Anda di halaman 1dari 22

PENGOLAHAN DAN EVALUASI PENGOLAHAN LIMBAH INDUSTRI TEKSTIL

DI PT. DAMAITEX SEMARANG

Nama : Rizki Mona Syawlia


NRP : 03211750012009
Dosen Pengampu : Ir. Eddy Setiadi Soedjono, Dipl.SE.M.Sc, Ph.D
Mata Kuliah : Teknologi Pengolahan Limbah Industri

MAGISTER TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK SIPIL, LINGKUNGAN, DAN KEBUMIAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Industri tekstil dan produk tekstil merupakan salah satu industri yang di prioritaskan untuk
dikembangkan karna memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional yaitu sebagai
penyumbang devisa negara, menyerap tenaga kerja dalam jumlah cukup besar, dan sebagai
industri yang diandalkan untuk memenuhi kebutuhan sandang nasional. Hal ini dapat ditunjukkan
melalui perolehan surplus ekspor terhadap impor selama satu dasawarsa terakhir, bahkan saat
krisis ekonomi melanda dunia, ITPT Nasional masih dapat mempertahankan surplus perdagangannya
dengan nilai tidak kurang dari US$ 5 Milyar, penyerapan tenaga kerja 1,34 juta jiwa, capaian TKDN
hingga 63% dan berkontribusi memenuhi kebutuhan domestik sebesar 46%.

Dalam proses produksinya selain produk tekstil, industri tekstil juga menghasilkan limbah baik
berupa limbah padat, cair maupun gas dan kebisingan yang apabila tidak dikelola secara benar dapat
menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan. Pada industri tekstil yang melakukan proses basah
secara lengkap dimulai dari proses persiapan, pencelupan, pencapan dan penyempurnaan maka jumlah
air limbahnya cukup besar dan karakteristik air limbahnya juga cukup pollutif. Selain dari
karakteristiknya, dalam berproduksi sebagian besar industri tekstil juga masih terdapat banyak
komponen-komponen produksi yang terbuang ke lingkungan sehingga menambah beban cemaran
dalam air limbah tersebut.

Pada umumnya para pengusaha tekstil belum tahu cara yang tepat untuk mengelola air
limbahnya agar tidak mengganggu lingkungannya. Saat ini sebagian industri tekstil dalam mengelola
air limbahnya masih banyak yang melakukannya dengan cara pendekatan pengolahan limbah yang
sudah terbentuk yaitu dengan mengolah air limbah sebelum dibuang ke lingkungan. Suatu kenyataan
yang harus diakui bahwa pendekatan pengolahan limbah yang sudah terbentuk mempunyai berbagai
kelemahan, antara lain :

- Tidak efektif memecahkan masalah lingkungan karena limbah masih terbentuk dan hanya
berpindah dari satu media ke media lainnya.

- Pendekatan ini sifatnya reaktif.

- Pengolahan limbah memberikan kontribusi terhadap peningkatan biaya proses produksi


karena biaya investasi dan operasi pengolahan serta pembuangan limbah.

- Peraturan perundang-undangan yang menerapkan persyaratan limbah yang dibuang


setelah dilakukan pengolahan pada umumnya cenderung untuk dilanggar bila pengawasan
dan penegakan hukum lingkungan tidak efektif dijalankan.
Dalam pengelolaan limbah dikenal juga pendekatan produksi bersih yaitu strategi pengelolaan
lingkungan yang bersifat preventiv, terpadu dan diterapkan secara terus menerus pada setiap kegiatan
mulai dari hulu ke hilir yang terkait dengan proses produksi, produk dan jasa untuk meningkatkan
efisiensi penggunaan sumber daya alam, mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dan mengurangi
terbentuknya limbah pada sumbernya sehingga dapat meminimisasi resiko terhadap kesehatan dan
keselamatan manusia serta kerusakan lingkungan. Pada prinsipnya pelaksanaan produksi bersih adalah
mencegah, mengurangi dan menghilangkan terbentuknya limbah atau pencemar pada sumbernya atau
dan memanfaatkan limbah.

1.2 Tinjauan Teknologi Proses Industri Tesktil dan Limbahnya

Di Indonesia industri tekstil sangat bervariasi baik dalam hal skala produksi (skala kecil,
menengah sampai skala besar) dengan teknologi dari padat karya sampai padat modal, maupun variasi
proses yang meliputi proses pemintalan, proses pertenunan/perajutan, proses penyempurnaan sampai
proses pakaian jadi. Banyak pabrik yang hanya melakukan beberapa proses tersebut, tetapi ada pula
yang merupakan suatu pabrik yang terintegrasi dimulai dari pembuatan benang hingga proses
penyempurnaan bahkan dilengkapi dengan proses pembuatan garmen. Sehingga permasalahan yang
dihadapi oleh suatu pabrik tekstil dan dampaknya terhadap lingkungan sangat dipengaruhi variasi
tersebut, termasuk penggunaan bahan baku, teknologi proses dan jumlah produk yang dihasilkan
(Isminingsih Gitopadmojo, 2002).

Dalam proses produksinya industri tekstil dapat menghasilkan limbah padat, cair, gas, maupun
kebisingan. Limbah padat industri tekstil adalah berupa sisa serat, benang, kain, bahan bungkus seperti
plastik, kertas, dan limbah padat yang berasal dari IPAL. Limbah padat dari IPAL adalah lumpur dari
pengendapan awal, dan pengendapan kimia dengan proses koagulasi, selain itu juga dari pengolahan
biologi. Lumpur yang berasal proses pengendapan kimia dimasukkan pada limbah B3. (PP No.18 dan
85 tahun 1999 tentang Pengolahan Limbah B3)

Industri pemintalan yang mengolah serat menjadi benang termasuk proses kering dalam
industri tekstil. Limbah yang dihasilkan dari tahapan proses pemintalan adalah debu dari serat pendek
dan kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin. Tingkat kebisingan serta konsentrasi debu yang
dikeluarkan dari setiap tahapan proses ditentukan oleh jenis dan kualitas serat yang diolah serta serta
jenis alat/ mesin yang digunakan. Pada industri pertenunan dan perajutan, benang dengan melalui
beberapa tahapan pengerjaan diolah menjadi kain tenun atau kain rajut. Benang yang ditenun/ dirajut
berupa benang mentah ataupun benang yang telah dicelup.

Industri pertenunan/ perajutan sebetulnya merupakan industri yang melakukan proses kering,
limbah yang dikeluarkan adalah debu, potongan kain dan kebisingan. Akan tetapi pada proses
penganjian benang lusi digunakan larutan kanji dalam air, sehingga akan dikeluarkan limbah cair berupa
sisa larutan kanji. Industri penyempurnaan akan menghasilkan kain putih, kain celup atau kain cap
(Isminingsih Gitopadmojo, 2002). Tahapan proses penyempurnaan dapat berbeda, bergantung pada
jenis kain (serat), kualitas produk yang ingin dihasilkan, alat mesin yang digunakan, kondisi proses
serta jenis bahan kimia pembantu yang digunakan. Proses penyempurnaan tekstil adalah proses basah
tekstil yang paling banyak menimbulkan pencemaran, karena mengerjakan tekstil dengan larutan zat
kimia dalam medium air, dan merupakan penghasil limbah cair terbesar dari semua proses pada industri
tekstil. Dari proses ini juga dihasilkan limbah udara dan uap senyawa kimia volatile, uap air dan debu
serat. Selain itu juga dihasilkan limbah padat dan IPAL. Industri pakaian jadi (garmen) yang hanya
melakukan proses konfeksi tidak menghasilkan limbah cair, tetapi hanya limbah padat yang dapat
dimanfaatkan kembali, tetapi industri “jean” yang melakukan proses pelusuhan dan pencucian akan
menghasilkan limbah cair dan bahkan kebisingan dan limbah debu.

1.3 Sumber dan Karakteristik Limbah Cair serta Pengaruhnya terhadap Lingkungan

Industri tekstil termasuk salah satu industri yang menggunakan air dalam jumlah yang sangat
banyak dalam proses produksinya. Teknologi proses produksi dalam industri tekstil pada umumnya
dapat dilakukan secara proses kering atau proses basah. Proses kering dilakukan dalamindustri tekstil
tidak memerlukan air sebagai medium proses, tetapi hanya digunakan sebagai bahan pembantu saja.
Yang termasuk dalam proses kering tekstil antara lain adalah proses pembuatan benang (pemintalan),
pembuatan kain (pertenunan), perajutan dan pembuatan kain jadi (garment).

Proses basah dilakukan pada industri tekstil yang menggunakan air sebagai medium proses,
sehingga proses tidak dapat berlangsung tanpa adanya air sebagai bahan penolong utama. Proses
penyempurnaan tekstil merupakan proses basah yang paling banyak menimbulkan pencemaran di
lingkungan industri tekstil yang meliputi industri tekstil pemutihan, pencelupan, pencapan. Proses
penyempurnaan meliputi proses penghilangan kanji, pemasakan, penggelantangan, mercerisasi,
pencelupan, pencapan, pencucian, penyempurnaan akhir, dan lain-lain.

Larutan penghilang kanji biasanya langsung dibuang dan ini mengandung zat kimia penganji
dan penghilang kanji pati, PVA, CMC, enzim, asam. Penghilang kanji biasanya memberikan BOD yang
paling banyak dibandingkan dengan proses-proses lain. Pemasakan dan mercerisasi kapas serta
pemucatan kain adalah sumber-sumber limbah cair yang penting, yang menghasilkan asam, basa, COD,
BOD, padatan tersuspensi dan zat-zat kimia.

Proses-proses ini menghasilkan limbah cair dengan volume besar, pH yang bervariasi dan
beban pencemaran yang tergantung pada proses dari zat kimia yang digunakan. Pewarnaan dan
pembilasan menghasilkan air limbah yang berwarna dengan COD tinggi dan bahan-bahan lain dari zat
warna yang dipakai seperti phenol dan logam. Di Indonesia zat warna berdasar logam (khrom) tidak
banyak dipakai. Parameter utama pencemaran air untuk industri tekstil adalah TSS, BOD, khrom total,
phenol, pH, warna dan suhu. Selain itu parameter lain yang mungkin ada dalam limbah cair di pabrik
tekstil adalah sulfida, amonia, nitrogen, seng, tembaga, dan nikel. Pencemaran organik yang mungkin
ada adalah benzene, naftalena, kloro etilena, kloro etana, dan ptalat.

Jumlah air buangan yang dikeluarkan oleh industry tekstil tergantung pada jenis proses dan
faktor lain yang berpengaruh. Salah satu cara yang tepat untuk menghitung jumlah air buangan adalah
memasang flowmeter pada air buangan keluar. Sebagaimana diketahui tekstil dapat dibagi 3 kelompok
yaitu cotton, wool, dan sintetis yang tahapan proses dan pewarnaannya berlainan. Disamping itu
masing-masing kelompok dapat diproses dengan berbagai cara dengan menggunakan bahan kimia yang
berbeda-beda terutama pada proses pewarnaannya, oleh karena itu limbahnya juga berlainan
komponennya. Apabila limbah cair tidak dikelola secara baik dapat berpengaruh negatif pada
lingkungan. Pengaruhnya tergantung karakteristik limbahnya.

1.4 Baku Mutu Limbah Industri Tekstil

Baku Mutu Limbah Cair Industri adalah batas maksimum limbah cair yang diperbolehkan
dibuang ke lingkungan. Baku Mutu Limbah Cair industri tekstil di Indonesia mengacu pada Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah
Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Industri Tekstil.

Tabel 1. BMLC Industri Tekstil mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 2014
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Data Umum Perusahaan

PT. Damaitex merupakan industri tekstil finishing bleaching (pemutihan) berlokasi di Jl.
Simongan No. 100, Kelurahan Ngemplak Simongan, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang. Luas
lahan 16.702 m2 dengan lahan terbuka 59,07 % dan lahan tertutup 41,93 %. Jumlah karyawan 230
orang dengan status 25 orang pegawai tetap dan 205 orang pegawai lepas / kontrak. Waktu operasional
pabrik adalah 24 jam sehari. Jenis produksi adalah kain mori (tekstil finishing bleaching) dengan
kapasitas riel 50.000 m/hari dan kapasitas menurut ijin 70.000 m/hari (1 kg mori = 5 – 8 yard, 1 yard =
0,9144 m). Jenis produksi kain mori kapas dan rayon dengan kapasitas produksi tergantung order, untuk
tahun 2014 komposisinya adalah 80% kapas dan 20 % rayon.

2.2 Penggunaan Energi

Penggunaan energi di PT. Damaitex Semarang terutama untuk proses produksi, penerangan dan
kantor. Tenaga listrik yang digunakan berasal dari PLN dengan kapasitas 240 kVA dan pemakaian 5700
kWh/bulan dan generator untuk cadangan 250 kVA. Kebutuhan energi yang lain adalah LPG 100
kg/hari untuk proses bakar bulu dan batubara 12-14 ton/hari untuk bahan bakar boiler.

2.3 Penggunaan air

Untuk operasional proses produksi dan untuk kebutuhan domestik di PT.Damaitex penggunaan
airnya dicukupi dengan menggunakan air bawah tanah. Air bawah tanah tidak dilakukan pengolahan
terlebih dahulu sebelum digunakan. Neraca penggunaan air disajikan pada gambar.

Gambar 1. Neraca penggunaan air


2.4 Diagram Alir Proses

Diagram alir proses finishing-dyeing (pewarnaan)

Masukan Proses Keluaran

Kain Tenun

Singeing
- Gas
(bakar bulu) - Partikel

- Air
- Amilase Desizing
- Limbah Cair
- Rapidase
(penghilangan kanji) (T, pH, BOD, COD, TSS)
- Garam Dapur
- Pembasah Anionik

- Soda kaustik Scouring


- Soda abu - Limbah Cair
- Zat pembasah (pemasakan) (T, pH, BOD, COD, TSS, phenol)
- Pencuci anionik -
- Surfaktan
Bleaching
- H2O, NaOCl, - Limbah Cair
CaOCl2 (pemutihan) (T, pH, BOD, TSS)
- Na-Silikat -
- NaOH
- Na-Bisulfit
- HCl Mercerizing - Limbah Cair
- Pembasah anionik (T, pH, TSS)
(mercerisasi)
-
-
- Air, NaOH
- Pembasah tahan alkali Dyeing - Limbah Cair
(T, pH, BOD, COD, TSS, warna,
(pewarnaan)
amoniak, sulfide, Cr total)
-
- Zat Warna
Drying
- Bahan kimia lain - Gas/Uap
(pengeringan)

- Resin anti kusut


Proses Akhir
- Resin anti
mengkeret (penyempurnaan, inspecting, packaging)
- Katalis
- Zat pelemas
Produk :

Kain jadi berwarna


Diagram alir proses finishing-bleaching (pemutihan)

Masukan Proses Keluaran

Kain Tenun

Singeing - Gas
- Partikel
(bakar bulu)

- Air
- Amilase Desizing
- Limbah Cair
- Rapidase (T, pH, BOD, COD, TSS)
(penghilangan kanji)
- Garam Dapur
- Pembasah Anionik

- Soda kaustik Scouring


- Soda abu - Limbah Cair
- Zat pembasah (pemasakan) (T, pH, BOD, COD, TSS, phenol)
- Pencuci anionik -
- Surfaktan

- H2O, NaOCl, Bleaching


- Limbah Cair
CaOCl2 (pemutihan) (T, pH, BOD, TSS)
- Na-Silikat -
- NaOH
- Na-Bisulfit
- HCl Mercerizing - Limbah Cair
- Pembasah anionik (T, pH, TSS)
(mercerisasi) -
-
- Air, NaOH
- Pembasah tahan alkali Drying - Gas/Uap
(pengeringan)

Proses Akhir

(penyempurnaan, inspecting, packaging)

- Resin anti kusut


Produk :
- Resin anti
mengkeret Kain jadi putihan
- Katalis
- Zat pelemas
Proses Cotton
Proses Rayon
2.5 Tahapan pada Proses Pewarnaan dan Pemutihan

 Singeing (bakar bulu)

Mula-mula bahan baku kain tenun dikenakan proses singeing untuk membakar bulu-bulu yang
ada pada permukaan kain. Kain grey (belacu) dibakar dengan menggunakan gas LPG pada mesin
pembakar. Tujuannya agar bulu-bulu pada kain dapat hilang dan kain menjadi bersih sehingga tidak
mengganggu proses berikutnya.

 Desizing (penghilangan kanji)

Proses penghilangan kanji bertujuan untuk menghilangkan kanji yang terdapat pada bahan baku
atau benang pada kain hasil pertenunan tanpa merusak seratnya. Lapisan kanji yang masih terdapat pada
kain akan menghalangi penyerapan larutan pada proses-proses berikutnya. Penganjian dilakukan pada
benang-benang yang terbuat dari selulosa dan sintetik maupun campuran serat sebelum proses
pertenunan untuk menambah kekuatan dan daya tahan gesekan selama proses pertenunan.
Agar kanji dapat hilang dari kain grey maka kain grey dimasukkan dalam bak rendaman yang
berisi air dan obat-obat desizing (penghilang kanji), seperti enzim, garam dan sabun. Tujuan
penghilangan kanji adalah :
o Menghilangkan kanji dari permukaan kain
o Menambah daya absorbsi kain
o Memperbaiki pegangan kain, dll.
pH : 5,5 – 7,5 dan suhu : 60 – 80 OC, waktu : 8 – 10 jam.
Prinsip metoda ini adalah merendamkan kain pada air yang mengandung enzim (amylase dan
rapidase) pada konsentrasi tertentu, pada suhu bekerjanya enzim, dalam kurun waktu yang ditentukan,
serta dibantu dengan zat – zat yang membantu pada proses ini seperti NaCL, zat pembasah
anionic. Zat amilum yang larut ke dalam air akan berubah menjadi glukosa. Glukosa yang terkandung
dalam limbah tekstil menyebabkan kandungan COD meningkat.

 Scouring (pemasakan)

Pemasakan atau scouring adalah proses yang bertujuan untuk menghilangkan bagian dari
komponen penyusun serat berupa minyak-minyak, lemak, lilin, kotoran-kotoran yang tidak larut dan
kotoran-kotoran kain yang menempel pada permukaan serat dapat dihilangkan, sehingga proses
selanjutnya dapat berhasil dengan baik.
Pada dasarnya proses pemasakan dilakukan dengan alkali seperti natrium hidroksida/ kaustik
soda (NaOH), natrium karbonat/ soda abu (Na2CO3) dan air kapur, campuran natrium karbonat dan
sabun, amoniak, amonium karbonat, dan lain – lain. Sedangkan proses pemasakan serat sintetis dapat
dilakukan dengan zat aktif permukaan yang bersifat sebagai pencuci (detergen).
Pada proses pemasakan bahan dari serat kapas terjadi hal – hal berikut :
- Kaustik soda (NaOH) berfungsi sebagai scouring agent (deterjen) sebagai pembasah,
pendispersi dan pengemulsi kotoran hasil reaksi serta squestering agent untuk melunakkan air
proses pemasakan. Soda kostik mengekstraksi pektin, wax, protein, abu dan kotoran organik
lainnya dengan jalan saponifikasi dan diemulsikan menjadi bentuk yang larut dalam air dengan
bantuan detergen / sabun yang mempunyai daya pendispersi yang kuat. Proses pemasakan /
scouring ini sangat diperlukan untuk mendapatkan daya serap kain yang baik.
- Soda abu (Na2CO3) berfungsi sebagai pembantu aktifnya proses pengelantangan dan sebagai
zat oksidator pada proses pengelantangan.

 Bleaching (pemutihan)

Bleaching merupakan penghilangan zat warna alami pada kain yang tidak diinginkan. Untuk
proses scouring dan bleaching dimasak dengan larutan H2O, soda abu, sabun, Na hidrosulfit, suhu 95OC
selama 6 jam, selanjutnya larutan dibuang. Proses pemutihan bertujuan untu menghilangkan pigmen-
pigmen alam yang ada dalam serat sehingga warna bahan menjadi putih. Pigmen-pigmen alam tersebut
belum hilang sewaktu proses pemasakan dan merupakan senyawa organik yang mempunyai ikatan
rangkap yang dapat direduksi menjadi senyawasenyawa yang mempunyai ikatan tunggal sehingga
menjadi tidak berwarna.

 Mercerizing

Mercerising adalah pengolahan kain menggunakan larutan alkali pekat yang bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan serat mengikat zat warna dan penampakan kain yang lembut. Dikerjakan
dalam larutan NaOH pada suhu 20OC selama 40 detik. Untuk memperbaiki penyerapan ditambahkan
zat pemasak, Kemudian bahan dicuci dengan air proses dan dinetralkan dengan larutan asam encer.

 Dyeing (pewarnaan)

Dyeing yaitu proses pencelupan untuk mewarnai kain, Pada proes ini dibutuhkan zat warna dan bahan
kimia lain.

Limbah yang dihasilkan:

 Krom.
Krom yang dihasilkan berasal dari senyawa krom yang digunakan pada proses pencelupan baik
sebagai zat warna (dalam senyawa CrCl3, K2Cr2O7) maupun sebagai mordan yaitu pengikat zat
warna, Cr(NO3)3, dan PbCrO4.
 Timbal.
Pb digunakan sebagai campuran pewarna, yaitu warna putih dari timbal putih
[Pb(OH)2.2PbCO3] dan warna merah dari timbal merah (Pb3O4)

 Drying (pengeringan)

Dilakukan pengeringan kain (drying).

 Proses Mangle

Tujuan dari proses mangle adalah mencuci ulang dan mengeringkan kain (setengah kering) sebelum
dimasukkan ke proses span ram dan calendaring (finishing).

 Proses Span Ram

Kain dari proses mangle ditarik ke mesin span ram untuk diproses tahap terakhir atau proses
pengeringan. Setelah kering kain ditarik melalui penjepit kain masuk ke dalam ruang/ kamar pemanas.
didalam ruangan tersebut dengan menggunakan penjepit kain pada sisi-sisinya, kain ditarik sesuai lebar
yang telah ditetapkan dan dipanaskan pada suhu tertentu sehingga lebar kain menjadi baku.

 Proses Calender

Proses ini hanya untuk kain cotton, setelah melalui proses span ram dan mendapat lebar yang
ditetapkan, kain cotton dimasukkan pada mesin callender untuk dilicinkan sehingga menghasilkan kain
yang baik dan selanjutnya masuk ruang quality control dan packing.

 Proses akhir

Proses akhir yaitu dilakukan penyempurnaan dengan menambahkan resin anti kusut, anti mengkerut,
zat pelemas, kemudian dilakukan inspecting untuk memeriksa kualitas kain jadi, lalu dikemas dan
jadilah produk kain jadi berwarna.

Penyempurnaan resin merupakan salah satu teknik finishing bahan kain secara kimia yang
dilakukan dengan menggunakan resin sintetik, sejenis senyawa organik yang memiliki struktur rumit
dan mempunyai berat molekul yang tinggi. Pada proses finishing tekstil berlangsung resin harus
dibentuk didalam serat, karena resin pada permukaan akan menyebabkan kekakuan bahan yang tinggi.

2.6 Jenis Limbah yang Dihasilkan

Limbah Gas dan Kebisingan

Gas berasal dari penggunaan bahan bakar batubara pada boiler untuk menghasilkan uap,
sedangkan kebisingan berasal dari mesin-mesin produksi. Untuk karyawan di sekitar mesin produksi
yang mengeluarkan kebisingan disediakan earplug. Sedang untuk mengurangi kebisingan dilakukan
dengan penanaman pohon pohonan di lingkungan pabrik. Untuk gas buang dikelola dengan disemprot
dengan air dan abu terbang akan mengendap didalam air.

Limbah Padat

 Limbah padat sisa kemasan

Sisa kemasan/ pengepakan yang dihasilkan seperti potongan tali plastik (rafia), karung plastic (bagor),
kardus dan plat seng (ban desser), dikumpulkan sesuai dengan jenisnya dan secara berkala dijual kepada
pengumpul, pengusaha barang bekas/ sisa.

 Limbah padat / lumpur hasil IPAL

Limbah padat hasil pengolahan dari IPAL berasal dari proses koagulasi kimia dengan Ferosulfat
dikeringkan di drying bed ditampung di bak penampung. Jumlah lumpur 2 karung / minggu digunakan
untuk mengurug tanah di pabrik. Selain itu juga limbah padat lumpur aktif namun karena IPAL masih
baru, limbah biologi belum ada.

 Limbah Padat Sisa Pembakaran Batubara

* Fly ash: Abu terbang yang diserap oleh air.

* Bottom ash: Limbah padat dari sisa pembakaran batubara menjadi tanggung jawab dari
supplier batubara untuk mengelolanya. Jumlah 12 karung/ shift.

Limbah Cair berasal dari:

 Utilitas : ketel, cooling tower, softener

Unit proses yaitu dari proses:

Produksi Cotton yaitu dari

 Kier Ketel: pada proses penghilangan kanji dan scouring, pada proses pencucian kain setelah
penghilangan kanji, scouring dan pencucian bleaching.
 Netralisasi
 Mangle
 Merserisasi

Produksi rayon yaitu dari

 Jigger: pada proses desizing, scouring, bleaching, cuci panas, cuci dingin.Lantai proses
 Pendinginan mesin-mesin
 Bengkel: ceceran minyak
 Scrubber: air penyerap batubara.

2.7 Langkah Pengolahan Limbah Tekstil Konvensional

Anaerobik Baffle Reaktor

Reaktor ini melibatkan mikroorganisme yang tahan pada kondisi anaerob dan toleran terhadap
konsentrasi bahan organik tinggi dan kondisi lingungan yang sulit. Kelebihan dari reaktor ini adalah
rancangannya sederhana, kestabilan tinggi dan efisiensi tinggi. Akan tetapi, anaerobic baffle reactor
sederhana akan memerlukan reaktor dangkal untuk mempertahankan laju gas dan cair, sehingga dapat
bakteri mudah sekali terbuang dan menyebabkan penundaan pada start-up. Akibat sifatnya yang seperti
aliran sumbat, terjadi akumulasi asam lemak volatile dan pH rendah, dan juga eksposisi bakteri sensitf
pada bagian menjadi senyawa tingkat anorganik dan organik pada kekuatan umpan limbah besar. Hal
ini dapat diatasi dengan pengenceran umpan, pengumpanan secara periodik, pengumpanan dengan laju
rendah dan daur ulang efluen.

Sistem Lumpur Aktif

Sistem ini merupakan sistem pengolahan limbah menggunaan mikroorganisme dengan proses
aerobic, dimana zat organik dikonversi menjadi CO2, H2O, NH4 dan biomassa baru. Terdapat 4 bagian
proses pada sistem ini, yaitu: aerasi, pegendapan, resirkulasi lumpur, serta penghilangan lumpur sisa.
Aerasi ditujukan sebagai sumber oksigen. Pada tahap ini pulalah, terjadi reaksi konversi zat organik.
Kemudian, biomassa diendapkan pada tangka pengendapan sekunder. Bagian padat kemudian
disirkulasi pada tangka aerasi untuk mempertahankan konsentrasi biomassa, sehingga efisiensi tinggi.
Sehingga proses ini disimpulkan menjadi diagram alir berikut yang ditunjukkan oleh Gambar 1.

Gambar 1. Alur Sistem Lumpur Aktif (Sholichin 2012)

Pertama-tama, dilakukan pengendapan awal untuk mengurangi padatan tersuspensi sebesar 30-
40% serta BOD sebesar 25%. Kemudian, air tersebut dialirkan ke bak aerasi dengan gaya gravitasi.
Pada tahap ini, air limbah dipaparkan ke udara sehingga bakteri aerob dapat menguraikan limbah
organik. Kemudian, air sudah diuraikan tersebut dialirkan ke tangki pengendapan sekunder. Didalam
tangki tersebut lumpur diendapkan dan di pompa ke bak aerasi dan airnya akan disterilisasi dengan
klorinasi. Proses ini penting untuk mematikan mikroorganisme patogen.

Pada proses ini juga BOD turun menjadi 20-30 mg/L. Surplus lumpur dari keseluruhan proses
ditampung dalam bak pengering lumpur sedangkan air resapannya ditampung kembali di bak
penampung air limbah. Mikroorganisme yang ditemukan pada bak aerasi diantaranya adalah bakteri,
protozoa, metazoa, bakteri berfilamen, dan fungi. Sedangkan mikroorganisme yang paling berperan
pada proses lumpur aktif adalah bakteri aerob. Pada prinsipnya, mikroorganisme memanfaatkan
senyawa organik yaitu polutan sebagai makanan dengan proses adsorpsi kedalam selnya.

Untuk mencerna partikel polutan, sel mikroorganisme membentuk enzim-enzim tertentu


sehingga polutan baik teradsorpsi maupun didalam cairan limbah dapat dihilangkan. Mikroorganisme
ini harus dipertahankan aktif dengan kondisi lingkungan tertentu, salah satunya kadar pH dalam cairan
dan kadar nitrogen dan fosfat. Kadar pH dapat dipertahankan dengan menambah asam atau basa pada
khamar, sedangkan penambahan urea dilakukan untuk meningkatkan sumber nitrogen dan penambahan
asam fosfat untuk sumber fosfat.

Bioremediasi

Bioremediasi merupakan pengolahan limbah dengan mikroorganisme sehingga diperoleh


enzim yang mengubah struktur kimia polutan sehingga limbah menjadi relatif tidak berbahaya bagi
lingkungan. Pengolahan limbah dengan bioremediasi sudah lama diterapkan secara terpusat yaitu pada
tahun 1900-an. Pada teknologi pengolahan limbah air, bioremediasi telah mencapai pada pengolahan
air limbah yang mengandung senyawa-senyawa kimia industri yang sulit untuk didegradasi, seperti
logamlogam berat, petroleum hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti
pestisida dan herbisida.

Prinsip mikroorganisme pada penguraian polutan ada 2 yaitu pertumbuhan mikroorganisme


menempel dan tersuspensi. Pertumbuhan mikrooganisme menempel merupakan jenis mikroorganisme
yang dibiakkan pada batuan atau tanaman air, kemudian di aplikasikan pada unit pengolah air dengan
sistem trickling filter. Pengolahan dilakukan secara aerobik. Jenis bakteri yang digunakan biasanya
bakteri gram negatif dengan bentuk batang heterotrofik seperti Zooglea, Pseudomonas, Chromobacter,
Achromobacter, Alcaligenes dan Flavobacterium, atau bakteri filamentous seperti Beggiatoa, Thiotrix
dan Sphaerotilus. Mikroorganisme dalam bentuk suspense berarti mikroorganisme ini dibiakkan dalam
bentuk lumpur aktif pada air tercemar. Pada dasarnya, sistem ini dapat digabung menjadi reactor hybrid.
Akan tetapi, pada dasarnya tahapan dasar terdiri dari isolasi bakteri, pengujian kemampuan bakteri
dalam mendegradasi, identifikasi dan multiplikasi bakteri. Penggunaan bakteri indigenous harus
memperhatikan persyaratan Kep Men LH No.128 (2003).
Ozonasi

Ozonasi ditujukan untuk memenuhi persyaratan BOD dan COD dari limbah buangan. Analisis
Biological Oxygen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis adalah suatu analisa empiris yang
mencoba mendekati secara global proses-proses mikrobiologis yang terjadi didalam air. Angka BOD
adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk mendegradasi hampir semua zat organik
yang terlarut termasuk zat organik yang tersuspensi didalam air, sedangkan Chemical Oxygen Demand
(COD) atau kebutuhan oksigen kimia adalah jumlah oksigen (mg O2) yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi zatzat organis yang ada dalam 1 liter sampel air, dimana pengoksidasian
K2Cr2O7digunakan sebagai sumber oksigen (Oxidizing agent). Langkah-langkah dari pengolahan
limbah secara ozonisasi adalah pengolahan awal yang berupa aerasi dan penambahan absorben (dapat
berupa zeolit atau koagulan seperti tawas). Tujuan dari pengolahan awal ini adalah untuk
mengoptimalkan kerja ozon sehingga efektif, dengan menyingkirkan zat pewarna dan butiran-butiran
padat sehingga menjadi jernih. Ozon bekerja lebih efektif pada pH basa, sehingga sering ditambahkan
air kapur.

2.8 Langkah Pengolahan Limbah dengan Membran

Kekurangan dari proses pengolahan nonmembran dapat diatasi dengan penggunaan membran
dalam proses. Sistem pengolahan menggunakan membran mencakup tahap pretreatment, unit daur
ulang, unit reverse osmosis dan unit nanofiltrasi dan sistem rejeksi mengikuti unit daur ulang. Teknologi
membran pada dasarnya ramah lingkungan, akan tetapi permasalahan utama dari penggunaan membran
adalah fouling. Pemilihan teknologi yang baik bergantung dari bahan membran yang digunakan dan
diatur oleh sifat membran seperti sifat kimia, fisika, resistensi kimia, mekanik, termal dan kemungkinan
membran untuk fouling. Fouling memiliki faktor selain ukuran fouling, yaitu kecenderungan untuk
fouling dan bentuk membran. Pemilihan jenis membran yang perlu diperhatikan lagi adalah jenis bahan
kimia dan efluen yang akan kontak dengan membran. Selain jenis, pengolahan limbah memerlukan
perhitungan atas energi, biaya dan efisiensi. Oleh karena alasan inilah membran harus benar-benar
dipilih yang tepat. Ada beberapa membran yang umum digunakan dalam remediasi limbah tekstil,
antara lain ultrafitrasi, nanofiltrasi, reverse osmosis, dan elektrodialisis.

Ultrafiltrasi

Ultrafiltrasi dilakukan untuk memisahkan makromolekul dan koloid dari larutannya.


Ultrafiltrasi sangat unggul dalam menyaring air limbah pada industri makanan dan obat-obatan akan
tetapi tidak pada limbah tekstil dikarenakan berat molekular pewarna lebih rendah dibandingkan massa
molekular yang lolos oleh ultrafiltrasi. Oleh sebab itu, proses ini juga dimanfaatkan sebagai tahap
pretreatment jika diinginkan hasil akhir filtrasi dengan kualitas tinggi. Pada ultrafiltasi masih terdapat
minimal 10% zat pewarna dari tahap awal, sehingga air ini masih berkualitas rendah, hanya untuk proses
samping tetapi tidak dapat digunakan pada proses utama. Membran yang terbuat dari polimer sangat
rentan terhadap fouling karena resistensi kimianya terhadap senyawa organik rendah. Hal ini
mengakibatkan penurunan pada permeabilitas dan perfoma membran.

Untuk itulah, diperlukan membrane hybrid dimana ultrafiltrasi di awali dengan flokulasi.
Penggunaan UF sebagai pengganti teknologi konvensional sangatlah unggul, akan tetapi permasalahan
fouling akan meningkatkan biaya operasi dan perawatan. Tantangan dalam pembuatan membran UF ini
adalah bagaimana mengidentifikasi interaksi antara foulant dan membran. Foulant biasanya spesifik
namun terdiri dari beberapa senyawa. Oleh karena itu, karakteristik umpan, kondisi operasi ,dan
material membrane sangat menentukan keberhasilan proses. Selain polimer, membran keramik
merupakan alternatif bahan yang baik untuk ultrafiltrasi, karena kestabilan kimia, suhu, mekanik yang
baik dan permeabilitasnya pun tinggi. Paper pada referensi membahas tentang membrane keramik
ultrafiltrasi turbular dan penggunaannya pada penyaringan limbah tekstil organik berjenis azodye.
Penelitian ini menunjukkan rejeksi terhadap senyawa organik dan pewarnanya sangat tinggi yaitu
98,5% dan 93%.

Membran ultrafiltrasi dari bahan keramik ini dinilai lebih resisten dari membran polimer karena
memiliki interaksi lemah terhadap foulant. Percobaan ini dilakukan dari hasil tes penyaringan membran
keramik dan membran polimer terhadap air permukaan dan zat pewarna murni. Penyaringan dengan
membran keramik akan menghasilkan permeat lebih murni dan laju alir yang konstan. Membran
keramik juga mempunyai stabilitas kimia dan fisika tinggi, serta waktu pemakaian yang lebih panjang.
Meskipun membran polimer mampu menyaring polutan berupa asam, basa, dan pelarut, membran
keramik memiliki ketahanan dan waktu pemakaian yang lebih besar sehingga dapat dipertimbangkan
sebagai pengganti membran polimer di industri.

Nanofiltrasi

Nanofiltrasi merupakan membran dengan saringan lebih kecil dibandingkan ultrafiltrasi, namun
lebih besar dibanding tahap reverse osmosis. Pada tahap ini sudah diperoleh hasil keluaran yang baik,
sehingga dapat digunakan pada proses utama produksi dan finishing. Keunggulan dari nanofiltrasi
adalah tekanan yang relatif rendah, yaitu 500-1000 kPa, retensi ion monovalent yang rendah dan
penolakan ion monovalen 100%, permeabilitas pelarut yang tinggi, mudah dibersihkan dan mampu
menahan suhu tinggi, sehingga menghemat energi yang diperlukan untuk memanaskan air segar. Ada
beberapa penelitian yang menujukan peningkatan atau nilai tambah pada membran nanofiltrasi.
Contohnya adalah penelitian mengenai penyaringan limbah pewarna anionik dengan sebuah film
natrium kaboksimetil selulosapolipropilen. Membran ini akan berbentuk serat berongga untuk
menaikkan efisiensi energi karena perbandingan luas terhadap volumenya besar. Teknologi membran
ini memberikan nilai tambah pada konsumsi energi rendah dan pembersihannya mudah dibandingkan
filteasi tangensial. Membran ini juga efektif untuk menyaring pewarna anionik dari larutan dengan pH
rendah. Prinsip kerja dari membrane ini adalah adanya gaya tolak elektrostatik dari permukaan
membran. Penelitian lain adalah evaluasi dari beberapa membrane NF berbentuk spiral wound.
Membran ini dicobakan untuk menyaring efluen tekstil sekunder dengan konsentrasi berbeda-beda
untuk mengetahui volume concentration factor dan fouling. Hasilnya, ada hubungan antara
pengurangan fluks dengan kenaikan VCF.

Nanofiltrasi mempunyai pengaruh besar terhadap rejeksi dan penggunaan ulang limbah tekstil.
Akan tetapi, membran yang dijual secara komersial memiliki muatan negative pada permukaannya pada
kondisi operasi normal dengan titil isoelektrik yang rendah, padahal nantofiltrasi dengan muatan positif
memiliki potensi yang sangat besar pada penyaringan pewarna dari limbah, dengan sifat hidrofilik yang
tinggi dan retensi kation yang sangat besar, sehingga dapat dikembangkan recovery dari makromolekul
kationik pakai ulang dan rejeksi dari pewarna. NF membrane dengan muatan positif sudah
dikembangkat oleh Cheng untuk meretensi metilen biru dan recovery dari limbah pewarna rumahan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa NF bermuatan positif lebih unggul dibanding membran komersial.

Reverse Osmosis

Reverse osmosis dilakukan untuk menghasilkan air dengan kandungan makromolekul, ion dan
salinitas yang rendah. Pada tahap ini air sudah tidak berwarna lagi. Kekurangan dari proses ini adalah
terbatasnya umpan apabila salinitas tinggi untuk menghindari fouling. Ada beberapa perbedaan kinerja
dari reverse osmosis dan nanofiltrasi meskipun samasama menghasilkan kualitas permeat yang tinggi
yang memadai untuk digunakan ulang pada proses utama. Pada percobaan yang dilakukan oleh Liu
[28], dilakukan perbandingan evaluasi kualitas permeat dari kedua jenis membran setiap proses. Hasil
yang didapat adalah kedua permeat dari membran-membran tersebut sama-sama berkualitas baik dan
menghemat energi karena proses daur ulang tersebut. Pada percobaan kedua dimana dipantau penolakan
nanofiltrasi dan reverse osmosis, terlihat bahwa pada pengolahan limbah pewarna mengandung garam
NaSO4 dengan indikator metil oranye terlihat bahwa penolakan pada reverse osmosis (99,99%) lebih
tinggi dibanding nanofiltrasi (99%) akan tetapi retensi natrium, penghilangan TDS dan
konduktivitasnya relatif sama satu dengan lainnya.

Elektrodialisis

Elektrodialisis juga cukup populer dalam pengolahan limbah tekstil. Proses ini biasanya
digunakan dalam pengurangan klorida. Proses dalam membrane elektrodialisis bipolar juga sangat
populer dikarenakan efisiensinya melebihi membran reverse osmosis serta biaya yang lebih murah.
Elektrodialisis ini dapat diaplikasikan kedalam proses terintegrasi untuk mengurangi beban evaporator
yang dipasang setelah reverse osmosis. Beberapa penelitian yang mengaitkan elektrodialisis dengan
penyaringan umpan berupa NaCl menunjukkan bahwa elektrodialisis unggul dalam penyaringannya
dengan permeat murni serta biaya yang lebih murah dibanding evaporasi. CEDI (Continous
Electrodeionisation) bertujuan untuk meminimalisasi polarisasi konsentrasi pada sistem elektrodialisis.
CEDI dipasang bertujuan sebagai material konduktor penukar ion.

2.7 Penerapan Produksi Bersih pada Industri Tekstil

 Reduksi Limbah pada Sumber

1) Ketatalaksanaan rumah tangga yang baik antara lain mencegah terjadinya kebocoran, ceceran-
ceceran mengembangkan program pelatihan dan kompetisi yang dapat meningkatkan partipasi
karyawan, menerapkan sistem FIFO dalam penggudangan.

2) Pengurangan penggunaan air.

a. Pemasangan alat ukur air (flow meter) pada lokasi tertentu dalam pipa air, sehingga
pemakaian air dapat diperkirakan dan juga dengan cepat dapat terdeteksi apabila terjadi pemakaian air
yang berlebihan.

b. Pemasangan alat penghentian otomatis air untuk menghindari terjadinya kebocoran dan
kerusakan lain selama pabrik tidak beroperasi.

c. Penggunaan secara konsisten prinsip counter current untuk semua proses pencucian.

 Perubahan Material Input

a. Mengganti surfaktan yang mempunyai rantai bercabang dengan jenis yang linier sehingga lebih
mudah terurai di alam.

b. Penggantian cat warna celup dengan jenis yang mempunyai afinitas tinggi (90 %) dapat mengurangi
pemakaian air dan memperbaiki kualitas air buangan.

3) Pemilihan dan modifikasi proses dan peralatan, misal :

a. Pemutihan dengan peroksida

b. Mercerisasi panas menggantikan mercerisasi dingin dapat menghindari pencucian terpisah.

c. Kombinasi zat warna dispersi dengan zat warna reaktif/ direct untuk pencelupan kain dengan
kandungan selulosa yang rendah.

4) Mengoptimalkan pemakaian zat kimia dan menghindarkan pemakaian bahan kimia berbahaya.
 Pemanfaatan

1) Energi panas: gas buang dari mesin diesel yang mempunyai suhu 400oC dialirkan melalui alat
penukar panas. Panas yang dihasilkan digunakan untuk memanaskan air, menghasilkan uap, sehingga
dapat meminimisasi pemakaian bahan bakar.

2) Kumpulan debu serat dari ruang hembus, serat yang jatuh dan sisa penyisiran dan pembersihan
limbah serat kain dari proses pemintalan dapat dimanfaatkan kembali dengan menggunakan mesin
pintal khusus untuk memproduksi benang sebagai produk sekunder misalnya berupa benang kasar,
karpet, produk non woven dan sebagainya.

3) Recovery caustic soda dari buangan mercerisasi. Air buangan mercerisasi yang mengandung soda
dan pH nya tinggi apabila dibuang akan mencemari lingkungan jadi harus diolah terlebih dahulu maka
dapat di-recovery caustic sodanya.

4) Pemanfaatan kembali CO2 dari gas buang untuk menetralisasi air limbah. Hal ini dapat mengurangi
kebutuhan asam yang digunakan untuk mengolah air limbah sebelum dibuang kelingkungan.
DAFTAR PUSTAKA

Barber, W. P., & Stuckey, D. C. (1999). The use of the anaerobic baffled reactor (ABR) for wastewater
treatment: a review. Water Research, 33(7), 1559-1578.

Dasgupta, J., Sikder, J., Chakraborty, S., Curcio, S., & Drioli, E. (2015). Remediation of textile effluents
by membrane based treatment techniques: a state of the art review. Journal of environmental
management, 147, 55-72. 6.

Isminingsih Gitopadmarjo, Penyesuaian Teknologi untuk Proses Tekstil dan Produksi Bersih, Seminar
Implementasi Produksi Bersih dan Sarana Bio Teknologi dan Cara Penaggulangan Proses Tekstil di
Lingkungan IKM-TPT Pencelupan dan Penerapan Kain Kapas dan Poliester.

Liu, M., Lü, Z., Chen, Z., Yu, S., & Gao, C. (2011). Comparison of reverse osmosis and nanofiltration
membranes in the treatment of biologically treated textile effluent for water reuse. Desalination, 281,
372-378.

Lotito, A. M., Fratino, U., Mancini, A., Bergna, G., & Di Iaconi, C. (2012). Effective aerobic granular
sludge treatment of a real dyeing textile wastewater. International biodeterioration & biodegradation,
69, 62-68. 4.

Nemerow, N. L., 1978, Industrial Water Pollution : Origins, Characteristics, and Treatment, Addison
Wesley, Publishing Reading Massachusetts, pp. 738.

Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3.

Pratiwi, Yuli. 2010. Penentuan Tingkat Pencemaran Limbah Indutri Tekstil Berdasarkan Nutrition
Value Coefficient Bioindikator. Jurnal Teknologi. Vol 3 No 2.

Türgay, O., Ersoz, G., Atalay, S., Forss, J., Welander, U., 2011. The treatment of azo dyes found in
textile industry wastewater by anaerobic biological method and chemical oxidation. Sep. Purif. Technol.
79, 26-33

Anda mungkin juga menyukai