Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Current Issues In Hospital Management pada
Program Studi Magister Konsentrasi Manajemen Rumah Sakit
Dosen Pembimbing :
Prof. Dr. Nanan Sekarwana, dr., Sp.AK., MARS.
Dr. Titik Respati, drg., m.Sc., PH.
Disusun oleh :
Soal no 2.
SPMI RS (Standar Penjaminan Mutu Internal RS) adalah salah satu hal yang sangat penting
dalam manajemen RS.
a. Jelaskan SPMI RS secara rinci dengan contohnya.
b. Bagaimana penerapan SPMI ditempat kerja saudara dan jelaskan secara rinci
pelaksanaannya.
Soal no 3.
Ceriterakan tentang SPME RS (Standar Penjaminan Mutu Eksternal RS). Apakah SPME di RS
saudara sudah dilaksanakan. Jelaskan mengenai proses SPME di tempat saudara. Bagaimana
Tempat bekerja mendapat nilai yang sekarang ini.
Catatan: Untuk Saudara yang tidak bekerja di RS silahkan membuat perencanaan mengenai
SPMI dan SPME dengan skenario Saudara bekerja di RS.
Soal no 4.
Skenario: Anda menjadi salah satu pimpinan di satu RS Tipe B dan merencanakan untuk
mengembangkan pelayanan yang lebih baik dari aspek pelayanan medik. Selama ini banyak
keluhan dari pasen baik di bagian Rawat Jalan maupun di Rawat Inap berkaitan dengan sumber
daya manusia tenaga kesehatan yang kurang mendukung aspek pelayanan.
Buat rencana untuk perbaikan mutu layanan terhadap pasen baik di rawat jalan maupun di rawat
inap secara rinci dari perencanaan sdm nakes , sehingga program ini diharapkan dapat
meningkatkan kepuasan pasen. Buat perencanaan tenaga kesehatan di masing masing pusat
layannan agar memenuhi standar yang diharapkan di RS tsb.
JAWABAN :
1. Dibawah ini merupakan gambaran perbedaan Permenkes No. 56 tahun 2014
dengan Permenkes No. 3 tahun 2020.
Masalah dalam Permenkes No 3 Tahun 2020,
1. UU No 44 Tahun 2009 Pasal 24 dan Penjelasan Ayat 2, rumah sakit umum perbedaan
klasifikasi didasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan medik. Permenkes No 3 Tahun
2020 menghilangkan perbedaan itu, pembedaan kelas rumah sakit didasarkan jumlah
tempat tidur. Permenkes No 3 Tahun 2020 tidak sesuai dengan UU No 44 Tahun 2009.
2. UU No 36 Tahun 2009 Pasal 30, sistem rujukan berjenjang melalui Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama, kemudian fasilitas Kesehatan Tingkat Kedua dan terakhir Fasilitas
Kesehatan Tingkat Tiga. sistem rujukan memastikan pelayanan tingkat kedua memiliki
kemampuan standar, dan pelayanan tingkat tiga memiliki kemampuan menerima
rujukan. Permenkes No 3 tahun 2020, meniadakan perbedaan pelayanan. Kelas rumah
sakit hanya dibedakan berdasarkan jumlah tempat tidur. sehingga permenkes No 3 tahun
2020 tidak sesuai dengan pola rujukan dalam UU No 36 Tahun 2009. UU No 44 Tahun
2009 memberikan celah, agar dibuat sistem rujukan baru.
3. Permenkes No 3 Tahun 2020, memberikan kebebasan dokter, dokter spesialis dan dokter
subspesialis untuk berpraktik pada seluruh kelas rumah sakit namun proses masuknya
dokter ke rumah sakit di ikuti kajian analisa kebutuhan kerja, kebutuhan pelayanan dan
kemampuan pelayanan, artinya dokter berpraktik didukung oleh kebutuhan masyarakat,
didukung sarana prasarana sesuai kompetensi nya. kajian kajian tersebut bila disetujui
dinas kesehatan, maka diterbitkan SIP, demikian sebaliknya.
4. Permenkes No 3 tahun 2020 bersifat otomatis dalam hal kenaikan kelas. bila tempat tidur
rumah sakit menyentuh minimal tempat tidur klasifikasi kelas rumah sakit diatas nya
maka reviu klasifikasi kelas rumah sakit secara nasional atau laporan BPJS Kesehatan
dapat otomatis menaikkan kelas rumah sakit.
5. Permenkes No 3 tahun 2020 memposisikan setiap rumah sakit untuk bersaing secara
terbuka, persaingan tersebut dimungkinkan terjadi karena dokter sebagai komponen
utama pelayanan dapat berada pada seluruh klasifikasi kelas rumah sakit.
Tantangan Manajemen RS dengan diberlakukannya Permenkes No.3 tahun 2020 salah
satunya berdampak pada sistem rujukan RS. Hal ini bertentangan dengan dengan Pasal 29
Perpres No 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan menyebutkan: “Dalam hal Peserta
memerlukan Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan FKTP harus merujuk ke
FKRTL terdekat sesuai dengan sistem rujukan yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan”.
Tidak hanya menimbulkan pertanyaan dan kekhawatiran namun tidak memberikan
kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pelaku jasa pelayanan kesehatan dan
masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan.
Padahal Mekanisme mengenai Rujukan sebelumnya telah diatur juga dalam Pasal 15
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 yang menyebutkan jelas;
1. Pelayanan Kesehatan Tingkat II HANYA dapat diberikan atas Rujukan dari pelayanan
kesehatan tingkat Pertama
2. Pelayanan Kesehatan Tingkat III HANYA dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan
kesehatan TK II atau TK I
3. Ketentuan tersebut dikecualikan pada Keadaan gawat darurat, bencana, kekhususan
permasalahan kesehatan pasien, pertimbangan geografis dan pertimbangan kesediaan
fasilitas.
Tujuan Sistem Rujukan terstruktur adalah;
1. Untuk menjamin pelaksanaan kontinuitas perawatan
2. Untuk menjamin anggota JKN
3. Untuk mendapatkan manfaat kesehatan dan perlindungan pada kebutuhan dasar
kesehatan pasien
4. Untuk meningkatkan efektifvirs dan efisiensi dalam sistem kesehatan
5. Untuk memperkuat fasilitas kesehatan perifer
6. Untuk meningkatkan kemampuan untuk pengambilan keputusan di fasiliras kesehatan
tingkat rendah
7. Untuk meningkatkan kolaborasi antara 3 tingkat fasilitas kesehatan
Perlunya sistem Rujukan berjenjang;
1. Pelayanan berkelanjutan
2. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi Sistem Kesehatan
3. Faskes Primer diberdayakan
Dampak Rujukan Tidak berjenjang;
1. Penumpukan Pasien di Rumah Sakit Rujukan
a. Penambahan poli dan tempat tidur tidak pernah cukup
b. Waktu tunggu pasien lebih lama
c. Biaya (transport dan opportunity cost) lebih tinggi
d. Mutu layanan di Rs Rujukan Menurun
2. Pasien yang membutuhkan pelayanan menjadi terhambat
a. Antrian rawat jalan yang lama
b. Pasien ditolak di RS Rujukan karena tempat tidur penuh
3. Transfer Knowledge ke layanan Primer tidak terjadi
4. Tidak meratanya fasilitas kesehatan
5. Promotif, Preventif dan Rehabilitatif kurang berfungsi
6. Kesalahan Poli tujuan karena pasien berkunjung ke Rumah Sakit tanpa dirujuk dokter di
layanan primer
7. Biaya pelayanan tidak terkendali
a. Biaya pelayanan meningkat
b. Biaya tidak dapat diprediksi
Profesi dokter dan atau dokter gigi perlu mendapatkan jaminan perlindungan hukum
dalam memberikan kepastian dalam melakukan upaya kesehatan kepada pasien sebagaimana
disebutkan dalam pasal 50 Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 demikian juga tenaga
kesehatan yang disebutkan dalam 27 Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 jo pasal 57
Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2014 jo pasal 36 Undang – Undang Nomor 38 tahun 2014
jo Pasal 60 Undang – Undang Nomor 4 tahun 2019 dirasakan belum terlihat jelas dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2020 ini.
Sama halnya dengan dokter maka tenaga kesehatan yang merupakan bagian dari pihak
penyelenggara pelayanan kesehatan masyarakat diberikan hak untuk mendapatkan imbalan dan
perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. Dengan demikian,
dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat sepanjang dilaksanakan dengan iktikad baik dan sesuai dengan standar pelayanan
kesehatan yang berlaku, maka undang – undang menjamin perlindungan hak – hak
kepentingannya.
Dengan dihilangkannya pasal yang mengatur tentang rujukan berjenjang justru tidak
memberikan kepastian dan perlindungan hukum baik bagi pelaku jasa pelayanan kesehatan dan
penyelenggara pelayanan kesehatan namun juga bagi masyarakat, Bila Orientasi Rujukan
adalah Hanya berdasarkan banyaknya jumlah tempat tidur.
Dampak diberlakukannya PMK No 3/2020:
a. Kuantitas dan Kualitas dokter tidak akan merata di masing – masing Rumah Sakit. SDM
Tenaga medis akan menumpuk di satu rumah sakit yang dianggapnya lebih ‘menjanjikan’
dan Rumah Sakit lain tidak memiliki dokter.
b. Belum jelasnya mengenai standar pelayanan, standar tarif dan standar biaya dalam sistem
rujukan.
V. INDIKATOR LOKAL
JUDUL INDIKATOR MUTU TARGET PENANGGUNG JAWAB
Kepatuhan Pengisian Catatan Medis Gawat
100% Kepala Instalasi Gawat Darurat
Darurat pada pasien Gawat Darurat
Dalam merencanakan Sumber Daya Manusia yang tepat guna, maka suatu rumah sakit
perlu membuat rencana strategis minimal 5 tahun ke depan. Salah satu pedoman sebagai standar
perencanaan SDM yakni menggunakan Permenkes No. 56 tahun 2014 mengenai klasifikasi dan
perizinan Rumah Sakit.
SDM merupakan ujung tombak dari pelayanan di rumah sakit. SDM yang bermutu pada
prinsipnya mempunyai kemampuan profesional dan teknikal tertentu yang kehadirannya pada
semua lini pekerjaan akan melahirkan banyak keuntungan. Dalam organisasi rumah sakit upaya
untuk menciptakan rumah sakit yang mempunyai citra baik (berkualitas) di mata pelanggannya
sangat ditentukan oleh kualitas SDMterstandarisasi yang dimilikinya. SDM terstandarisasi
berarti tenaga yang dimiliki oleh organisasi telah mempunyai keterampilan dan pengetahuan
yang sesuai dengan bidang tugas yang dikerjakan baik dilihat dari tingkat pendidikan maupun
pengalaman yang dimiliki SDM yang bersangkutan. SDM rumah sakit pada dasarnya telah
terspesialisasi secara jelas, karena semua tenaga medis seperti perawat, bidan, dokter, dokter
spesialis, farmasi dan lain-lain secara khusus telah mempunyai latar belakang pendidikan sesuai
dengan bidang tugas yang mereka kerjakan. Dengan latar belakang pendidikan itulah SDM di
organisasi rumah sakit diharapkan mampu menunjang pelayanan rumah sakit yang berkualitas.
Meskipun demikian, karena masalah kesehatan dan teknologi yang digunakan selalu berubah
maka upaya peningkatan mutu SDM akan selalu diperbaiki dengan berbagai cara dan strategi
baik melalui pre-service education dan in-service education. Apalagi di era saat ini yang
menuntut keunggulan mutu SDM yang ditandai dengan sinergi antara keleluasaan pengusaan
ilmu pengetahuan danketeramplian memanfaatkan teknologi informasi.
Seorang dokter dan perawat bukan hanya dituntut mampu memberikan pelayanan medis
dan perawatan, tetapi harus mampu menggunakan komputer dan menguasai keterampilan
berkomunikasi secara baik kepada pasien agar hubungan pasien dengan pelayan kesehatan
dapat berjalan dengan baik. Tentunya dapat dibayangkan apa yang akan terjadi jika hubungan
komunikasi pasien dan pelayan kesehatan terjadi distorsi. Kualitas SDM seperti itulah yang
membedakan SDM rumah sakit dengan SDM rumah sakit lainnya, karena latar belakang
pendidikan mungkin sama akan tetapi pengusaan teknologi informasi dan komunikasi yang
dimiliki dapat berbeda. Keadaan itu akan menjadi pendorong organisasi rumah sakit untuk
dapat meraih keunggulan kompetitif (competitive adventages) yaitu dapat memenangkan
persaingan dalam memberikan jasa pelayanan kesehatan kepada pasien dibandingkan rumah
sakit lainnya.
SDM terstandardisasi yang telah menguasai teknologi informasi dan komunikasi
merupakan unsur penting dalam faktor proses produksi yakni penyampaian jasa pelayanan
kepada pasien dan menciptakan keunggulan kompetitif. Untuk menciptakan SDM yang
berkualitas tentu saja terkait dengan kompetensi. Kompetensi selain menentukan perilaku dan
kinerja seseorang juga menentukan apakah seseorang melakukan pekerjaan dengan baik
berdasarkan standar kriteria yang ditentukan. Menurut The NationalPark Service kompetensi
merupakan kombinasi pengetahuan, keahlian dan kemampuan di bidang karier tertentu yang
dimiliki sehingga memungkinkan seseorang melaksanakan tugas atau fungsinya pada keahlian
tertentu yang secara spesifik telah ditentukan.
SDM rumah sakit terdiri atas petugas medis dan nonmedis. Tenaga medis secara khusus
telah diposisikan sesuai tugas dan fungsi dengan mempertimbangkan disiplin ilmu atau latar
belakang pendidikan mereka, namun dapat saja tugas dan fungsi administrasi tidak dijabat oleh
orang yang tepat sesuai kriteria yang ditentukan. Meskipun inti jasa pelayanan di rumah sakit
adalah jasa kesehatan, pengguna jasa pelayanan kesehatan tersebut tentunya harus melalui
tahap demi tahap proses kegiatan dan akan bertemu dengan bagian-bagian pelayanan tidak
langsung (seperti bagian informasi, administrasi, dll). Bagian pelayanan tidak langsung di
rumah sakit dapat saja mengakibatkan pasien merasa tidak puas dan tidak nyaman. Kondisi itu
terjadi, apabila petugas di bagian pelayanan tidak langsung bersikap tidak ramah, kurang sopan,
judes dan tidak terampil.
Jika SDM rumah sakit memiliki latar belakang pendidikan, pengetahuan, keterampilan
yang sesuai, SDM tersebut belum dapat dikatakan mempunyai kompetensi yang tinggi karena
kompetensi yang tinggi bukan hanya menyangkut pengetahuan/pendidikan (knowledge) dan
keterampilan (skill) saja tetapi menyangkut banyak kondisi. Mengutip pernyataan Spencer et
al karakteristik kompetensi yang harus dimiliki seseorang agar melakukan pekerjaan dengan
baik berda-sarkan kriteria yang telah ditentukan, meliputi motif (motive), sifat/ciri bawaan
(traits), konsep diri (self concept), pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill). Motif
menyangkut daya dorong kemauan orang yakni karyawan rumah sakit untuk melakukan
tindakan baik yang berasal dari dalam diri maupun luar diri. Sifat/ciri bawaaan menyangkut
reaksi ciri bawaan yang bersifat konsisten terhadap situasi misalnya seorang dokter harus
mempunyai pandangan luas dalam mengambil keputusan yang tepat pada saat gawat darurat
maupun masalah kesehatan yang tidak ada kepastian. Inti kedua kompetensi berada pada
dasar personality iceberg sehingga sangat sulit untuk dinilai dan dikembangkan serta memakan
biaya yang cukup besar untuk memilih karakteristik tersebut.
Konsep diri merupakan refleksi dari konsep sikap, nilai atau self image yang diyakini
orang. Konsep diri yang harus diyakini para karyawan adalah bahwa bekerja merupakan
tanggung jawab yang harus dilaksanakan dengan baik sehingga dalam bekerja harus bersikap
baik (seperti senyum, ramah dan sopan) kepada pelanggan. Karakteristik konsep diri dapat
diubah melalui pelatihan dan psikoterapi atau pengalaman pengambangan yang positif
walaupun memerlukan waktu yang relatif lama. Karakteristik kompetensi pengetahuan dan
keterampilan relatif lebih mudah untuk dikembangkan melalui pelatihan dengan cara yang
paling efektif untuk menjamin kemampuan pegawai. Kompetensi pengetahuan dan
keterampilan mempunyai kecenderungan lebih tampak (visible) dan lebih mudah untuk dapat
ditingkatkan dibandingkan karakteristik kompetensi lainnya yang berada lebih dalam dan
tersembunyi dalam diri seseorang.
Karakteristik kompetensi SDM berupa pengetahuan dan keterampilan merupakan
kompetensi yang mendasar yang harus dimiliki SDM untuk menuju ke arah kompetensi yang
lebih dalam dan tersembunyi. Artinya para karyawan tidak akan mempunyai konsep diri, motif
dan sifat/ciri bawaan baik untuk menjadi SDM yang berkualitas, jika tidak mempunyai
pengetahuan dan keterampilan yang baik.