Robotika
BAB IV
SISTEM KENDALI ROBOT
Hal. 4 - 1
Modul
Robotika
Secara garis besar, suatu sistem robotic terdiri dari 3 bagian seperti
ditunjukkan dalam Gambar 4.1 di bawah ini.
Hal. 4 - 2
Modul
Robotika
Tiga prosedur utama, yaitu baca sensor, memproses data sensor, dan
mengirim sinyal aktuasi ke aktuator adalah tugas utama kontroler. Ilustrasi ini
mengisyaratkan bahwa sebenarnya tugas kontroler adalah sederhana. Dengan
membaginya menjadi tiga bagian maka seorang engineer akan lebih mudah
dalam melakukan analisa tentang bagaimana kontroler yang didisainnya
bekerja. Meski dalam program kemudi robot secara lengkap nampak kompleks
namun sebenarnya tetap dapat dibagi ke dalam tiga bagian besar itu.
Dalam aplikasi prosedur “baca sensor” dapat terdiri dari berbagai teknik
yang masing-masing membawa dampak kerumitan dalam pemrograman.
Hal. 4 - 3
Modul
Robotika
Bagian yang berfungsi untuk memproses data sensor adalah bagian yang
paling penting dalam program kontroler. Di sinilah para peneliti dan engineer
dapat dengan leluasa mengembangkan berbagai ide, teori dan teknik
“bagaimana membuat robot dapat bekerja sesuai harapan”. Berbagai algoritma
kontrol mulai dari teknik klasik seperti control P, I dan D dapat diterapkan jika
dikehendaki kontrol yang lebih pintar dan dapat beradaptasi dapat memasukkan
berbagai algoritma kontrol adaptif hingga teknik artificial intelligent seperti
fuzzy control, neural network, genetic algorithm, dll.
Bagian ketiga adalah prosedur “tulis data” adalah bagian yang berisi
pengalamatan ke aktuator untuk proses penulisan data. Dalam konteks
rangkaian elektronik, data ini adalah sinyal aktuasi ke kontroler seperti berapa
besar tegangan atau arus yang masuk ke motor,dsb. Baik aktuator sensor
memenuhi tegangan kerja.
Hal. 4 - 4
Modul
Robotika
Hal. 4 - 5
Modul
Robotika
Hal. 4 - 6
Modul
Robotika
Pada gambar di atas, robot memiliki dua roda kiri kanan independen,
berfungsi untuk berjalan ke depan dengan mendeteksi jalur putih diatas lantai
yang berwarna gelap (hijau tua atau hitam). Sensor yang digunakan adalah tipe
proximity TX-RX infra-merah berbasis ON/OFF seperti pada Gambar 2.12 di
muka, sebanyak 2 buah, yang memberikan nilai 1 jika berada di jalur, dan
bernilai 0 jika diluar jalur. Aktuator menggunakan dua buah motor DC dengan
gearbox yang dikemudikan secara ON/OFF juga. Jadi dalam hal ini rangkaian
relay seperti pada Gambar 4.4 saja sudah cukup memadai untuk
mengemudikan motor.
Hal. 4 - 7
Modul
Robotika
Dari Tabel 4.1 dan algoritma di atas kita dapat menentukan rangkaian
kontroler apa yang sesuai. Berikut ini diberikan beberapa contoh kontroler
yang dapat digunakan.
Hal. 4 - 8
Modul
Robotika
Hal. 4 - 9
Modul
Robotika
Hal. 4 - 10
Modul
Robotika
Hal. 4 - 11
Modul
Robotika
Hal. 4 - 12
Modul
Robotika
int dataIN;
int count;
pause(t)
Hal. 4 - 13
Modul
Robotika
long t;
{
unsigned int d;
while(t) {
for(d=0;d<255;d++);
t--;
}
} //end pause
main()
{
trisa=0;
trisb=0;
start_position();
pause(10);
run();
for(;;){ portb=0x00;}
}
void start_position()
{
portb= 0xcf;
for(;;)
{ dataIN=porta & 0x03; if(dataIN!=0x03)return;}
}
void run()
{
count=0;
for(;;) {
dataIN = porta & 0x08; //cek untuk bumper limit switch
if(dataIN==0x00) {portb=0x00; pause(100); return;}
dataIN = porta & 0x83; //cek untuk x----- xxB Port A
Hal. 4 - 14
Modul
Robotika
(4.1)
Hal. 4 - 15
Modul
Robotika
Perhatikan Gambar 4.13 dalam fungsi waktu t maka output kontroler u(t)
= ∙( − ) (4.2)
dapat ditulis,
Hal. 4 - 16
Modul
Robotika
Demikian hal ini berulang seterusnya sehingga error pada kontrol P ini
tidak dapat mempertahankan error selalu nol atau dengan kata lain, dalam
kondisi tetap (steady state), error pada control P tidak bisa nol. Hal ini dikenal
sebagai steady-state error ( ).
Untuk lebih jelasnya kita ambil contoh sebuah kasus kontrol kecepatan
pada motor DC-MP menggunakan control P seperti pada Gambar 4.14 berikut
ini.
Ω
Misalkan parameter motor di atas adalah sebagai berikut:
L = 0.062H,
R = 2.5
Koefisien viscous rotor dan beban,
= 0.00004 /
Konstanta torsi motor, emf,
Konstanta tegangan balik = 0.026 /,
= 0.001,
Hal. 4 - 17
Modul
Robotika
Hal. 4 - 18
Modul
Robotika
Nampak dalam Gambar 4.16 bahwa semakin kecil Kp maka offset atau
steady-state error semakin besar. Namun nilai Kp yang terlalu besar akan
menyebabkan osilasi pada saat start.
Hal. 4 - 19
Modul
Robotika
Hal. 4 - 20
Modul
Robotika
= ∙ − + − (4.2)
Persamaan output kontroler diatas adalah,
Skema PI ini diuji pada 2400 rpm dengan Kp di-set pada 0.1. Untuk
melihat efek penerapan control integral, dibandingkan tiga kondisi hasil
pemilihan parameter Ki, yaitu 0,0.5 dan 2.0. Ki = 0 menunjukkan bahwa
kontroler adalah P saja.
Hal. 4 - 21
Modul
Robotika
Hal. 4 - 22
Modul
Robotika
Hal. 4 - 23
Modul
Robotika
= ∙ − + ∙ ( ) (4.3)
Sehingga persamaan output kontroler u(t),
Kontroler PD ini kita uji coba pada motor DC-MP seperti percobaan pada
control P dan PI sebelumnya via simulasi dengan diagram skema sebagai
berikut.
Hal. 4 - 24
Modul
Robotika
Kp di-set 0.75 sedang Kd di-set pada 0, 0.0075 dan 0.01. hasil simulasinya
ditunjukkan dalam Gambar 4.24 berikut ini.
Hal. 4 - 25
Modul
Robotika
Bagaimanapun respon output PID ini ? kita akan uji dengan cara yang sama
menggunakan SIMULINK(r). Diagram skemanya ditunjukkan dalam Gambar
4.26A.
Hal. 4 - 26
Modul
Robotika
Dari uji simulasi untuk model motor yang digunakan di atas didapatkan
sebuah konfigurasi Kp, Ki, dan Kd yang dianggap cukup baik (belum terbaik:
silahkan Anda coba sendiri untuk mencari pasangan Kp, Ki, dan Kd yang lebih
baik), yaitu Kp = 6.25, Ki = 6.5 dan Kd = o.1.
Hal. 4 - 27
Modul
Robotika
Hal. 4 - 28
Modul
Robotika
Padahal dalam dunia robotika, gerakan body (missal: robot berjalan atau
berpindah tempat) dan gerakan bagian robot seperti gerakan pada sendi-lengan
adalah gerakan yang berorientasi pada kontrol posisi. Artinya, definisi gerakan
robot adalah atas dasar perpindahan posisi. Jika robot telah mencapai posisi
sesuai referensi gerak maka actuator akan “berhenti”, dengan kata lain, jika
actuator ini adalah motor maka motor akan berhenti berputar.
Hal. 4 - 30
Modul
Robotika
Untuk jelasnya, kita ambil contoh kontrol posisi (sudut poros) pada
sebuah motor DC-MP, misalnya untuk robot tangan satu sendi seperti pada
Gambar 4.29. Untuk menghindari bahasan yang rumit, sementara ini efek
dinamik dari inersia lengan dan faktor gravitasi diabaikan. Lengan robot
dianggap planar (sejajar dengan bumi) dan berat lengan dianggap sangat
ringan. Yang diperhitungkan hanya inersia dari rotor motor dan faktor friksi
viscous. Bahasan efek dinamik yang lebih detil akan diberikan pada Bab-bab
berikutnya.
Hal. 4 - 31
Modul
Robotika
0
posisi sudut sendi. Denga asumsi sudut 0 adalah posisi lengan yang segaris
0
lurus dan sudut jangkauan gerak lengan adalah (-135-+135) maka output
sensor dalam tegangan sebesar (0-5)V mewakili pergerakkan posisi sebesar (-
0
135-+135) . Ilustrasinya seperti berikut.
Data posisi pada dasarnya dapat juga diperoleh melalui data sensor kecepatan seperti
dalam Persamaan (4.5). Pada beberapa motor DC servo komersial biasanya dilengkapi dengan
sensor kecepatan didalamnya (output berupa frekuensi pulsa). Dengan demikian dalam hal
tertentu kita tidak perlu memasang sensor posisi untuk membaca data posisi, tapi cukup dengan
melakukan perhitungan di dalam program berdasarkan data dari sensor kecepatan. Atau posisi
dapat pula diperoleh dengan menghitung jumlah pulsa menggunakan prinsip rangkaian
kounter. Perlu diingat, sebagai konsekuensi, pemerolehan data posisi melalui perhitungan dapat
menyebabkan pemrograman menjadi lebih rumit. Selain itu data posisi yang diperoleh tidak
langsung bersifat absolut, maksudnya perlu langkah penentuan posisi nol terlebih dahulu
sebagai pedoman pengukuran agar data hasil perhitungan counter berikutnya dapat dinilai
absolut. Dalam Gambar 4.29 diatas, output sensor posisi menggunakan potensiometer adalah
bersifat absolut karena
Rlangsung.Supriyanto,dapatHustinawati,dibacaAryolehBimakontrolerK,Rigathisebagai.W.N,
sudut riil.
Hal. 4 - 32
Modul
Robotika
Hal. 4 - 33
Modul
Robotika
Dalam simulasi ini diasumsikan sudut poros motor pada saat start adalah
0
berada pada posisi 0 . Sebagai target, lengan robot harus bergerak menuju
0
posisi 90 atau sekitar 1.57 radian. Dalam konteks sinyal, fungsi input ini
adalah fungsi step sehingga respon output kontroler adalah respon terhadap
fungsi step. Fungsi step pada input seperti ini sering dijumpai dalam kasus
kontrol robotik seperti pada kontrol posisi ujung tangan robot manipulator
untuk menuju obyek.
Gambar 4.32 Diagram Simulink control p pada control posisi motor DC-MP
Hal. 4 - 34
Modul
Robotika
Nampak bahwa pada Kp = 0.5 waktu untuk mencapai kondisi settle adalah
sekitar 0.9det. Makin besar Kp maka waktu menuju kondisi settle semakin
cepat. Tetapi jika Kp terlalu besar (2.0 atau 3.0) Nampak mulai timbul osilasi
ketika menuju kondisi settle.
Hal. 4 - 35
Modul
Robotika
Gambar 4.34 manampilkan skema control PI untuk kasus motor DC-MP ini,
sedang Gambar 4.35 adalah skema simulasinya.
Gambar 4.35 Diagram Simulink Kontrol PI pada control posisi motor DC-MP
Hal. 4 - 36
Modul
Robotika
Hal. 4 - 37
Modul
Robotika
Hal. 4 - 38
Modul
Robotika
Diagram simulasi pada Gambar 4.38 juga diuji pada input yang sama,
yaitu fungsi step menuju posisi 1.57radian. Hasil simulasinya ditunjukkan
dalam Gambar 4.39 berikut ini.
Hal. 4 - 39
Modul
Robotika
Padahal, kondisi ideal di atas dalam dunia nyata tidak akan pernah
dijumpai, karena pada dasarnya semua fenomena sistem dalam alam dan
kehidupan ini adalah non-linier. Meskipun sistem robot, seperti contoh motor
DC-MP dengan lengan tunggal ini, dapat dimodelkan secara matematik dengan
tepat namun dinamika beban dan gangguan selama operasi umumnya tidak
dapat (sulit) dimodelkan secara tepat. Dalam konteks inilah kemudian dikenal
istilah-istilah faktor ketidaktentuan (uncertainty) dan ketidaklinieran (non-
linearity). Beberapa faktor yang masuk dalam dua kategori faktor ini misalnya
keausan bantalan (bearing) yang dapat menyebabkan friksi, beban kerja yang
sangat dinamis seperti beban angkat yang bervariasi, efek dinamik dari momen
inersia sistem sambungan seri seperti robot tangan 2DOF atau lebih, efek
gravitasi, dan berbagai gangguan operasi seperti vibrasi, senggolan, benturan,
dan sebagainya.
Hal. 4 - 40
Modul
Robotika
Sebagai contoh bahasan kita akan menguji efek beban torsi pada
beberapa kontrol klasik berikut ini. Perlu dipahami di sini bahwa pembebanan
yang berubah-ubah dianggap sebagai gangguan (disturbance).
Hal. 4 - 41
Modul
Robotika
Hal. 4 - 42
Modul
Robotika
Dalam Gambar 4.42 nampak bahwa efek pembebanan yang makin besar
menyebabkanǪ steady-state error menjadi semakin besar pula. Sedikit saja ada
beban tidak dapat menuju nolwalaupun Kp di-tune kembali. Jadi, kontroler P
untuk control posisi motor DC-MP hanya dapat konvergen untuk kondisi tanpa
beban torsi atau momen inersia. Padahal kondisi ideal tanpa beban ini hampir
tak pernah terjadi dalam aplikasi sebenarnya.
Untuk uji simulasi kali ini Kp di-set sama seperti pada uji sebelumnya,
yaitu 2, sedang Ki diambil pada nilai dimana komponen I dianggap mampu
memperbaiki kinerja P dengan menurunkan steady-state error. Gambar 4.44
dan 4.45 berikut ini memperlihatkan hasil simulasinya.
Hal. 4 - 43
Modul
Robotika
Hal. 4 - 44
Modul
Robotika
Hal. 4 - 45
Modul
Robotika
Hal. 4 - 46
Modul
Robotika
Hal. 4 - 47
Modul
Robotika
Hal. 4 - 48
Modul
Robotika
sebagai berikut,
(4.6)
ujung lengan, L =( , )
Gambar 4.30). Dalam hal ini pada dasarnya kita tidak perlu menurunkan
koordinat ke dalam (x ,y) karena derajat kebebasan robot adalah 1DOF.
Koordinat q yaitu (x, y) akan selalu berada dalam konfigurasi berdasarkan
variabel tunggal . Dengan kata lain, pernyataan posisi dengan akan lebih
menyederhanakan persoalan dari pada menyatakannya dalam (x, y) sebab akan
langsung dapat diketahui dengan jelas posisi ujung lengan yang dikontrol.
Akan tetapi persoalannya mulai rumit manakala DOF robot lebih dari 1.
Misalnya 2DOF dan 3DOF pada robot tangan dua lengan seperti gambar
berikut.
Hal. 4 - 49
Modul
Robotika
Tiap, aktuator pada, sendi, dikontrol secara terpisah agar posisi ujung
lengan memperoleh kedudukan P(x, y) seperti yang diharapkan.
Atau
Hal. 4 - 50
Modul
Robotika
, = , , , …, , , adalah DOF
Dengan demikian, maka input referensi harus diberikan untuk tiap
komponen sendi, yaitu dan . Gambar berikut menunjukkan
diagramnya untuk kasus kontrol posisi motor DC-MP.
Dalam skema aplikasi yang lebih umum untuk sistem robotika dapat
digambarkan sebagai berikut.
Hal. 4 - 51
Modul
Robotika
Jika aktuator sistem robot lebih dari satu maka referensi posisi dan
kecepatan harus diberikan untuk setiap aktuator. Sensor yang berkaitan juga
harus tersedia untuk tiap aktuator.
= . − + .( − )
Hal. 4 - 52
Modul
Robotika
= ∙ ∙ − − + ∙ − +
Dengan adalah komponen eliminator untuk error posisi, untuk
kecepatan dan untuk akselerasi.
Untuk skema yang lebih umum dalam sistem robotika, diagram control
diatas dapat digambarkan sebagai berikut.
Hal. 4 - 55
Modul
Robotika
= ⇐ (4.14)
Ekspresi penulisan dengan tanda panah ke kiri pada Persamaan (4.14)
sebelah kanan mengilustrasikan bahwa „force‟ yang dikenakan pada posisi fisik
yang memiliki „massa‟ menyebabkan terjadinya suatu „percepatan‟ pada posisi
itu. Dengan demikian, pengukuran yang dilakukan terhadap akselerasi sesaat
dapat menunjukkan force resultan yang terjadi pada saat itu.
Konsep dasar AFC pada sebuah sistem robotika dengan model dinamik
H(s) dengan actuator motor DC torsi (DC-TQ) ditunjukkan dalam Gambar
4.55 berikut ini.
ditulis,
(4.16)
Untuk system pada Gambar 4.55 di atas dapat dituliskan,
(4.17)
= (θ)∙ − (4.18)
Tanda superscript „ menyatakan nilai yang didapat dari pengukuran atau
estimasi. dapat diperoleh dengan mengukur arus yang digunakan oleh motor
(diasumsikan motor yang dipakai adalah motor DC-TQ). Dengan mengalikan
arus motor Idengan konstanta motor maka torsi dapat ditentukan.
= . (4.19)
Komponen diperoleh dengan mengalikan hasil pengukuran
bodi dengan factor pengestimasi inersia (inertia
percepatan angular( )′ ∙
diperoleh dengan
estimator). Nilai percepatan angular ini dapat langsung ( )′
menggunakan sensor accelerometer, sedang variable inertia estimator perlu
Hal. 4 - 57
Modul
Robotika
Hal. 4 - 59
Modul
Robotika
dengan crude approximation ini cukup sukses diaplikasikan pada suatu sistem
mekatronik dan sebuah system active suspension untuk kendaraan dalam
eksperimen di laboratorium (Hewit dan Burdess, 1986, Hewit dan Ma‟rouf,
1996).
Hal. 4 - 60
Modul
Robotika
Kontroler robot dalam tahap disain dan uji coba laboratorium dapat
dibuat dari komputer standar (baik PC atau work station) yang dilengkapi
dengan interface ADC dan DAC. Jika proses ujicoba telah dianggap memadai
maka rangkaian kontrolernya dapat dirancang ulang dengan menggunakan
sistem kontroler yang menyatu dengan sistem robot (embedded controller).
Dapat sebagai contoh, kita akan membahas rangkaian berbasis PIC16F877. IC
mikrokontroler ini memiliki ADC yang menyatu di dalam chip sebanyak 8
kanal dengan ketelitian 10-bit. Untuk output, tersedia 2 kanal PWM yang dapat
dihubungkan ke aktuator seperti motor. Input/Output secara umum dapat
diperoleh dari Port A, B, C, D dan E. untuk lebih lengkapnya silahkan cek di
datasheet yang berkaitan.
Hal. 4 - 61
Modul
Robotika
Misalkan robot diatas akan didisain secara outonomous yang dalam hal
ini memerlukan sebuah sistem embedded controller berbasis PIC16F877.
Sebelum embedded controller kita buat, terlebih dahulu sebuah PC digunakan
sebagai dasar dalam mengembangkan sistem kontroler baik secara perangkat
keras maupun perangkat lunak. Ilustrasi sistem pengembangan robot dapat
dilihat dalam Gambar 4.60 berikut ini.
Hal. 4 - 62
Modul
Robotika
Pada Gambar 4.61, jika dilihat dari sisi input, system ini memiliki 12
kanal input analog yang dihubungkan ke 12 kanal ADC pada interface
DAS1602. Sedangkan pada rangkaian rotary encoder digunakan system bus
Hal. 4 - 63
Modul
Robotika
parallel yang terhubung port PPI8255. Jadi total memiliki 16 terminal input
yang masing-masing dapat dikatakan bekerja dengan orientasi analog. Pada sisi
output terdapat 4 kanal yang semuanya bekerja berdasarkan prinsip analog.
Tegangan masing-masing output memiliki jangkauan (0-12)V secara linier.
Untuk arah putaran motor tiap-tiap kanal dibantu dengan 1 bit output digital
(1/0) untuk menyatakan arah putaran CW dan CCW. Karena tiap DAS1602
memiliki 2 kanal DAC maka diperlukan 2 unit untuk mengontrol robot ini.
Motor yang digunakan adalah tipe DC-Servoyang spesifikasinya mendekati
motor torsi ideal. Rangkaian driver-nya ditunjukkan dalam Gambar 4.62.
Untuk pemasangan sensor kecepatan berbasis f/V, sensor arus dan sensor
percepatan dapat menggunakan rangkaian-rangkaian yang telah diterangkan di
bab sebelumnya. Khusus untuk rangkaian rotary encoder yang seluruhnya
berjumlah 4 unit ini Gambar 4.63 memperlihatkan skema lengkapnya. Sistem
koneksi “bus parallel” yang dinyatakan dalam kotak bergaris putus-putus dapat
Hal. 4 - 64
Modul
Robotika
Hal. 4 - 65
Modul
Robotika
Hal. 4 - 67
Modul
Robotika
Sensor Internal:
Sensor posisi,
Sensor kecepatan, dan
Sensor percepatan,
Sensor Eksternal:
Sensor taktil (tactile), berbasis sentuhan: misalnya limit switch
pada bemper robot,
Sensor force dan sensor torsi (torque sensor),
Sensor proksimiti,
Sensor jarak (sonar, PSD, dll),
Sensor vision (kamera),
Gyro, kompas digital, detector api, dan sebagainya.
Dari pengelompokan sensor ini kemudian dikenal istilah low-level control dan
high-level control dalam kontrol robotika. Diagram dasarnya adalah sebagai
berikut.
Hal. 4 - 69
Modul
Robotika
Hal. 4 - 70
Modul
Robotika
Hal. 4 - 71
Modul
Robotika
Hal. 4 - 72
Modul
Robotika
Dari peta ini robot dapat melakukan perencanaan gerak yang pertam
menuju titik tengah, pada garis pintu masuk ke daerah yang belum
diketahui. Kurva trajektori dapat ditentukan dengan mempertimbangkan titik
koordinat START, perkiraan koordinat titik tengah yang berhasil “dipandang”,
(centroid) dengan menghitung luas daerah terlebih dahulu, dan
perkiraan/perhitungan Koordinat titik . Dengan metoda matematik
sederhana, dari tiga titik koordinasi yang diketahui ini dapat diperoleh fungsi
trajektori yang dikehendaki. Dari hasil perencanaan, robot dapat melakukan
aksi pertama.
Hal. 4 - 73
Modul
Robotika
Perlu dicatat bahwa Robot Tikus ini melakukan penjelajahan untuk yang
pertama kali tanpa pengetahuan sedikitpun tentang medan kerjanya. Jadi
diasumsikan bahwa setelah berpengalaman menjelajah mencari GOAL untuk
yang ke-1, ke-2 hingga yang ke-n diharapkan robot dapat menemukan jalan
pintas yang paling pendek.
Hal. 4 - 74
Modul
Robotika
Dari sini, jika langkah robot diteruskan , akan didapat peta terakhir
seperti dalam Gambar 4.71 yang merupakan penyelesaian. Namun langkah ini
bukanlah yang terpendek.
Hal. 4 - 75
Modul
Robotika
R. Supriyanto,GambarHustinawati,4.72RobotAryBimaTikusK,Rigathimencari.W.N,GOAL
(START-P1-P2-P4-GOAL) Hal. 4 - 76
Modul
Robotika
Nampak bahwa jalur jelajah yang dibentuk dalam gambar di atas lebih
pendek dibandingkan dengan peta pada Gambar 4.72.
Hal. 4 - 77
Modul
Robotika
Sedangkan kelemahannya:
Hal. 4 - 78
Modul
Robotika
Hal. 4 - 79
Modul
Robotika
Hal. 4 - 80
Modul
Robotika
Misalnya, katakanlah kita memiliki tiga behavior, yaitu berjalan, lari, dan
memungut batu kemungkinan melemparnya. Behavior “berjalan” adalah
kondisi normal tanpa stimuli. Lari didefinisikan sebagai behavior jika kita
melihat anjing mengejar kita. Memungut batu dan melemparkan ke anjing
adalah behavior yang distimuli oleh penglihatan mata. Jika dinyatakan dalam
arsitektur subsumption susunan behavior ini dapat diilustrasikan dalam
Gambar 4.77 berikut ini.
Hal. 4 - 81
Modul
Robotika
Dari contoh dalam Gambar 4.77, dalam keadaan normal, kita tidak
melihat anjing mengejar, maka subsumption akan memutus hubungan panah
dari atas ( ). Jika ketika berjalan kita melihat ada anjing mengejar maka
akan melakukan switching dengan memutuskan panah dari kiri dan
menyambung panah dari . Sementara itu, masih terhubung ke “lari” dan
memutus panah dari atas. Dalam kondisi ini keputusannya adalah lari. Jika
pada saat lari kita melihat ada batu maka akan memutus hubungan dari
“lari”, sehingga kita berhenti, dan sebagai gantinya kita mengambil batu dan
melemparkannya ke anjing yang mengejar. Jika melihat batu tapi tidak sedang
melihat anjing maka kita akan tetap berjalan normal karena behavior
“memungut batu & melemparnya” tidak mendapat stimuli yang lengkap.
Artinya, output behavior ini tidak akan memberikan respon (output non-aktif)
dan tetap terhubung ke panah dari kiri.
Sebagai contoh bahasan yang lebih riil, katakanlah kita punya sebuah
Robot Tikus bermata kamera plus infrared range-finder (PSD) dengan fungsi
mengejar dan menangkap bola seperti dalam Gambar 4.78 berikut ini. Sebut
saja robot ini Robot Tikus Sepak Bola (RTSB).
Hal. 4 - 82
Modul
Robotika
Jelajah: berjalan bebas kea rah depan dengan memutar roda kiri dan
kanan dalam kecepatan yang sama. (normal)
Menghindar: Hindari jika ada halangan (dinding atau robot lain di
depan). Jika sensor halangan dekat dengan PSDL, robot berbelok ke
kiri. Sebaliknya, jika halangan dekat dengan PSDR maka belok ke
kanan.
Mundur & Belok: Jika bemper SBL ON, artinya menubruk sesuatu
(dinding atau robot lain) di arah sebelah depan-kiri, robot mundur
sedikit sembari belok ke kiri. Sebaliknya, jika tubrukan di sebelah
kanan (SBR ON), robot mundur dan belok ke kanan.
Mencari Bola: Mata kamera menyapukan pandangan ke arah depan.
Dalam hal ini kamera dipasang mati pada tubuh robot. Respon behavior
ini adalah robot mendekati bola hingga dapat ditangkap. (Pintu bola
senantiasa terbuka hingga DB tersentuh).
Memegang Bola: Jika detektor bola DB aktif maka bola telah masuk
ke mulut robot. Maka robot akan menutup pintu bola. DB akan selalu
aktif selama bola berada dimulut robot.
Mencari GOAL: Stimuli berasal dari informasi kamera juga seperti
pada behavior mencari bola. Dalam hal ini diperlukan metoda-metoda
pengolahan citra untuk membedakan bola dengan GOAL. Jika GOAL
didapat, dengan catatan bola sudah di mulut, maka robot akan “lari”
kearah GOAL dan memuntahkan bola dengan membuka pintunya.
Sebagai catatan, dalam kompetisi Robot Sepak Bola (RoboSoccer),
bola biasanya berwarna orange sedang goal berwarna biru atau merah
dengan lantai berwarna gelap (misalnya hijau tua) dan dinding
berwarna putih atau terang.
Hal. 4 - 83
Modul
Robotika
Hal. 4 - 84
Modul
Robotika
Sedangkan kerugiannya:
Hal. 4 - 85
Modul
Robotika
Hal. 4 - 86
Modul
Robotika
Hal. 4 - 87
Modul
Robotika
LATIHAN
a. Sebutkan dan jelaskan komponen-komponen sistem robotika!
b. Jelaskan perbedaan antara sistem kontrol ON/OFF dengan sistem
kontrol PID (Proporsional, Integral dan Derivatif)!
c. Sebutkan dan jelaskan kelebihan dan kekurangan masing-masing
kontrol P, I dan D!
d. Bagaimana merepresentasikan kontrol kecepatan ke dalam kontrol
posisi?
e. Jelaskan efek perubahan beban (gangguan torsi) pada kontroler P, PI,
PD dan PID!
f. Apa yang dimaksud dengan “Resolved Motion Rate Control (RMRC)?
Jelaskan cara kerja RMRC!
g. Apa yang dimaksud dengan “Resolved Motion Acceleration Control
(RMAC)? Jelaskan cara kerja RMAC!
h. Apa yang dimaksud dengan “Active Force Control (AFC)? Jelaskan
cara kerja AFC!
i. Jelaskan perbedaan antara “low-level control” dengan “high-level
control”!
j. Jelaskan cara kerja kontrol berdasarkan Model Plan-Act (MPA)!
Hal. 4 - 88
Modul
Robotika
REFERENSI
c. Hewit, J. R danMarouf, K. B. (1996).Practical Control Enhancement via
Mechatronics Design.IEEE Trans. Industrial Electronics.43(1). 16-22
d. Hewit, J.R. and Burdess (1981).Fast Dynamic Decoupled Control for Robotics
Using Active Force Control.Trans. Mechanism and Machine Theory.16(5).535-
542.
e. Hewit, J.R. danBurdess, J.S. (1986).An Active Method for the Control of
Mechanical System in The Presence of Unmeasurable Forcing.Trans.
Mechanism and Machine Theory.21(3).393-400.
f. Kwek, L. C., Wong, E. K., Loo, C.K. danRao, M.V.V. (2003).Application of Active
Control and Iterative Learning in a 5-Link Biped Robot.Jurnal of Intelligent and
Robotic Systems, 37, 143-162.
g. Microchip. (2001). PIC16F87X Data Sheet, 28/40-pin 8 bit CMOS Flash
Microcontrollers. Data Sheet. Microchip Technology, Inc.
h. Ogata, K. (2002). Modern Control Engineering: Fourth Edition. BukuTeks. New
Jersey: Prentice Hall-Pearson Education International.
i. Pitowarno, E. dan Musa Mailah. (2005). Motion Resolved Acceleration and
Knowledge Based Fuzzy Active Force Control for MobileManipulator. Proc.
Int’1 Conf. on Robotics, Vision, Informations and signal Processing
(ROVISP 2005), Penang, Malaysia.
j. Pitowarno, E., Musa MailahdanHishamuddinJamaluddin. (2001). Trajectory
Error Pattern Refinement of A Robot Control Scheme Using A Knowledge-
Based Method.Proc. IEEE Int’1 Conf. on Information, Communications &
Signal Processing (ICICS 2001), Singapore, P0301.
k. Pitowarno, E Musa MailahdanHishamuddinJamaluddin.(2005). Motion
Control for Mobile Manipulator Using Resolved Acceleration and Iterative-
Learning Active Force Control.Proc. Int’1 Conf. on Mechatronics (ICOM
2005) Kuala Lumpur, p542-549.
l. Uchiyama, M. (1989).Control of Robot Arms.Trans. Japan Society of
Mechanical Engineers. III. 32(1). 1-9.
Hal. 4 - 89