Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Syok atau renjatan dapat diartikan sebagai keadaan terdapatya pengurangan


yang sangat besar dan tersebar luas pada kemampuan pengangkutan oksigen serta
unsur- unsur gizi lainnya secara efektif ke berbagai jaringan sehingga timbul cidera
seluler yang mulamula reversible dan kemudian bila keadaan syok berlangsung
lama menjadi irreversible.1
Syok kardiogenik merupakan suatu keadaan penurunan curah jantung dan
perfusi sistemik pada kondisi volume intravaskular yang adekuat, sehingga
menyebabkan hipoksia jaringan. Istilah syok kardiogenik ini pertama sekali
disampaikan oleh Stead dimana saat itu dilaporkan 2 orang pasien yang disebutkan
mengalami “syok yang diakibatkan oleh jantung (shock of cardiac origin)”.
Belakangan istilah ini kemudian berubah menjadi syok kardiogenik.2
80% syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan ventrikel akibat infark
miokard akut. Sedangkan sisanya akibat regurgitasi mitral berat yang akut, ruptur
septum ventrikular, gagal jantung kanan predominan dan ruptur dinding atau
tamponade.53 Pasien-pasien dengan syok kardiogenik biasanya datang dengan
adanya tanda-tanda hipoperfusi sistemik, termasuk perubahan status mental, kulit
dingin, dan/atau oliguria. Keberadaan ronchi basah basal (rales) yang merupakan
penanda adanya edema paru, bisa ada namun bisa juga tidak. Edema paru tidak
ditemukan pada 30% pasien-pasien syok kardiogenik melalui pemeriksaan
auskultasi dan radiografi toraks. Pengukuran tekanan darah dengan cara biasa
sering tidak akurat pada keadaan syok, oleh karena itu penentuan tekanan darah
intra-arterial lebih tepat dimonitor dengan kanula intra-arterial.2
Pada keadaan syok, hipoperfusi yang terjadi pada miokardium dan jaringan
perifer akan mendorong terjadinya metabolisme anaerobik sehingga dapat
menyebabkan asidosis laktat. Keadaan hiperlaktatemia ini dapat dipertimbangkan
sebagai petanda adanya hipoperfusi dan dapat menjadi informasi tambahan
terhadap hasil pemeriksaan klinis serta pemeriksaan tekanan darah yang mungkin
kurang meyakinkan bergantung dari status syok. Akumulasi asam laktat dapat

1
menyebabkan edema mitokondrial, degenerasi serta deplesi glikogen. Hal ini dapat
mengganggu fungsi miokardium dan menghambat glikolisis. Akhir dari proses ini
adalah kerusakan yang ireversibel pada miokard akibat iskemik. Nilai laktat serum
sangat penting sebagai suatu faktor prognostik pada syok kardiogenik. Pada suatu
analisa multivariat, nilai laktat >6,5 mmol/L pada pasien-pasien syok kardiogenik
merupakan suatu prediktor independen yang sangat kuat terhadap mortalitas selama
masa rawatan di rumah sakit [odds rasio (OR) 295, P < 0,01] meski setelah di
sesuaikan dengan usia, jenis kelamin, riwayat hipertensi, dan riwayat diabetes.2
Edema paru akut adalah keadaan patologi dimana cairan intravaskuler keluar ke
ruang ekstravaskuler, jaringan interstisial dan alveoli yang terjadi secara akut. Pada
keadaan normal cairan intravaskuler merembes ke jaringan interstisial melalui
kapiler endotelium dalam jumlah yang sedikit sekali, kemudian cairan ini akan
mengalir ke pembuluh limfe menuju ke vena pulmonalis untuk kembali ke dalam
sirkulasi.4
Edema paru akut dapat terjadi karena penyakit jantung maupun penyakit di luar
jantung ( edema paru kardiogenik dan non kardiogenik ). Angka kematian edema
paru akut karena infark miokard akut mencapai 38 – 57% sedangkan karena gagal
jantung mencapai 30%.4 Pengetahuan dan penanganan yang tepat pada edema paru
akut dapat menyelamatkan jiwa penderita. Penanganan yang rasional harus
berdasarkan penyebab dan patofisiologi yang terjadi.4 Karena itu dalam makalah ini
akan dibahas tentang patofisiologi, etiologi dan penatalaksanaan edema paru akut.4

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Syok Kardiogenik


A. Definisi
Adalah sindrom klinik akibat gagal perfusi yang disebabkan oleh
gangguan fungsi jantung, gambaran yang esensial dari syok kardiogenik
adalah adanya hipoperfusi sistemik yang menyebabkan hipoksia jaringan
dengan bukti volume intravaskular yang adekuat. Kriteria hemodinamik
syok kardiogenik adalah adanya hipotensi yang berkepanjangan dengan
batasan/cut-off points tekanan darah sistolik untuk syok kardiogenik adalah
< 90 mmHg selama sekurangnya 30-60 menit atau mean arterial pressure
< 30 mmHg dari baseline dengan indeks kardiak yang berkurang (< 2,2
L/menit/m2) dan tekanan baji kapiler paru (pulmonary capillary wedge
pressure/PCWP) > 15 mmHg.2,5,6,7
B. Insidensi dan Epidemiologi
Syok kardiogenik merupakan penyebab kematian paling sering pada
pasien-pasien yang dirawat dengan infark miokard. Tindakan
revaskularisasi dini terbukti mampu menurunkan kejadian syok kardiogenik
pada kasus infark miokard akut. Tingkat kejadian syok kardiogenik telah
banyak berkurang belakangan ini, mulai dari 20% pada tahun 1960an,
hingga saat ini tinggal + 8% saja. Jenis infark miokard akut yang paling
sering menyebabkan syok kardiogenik adalah STEMI.
Sekitar 80% kasus syok kardiogenik yang berkaitan dengan infark
miokard akut. 80% Syok kardiogenik yang terjadi akibat infark miokard
disebabkan oleh kegagalan ventrikel kiri. Sedangkan yang lainnya adalah
mitral regurgitasi akut, rupture septum ventrikular, gagal ventrikel kanan,
serta tramponade jantung. Insidensi syok kardiogenik lebih tinggi pada pria
daripada wanita (3:2). Perbedaan ini disebabkan karena semakin
meningkatnya kejadian penyakit jantung koroner pada pria. Namun
demikian persentase kejadian syok kardiogenik yang mengikuti infark

3
miokard lebih banyak pada wanita dibanding pria. Umur rata-rata pasien
dewasa yang mengalami syok kardiogenik adalah 65-66 tahun. Ras yang
paling tinggi persentasenya untuk kejadian syok kardiogenik adalah ras
hispanik (74%) sedangkan ras afrika amerika 65%, kulit putih 56%,
sedangkan Asia dan selebihnya 41%.6,8,9
Berdasarkan SHOCK register dan trial disebutkan bahwa:74,5% syok
kardiogenik disebabkan oleh predominasi kegagalan ventrikel kiri; 8,36%
akibat MR:4,6% akibat ruptur septum ventrikel; 3,4% masalah pada jantung
kanan; 1,7% tamponde/ruptur jantung; 3,0% penyebab lain.8,9
C. Etiologi
Syok kardiogenik dapat disebabkan oleh berbagai macam kelainan yang
terjadi pada jantung seperti : disfungsi sistolik, disfungsi diastolik, disfungsi
katup, aritmia, penyakit jantung koroner, komplikasi mekanik. Karena
besarnya angka kejadian ACS, maka ACS pun menjadi etiologi terhadap
syok kardiogenik yang paling dominan pada orang dewasa. Selain itu,
banyak pula kasus syok kardiogenik yang terjadi akibat medikasi yang
diberikan, contohnya pemberian penyekat beta dan penghambat ACE yang
tidak tepat dan tidak terpantau pada kasus ACS. Pada anak-anak penyebab
tersering adalah miokarditis oleh karena infeksi virus, kelainan congenital
dan konsumsi bahan-bahan yang toksik terhadap jantung.2,6
Secara fungsional penyebab syok kardiogenik dapat dibagi menjadi 2
yakni kegagalan Jantung kiri dan kegagalan Jantung kanan. Penyebab-
penyebab kegagalan jantung kiri antara lain : (1) disfungsi sistolik yakni,
berkurangnya kontraktilitas miokardium. Penyebab yang paling sering
adalah infark miokard akut khususnya infark anterior. Penyebab lainnya
adalah hipoksemia global, penyakit katup, obat-obat yang menekan miokard
(penyekat beta, penghambat gerbang kalsium, serta obat-obat anti aritmia),
kontusio miokard, asidosis respiratorius, kelainan metabolic (asidosis
metabolic, hipofosfatemia, hipokalsemia), miokarditis severe,
kardiomiopati end-stage, bypass kardiopulmonari yang terlalu lama pada
operasi pintas jantung, obat-obatan yang bersifat kardiotoksin (mis.

4
Doxorubicin, adriamycin). (2) disfungsi diastolik. Hal ini dapat terjadi
akibat meningkatnya kekakuan ruang ventrikel kiri. Selain itu dapat pula
terjadi pada tahap lanjut syok hipovolemik dan syok septik. Hal-hal yang
dapat menyebabkannya antara lain : iskemik, hipertrofi ventrikel,
kardiomiopati restriktif, syok hipovolemik dan syok septik yang berlama-
lama, kompresi eksternal akibat tamponade jantung (3) Peningkatan
afterload yang terlalu besar. Hal ini dapat terjadi pada keadaan stenosis
aorta, kardiomiopati hipertrofik, koarktasio aorta, hipertensi maligna. (4)
abnormalitas katup dan struktur jantung. Hal ini dapat terjadi pada keadaan
mitral stenosis, endokarditis, regurgitasi mitral dan aorta, obstruksi yang
disebabkan oleh atrial myxoma atau thrombus, ruptur ataupun disfungsi
otot-otot papilaris, ruptur septum dan tamponade. (5) Menurunnya
kontraktilitas jantung. Hal ini terjadi pada keadaan, infark ventrikel kanan,
iskemia, hipoksia dan asidosis.
Kegagalan ventrikel kanan dapat disebabkan oleh berbagai peristiwa
antara lain: (1) peningkatan afterload yang terlalu besar misalnya, emboli
paru, penyakit pembuluh darah paru (hipertensi arteri pulmonalis dan
penyakit oklusif vena), vasokonstriksi pulmonal hipoksik, tekanan puncak
akhir ekspirasi, fibrosis pulmonaris, kelainan pernafasan saat tidur, PPOK.
(2) Artimia. Ventrikel takiaritmia sering berkaitan dengan syok kardiogenik.
Sementara bradiaritmia dapat menyebabkan atau memperburuk syok yang
disebabkan oleh etiologi lain. Sinus takikardia dan takiaritmia atrial dapat
menyebabkan hipoperfusi dan memperburuk syok.2,6
Penyebab syok kardiogenik dapat pula dibedakan berdasarkan infark
miokard akut atau non-infark miokard seperti berikut ini :
a. Infark miokard akut
1. Kegagalan pompa jantung
 Infark luas, > 40% ventrikel kiri
 Infark kecil namun dengan riwayat disfungsi ventrikel kiri atau
riwayat infark sebelumnya
 Infark yang meluas

5
 Reinfark
2. Komplikasi mekanik
 Mitral regurgitasi akut akibat/disfungsi ruptur otot papilari atau
korda tendinea
 Defek septum ventrikel yang disebabkan roleh ruptum septum
intraventrikular
 Ruptur dinding ventrikel kiri
 Tamponade perikard
3. Infark ventrikel kanan

b. Kondisi lain
1. Kardiomiopati tahap akhir (end stage)
2. Miokarditis
3. Syok septik dengan depresi miokard berat
4. Obstruksi jalan keluar ventrikel kiri
 Stenosis aorta
 Kardiomiopati obstruktif hipertrofik
5. Obstruksi jalan masuk (pengisian) ventrikel kiri
 Stenosis mitral
 Myxoma atrium kiri
6. Regurgitasi mitral akut (ruptur korda)
7. Insufisiensi katup aorta akut
8. Kontusio miokardial
9. Bypass kardiopulmonari yang berkepanjangan
Menentukan etiologi syok kardiogenik merupakan suatu tantangan yang
tidak mudah. Anamnese dan pemeriksaan klinis dapat memberikan
informasi penting dalam menentukan etiologi syok kardiogenik. Misalnya,
jika keluhan utama pasien yang masuk adalah nyeri dada, maka hal yang
dapat diperkirakan adalah adanya infark miokard akut, miokarditis, atau
tamponade perikard. Selanjutnya, jika ditemukan murmur pada
pemeriksaan fisik, maka dapat dipikirkan kemungkinan adanya ruptur

6
septum ventrikel, ruptur otot-otot papillaris, penyakit akut katup mitral atau
aorta. Adanya murmur pada syok kardiogenik merupakan suatu indikasi
untuk segera dilakukan pemeriksaan echocardiography.2,6
D. Patofisiologi
Syok kardiogenik merupakan akibat dari gangguan dari keseluruhan
system sirkulasi baik yang besifat temporer maupun permanen. Kegagalan
ventrikel kiri atau ventrikel kanan (akibat disfungsi miokardium)
memompakan darah dalam jumlah yang adekuat merupakan penyebab
primer syok kardiogenik pada infark miokard akut (gambar 1). Akibatnya
adalah hipotensi, hipoperfusi jaringan, serta kongesti paru atau kongesti
vena sistemik. Kegagalan ventrikel kiri merupakan bentuk yang paling
sering dari syok kardiogenik, namun bagian lain dari sistem sirkulasi juga
ikut bertanggung jawab terhadap gagalnya mekanisme kompensasi.
Kebanyakan abnormalitas ini sifatnya reversibel sehingga bagi pasien-
pasien yang selamat, fungsi jantung mungkin masih dapat
dipertahankan.10,11
Hipotensi sistemik, merupakan tanda yang terjadi pada hampir semua
syok kardiogenik. Hipotensi terjadi akibat menurunnya volume
sekuncup/stroke volume serta menurunnya indeks kardiak. Turunnya
tekanan darah dapat dikompensasi oleh peningkatan resistensi perifer yang
diperantarai oleh pelepasan vasopresor endogen seperti norepinefrin dan
angiotensin II. Namun demikian gabungan dari rendahnya curah jantung
dan meningkatnya tahanan perifer dapat menyebabkan berkurangnya
perfusi jaringan. Sehubungan dengan itu, berkurangnya perfusi pada arteri
koroner dapat menyebabkan suatu lingkaran setan iskemik, perburukan
disfungsi miokardium, dan disertai dengan progresivitas hipoperfusi organ
serta kematian. Hipotensi dan peningkatan tahanan perifer yang disertai
dengan peningkatan PCWP terjadi jika disfungsi ventrikel kiri merupakan
kelainan jantung primernya.
Meningkatnya tekanan pengisian ventrikel kanan terjadi jika syok akibat
kegagalan pada ventrikel kanan, misalnya pada gagal infark luas ventrikel

7
kanan. Namun pada kenyataannya sebuah penelitian SHOCK trial
menunjukkan pada beberapa pasien post MI, syok malahan disertai oleh
vasodilatasi. Hal ini mungkin terjadi sebagai akibat adanya respon inflamasi
sistemik seperti yang terjadi pada sepsis. Respon inflamasi akut pada infark
miokard berkaitan dengan peningkatan konsentrasi sitokin. Aktivasi sitokin
menyebabkan induksi nitrit oksida (NO) sintase dan meningkatkan kadar
NO sehingga menyebabkan vasodilatasi yang tidak tepat dan berkurangnya
perfusi koroner dan sistemik. Sekuens ini mirip dengan yang terjadi pada
syok septik yang juga ditandai dengan adanya vasodilatasi sistemik.5,10

Gambar 1. Patofisiologi Syok Kardiogenik. Gambaran Spiral syok,


dimulai dari disfungsi ventrikel kiri dan berakhir dengan kematian melalui
kondisi iskemik dan disfungsi ventrikel kiri yang semakin progresif jika
tidak diberikan intervensi pengobatan. Alur spiral syok mendapat pengaruh
negatif oleh (1) disfungsi sitolik dengan berkurangnya curah jantung dan
volume sekuncup sehingga menyebabkan terganggunya perfusi perifer dan
hipotensi. (2) disfungi diastolic sehingga menyebabkan hipoksemia dan
kongesti paru, (3) munculnya sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS)

8
yang didorong oleh nitrit oksida sintase endotel dan nitrit oksida sintase
yang terinduksi (eNOS dan iNOS), interleukin-6 (IL-6), TNF-α, sehingga
menyebabkan berkurangnya tahanan perifer. Piihan terapi seperti PCI.
CABG, LVADs, inotropik/vasopresor bertujuan untuk membalikkan alur
spiral syok diperlihatkan dengan garis warna hijau. Penghentian pengobatan
akibat komplikasi perdarahan serta peran SIRS diperlihatkan pada garis
merah.5
E. MANIFESTASI KLINIS
Syok kardiogenik merupakan kasus kegawatdaruratan. Penilaian klinis
yang lengkap sangat penting untuk mendapatkan penyebabnya dan
menetapkan sasaran terapi untuk mengatasi penyebabnya. Syok kardiogenik
yang muncul akibat infark miokard biasanya muncul setelah pasien masuk
ke rumah sakit, namun demikian, sebagian kecil pasien datang ke rumah
sakit sudah dalam keadaan syok. Pada pasien terlihat tanda-tanda
hipoperfusi (curah jantung yang rendah) yang terlihat dari adanya sinus
takikardia, volume urine yang sedikit, serta ekstremitas dingin. Hipotensi
sistemik ( TDS < 90mmHg atau turunnnya TD < 30 mmHg dari TD rata-
rata) belakangan akan muncul dan meyebabkan hipoperfusi jaringan.5
1. Anamnesis
Keluhan yang timbul berkaitan dengan etiologi timbulnya syok
kardiogenik tersebut.Kebanyakan pasien datang dengan keluhan nyeri
dada dan sesak yang terus menerus.Pada pasien dengan infark miokard
akut datang dengan keluhan tipikal nyeri dada yang akut dan
kemungkinan sudah mempunyai riwayat penyakit jantung coroner
sebelumnya.2,12
Pada keadaan syok akibat komplikasi mekanik dari infark miokard
akut, biasanya terjadi dalam beberapa hari sampai seminggu setelah onset
infark tersebut. Umumnya pasien mengeluh nyeri dada dan biasanya
disertai gejala tiba-tiba yang menunjukkan adanya edema paru akut atau
bahkan henti jantung.2,12

9
Kebanyakan pasien yang datang dengan infark miokard akut
merasakan nyeri dada yang muncul tiba-tiba seperti diperas atau ditimpa
beban berat di substernal. Nyeri ini dapat menyebar hingga ke lengan kiri
atau leher. Nyeri dada bisa saja tidak khas, terutama jika lokasinya hanya
di epigastrium, leher atau lengan. Kualitas nyerinya bisa seperti terbakar,
seperti ditusuk-tusuk atau seperti ditikam. Bahkan nyeri bisa saja tidak
dirasakan pada pasien-pasien diabetes dan usia tua. Gejala-gejala
autonomik lain bisa juga muncul seperti mual, muntah, serta berkeringat.
Riwayat penyakit jantung sebelumnya, riwayat penggunaan kokain,
riwayat infark miokard sebelumnya, atau riwayat pembedahan jantung
sebelumnya perlu ditanyakan. Faktor resiko penyakit jantung perlu
dinilai pada pasien yang disangkakan mengalami iskemik miokardial.
Evaluasinya antara lain mencakup riwayat hiperlipidemia, hipertrofi
ventrikel kiri, hipertensi, riwayat merokok, serta riwayat keluarga yang
mengalami penyakit jantung koroner premature. Keberadaan 2 atau lebih
faktor resiko meningkatkan kecenderungan suatu infark miokard. Gejala-
gejala lain yang berkaitan antara lain : diaphoresis, sesak nafas saat
beraktifitas, sesak nafas saat beristrahat. Presinkop, sinkop, palpitasi,
ansietas generalisata serta depresi.5
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pasien syok kardiogenik dapat ditemukan adanya sianotik,
pengeluaran keringat berlebihan walaupun tidak melakukan
aktivitas.Kesadaran pasien dapat menjadi somnolen, kebingungan dan
agitasi.Denyut nadi biasanya lemah dan cepat dengan kisaran 90 sampai
110x/menit, namun bisa juga terdapat bradikardi berat karena blok
jantung tingkat tinggi. Tekanan arteri sistolik menjadi turun (<90 mmHg)
dengan tekanan nadi sempit (<30 mmHg), namun kadangkala tekanan
arteri dapat dipertahankan karena pertahanan vascular sistemik yang
tinggi.Pernapasan Cheyne-stoke dan peningkatan frekuensi nafas juga
dapat terlihat sebagai akibat kongesti paru.2,12

10
Pada pemeriksaan dada dapat ditemukan adanya ronki. Pasien
dengan infark ventrikel kanan atau pasien dengan keadaan hipovolemik
yang menurut studi sangat kecil kemungkinannya menyebabkan kongesti
paru.2,12
System kardiovaskular yang mungkin dapat dievaluasi adalah
distensi vena jugularis. Letak impuls apikal dapat bergeser pada pasien
dengan dilatasi kardiomiopati, dan intensitas bunyi jantung akan jauh
menurun pada efusi pericardial ataupun temponade. Irama gallop dapat
timbul yang menunjukkan adanya disfuringsi ventrikel kiri yang
bermakna. Sedangkan regurgitas mitral atau defek septal ventrikel, bunyi
bising atau murmur yang timbul akan sangat membantu untuk
menentukan kelainan atau komplikasi mekanik yang ada.2,12
Pasien dengan gagal jantung kanan yang bermakna akan
menunjukkan beberapa tanda-tanda antara lain : pembesaran hati, pulsasi
di liver akibat regurgitasi tricuspid atau terjadinya sites akibat gagal
jantung kanan yang sulit untuk diatasi. Pulsasi arteri di ekstremitas
perifer akan menurun intensitasnya dan edema perifer dapat timbul ppada
gagal jantung kanan. Sianosis dan ekstremitas yang teraba dingin
menunjukkan terjadinya penurunan perfusi jaringan.2,12
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan adanya
peningkatan sel darah putih. Dengan tidak adanya insufisiensi renal
sebelumnya, fungsi renal pada awalnya normal, namun kadar urea dan
kreatinin darah meningkat secara progresif. Transaminase hepatic
mungkin menjadi pertanda dari peningkatan hipoperfusi hati.Pada syok
berat dapat ditemui adanya peningkatan asam laktat dan elektrolit
mungkin mencerminkan asidosis anion-gap.Sebelum mendapat bantuan
ventilasi dengan O2 tambahan, gas darah arteri biasanya menunjukkan
hipoksemia dan asidosis metabolik. Tanda jantung, fosfokinasi kreatinin
dan fraksi MB meningkat tajam, seperti juga troponin I dan T.2

11
4. Pemeriksaan Penunjang
 Elektrokardiografii (EKG)
Pada syok kardiogenik karena infark miokard akut dengan
kegagalan ventrikel kiri, gelombang Q dapat > 2mm dan/atau ST
elevasi pada banyak lead atau blok cabang bundle kiri mungkin
ditemukan. Iskemia global karena stenosis utama kiri yang parah
biasanya dapat disertai dengan ST depresi yang parah (3 mm) pada
beberapa factor penyebab.2,12
 Foto rontgen dada
Pada foto polos dada akan terlihat kardiomegali dan tanda-tanda
kongesti paru atau edema paru pada gagal ventrikel kiri yang berat.
Bila terjadi komplikasi defek septal ventrikel atau regurgitasi mitral
akibat infark miokard akut akan tampak gambaran kongesti paru yang
tidak disertai kardiomegali, terutama pada onset infark yang pertama
kali. Gambaran kongesti paru menunjukkan kecil kemungkinan
terdapat gagal ventrikel kanan yang dominan atau keadaan
hipovolemia.2,12
 Ekokardiografi
Digunakan dalam membantu menegakkan diagnosis dan mencari
penyebab dari syok kardiogenik.Pemeriksaan ini realtif cepat, aman
dan dapat dilakukan secara langsung di tempat tidur pasien.
Keterangan yang diharapkan dapat diperoleh dari pemeriksaan ini
antara lain: penilaian fungsi ventrikel kanan dan kiri (global maupun
segmental), fungsi katup-katup jantung (stenosis atau regurgitasi),
tekanan ventrikel kanan dan deteksi adanya shunt , efusi pericardial
atau tamponade.2,12
 Kateterisasi arteri pulmonar
Tekanan arteri pulmonal dapat ditentukan dengan menggunakan
kateter Swan-Ganz. Pasien syok kardiogenik akibat gagal ventrikel
kiri yang berat, akan terjadi peningkatan tekanan baji paru. Bila pada
pengukuran ditemukan tekanan baji pembuluh darah paru > 10mmHg

12
pada pasien infark miokard akut menunjukkan bahwa volume
intravascular pasien tersebut cukup adekuat. Pasien dengan gagal
ventrikel kanan atau hipovolemia yang signifikan akan menunjukkan
tekanan baji pembuluh paru yang normal atau lebih rendah.2,12
 Saturasi oksigen
Pemantauan saturasi oksigen sangat bermanfaat dan dapat
dilakukan pada saat pemasangan kateter Swan-Ganz yang juga dapat
mendeteksi adanya defek septal ventrikel. Bila terdapat pintas darah
yang kaya oksigen dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan maka akan
terjadi saturasi oksigen yang step-up bila dibandingkan dengan
saturasi oksigen vena dari vena cava dan arteri pulmonal.2,12
F. Tatalaksana
Volume pengisian ventrikel kiri harus dioptimalkan dan pada keadaan
tanpa adanya bendungan paru, pemberian cairan sekurang-kurangnya 250ml
dapat dilakukan dalam 10 menit.Oksigenasi adekuat penting, intubasi atau
ventilasi harus dilakukan segera jika ditemukan abnormalitas difus oksigen.
Hipotensi yang terus berlangsung memicu kegagalan otot pernapasan dan
dapat dicegah dengan pemberian ventilasi mekanis.2,12

Gambar 2.2.Algoritma tatalaksana syok kardiogenik1

13
Langkah 1. Tindakan Resusutasi Segera
Tujuannya adalah mencegah kerusakan organ sewaktu pasien
dibawa untuk terapi definitif.Dopamine atau noradrenalin (norepinefrin),
tergantung pada derajat hipotensi harus diberikan secepatnya untuk
meningkatkan tekanan arteri rata-rata dan dipertahankan pada dosis
minimal yang dibutuhkan. Dobutamin dapat dikombinasikan dengan
dopamine dalam dosis sedang atau digunakan tanpa kombinasi pada
keadaan low input tanpa hipotensi yang nyata.2,12
Sesuai dengan guidelines terakhir ACC/AHA direkomendasikan
pemasangan IABP (Intra Aortic Baloon Pump) dini pada pasien syok
kardiogenik yang merupakan kandidat strategi agresif. Kombinasi
menurunkan oferload, meningkatkan tekanan diastolic untuk perfusi
coroner dan meningkatkan curah jantung, membuat IABP merupakan
pilihan atraktif pada syok kardiogenik.2,12
Terapi fibrinolitik harus dimulai pada pasien dengan elevasi ST jika
diantisipasi keterlambatan angigrafi lebih dari 2 jam. Mortalitas 35 hari
pada pasien dengan tekanan darah sistolik <100mmHg yang mendapatkan
trombolitik pada meta analisi FTT adalah 28,9% dibandingkan 35,1%
dengan placebo. Pada syok ardiogenik karena infark miokard non elevasi
ST yang menunggu katerisasi, inhibitor glikoprotein IIb/IIIa dapat
diberikan.2,12

Gambar 2.3. Pemasangan IABP12

14
Langkah 2. Menentukan secara dini anatomi koroner
Hal ini merupakan langkah penting dalam tatalaksana syok
kardiogenik yang berasal dari kegagalan pompa iskemik yang
predominan.Syok mempunyai ciri penyakit 2 pembuluh darah yang
tinggi, penyakit lift maindan penurunan fungsi ventrikel kiri. Tingkat
disfungsi ventrikel dan instabilitas hemodinamik mempunyyai korelasi
dengan anatomi coroner. Suatu lesi circumflex atau lesi koroner kanan
jarang mempunyai manifestasi syok pada keadaan tanpa infark ventrikel
kanan, underfilling ventrikel kiri, bradiaritmia, infark miokard
sebelumnya atau kardiomiopati.2,12
Langkah 3. Melakukan revaskularisasi dini
Trial SHOCK merekomendasikan CABG emergensi pada pasien
left main atau penyakit 3 pembuluh besar. Laju mortilitas di RS dengan
CABG pada penelitian SHOCK dan registry adalah sama dengan outcome
dengan PCI, walaupun lebih banyak penyakit arteri coroner berat dan
diabetes yaitu 2 kali pada pasien yang CABG.2,12

Gambar 5.Algoritma Rekomendasi terapi reperfusi syok kardiogenik12

15
G. Prognosis dan Komplikasi
Syok kardiogenik merupakan penyebab kematian tersering pada infark
miokard akut. Tanpa penanganan yang agresif dan ahli yang
berpengalaman, mortalitas syok kardiogenik mencapai 70-90%. Kunci
untuk mencapai prognosis yang baik adalah, diagnose yang cepat, terapi
suportif sesegera mungkin, serta revaskularisasi arteri koroner secara tepat
pada pasien yang mengalami iskemik dan infark miokard. Mortalitas pasien-
pasien yang dirawat inap secara keseluruhan mencapai 57%. Pasien dengan
usia >75 tahun, mortalitas 64,1%. Mortalitas syok kardiogenik yang
disebabkan STEMI dan NSTEMI adalah sama. Infark yang melibatkan
ventrikel kanan memiliki prognosis yang lebih buruk. Prognosis pasien-
pasien yang berhasil selamatt dari syok kardiogenik belum diteliti dengan
baik namun mungkin lebih baik jika penyebab yang mendasarinya berhasil
dikoreksi dengan tepat.6
Namun penelitian terbaru menunjukkan mortalitas syok kardiogenik di
era modern saat ini ≈ 50%. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosisnya
antara lain: usia, tanda-tanda klinis hipoperfusi perifer, kerusakan organ
anoksik, LVEF, serta kemamuan pompa jantung. Komplikasi kardiogenik
syok antara lain: kardiopulmonari arrest, disritmia, gagal ginjal, gagal organ
multipel, aneurisma ventricular, tromboembolik, stroke, kematian.
Prediktor mortalitas dapat diidentifikasi berdasarkan trial GUSTO-I yakni :
usia, riwayat infark miokard sebelumnya, perubahan kesadaran, kulit yang
basah dan dingin serta oliguria. 6
Temuan echocardiogram sepert fraksi ejeksi ventrikular kiri, regurgitasi
mitral, merupakan predictor independen terhadap mortalitas. EF < 28%
memilki persentase keselamatan 24% dalam 1 tahun, sedangkan EF > 28%
persentase keselamatannya dalam setahun mencapai 56%. Regurgitasi
mitral sedang-berat memiliki persentase keselamatan dalam 1 tahun sebesar
31% sedangkan tanpa regurgitasi mitral, persentase keselamatannya
mencapai 58%. Dalam SHOCK trial, mortalitas syok kardiogenik sangat

16
menurun dengan tindakan revaskularisasi yang cepat dibandingkan dengan
yang tidak ( 38% vs 70%). 6
2.2 Edem Pulmo
A. Definisi
Edema paru akut adalah keadaan patologi dimana cairan intravaskuler
keluar ke ruang ekstravaskuler, jaringan interstisial dan alveoli yang
terjadi secara akut. Pada keadaan normal cairan intravaskuler merembes
ke jaringan interstisial melalui kapiler endotelium dalam jumlah yang
sedikit sekali, kemudian cairan ini akan mengalir ke pembuluh limfe
menuju ke vena pulmonalis untuk kembali ke dalam sirkulasi. 4
Edema paru akut dapat terjadi karena penyakit jantung maupun
penyakit di luar jantung ( edema paru kardiogenik dan non kardiogenik ).
Angka kematian edema paru akut karena infark miokard akut mencapai 38
– 57% sedangkan karena gagal jantung mencapai 30%. Pengetahuan dan
penanganan yang tepat pada edema paru akut dapat menyelamatkan jiwa
penderita. Penanganan yang rasional harus berdasarkan penyebab dan
patofisiologi yang terjadi. Karena itu dalam makalah ini akan dibahas
tentang patofisiologi, etiologi dan penatalaksanaan edema paru akut.4
B. Patofisiologi
Edema paru timbul bila cairan yang difiltrasi oleh dinding
mikrovaskuler lebih banyak dari yang bisa dikeluarkan. Akumulasi cairan
ini akan berakibat serius pada fungsi paru oleh karena tidak mungkin
terjadi pertukaran gas apabila alveoli penuh terisi cairan. Dalam keadaan
normal di dalam paru terjadi suatu aliran keluar yang kontinyu dari cairan
dan protein dalam pembuluh darah ke jaringan interstisial dan kembali ke
sistem aliran darah melalui saluran limfe. Pergerakan cairan tersebut
memenuhi hukum Starling. Mekanisme yang menjaga agar jaringan
interstisial tetap kering adalah :
- Tekanan onkotik plasma lebih tinggi dari tekanan hidrostatik kapiler
paru.

17
- Jaringan konektif dan barier seluler relatif tidak permeabel terhadap
protein plasma.
- Adanya sistem limfatik yang secara ekstensif mengeluarkan cairan dari
jaringan interstisial. Pada individu normal tekanan kapiler pulmonal
(“wedge” pressure) adalah sek itar 7 dan 12 mm Hg.
Karena tekanan onkotik plasma berkisar antara 25 mmHg, maka
tekanan ini akan mendorong cairan kembali ke dalam kapiler. Tekanan
hidrostatik bekerja melewati jaringan konektif dan barier seluler, yang
dalam keadaan normal bersifat relatif tidak permeabel terhadap protein
plasma. Paru mempunyai sistem limfatik yang secara ekstensif dapat
meningkatkan aliran 5 atau 6 kali bila terjadi kelebihan air di dalam
jaringan interstisial paru. Edema paru akan terjadi bila mekanisme normal
untuk menjaga paru tetap kering terganggu seperti tersebut di bawah ini:4
 Permeabilitas membran yang berubah.
 Tekanan hidrostatik mikrovaskuler yang meningkat.
 Tekanan peri mikrovaskuler yang menurun.
 Tekanan osmotik / onkotik mikrovaskuler yang menurun.
 Tekanan osmotik / onkotik peri mikrovaskuler yang meningkat.
 Gangguan saluran limfe.
Proses terjadinya edema paru melalui 3 tahap, yaitu :
1. Stadium 1 : pada keadaan ini terjadi peningkatan jumlah cairan dan
koloid di ruang interstitial yang berasal dari kapiler paru. Celah pada
endotel kapiler paru mulai melebar akibat peningkatan tekanan
hidrostatik atau efek zat-zat toksik. Meskipun filtrasi sudah meningkat,
namun belum tampak peningkatan cairan di ruang interstitial.
2. Stadium 2 : kapasitas limfatik untuk mengalirkan kelebihan cairan
sudah melampaui batas sehingga cairan mulai terkumpul di ruang
interstisial dan mengelilingi bronkioli dan vaskuler paru. Bila cairan
terus bertambah akan menyebabkan membran alveoli menyempit.

18
3. Stadium 3a : pada stadium ini peningkatan filtrasi cairan dan tekanan di
ruang interstitial dan peribronchovaskular sheat semakin tinggi,
sehingga tight junction diantara sel epitel.
C. Klasifikasi
Edema paru dapat diklasifikasikan sebagai edema paru kardiogenik dan
edema paru non-kardiogenik. Edema paru kardiogenik disebabkan oleh
peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru yang dapat terjadi akibat
perfusi berlebihan baik dari infus darah maupun produk darah dan cairan
lainnya, sedangkan edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas kapiler paru antara lain pada pasca transplantasi
paru dan reekspansi edema paru, termasuk cedera iskemia-reperfusi-
dimediasi.13,14,16
Walaupun penyebab edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik
berbeda, namun keduanya memiliki penampilan klinis yang serupa
sehingga menyulitkan dalam menegakkan diagnosisnya. Terapi yang tepat
dibutuh-kan untuk menyelamatkan pasien dari kerusakan lanjut akibat
gangguan keseimbangan cairan di paru.

19
D. DIAGNOSIS
Tampilan klinis edem paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai
beberapa kemiripan.
1. Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edem paru,
misalnya adanya riwayat sakit jantung, riwayat gejala yang sesuai dengan
gagal jantung kronik. Edem paru akut kardiak, kejadiannya sangat cepat

20
dan terjadi hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini
merupakan pengalaman yang yang menakutkan bagi pasien karena
mereka batuk-batuk dan seperti seseorang yang akan tenggelam.
Khas pada edem paru non kardiogenik didapatkan bahwa awitan
penyakit ini berbeda-beda, tetapi umumnya akan terjadi secara cepat.
Penderita sering sekali mengeluh tentang kesulitan bernapas atau
perasaan tertekan atau perasaan nyeri pada dada. Biasanya terdapat batuk
yang sering menghasilkan riak berbusa dan berwarna merah muda.
Terdapat takipnue serta denyut nadi yang cepat dan lemah, biasanya
penderita tampak sangat pucat dan mungkin sianosis.13-17
2. Pemeriksaan Fisik
Terdapat takipnea, ortopnea (menifestasi lanjutan). Takikardia,
hipotensi atau teknan darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi
duduk agar dapat mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih
baik saat respirasi atau sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat
retraksi inspirasi pada sela interkostal dan fossa supraklavikula yang
menunjukan tekanan negatif intrapleural yang besar dibutuhkan pada
saat inpsirasi, batuk dengan sputuk yang berwarna kemerahan (pink
frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan paru akan
terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau lebih dan terdapat
wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan ditemukan gallop,
bunyi jantung 3 dan 4. Terdapat juga edem perifer, akral dingin dengan
sianosis (sda). Dan pada edem paru non kardiogenik didapatkan khas
bahwa Pada pemeriksaan fisik, pada perkusi terdengar keredupan dan
pada pemeriksaan auskultasi di dapat ronki basah dan bergelembung
pada bagian bawah dada.15

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorim yang relevan diperlukan untuk mengkaji
etiologi edem paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan
hematologi/ darah rutin, fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa

21
gas darah, enzim jantung (CK-MB, troponin I) dan Brain Natriuretic
Peptide (BNP). BNP dan prekursornya pro BNP dapat digunakan sebagai
rapid test untuk menilai edem paru kardiogenik pada kondisi gawat
darurat.
Kadar BNP plasma berhubungan dengan pulmonary artery
occlusion pressure, left ventricular end-diastolic pressure dan left
ventricular ejection fraction. Khususnya pada pasien gagal jantung, kadar
pro BNP sebesar 100pg/ml akurat sebagai prediktor gagal jantung pada
pasien dengan efusi pleura dengan sensitifitas 91% dan spesifitas 93%.
Richard dkk melaporkan bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi
dengan LV filling pressure. Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu tes
diagnosis untuk menegakkan gagal jantung kronis berdasarkan pedoman
diagnosis dan terapi gagal jantung kronik Eropa dan Amerika. Bukti
penelitian menunjukan bahwa pro BNP/BNP memiliki nilai prediksi
negatif dalam menyingkirkan gagal jantung dari penyakit penyakit
lainnya.18
Radiologi
Pada foto thorax menunjukan jantung membesar, hilus yang
melebar, pedikel vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai
tambahan adanya garis kerley A, B dan C akibat edema instrestisial atau
alveolar seperti pada gambaran ilustrasi.18 Lebar pedikel vaskuler < 60
mm pada foto thorax postero-anterior terlihat pada 90% foto thorax
normal dan lebar pedikel vaskuler > 85% ditemukan 80% pada kasus
edem paru. Sedangkan vena azygos dengan diameter > 7 mm dicurigai
adanya kelainan dan dengan diameter > 10 mm sudah pasti terdapat
kelainan, namun pada posisi foto thorax telentang dikatakan abnormal
jika diameternya > 15 mm. Peningkatan diameter vena azygos > 3 mm
jika dibandingkan dengan foto thorax sebelumnya terkesan
menggambarkan adanay overload cairan.18
Garis kerley A merupakan garis linier panjang yang membentang
dari perifer menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran

22
anastomose antara limfatik perifer dengan sentral. Garis kerley B terlihat
sebagai garis pendek dengan arah horizontal 1-2 cm yang terletak dekat
sudut kostofrenikus yang menggambarkan adanya edem septum
interlobuler. Garis kerley C berupa garis pendek, bercabang pada lobus
inferior namun perlu pengalaman untuk melihatnya karena terlihat
hampir sama dengan pembuluh darah.18
Gambar foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edem paru
kardiogenik dan edem paru non krdiogenik. Walaupun tetap ada
keterbatasan yaitu antara lain bahwa edem tidak akan tampak secara
radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa masalah
teknik juga dapat mengurangi sensitivitas dan spesifitas rontgen paru,
seperti rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film.19,20

23
Radiographic features that may helps to differentiate cardiogenic from
noncardiogenic pulmonary edema
Radiographic feature Cardiogenic edema Noncardiogenic edema
Heart size Normal or greater Usually normal
Width of the vascular Normal or greater than Usually normal or less
pedicle normal than normal
Vascular distribution Balanced or invited Normal or balanced
Distribution of edema Even or central Patchy or peripheral
Pleural effusions Present Not usually present
Peribronchial cuffing Present Not usually present
Septal lines Present Not usually present
Air bronchograms Not usually present Usually present

Ekhokardiografi
Pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk mendeteksi disfungsi
ventrikel kiri. Ekhokardiografi dapat mengevaluasi fungsi miokard dan
fungsi katup sehingga dapat dipakai dalam mendiagnosis penyebab edem
paru.15
EKG
Pemeriksaan EKG bias normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda
iskemik atau infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis
hipertensi gambaran EKG biasanya menunjukan gambaran hipertrofi
ventrikel kiri. Pasien dengan edem paru kardiogenik tetapi yang non
iskemik biasanya menunjukan gambaran gelombang T negative yang
melebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan membaik dalam
24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1 minggu. Penyebab dari
non iskemik ini belum diketahui tetapi beberapa keadaan yang dikatakan
dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut
dari tonus simpatis kardiak yang berhubungan dengan peningkatan tekanan
pada dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak atau peningkatan
elektrikal akibat perubahan metabolic atau katekolamin.15,16
Katerisasi Pulmonal
Pengukuran tekanan baji pulmonal (pulmonary artery occlusion
pressure/PAOP) dianggap sebagai pemeriksaan baku emas untuk
menentukan penyebab edem paru akut.21

24
E. Tata laksana 22
Tindakan pertama
‐ Posisikan pasien dalam posisi duduk untuk meningkatkan volume dan
kapasitas paru, mengurangi kerja otot pernapasan
‐ Pasang NRM 15 L/menit
‐ Pasang IV line
‐ Monitor EKG
‐ Nitrogliserin nitrat tablet atau spray setiap 5-10 menit bila TD >90-100
mmHg untuk mengurangi overload
‐ Furosemid 0,5-1mg/kg BB IV, bila dalam 20 menit belum didapati hasil
yang diharapkan, ulangi IV dua kali dosis awal
‐ Morfin sulfat dalam NaCl 0.9%, diberikan 2-4 mg IV jika TD >100
mmHg
Tindakan kedua
‐ Jika respon setelah tindakan pertama membaik, lanjutkan nitrogliserin IV
10-20 mcg/menit, tetap evaluasi TD.
‐ Nitroprusside IV 0,5-5 mcg/kgBB/menit bila TD tinggi
‐ Dopamin 2-20 mcg/kgBB/menit IV jika TD 70-100 mmHg dengan syok
‐ Dobutamin 2-20 mcg/kgBB/menit IV jika hipotensi tanpa syok
Tindakan ketiga
‐ Jika tindakan pertama dan kedua tidak memberikan hasil memadai
pertimbangkan IABP, PCI atau bedah pintas koroner.

25
Daftar Pustaka

1. Isselbacher, et all, 1999, Prinsip- prinsip Ilmu Penyakit Dalam, EGC Jakarta
2. Hochman JS, Ohman EM. Cardiogenic Shock. The AHA Clinical Series.
Wiley-Blackwell. Januari 2009 .
3. Alwi I, Nasution SA. Syok Kardiogenik. Dalam Sudoyo AW dkk. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, ed kelima jilid I. Interna Publishing. Jakarta ; November
2009
4. Alpert, JS, Ewy GA , (2002). Pulmonary Edema. In : Manual of Cardiovascular
Diagnosis and Therapy. Unknown : Lippincott Williams & Wilkins
5. Hochman JS, Menon Venu. Clinical manifestations and diagnosis of
cardiogenic shock in acute myocardial infarction. UpToDate. Wolters Kluwer
Health. Juni 2013 Available from www.uptodate.com
6. Ren X, Lenneman A. Cardiogenic Shock. Medscape Reference. May 2013.
Available from www.emedicine.medscape.com
7. Hochman JS, Ingbar D. Cardiogenic Shock and Pulmonary Edema ; in Kasper
DL et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. McGraw-Hill inc. USA ;
2005
8. Khalid L, Dhakam SH. A Review of Cardiogenic Shock In Acute Myocardial
Infarction. Current Cardiology Review. Pakistan ; 2008
9. Kruger W, Ludman A. Acute Heart Failure. Birkhauser. p72-85. Berlin ; 1997
10. Antman EM, ST-Elevation Myocard Infarc Management. In Libby P et al.
Braunwald's Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine, 8th ed.
Saunders. Philadelphia ; 2008
11. Reynolds HR, Hochman JS. Cardiogenic shock: current concepts and
improving outcomes. Circulation. Feb 5 2008;117(5):686-97
12. Alwi Idrus, Nasution SA. Syok Kardiogenik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI, 2007.
13. Mattu A, Martinez JP, Kelly BS. Modern management of cardiogenic
pulmonary edema. Emerg Med Clin N Am. 2005;23:1105-25.

26
14. Ware LB, Matthay MA. Acute pulmonary edema. N Engl J Med.
2005;353:2788-96.
15. Nendrastuti H, Mohamad S. Edema paru akut, kardiogenik dan non
kardiogenik. Majalah Kedokteran Respirasi. 2010;1(3):10.
16. Majoli F, Monti L, Zanierato M, Campana C, Mediani S, Tavazzi L, et al.
Respiratory fatigue in patients with acute cardiogenic pulmonary edema. Eur
Heart J. 2004;6: F74-80.
17. Murray JF. Pulmonary edema: pathophysiology and diagnosis. Int J Tuberc
Lung Dis. 2011;15(2):155-160.
18. Harun S dan Sally N. EdemParuAkut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, SetiatiS,editor. BukuAjarIlmuPenyakitDalam 5th ed.
Jakarta:
PusatPenerbitanDepartemenIlmuPenyakitDalamFakultasKedokteranUniversit
as Indonesia. p. 1651-3.
19. Soewondo A, Amin Z. Edema Paru.Dalam: Soeparman, Sukaton U, Waspadji
S, et al, Ed. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 1998;
767-72.
20. Gribert FA, Bayat S. Pulmonary edema (Including ARDS). In: Douglas S,
Anthoni S, Leitch AG, Crofton, Editors. Respiratory Disease. Vol II. Blackwell
Science. London. 2000; 383-87.
21. ESC. 2012. Guideline for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic
Heart Failure 2012. European Heart Journal. 2012;33:1787-47.
22. Pusbankes 118. Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD), Basic
Trauma and Cardiac Support (BTCLS). Yogyakarta: Persi DI; 2013.

27

Anda mungkin juga menyukai