobatan yang berhubungan dengan penyembuhan penyakit pasien berupa
pembedahan, kunjungan dokter, perawat dan kondisi lingkungan fisik rumah sakit.
Tingkat kepuasan antara satu individu dengan individu lainnya berbeda. Hal ini
terjadi karena adanya pengaruh faktor kedudukan, umur, kedudukan sosial, tingkat
ekonomi, pendidikan, jenis kelamin, sikap mental dan kepribadian.
Kepuasan pasien berdasarkan teori-teori di atas tidak hanya dipengaruhi
oleh pelayanan yang dihasilkan oleh suatu rumah sakit, tetapi juga dipengaruhi oleh
pelayanan yang diberikan oleh staf rumah sakit, termasuk dokter, perawat, dan
karyawan lainnya. Kepuasan pasien erat kaitannya dengan kenyamanan,
keramahan, dan kecepatan pelayanan. Kepuasan pelanggan, merupakan indikator
yang berhubungan dengan banyaknya keluhan dari pasien atau keluarga.

Bentuk konkrit untuk mengukur kepuasan pasien rumah sakit, dalam


seminar tentang survei kepuasan pasien di rumah sakit, ada empat aspek yang dapat
diukur yaitu:

a) Hubungan pasien dengan staf rumah sakit dapat digambarkan


dengan pertanyaan mengenai keramahan, informasi yang diberikan,
sejauh mana komunikasi, ketanggapan, dukungan, seberapa
responsif dokter/perawat di ruang gawat darurat, rawat jalan, rawat
inap, apotek, kemudahan menghubungi dokter/perawat . ,
keteraturan makan, obat-obatan, pengukuran suhu, dll.
b) Kompetensi teknis petugas, dapat digambarkan dalam hal kecepatan
pelayanan pendaftaran, keterampilan menggunakan teknologi,
pengalaman petugas medis, gelar kedokteran yang dimiliki,
terkenal, keberanian mengambil tindakan, dll.
c) Biaya, dapat digambarkan dalam hal kewajaran biaya, kejelasan
komponen biaya, biaya pelayanan, perbandingan dengan rumah
sakit lain jenis lain, tingkat orang yang menerima pengobatan,
apakah ada keringanan atau tidak untuk orang miskin.

2.5 Penetapan Tarif

Tarif adalah nilai suatu pelayanan yang ditentukan oleh besar kecilnya
sejumlah uang berdasarkan pertimbangan bahwa dengan nilai uang tersebut suatu
rumah sakit bersedia memberikan pelayanan kepada pasien. 2009).
Untuk rumah sakit pemerintah, tarif ditetapkan berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan atau Pemerintah Daerah. Hal ini menunjukkan kontrol yang
ketat dari pemerintah sebagai pemilik rumah sakit.

2.6 Tujuan Penetapan Tarif

Penanganan penetapan tarif dan tujuan penetapan dipengaruhi oleh pemilik.


Terhadap latar belakang kepemilikan ini, tarif dapat ditetapkan untuk tujuan
berikut:

1. Pengaturan tarif untuk pemulihan biaya

Situasi ini terutama berlaku untuk rumah sakit pemerintah yang subsidinya
semakin berkurang.

2. Penetapan tarif untuk subsidi silang

Adanya kebijakan agar masyarakat yang mampu secara ekonomi dapat


membantu meringankan pembiayaan pelayanan rumah sakit bagi
masyarakat yang secara ekonomi lemah.

3. Pengaturan tarif untuk meningkatkan akses layanan

Kebijakan penetapan tarif serendah mungkin sehingga diharapkan dengan


tarif yang rendah ini, akses akan baik atau mudah, terutama bagi masyarakat
miskin.

4. Penetapan tarif untuk meningkatkan kualitas pelayanan Kebijakan


penetapan tarif bangsal VIP dilakukan berdasarkan pertimbangan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan dan juga meningkatkan kepuasan kerja
dokter spesialis.

5. Penetapan tarif untuk mengurangi pesaing dapat dilakukan untuk


mencegah rumah sakit baru yang akan menjadi pesaing.
6. Penetapan tarif untuk meningkatkan keuntungan dapat dilakukan di pasar
rumah sakit yang cenderung dikuasai oleh satu rumah sakit (monopoli)
dengan tujuan untuk memaksimalkan pendapatan.

7. Penetapan tarif ditujukan untuk meminimalkan penggunaan jasa,


mengurangi penggunaan, tarif ditetapkan dengan tarif tinggi.

8. Penetapan tarif dengan tujuan menciptakan citra perusahaan adalah


penetapan tarif yang ditetapkan dengan tujuan meningkatkan citra rumah
sakit.

2.7 Kebijaksanaan Tarif

1. Tarif pelayanan rumah sakit ditentukan dengan mempertimbangkan nilai


pelayanan rumah sakit dan kemampuan membayar masyarakat setempat.

2. Tarif rumah sakit harus memperhatikan kesinambungan pelayanan, daya


beli masyarakat, asas keadilan dan pemenuhan persaingan yang sehat.

3. Tarif rumah sakit ditentukan berdasarkan jenis pelayanan, tingkat


kecanggihan pelayanan dan kelompok pelayanan.

4. Pemberian keringanan atau pembebasan biaya pelayanan rumah sakit


bagi pasien kurang mampu diatur oleh direktur rumah sakit yang
bersangkutan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pelayanan Medik.

5. Tarif rumah sakit untuk kelompok masyarakat yang pembayarannya


dilakukan oleh penanggung melalui perjanjian tertulis.

6. Penetapan tarif pelayanan rumah sakit dilakukan dengan


mempertimbangkan adanya subsidi silang untuk tarif pelayanan pasien
golongan III.
2.8 Strategi Penetapan Tarif

Ada tiga jenis strategi, yaitu cost-oriented, demand-oriented, dan competition-


oriented.

1. Berorientasi biaya

Yaitu penetapan tarif/harga yang sepenuhnya mengacu pada biaya yang


dikeluarkan, baik biaya marginal maupun biaya total, termasuk biaya tidak
langsung (overhead cost).

2. Berorientasi pada permintaan

Rumah sakit memperhatikan kondisi permintaan, bukan tingkat biaya,


dalam menetapkan tarif/harga.

3. Berorientasi pada kompetisi

Rumah sakit menetapkan tarif/harga berdasarkan tarif/harga yang


ditetapkan oleh pesaingnya.

2.9 Faktor-Faktor Pertimbangan Penetapan Tarif RS

Ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan ketika menetapkan harga.

1. Harga satuan

Ini mewakili biaya layanan per pasien (jumlah faktor produksi yang
dikorbankan untuk memberikan layanan).

2. Jenis layanan yang diharapkan, tingkat penggunaan, dan bantuan timbal


balik

Untuk menambah unit dengan okupansi rendah memang relatif sulit, namun
untuk meningkatkan pendapatan rumah sakit perlu dibangun kembali unit-
unit yang mungkin menjadi pusat pendapatan.

3. Tingkat Kemampuan Masyarakat


Kemampuan membayar masyarakat diukur dari ATP (Kemampuan
Membayar) dan (WTP) (Jumlah Kesediaan Membayar) masyarakat.

4. Elastisitas

Hukum ekonomi menyatakan bahwa perubahan tarif menyebabkan


perubahan permintaan atas produk yang ditawarkan. 5. Biaya layanan
pesaing yang setara

Rumah sakit juga perlu membandingkan tarif layanan untuk pesaing yang
sebanding.

2.10 Hambatan Implementasi

Kendala utama yang dihadapi dalam pelaksanaan KRIS sesuai dengan


konsensus desain 12 kriteria KRIS JKN adalah bangunan eksisting yang ukurannya
tidak sesuai dengan standar kepadatan ruangan untuk KRIS, sehingga perlu
dilakukan renovasi yang membutuhkan dana dan waktu penyelesaian yang lama.
waktu akan mengganggu layanan saat ini.

Kendala penerapan ruang intensif TT 10% di rumah sakit adalah


ketersediaan peralatan medis yang canggih seperti ventilator dan sumber daya
manusia yang kompeten seperti perawat ICU bersertifikat. Di masa pandemi ini,
rumah sakit kesulitan mengirimkan perawatnya untuk mengikuti pendidikan karena
keterbatasan dalam memberikan pendidikan.

Kendala dalam penerapan biaya isolasi 10% dari TT di rumah sakit terutama
terbatasnya ruang di rumah sakit dan saat ini rumah sakit tidak terlalu fokus
menyiapkan ruang isolasi standar.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan materi di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah
catatan efek yang dihasilkan pada suatu pekerjaan atau kegiatan selama periode
tertentu yang berkaitan dengan tujuan organisasi. Contoh analisis kinerja adalah
analisis penerapan standar kelompok rawat inap terhadap kinerja suatu rumah sakit,
yang merupakan langkah penting untuk menentukan keberhasilan penerapan
kinerja yang ditentukan.

Terdapat beberapa kebijakan yang ada terkait dengan bangunan, sarana, dan
prasarana di rumah sakit, yaitu: petunjuk teknis bangunan rumah sakit rawat inap,
petunjuk teknis bangunan rumah sakit perawatan intensif, petunjuk teknis prasarana
sistem tata udara pada bangunan rumah sakit.

Sesuai dengan petunjuk teknis bangunan rumah sakit rawat inap tahun 2012
sehingga dengan ditetapkannya kriteria KRIS akan mempermudah rumah sakit
untuk menyamakan kelas rawat inap. Penyesuaian yang dilakukan oleh pihak
rumah sakit adalah dengan mengubah fungsi beberapa ruangan, seperti ruang
manajemen rumah sakit menjadi ruang perawatan, atau dengan membangun gedung
baru. Saat ini rumah sakit pemerintah akan lebih banyak menyiapkan KRIS kelas
A dan rumah sakit swasta akan lebih banyak menyiapkan KRIS kelas B, sesuai
dengan dominasi segmen peserta yang berobat di rumah sakit. Untuk penyesuaian
kebijakan ini, pihak rumah sakit swasta menyatakan siap dari segi pendanaan meski
tidak dibantu pemerintah, selama klaim JKN saat ini masih lancar.

Pembahasan terakhir adalah hambatan implementasi yang dihadapi dalam


pelaksanaan KRIS. Kendala utama yang dihadapi sebenarnya adalah bangunan
eksisting yang ukurannya tidak sesuai dengan standar kepadatan ruangan KRIS,
sehingga perlu dilakukan renovasi yang membutuhkan dana dan waktu
penyelesaian yang cukup lama akan mengganggu pelayanan yang ada saat ini.
Selanjutnya terdapat kendala dalam penerapan TT 10% di unit perawatan intensif
di rumah sakit, yaitu ketersediaan peralatan medis canggih seperti ventilator dan
sumber daya manusia yang kompeten seperti perawat ICU bersertifikat. Kendala
terakhir adalah penerapan biaya isolasi 10% dari TT di rumah sakit yaitu
keterbatasan ruangan di rumah sakit.
3.2 Saran

Rumah sakit terlebih dahulu mengidentifikasi ketersediaan kamar rawat


inap terkait kesesuaian luas ruangan yang ada dengan pedoman yang berlaku saat
ini yaitu pedoman teknis gedung rumah sakit rawat inap 2012 untuk ruang rawat
inap. Apabila musyawarah KRIS telah ditetapkan oleh pemerintah, maka rumah
sakit dapat segera melakukan penyesuaian sesuai ketentuan yang telah ditetapkan.
Untuk mempertahankan kelompok rumah sakit, menurut SIO saat ini, kekurangan
TT dapat diatasi dengan memanfaatkan ruangan yang ada, jika rumah sakit belum
memungkinkan untuk membangun gedung baru. Saat ruangan sudah dipetakan,
rumah sakit bisa melakukan penyesuaian 12 kriteria lainnya secara bertahap hingga
2023.

Pemerintah akan segera membuat peraturan pelaksana agar rumah sakit


dapat mempersiapkan secara tepat sesuai standar yang telah ditetapkan dan tidak
menimbulkan perbedaan persepsi antar masing-masing organisasi pelaksana.
Peraturan pelaksana dimaksud juga mencakup ketegasan pemerintah dalam hal
segmen kepesertaan yang akan diterapkan (grup 1, grup 2, grup tiga atau grup non-
PBI dan grup PBI) yang tentunya akan mempengaruhi iuran dan tarif INACBGs
yang akan dikenakan. terapan. Pemerintah segera menyelaraskan regulasi yang
sudah ada terkait kebijakan penerapan KRIS, ruang intensif, dan ruang isolasi.

DAFTAR PUSTAKA
Afni, D., & Bachtiar, A. (2022). Analisis Kesiapan Implementasi Kelas Rawat Inap
Standar: Studi Kasus Di RS Wilayah Kabupaten Tangerang (PP No 47 Tahun
2021). Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 7(5), 6634-6655.

Wahyuni, S. (2007). Analisis kompetensi kepala ruang dalam pelaksanaan standar


manajemen pelayanan keperawatan dan pengaruhnya terhadap kinerja perawat
dalam mengimplementasikan model praktik keperawatan profesional di instalasi
rawat inap BRSUD Banjarnegara (Doctoral dissertation, Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro).

Kementrian Kesehatan Ri. (2012b). Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit


Ruang Rawat Inap Indonesia.

Kementrian Kesehatan Ri. (2012c). Pedoman Teknis Prasarana Sistem Tata


Udara Pada Bangunan Rumah Sakit.

Kementrian Kesehatan Ri. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 99 Tahun 2015. , (2015).

Majelis Permusyawaratan Rakyat. Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia 1945. , (1945).

Mundiharno, Hasbullah Thabrany, Kementrian Koordinator Kesejahteraan


Rakyat, Dewan Jaminan Sosial Nasional, Kesehatan, Kementrian, & Nasional,
Kementrian Perencanaan Pembangunan. (2012). Peta Jalan Menuju Jaminan
Kesehatan Nasional 2012-2019.
Pemerintah Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40
Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. , (2004).

Pemerintah Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44


Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. , (2009).

Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018


Tentang Jaminan Kesehatan. , (2018).

Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor


64 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82
Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan. , (2020).

Pemerintah Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11


Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. , (2020).

Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia


Nomor 47 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan. , (2021).

Yanidrawati, K. (2012). Hubungan kepuasan kerja dengan kinerja perawat di ruang


rawat inap rumah sakit umum daerah kabupaten bekasi. Students e-Journal, 1(1),
32.

Hardi, J. (2010). Analisis tingkat kepuasan pasien umum dan pasien jamkesmas
terhadap mutu pelayanan rawat inap di RSUD Pasaman Barat tahun 2010.
Universitas Andalas. ISO 690
Lewiani, N., Lisnawaty, L., & Akifah, A. (2020). Proses Pengelolaan Klaim Pasien
BPJS Unit Rawat Inap Rumah Sakit Dr. R. Ismoyo Kota Kendari Tahun 2016
(Doctoral dissertation, Haluoleo University).

Dumaris, H. (2018). Analisis perbedaan tarif rumah sakit dan tarif Ina-CBG’s
pelayanan rawat jalan di RSUD Budhi Asih Jakarta tahun 2015. Jurnal Administrasi
Rumah Sakit Indonesia, 3(1).

An-Nafi, A. F. (2009). Pengaruh kenyamanan lingkungan fisik ruang rawat inap


kelas III terhadap kepuasan pasien di RSUI Kustati Surakarta.

Zakiyah, N. (2020). FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN


KINERJA PERAWAT DI RUANG RAWAT INAP RSUD dr. H. MOCH ANSARI
SALEH BANJARMASIN TAHUN 2020 (Doctoral dissertation, Universitas Islam
Kalimantan MAB).

Anda mungkin juga menyukai