Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN DAN

ASUHAN KEPERAWATAN
Prolaps Uteri
Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners
Departemen Emergency di RS dr. ISKAK Tulungagung

OLEH :
NADHIRA WAHYU LESTARI
115070205111003

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
Prolaps Uteri

Oleh :
Nadhira Wahyu Lestari
NIM. 115070205111003

Telah diperiksa dan disetujui pada :


Hari :
Tanggal :

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

( ……………………… ) ( ……………………… )
PEMBAHASAN

I. DEFINISI
Prolapsus uteri adalah suatu keadaan pergeseran letak uterus ke bawah sehingga serviks atau
seluruh uterus berada di dalam orificium vagina, atau keluar hingga melewati vagina. Turunnya
uterus melalui dasar panggul atau hiatus genitalis disebabkan karena kelemahan otot-otot, fascia,
ligamentum-ligamentum yang menyokongnya.
Prolaps uteri adalah turunnya uterus kedalam introitus vagina yang diakibatkan oleh kegagalan
atau kelemahan dari ligamentum dan jaringan penyokong (fasia).
Prolapsus uteri adalah suatu kondisi jatuh atau tergelincirnya uterus ke dalam atau keluar
melalui vagina. Hal tersebut dikarenakan dukungan yang tidak adekuat dari ligamentum kardinal
dan uterosakral serta struktur penyangga pelvis mengalami kerusakan dan kadang-kadang organ
pelvis yang lain juga ikut turun.

II. KLASIFIKASI
Terdapat beberapa cara dalam mengklasifikasikan prolapsus organ panggul. Tahun 1996,
International Continence Society, the American Urogynecologic Society, and the Society of
Gynecologic Surgeons memperkenalkan sistem POP-Q (Pelvic Organ Prolapse Quantification).
Metode penilaian prolapsus organ pelvis ini memberikan penilaian yang objektif, deskriptif
sehingga dapat memberikan nilai kuantifikasi atau derajat ringan beratnya prolapsus yang terjadi.
Derajat prolapses organ panggul
Derajat 0 Tidak terlihat adanya prolapse
Derajat 1 Bagian dital dari prolaps > 1 cm di atas hymen
Derajat 2 Bagian yang paling distal dari prolaps < 1 cm di bawah lingkaran hymen
Derajat 3 Bagian yang paling distal dari prolaps > 1 cm di bawah hymen, namun
kurang dari TVL (total vaginal length) – 2 cm
Derajat 4 Eversi komplit total panjang traktur genetalia bawah. Bagian distal
prolapses uteri menurun sampai (TVL-2) cm

Derajat Prolapsus Uteri Baden-Walker


Untuk prolapsus uteri, Friedman dan Little (1961) mengemukakan beberapa macam klasifikasi,
tetapi klasifikasi yang dianjurkan sebagai berikut
Desenses uteri Uterus turun, tetapi serviks masih dalam vagina
Prolapsus uteri tingkat I Uterus turun, serviks uteri turun paling rendah sampai
introitus vagina
Prolapsus uteri tingkat II Sebagian besar uterus keluar dari vagina
Prolapsus uteri tingkat III Uterus keluar seluruhnya dari vagina, disertai dengan
atau prodensia uteri inversion uteri

III. ETIOLOGI
Partus yang berulang kali dan terjadi terlampau sering, partus dengan penyulit, merupakan
penyebab prolapsus uteri, dan memperburuk prolaps yang sudah ada. Faktor-faktor lain adalah
tarikan pada janin pada pembukaan belum lengkap, prasat Crede yang berlebihan untuk
mengeluarkan plasenta, dan sebagainya. Jadi, tidaklah mengherankan bila prolapsus genitalia terjadi
segera sesudah partus atau dalam masa nifas. Asites dan tumor-tumor di daerah pelvis
mempermudah terjadinya prolapsus uteri. Bila prolapsus uteri dijumpai pada nulipara, faktor
penyebabnya adalah kelainan bawaan berupa kelemahan jaringan penunjang uterus.
Penyebab prolapsus alat genitalia adalah multifaktorial dan semakin berkembang dari tahun
ke tahun. Namun pada dasarnya disebabkan oleh kelemahan “pelvic floor” yang terdiri dari otot-
otot, fascia endopelvik, dan ligamentum-ligamentum yang menyokong organ-organ genitalia
tersebut.

Faktor resikonya :
Multiparitas
Persalinan yang sering merupakan faktor resiko terbanyak. Sampai saat ini belum ada
penjelasan mengenai apakah karena kehamilan atau nifas itu sendiri yang menjadi faktor resiko dari
prolapsus uteri. Persalinan pervaginam merupakan faktor risiko yang paling sering dikutip. Tidak
ada kesepakatan apakah kehamilan atau nifas itu sendiri yang merupakan predisposisi untuk
disfungsi dasar panggul. Namun banyak penelitian statistik jelas menunjukkan bahwa persalinan
pervaginam ini meningkatkan kecenderungan seorang wanita untuk mengalami Pelvic Organ
Prolapse (POP). Sebagai contoh, dalam Dukungan Pelvic Organ Study (POSST), peningkatan
paritas dikaitkan dengan peningkatan resiko prolapsus. Selain itu, risiko POP meningkat 1,2 kali
dengan setiap pengiriman vagina. Studi Kohort Keluarga Berencana Oxford dari 17.000 wanita,
menunjukkan bahwa dibandingkan dengan wanita nullipara, mereka dengan dua kali persalinan
mengalami peningkatan resiko delapan kali lipat di rumah sakit untuk POP.
Faktor penyebab lainnya :
Makrosomia, kala dua memanjang akibat peregangan otot-otot jalan lahir yang terlalu lama bisa
menjadi factor resiko yang dapat menyebabkan POP. Selain itu beberapa ahli ginekologi
menganggap trauma jalan lahir akibat episiotomi, laserasi sfingter anal, penggunaan forceps,
stimulasi oksitosin berulang, riwayat operasi pelvis terutama histerektomi juga dapat meningkatkan
resiko terjadinya POP dikemudian hari walaupun hal ini masih menjadi pertimbangan. Asites dan
tumor-tumor di daerah pelvis akan mempermudah terjadinya prolapsus genitalia. Bila prolapsus
uteri dijumpai pada nullipara, faktor penyebab biasanya disebabkan oleh adanya kelainan bawaan
berupa kelemahan jaringan penunjang uterus.
Faktor resiko yang disebutkan di atas tidak secara pasti dapat dibuktikan. Hal yang masih
menjadi kontroversial adalah penanganan kelahiran menggunakan forceps ntuk mempersingkat kala
kedua dan episiotomy. Beberapa ahli menyatakan penggunaan forceps dan episiotomy tidak
dianjurkan karena terbukti kurang bermanfaat dan berpotensi untuk membahayakan ibu dan janin.
Pertama, penggunaan forceps dapat menyebabkan cedera panggul dengan laserasi sfingter
anal.Kedua, Forcep tidak terbukti dalam memperpendek kala dua. Karena alasan inilah,
pengguanaan forceps tidak dianjurkan. Demikian juga, episiotomi tidak terbukti bermanfaat tetapi
dapat menyebabkan laserasi sfingter anal, inkontinensia urin dan alvi,konstipasi postpartum,dan
nyeri postpartum. Namun hal ini masih mejadi hal yang dipertanyakan karena belum ada panjelasan
jelas mengenai hal tersebut.

Umur
Usia lanjut juga juga merupakan faktor resiko prolapsus uteri. Pada wanita yang telah
menopause, di samping akibat kurangnya hormon estrogen (hipoestrogenism) yang dihasilkan oleh
ovarium serta karena faktor umur menyebabkan otot-otot dasar panggul seperti diafragma pelvis,
diafragma urogenital dan ligamentum serta fasia akan mengalami atrofi dan melemah, serta terjadi
atrofi vagina. Keadaan ini akan menyebabkan otot-otot dan fascia tidak dapat melaksanakan
fungsinya dengan baik sebagai alat penyokong organ sehingga menyebabkan terjadinya prolapsus
genitalia.

Penyakit atau kelainan pada jaringan ikat.


Wanita dengan gangguan jaringan ikat mungkin akan lebih beresiko untuk terjadinya prolapsus
uteri.

Ras
Telah dibuktikan dalam beberapa penelitian bahwa wanita berkulit hitam, dan wanita Asia
menunjukkan risiko terendah, sedangkan wanita Hispanik tampaknya memiliki risiko tertinggi.
Meskipun perbedaan dalam komponen kolagen telah dibuktikan antara ras, namun perbedaan tulang
panggul dalam settiap ras mungkin juga berperan.Misalnya, perempuan kulit hitam, umumnya arcus
pubis < 90 derajat dan umumnya Bentuk panggulnya adalah android atau antropoid.Bentuk panggul
ini mengurangi resiko untuk terjadinya prolapsus uteri dibandingkan dengan ras Barat dimana rata-
rata bentuk panggulnya ginekoid.

Peningkatan Tekanan Intraabdominal


Peningkatan tekanan intra-abdominal yang berlangssung lama diyakini mempunyai peranan
dalam patogenesis Prolapsus uteri.Contohnya dalam kasus ini adalah pasien yang obesitas,
konstipasi yang lama, sering mengangkat berat, batuk kronis, dan berulang.Selain itu, merokok dan
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) juga telah terlibat dalam pengembangan PP, meskipun
sedikit data mendukung hal tersebut. Demikian pula, meskipun hasil batuk kronis berulang dalam
peningkatan tekanan intra-abdomen, ada mekanisme yang jelas telah ditunjukkan.

IV. PATOFISIOLOGI
Penyangga organ panggul merupakan interaksi yang kompleks antara otot-otot dasar panggul,
jaringan ikat dasar panggul, dan dinding vagina. Interaksi tersebut memberikan dukungan dan
mempertahankan fungsi fisiologis organ-organ panggul. Apabila otot levator ani memiliki kekuatan
normal dan vagina memiliki kedalaman yang adekuat, bagian atas vagina terletak dalam posisi yang
hampir horisontal ketika perempuan dalam posisi berdiri. Posisi tersebut membentuk sebuah “flap-
valve” (tutup katup) yang merupakan efek dari bagian atas vagina yang menekan levator plate
selama terjadi peningkatan tekanan intra abdomen. Teori tersebut mengatakan bahwa ketika otot
levator ani kehilangan kekuatan, vagina jatuh dari posisi horisontal menjadi semi vertikal sehingga
menyebabkan melebar atau terbukanya hiatus genital dan menjadi predisposisi prolapsus organ
panggul. Dukungan yang tidak adekuat dari otot levator ani dan fascia organ panggul yang
mengalami peregangan menyebabkan terjadi kegagalan dalam menyangga organ panggul.
Mekanisme terjadinya prolapsus uteri disebabkan oleh kerusakan pada struktur penyangga
uterus dan vagina, termasuk ligamentum uterosakral, komplek ligamentum kardinal dan jaringan
ikat membran urogenital. Faktor obstetri, dan non-obstetri yang telah disebutkan di awal diduga
terlibat dalam terjadinya kerusakan struktur penyangga tersebut sehingga terjadi kegagalan dalam
menyangga uterus dan organ-organ panggul lainnya. Meskipun beberapa mekanisme telah
dihipotesiskan sebagai kontributor dalam perkembangan prolapsus, namun tidak sepenuhnya
menjelaskan bagaimana proses itu terjadi.
Prolapsus uteri terdapat dalam berbagai tingkatan, dari yang paling ringan sampai prolapsus
uteri totalis. Terutama akibat persalinan, khususnya persalinan pervaginam yang susah dan terdapatnya
kelemahan-kelemahan ligamentum-ligamentum yang tergolong dalam fascia endopelvis dan otot-otot
serta fascia-fascia dasar panggul. Juga dalam keadaan tekanan intraabdominal yang meningkat dan
kronis akan memudahkan terjadinya penurunan uterus, terutama apabila tonus otot-otot mengurang
seperti pada penderita dalam menopause.
Serviks uteri terletak di luar vagina, akan tergeser oleh pakaian wanita tersebut dan lambat laun
akan menimbulkan ulkus yang disebut dengan ulkus dekubitus. Jika fascia di bagian depan dinding
vagina kendor biasanya akibat trauma obstetrik maka akan terdorong oleh kandungan kencing sehingga
menyebabkan penonjolan dinding depan vagina ke belakang yang di namakan sistokel. Sistokel yang
pada mulanya hanya ringan saja, dapat menjadi besar karena persalinan berikutnya yang kurang lancar
sehingga akan menyebabkan terjadinya uretrokel. Uretrokel harus dibedakan dari divertikulum
uretra.Pada divertikulum keadaan uretra dan kandung kencing normal, hanya di belakang uretra ada
lubang yang membuat kantong antara uretra dan vagina.
Kekendoran fascia di bagian belakang dinding vagina oleh trauma obstetrik atau sebab-sebab
lain dapat menyebabkan turunnya rectum ke depan dan menyebabkan dinding belakang vagina menonjol
ke lumen vagina yang dinamakan rektokel. Enterokel adalah hernia dari kavum Douglasi. Dinding
vagina atas bagian belakang turun dan menonjol ke depan. Kantong hernia ini dapat berisi usus dan
omentum.

V. MANIFESTASI KLINIS
Gejala prolapsus uteri bersifat individual, berbeda-beda pada setiap orang. Tingkat keparahan
prolapsus uteri bervariasi. Kadangkala penderita dengan prolapsus yang cukup berat tidak mempunyai
keluhan apapun, sebaliknya penderita lain dengan prolapsus ringan mempunyai banyak keluhan.
Keluhan-keluhan yang paling umum dijumpai:
 Perasaan adanya suatu benda yang mengganjal di vagina atau menonjol di genitalia eksterna
 Rasa sakit di panggul atau pinggang (backache) merupakan gejala klasik dari prolapsus
 Luka dan dekubitus pada porsio uteri akibat gesekan dengan celana atau pakaian dalam
 Gangguan berkemih, seperti inkontinensia urin atau retensi urin
 Kesulitan buang air besar
 Infeksi saluran kemih berulang
 Perdarahan vagina
 Rasa sakit atau nyeri ketika berhubungan seksual (dispareunia)
 Keputihan atau cairan abnormal yang keluar melalui vagina
 Prolapsus uteri derajat III dapat menyebabkan gangguan bila berjalan dan bekerja

VI. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat menyertai prolaps uteri adalah:
1. Infeksi saluran kencing. Adanya retensi air kencing akan mudah menimbulkan infeksi. Sistitis
yang terjadi dapat meluas ke atas dan dapat menyebabkan pielitis dan pielonefritis yang akhirnya
keadaan tersebut dapat menyebabkan gagal ginjal.
2. Hipertrofi serviks uteri dan elangasio kolli. Jika serviks uteri turun ke dalam vagina sedangkan
jaringan penahan dan penyokong uterus masih kuat, karena tarikan ke bawah di bagian uterus yang
turun serta pembendungan pembuluh darah, serviks uteri mengalami hipertrofi dan menjadi panjang
pula. Hal yang terakhir ini dinamakan elongasio kolli
3. Kesulitan pada waktu persalinan. Jika wanita dengan prolapsus uteri hamil maka pada waktu
persalinan dapat menimbulkan kesulitan dikala pembukaaan sehingga kemajuan persalinan jadi
terhalang.
4. Hemoroid. Varises yang terkumpul dalam rektokel akan memudahkan terjadinya obstipasi
sehingga lambat laun akan menimbulkan hemoroid.
5. Inkarserasi usus halus. Usus halus yang masuk ke dalam enterokel dapat terjepit sehingga
kemungkinan tidak dapat direposisi lagi. Dalam hal ini perlu dilakukan laparotomi untuk
membebaskan usus yang terjepit tersebut.
6. Kreatinisasi mukosa vagina dan portio uteri. Prosidensia uteri disertai dengan keluarnya dinding
vagina (inversio); karena itu mukosa vagina dan serviks uteri menjadi tebal serta berkerut, dan
berwarna keputih-putihan
7. Dekubitus. Jika serviks uteri terus keluar dari vagina, ujungnya bergeser dengan paha dan pakaian
dalam; hal itu dapat menyebabkan luka dan radang, dan lambat laun timbul ulkus dekubitus. Dalam
keadaan demikian, perlu dipikirkan kemungkinan karsinoma, lebih-lebih pada penderita berusia
lanjut
8. Kemandulan. Karena serviks uteri turun sampai dekat pada introitus vaginae atau sama sekali
keluar dari vagina, tidak mudah terjadi kehamilan.
9. Gangguan miksi dan stress inkontinensia. Pada sistokel berat, miksi kadang-kadang terhalang
sehingga kandung kencing tidak dapat dikosongkan sepenuhnya. Turunnya uterus bisa juga
menyempitkan ureter sehingga bisa menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis. Adanya sistokel
dapat pula mengubah bentuk sudut antara kandung kencing dan uretra sehingga dapat menyebabkan
stress inkontinensia.

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Fisik
Langkah-langkah dalam melakukan pemeriksaan fisik, yaitu:
a. Pasien dalam posisi telentang pada meja ginekologi dengan posisi litotomi.
b. Pemeriksaan ginekologi umum untuk menilai kondisi patologis lain.
c. Inspeksi vulva dan vagina, untuk menilai:
o Erosi atau ulserasi pada epitel vagina.
o Ulkus yang dicurigai sebagai kanker harus dibiopsi segera, ulkus yang bukan
kanker diobservasi dan dibiopsi bila tidak ada reaksi pada terapi.
o Perlu diperiksa ada tidaknya prolapsus uteri dan penting untuk mengetahui derajat
prolapsus uteri dengan inspeksi terlebih dahulu sebelum dimasukkan inspekulum.
d. Manuver Valsava
o Derajat maksimum penurunan organ panggul dapat dilihat dengan melakukan
pemeriksaan fisik sambil meminta pasien melakukan manuver Valsava. Setiap
kompartemen termasuk uretra proksimal, dinding anterior vagina, serviks, apeks,
cul-de-sac, dinding posterior vagina, dan perineum perlu dievaluasi secara
sistematis dan terpisah.
o Apabila tidak terlihat, pasien dapat diminta untuk mengejan pada posisi berdiri di
atas meja periksa.
o Tes valsava dan cough stress testing (uji stres) dapat dilakukan untuk menentukan
risiko inkontinensia tipe stres pasca operasi prolapsus.
e. Pemeriksaan vagina dengan jari untuk mengetahui kontraksi dan kekuatan otot levator ani.
f. Pemeriksaan rektovaginal
o Untuk memastikan adanya rektokel yang menyertai prolapsus uteri.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu:
a. Urin residu pasca berkemih
o Kemampuan pengosongan kandung kemih perlu dinilai dengan mengukur volume
berkemih pada saat pasien merasakan kandung kemih yang penuh, kemudian
diikuti dengan pengukuran volume residu urin pasca berkemih dengan kateterisasi
atau ultrasonografi.
b. Skrining infeksi saluran kemih.
c. Pemeriksaan urodinamik apabila dianggap perlu.
d. Pemeriksaan Ultrasonografi
o Ultrasonografi dasar panggul dinilai sebagai modalitas yang relatif mudah
dikerjakan, cost-effective, banyak tersedia dan memberikan informasi real time.
o Pencitraan dapat mempermudah memeriksa pasien secara klinis. Namun belum
ditemukan manfaat secara klinis penggunaan pencitraan dasar panggul pada kasus
POP.
Jadi, yang dimaksud dengan prolapsus organ panggul adalah apabila jelas ada penurunan organ
ke dalam vagina atau keluar melalui vagina dengan keluhan seperti di atas.

VIII. PENATALAKSANAAN MEDIS


Observasi
Derajat luasnya prolapsus tidak berhubungan dengan gejala. Apabila telah menderita prolapsus,
mempertahankan tetap dalam stadium I merupakan pilihan yang tepat. Observasi direkomendasikan
pada wanita dengan prolapsus derajat rendah (derajat 1 dan derajat 2, khususnya untuk penurunan yang
masih di atas himen). Memeriksakan diri secara berkala perlu dilakukan untuk mencari perkembangan
gejala baru atau gangguan, seperti gangguan dalam berkemih atau buang air besar, dan erosi vagina.

Konservatif
Pilihan penatalaksaan non-bedah perlu didiskusikan dengan semua wanita yang mengalami
prolapsus.Terapi konservatif yang dapat dilakukan, diantaranya:
1) Latihan otot dasar panggul
Latihan otot dasar panggul (senam Kegel) sangat berguna pada prolapsus ringan, terutama yang
terjadi pada pasca persalinan yang belum lebih dari enam bulan. Tujuannya untuk menguatkan
otot-otot dasar panggul dan otot-otot yang mempengaruhi miksi. Namun pada penelitian yang
dilakukan oleh Cochrane review of conservative management prolapsus uteri menyimpulkan
bahwa latihan otot dasar panggul tidak ada bukti ilmiah yang mendukung. Cara melakukan
latihan yaitu, penderita disuruh menguncupkan anus dan jaringan dasar panggul seperti setelah
selesai buang air besar atau penderita disuruh membayangkan seolah-olah sedang mengeluarkan
buang air kecil dan tiba-tiba menghentikannya.
2) Pemasangan pesarium
Pesarium dapat dipasang pada hampir seluruh wanita dengan prolapsus tanpa melihat stadium
ataupun lokasi dari prolapsus. Pesarium digunakan oleh 75%-77% ahli ginekologi sebagai
penatalaksanaan lini pertama prolapsus. Alat ini tersedia dalam berbagai bentuk dan ukuran,
serta mempunyai indikasi tertentu.

Tipe Mekanisme kerja Indikasi Keterangan


Ring Suportif Sistokel, prolapses Ketebalan, ukuran dan
uteri ringan rigiditas bervariasi
Donut Suportif Semua prolapses
kecuali defek posterior
berat
Lever Suportif Sistokel, penurunan Mengikuti kurvatura
uterus ringan vagina
Dish Suportif Prosundesia berat
Stem Suportif Sistokel, prosidensia
ringan
Cube Mengisi ruang Semua prolapses Perlu dilepaskan setiap
hari
Inflateable Mengisi ruang Semua prolapsus Perlu dilepaskan setiap
hari

Jenis-jenis pessarium. A. Cube pessary. B. Gehrung pessary. C. Hodge with knob pessary. D. Regula pessary. E. Gellhorn
pessary. F. Shaatz pessary. G. Incontinence dish pessary. H. Ring pessary. I. Donut pessary.

Pengoabatan dengan pessarium sebetulnya hanya bersifat paliatif saja, yakni menahan uterus
ditempatnya selama alat tersebut digunakan. Oleh karena itu jika pessarium diangkat maka timbul
prolapsus kembali. Prinsip pemakaian pessarium ialah bahwa alat tersebut mengadakan tekanan
pada dinding vagina bagian atas sehingga bagian dari vagina tersebut beserta uterus tidak dapat
turun dan melewati vagina bagian bawah. Jika pessarium terlalu kecil atau dasar panggulnya terlalu
lemah maka pessarium akan jatuh dan prolapsus uteri akan timbul kembali. Pessarium yang paling
baik untuk prolapsus genitalia ialah pessarium cicic yang terbuat dari plastik. Jika dasar panggul
terlalu lemah dapat digunakan pessarium Napier. Pessarium ini terdiri atas suatu gagang (stem)
dengan dengan ujung atas suatu mangkok (cup) dengan beberapa lobang dan diujung bawah terdapat
4 tali. Mangkok ditempatkan di bawah serviks dan tali-tali dihubungkan dengan sabuk pinggang
untuk memberikan sokongan pada pessarium. Sebagai pedoman untuk mencari ukuran yang cocok
maka diukur dengan jari berupa jarak antara fornik vagina dengan pinggir atas introitus vagina,
kemudian ukuran tersebut dikurangi dengan 1 cm untuk mendapatkan diameter dari pessarium yang
akan digunakan. Pessarium diberi zat pelicin dan dimasukkan miring sedikit ke dalam vagina.
Setelah bagian atas masuk ke dalam vagina maka bagian tersebut ditempatkan ke forniks vagina
posterior. Kadang-kadang pemasangan pessarium dari plastik mengalami kesukaran, akan tetapi
kesukaran ini biasanya dapat diatasi oleh penderita. Apabila pessarium tidak dapat dimasukkan
sebaiknya digunakan pessarium dari karet dengan per di dalammnya. Pessarium ini dapat dikecilkan
dengan menjepit pinggir kanan dan kiri antara 2 jari dan dengan demikian lebih mudah dimasukkan
ke dalam vagina. Untuk mengetahui setelah dipasang apakah ukurannya cocok maka penderita
disuruh batuk atau mengejan. Jika pessarium tidak keluar lalu penderita disuruh berjalan-jalan dan
apabila ia tidak merasa nyeri maka pessarium dapat digunakan terus.
Pessarium dapat dipakai selama beberapa tahun, asalkan penderita diawasi dan diperiksa
secara teratur.Pemeriksaan ulang sebaiknya dilakukan 2-3 bulan sekali.Vagina diperiksa secara
inspekulo untuk menentukan ada tidaknya perlukaan, pessarium lalu dibersihkan dan disterilkan lalu
kemudian dipasang kembali.Pada kehamilan, reposisi prolapsus uteri dengan memasang pessarium
berbentuk cincin dan kalau perlu ditambah tampon kassa serta penderita disuruh tidur mungkin
sudah dapat membantu penderita.Apabila pessarium dibiarkan di dalam vagina tanpa pengawasan
yang teratur, maka dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi seperti ulserasi, terpendamnya
sebagian dari pessarium ke dalam dinding vagina, bahkan dapat terjadi fistula vesikovaginalis atau
fistula rektovaginalis.Kontraindikasi terhadap pemakaian pesarium ialah adanya radang pelvis akut
atau subakut serta adanya keganasan. Sedangkan indikasi penggunaan pessarium antara lain
kehamilan, hingga penderita belum siap untuk dilakukan tindakan operasi, sebagai terapi tes untuk
menyatakan bahwa operasi harus dilakukan, penderita yang menolak untuk dilakukan tindakan
operasi dan lebih suka memilih terapi konservatif serta untuk menghilangkan keluhan yang ada
sambil menunggu suatu operasi dapat dilakukan.

Operatif
Operasi pada prolapsus uteri tergantung dari beberapa faktor, seperti umur penderita, masih
berkeinginan untuk mendapatkan anak atau mempertahankan uterus, tingkat prolapsus, dan adanya
keluhan. Prolapsus uteri biasanya disertai dengan prolapsus vagina. Maka, jika dilakukan
pembedahan untuk prolapsus uteri, prolapsus vagina juga perlu ditangani. Terdapat kemungkinan
prolapsus vagina yang membutuhkan pembedahan, tetapi tidak ada prolapsus uteri atau prolapsus
uteri yang ada belum perlu dioperasi. Di Inggris dan Wales pada tahun 2005-2006, 22.274 operasi
dilakukan untuk prolapsus vagina. Beberapa literatur melaporkan bahwa dari operasi prolapsus
uteri, disertai dengan perbaikan prolapsus vagina pada waktu yang sama. Macam-macam operasi
untuk prolapsus uteri sebagai berikut:
1. Ventrofikasi
Dilakukan pada wanita yang masih tergolong muda dan masih menginginkan anak. Cara
melakukannya adalah dengan memendekkan ligamentum rotundum atau mengikat ligamentum
rotundum ke dinding perut atau dengan cara operasi Purandare (membuat uterus ventrofiksasi).
2. Operasi Manchester
Operasi ini disarankan untuk penderita prolapsus yang masih muda, tetapi biasanya dilakukan
amputasi serviks uteri, dan penjahitan ligamentum kardinale yang telah dipotong, di depan
serviks dilakukan pula kolporafi anterior dan kolpoperineoplastik. Amputasi serviks dilakukan
untuk memperpendek serviks yang memanjang (elongasio koli). Tindakan ini dapat
menyebabkan infertilitas, partus prematurus, abortus .
Bagian yang penting dari operasi Manchester ialah penjahitan ligamentum kardinale di depan
serviks karena dengan tindakan ini ligamentum kardinale diperpendek, sehingga uterus akan
terletak dalam posisi anteversifleksi, dan turunnya uterus dapat dicegah.
3. Histerektomi Vagina
Operasi ini tepat dilakukan pada prolapsus uteri tingkat lanjut (derajat III dan IV) dengan gejala
pada saluran pencernaan dan pada wanita yang telah menopause. Setelah uterus diangkat,
puncak vagina digantungkan pada ligamentum rotundum kanan dan kiri atas pada ligamentum
infundibulo pelvikum, kemudian operasi akan dilanjutkan dengan kolporafi anterior dan
kolpoperineorafi untuk mengurangi atau menghilangkan gejala saluran pencernaan seperti,
sembelit, inkontinensia flatus, urgensi tinja, kesulitan dalam mengosongkan rektum atau gejala
yang berhubungan dengan gangguan buang air besar dan untuk mencegah prolaps vagina di
kemudian hari. Histerektomi vagina lebih disukai oleh wanita menopause yang aktif secara
seksual. Di Netherlands, histerektomi vaginal saat ini merupakan metode pengobatan terkemuka
untuk pasien prolapsus uteri simtomatik.
4. Kolpokleisis (kolpektomi)
Tindakan ini merupakan pilihan bagi wanita yang tidak menginginkan fungsi vagina (aktivitas
seksual dan memiliki anak) dan memiliki risiko komplikasi tinggi. Operasi ini dilakukan dengan
menjahit dinding vagina depan dengan dinding vagina belakang, sehingga lumen vagina
tertutup dan uterus terletak di atas vagina. Keuntungan utama dari prosedur ini adalah waktu
pembedahan singkat dan pemulihan cepat dengan tingkat keberhasilan 90 - 95%.

IX. ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Data Subyektif
a) Adanya benjolan diselangkangan/kemaluan.
b) Nyeri di daerah benjolan.
c) Nyeri pinggang dan punggung
d) Konstipasi.
e) Tidak nafsu makan.
b. Data Obyektif
a) Nyeri bila benjolan tersentuh.
b) Pucat, gelisah.
c) Spasme otot.
d) Demam.
e) Dehidrasi

2. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intra abdominal
2) Resiko tinggi infeksi y.b.d luka akibat pergeseran massa uterus
3) Resiko dekubitus y.b.d pergeseran massa uterus
4) Kurangnya pengetahuan y.b.d keterbatasan kognitif dan kurangnya keinginan mencari
sumber informasi
5) Gangguan eliminasi uri y.b.d adanya desakan uterus
6) Gangguan eliminasi alvi y.b.d adanya desakan uterus

3. Intervensi dan Implementasi


1) Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intra abdominal
Tujuan: Nyeri hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam.
Hasil yang diharapkan :
a) Nyeri berkurang sampai hilang secara bertahap.
b) Pasien dapat beradaptasi dengan nyerinya
c) Pasien dan keluarga dapat melakukan tekhnik distraksi-relaksasi

Rencana tindakan :
a) Observasi tanda-tanda vital
b) Observasi keluhan nyeri, lokasi, jenis dan intensitas nyeri
c) Jelaskan penyebab rasa sakit, cara menguranginya.
d) Beri posisi senyaman mungkin untuk pasien.
e) Ajarkan tehnik-tehnik relaksasi/ nafas dalam.
f) Beri obat-obat analgetik sesuai pesanan dokter.
g) Ciptakan lingkungan yang tenang.

2) Resiko tinggi infeksi y.b.d luka akibat pergeseran massa uterus


.Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan infeksi tidak terjadi

Hasil yang diharapkan :


a) Tidak terdapat tanda-tanda infeksi ( kalor, rubor, tumor, dolor, fungsiolesa )
b) Luka tampak bersih
Rencana tindakan :
a) Kaji TTV, perhatikan peningkatan suhu.
b) Kaji tanda-tanda infeksi (tumor kalor rubor, dolor, fungsileisa).
c) Lakukan tehnik perawatan luka secara steril 1x/hari
d) Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan perawatan luka.
e) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian antibiotic.
f) Lakukan Health Education kepada keluarga tentang pentingnya mencuci tangan sebelum
dan sesudah bersentuhan dengan pasien.

3) Resiko dekubitus y.b.d pergeseran massa uterus


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam dekubitus tidak
terjadi
Rencana tindakan
a) Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam.
b) Timbang berat baclan anak tiap hari.
c) Pasang infus dan NGT sesuai program dokter.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar Mochamad, Baziad Ali, Prabowo R. Prajitno. 2011. Ilmu Kandungan: Kelainan Letak
Alat-Alat Genital. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Berek, Jonathan S. 2012. Berek & Novak’s Gynecology 15th ed. Lippincott Williams &
wilkins;
Doshani A, Teo RE, Mayne CJ, Tincello DG. Uterine prolapse. BMJ: British Medical Journal
[internet]. 2007. [cited 2014 Des 8]; 335:819-823.
Junizaf. 2002. Prolapsus alat genitalia. Dalam: Buku ajar: Uroginekologi. Jakarta Subbagian
uroginokologi rekonstruksi Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSUPN-CM; 70-76
Noerpramana, Noor Pramono, Hadijono, R Soerjo, Iskandar, T. Mirza, Kristanto Herman,
Hidayat, Syarief Thaufik, Erwinanto. 2013. Praktis Klinis Obstetri Ginekologi. Semarang: Cakrawala
Media;
Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC; 2012.
Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, Cunningham FG.
Williams Gynecology. The McGraw-Hill Companies. 2008.
Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. 2007. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo,: 103-131, 421-446
PATHOPHYSIOLOGY

PREDISPOSING FACTORS Pelvic Organ Prolapse PRECIPITATING


 Sex: female FACTORS
Increased in intra-abdominal pressure
 Age: y/o
 pregnancy
 Elderly/
postmenopausal  multiparous women
women  hypoestrogenism
stretching and tearing of the endopelvic fascia
 obesity, chronic
and the levator muscles and perineal body
pulmonary disease,
smoking, constipation
 pelvic tumors, sacral
decreased perineal muscle tone nerve disorders, and
stretching diabetic neuropathy.

further sagging and stretching of


perineum

vaginal or uterine descent at or


through the introitus

sensation of vaginal fullness ulceration of the protruding


or pressure cervix or vagina

coital difficulty vaginal spotting

displacement of pelvic organs

displacement of the
sacral back pain with lower abdominal rectal pressure
bladder
standing discomfort

voiding difficulties
(incontinence, defecatory difficulties
frequency, and (Constipation,
urgency) uncontrollable gas, and
fecal incontinence)

Skema Patofisiologi Pelvic Organ Prolapse

Anda mungkin juga menyukai