Anda di halaman 1dari 47

Seorang yang mengamalkan sifat Al-Muqsith (Allah Yang Maha Mengadili), maka dalam setiap

langkah kehidupannya akan mencerminkan perbuatan yang adil dengan senantiasa mengingat
keadilan Allah, berusaha memahami segala aturan yang ditetapkan Allah (alim), senantiasa
konsisten (istiqomah), untuk menerapkan hukum-hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan
tanpa memilah dan memilih, senantiasa memberikan hak adami (rahmah) kepada sesama
manusia ataupun makhluk lain tanpa pilih kasih terhadap siapapun walaupun terhadap musuh
sekalipun.
Seorang yang mengamalkan sifat Al-Warits (Allah Yang Maha Mewarisi), maka dalam setiap
langkah kehidupannya akan mencerminkan keikhlasan terhadap apa yang diberikan Allah, selalu
mengingat kebesaran Allah, memberikan yang terbaik (ihsan) kepada yang berhak menerimanya,
mendidik dan memperdayakan (tarbiyah) kemampuan oarang yang membutuhkan,
memperhitungkan (hisab) segala kemungkinan manfaat ataupun madharat yang akan terjadi
kepada sesamanya, memberikan shadaqah yang berguna yang menjadi kebutuhan pokok bagi
kehidupan manusia.
Seorang yang mengamalkan sifat An-Naafi’u (Allah Yang Maha Pemberi Manfaat), maka dalam
setiap langkah kehidupannya akan mencerminkan selalu mensyukuri segala nikmat Allah,
berbuat hal yang dapat memberikan manfaat kepada sesamanya, mengusahakan (ikhtiar) segala
bentuk manfaat yang diperlukan sesamanya, menolong (ta’awun) dengan segala tindakan
ataupun bantuan yang manfaat bagi kehidupan sesamanya sesuai dengan kemampuannya, dan
menjauhkan segala bentuk mafsadat yang dapat menyengsarakan kehidupan manusia.
Seorang yang mengamalkan sifat Al-Baasith (Allah Yang Maha Melapangkan), maka dalam
setiap langkah kehidupannya akan mencerminkan selalu mengingat pemberian Allah kepada
hamba-Nya yang tiada terhingga, memberikan pencerahan hati dan pikiran bagi sesama manusia,
memberikan kesempatan bagi manusia untuk meniti jalan kebenaran dan kesuksesan, menolong
kehidupan manusia dengan segala sesuatu yang berguna dalam kehidupannya, membantu
meringankan segala beban dan rintangan serta hambatan yang menganggu kehidupan manusia.
Seorang yang mengamalkan sifat Al-Hafiidz (Allah Yang Maha Menjaga), maka dalam setiap
langkah kehidupannya akan mencerminkan selalu mengingat pertolongan Allah terhadap hamba-
Nya dengan keyakinan bahwa Allah akan selalu menyertai dan menolong hamba-hamba yang
istiqomah dalam menapak jalan kebenaran, selalu membimbing sesama manusia agar selalu
berada di jalan ketaatan yang diperintahkan, giat dan semangat beramar ma’ruf dan nahi munkar
dalam berbagai situasi dan keadaan, meringankan beban sesama makhluk untuk melakukan
ketaatan, membebaskan sesama manusia dari segala kemungkinan yang menyesatkan
kehidupannya.
Seorang yang mengamalkan sifat Al-Wali (Allah Yang Maha Melindungi), maka dalam setiap
langkah kehidupannya akan mencerminkan selalu mengingat Allah yang tak terbatas dan
memohon agar selalu dalam lindungannya, berusaha memberikan segala sesuatu yang menjadi
kebutuhan hidup sesama manusia, membimbing manusia agar tidak terbujuk dengan godaan
syetan, meringankan sesama manusia dari segala cobaan, musibah ataupun ujian yang
menimpanya, membangkitkan kesadaran sesama manusia untuk selalu dekat dengan Allah swt.
Seorang yang mengamalkan sifat Al-Waduud (Allah Yang Maha Pengasih), maka dalam setiap
langkah kehidupannya akan mencerminkan selalu mengingat kasih sayang Allah terhadap semua
makhluk-Nya, senantiasa memberikan apa yang dibutuhkan sesama manusia, memberikan
perhatian dan kasih sayang pada sesama manusia dan tidak membeda-bedakan satu sama lainnya
sebab hanya Allah-lah yang paling mengetahui hati hamba-hambanya, menghormati dan
menghargai harkat dan martabat kemanusiaan dan menjujung tinggi kehormatan manusia.
Seorang yang mengamalkan sifat Ar-Roofi’ (Allah Yang Maha Meninggikan), maka dalam setiap
langkah kehidupannya akan mencerminkan selalu mngingat kekuasaan Allah terhadap hamba-
Nya, hanya Allah-lah yang berhak meninggikan derajat manusia dan Dia pula yang berhak
merendahkan, senantiasa menghargai usaha (ikhtiar) yang dilakukan setiap manusia, menjunjug
tinggi prinsip keadilan, memberikan penghormatan yang semestinya terhadap sesamanya,
memberikan bimbingan terbaik untuk mencapai prestasi yang diciptakan, selalu mendukung
untuk meraih kesuksesan hidup di dunia dan akhirat.
Seorang yang mengamalkan sifat Al-Mu’izzu (Allah Yang Maha Memuliakan), maka dalam
setiap langkah kehidupannya akan mencerminkan selalu mengingat kemuliaan dan keagungan
Allah, senantiasa menunjukkan keutamaan manusia apabila dibandingkan dengan makhluk
lainnya, mengarahkan sesama manusia untuk menampilkan akhlakul karimah, mengingatkan
manusia yang mengabaikan harga dirinya, membantu manusia untuk kembali kepada kesadaran
fitrahnya, bergaul dengan sesama sesuai teladan Rasulullah, menjaga harkat dan martabat
kemanusiaan.
Seorang yang mengamalkan sifat Al-Afuww (Allah Yang Maha Pemaaf), maka dalam setiap
langkah kehidupannya akan mencerminkan selalu mengingat akan harapan ampunan Allah
terhadap hamba-Nya sehingga tidak mudah putus asa, senantiasa beristighfar, bertasbih,
bertakbir, dan bertahmid dengan menyadari segala kesalahan yang telah dilakukan, memperbaiki
segala dosa, khilaf dan kesalahan bahkan perbuatan keji yang diperbuat, segera melakukan
kebaikan untuk menutupi keburukan, senantiasa memohon ampunan kepada Allah, suka
memberi maaf terhadap kesalahan orang lain, tidak segan meminta maaf kepada orang lain atas
kesalahan ataupun kekhilafan yang dilakukan dan senantiasa berusaha untuk mendapatkan
ampunan dari Allah swt.
C. Contoh Nilai Positif dari Husnudzan
1. Husnudzan kepada Allah
- Selalu optimis terhadap apa yang ia lakukan karena iya yakin Allah SWT akan membantunya.
- Selalu teguh, sabar, dan percaya diri bahwa urusannya pasti berhasil.
- Senantiasa bertawakal dan berdo'a kepada Allah SWT supaya diberi pertolongan-Nya.
- Tidak mudah putus asa, tetap berusaha dan oabtang menyerah.
- Jika terlanjur berbuat dosa segera bertaubat dan memohon ampun kepada Allah SWT.
2. Husnudzan kepada diri sendiri
- Pantang menyerah dan gigih
- Tudak putus asa dalam melakukan urusannya.
- Berinisiatif " merupakan sikap yang dilakukan tanpa perintah dari orang lain untuk
mengerjakannya". Contoh : kreatif dan tidak mudah putus asa.
- Rela berkorban
3. Husnudzan kepada sesama
- Merupakan sikap yang dilakukan dengan sesama muslim agar tercipta keamanan dan
ketentraman dengan selalu berperasangka baik kedepannya. Sikap ini ditunjukan dengan rasa
senang, berpikir positif, menjaga hak-hak orang lain, membebaskan umat beragama untuk
beribada, dan saling menghargai antar sesamanya.
D. Dampak positif dari Husnudzan
- Hubungan persaudaraan lebih harmonis atau lebih baik.
- Terhindar dari penyesalan dalam hubungan dengan sesama manusia.
- Selalu bahagia atas kebahagiaan orang lain.
- Meningkat kadar keimanannya.
- Selalu mendapat pertolongan dan kemudahan hidup dari Allah SWT.
- Husnuudzan akan mendatangkan ketentraman lahir batin.
- Orang yang memiliki sikap husnudzan kepada Allah SWT, menunjukan bahwa ia telah
memiliki jiwa yang takwa, sabar, tabah dan tawakal.
- Orang yang memiliki sikap husnudzan kepada Allah SWT akan senantiasa dicintai oleh Allah
SWT, karena ia senantiasa menerima apa saja yang telah dilimpahkan kepadanya.
- Orang yang memiliki husnudzan kepada sesama manusia akan senantiasa dicintai oleh sesama,
karena orang lain tidak pernah dirugikan oleh dirinya.
- Sikap husnudzan akan menjauhkan seseorang dari perbuatan keluh kesah, iri, dengki,
memfitnah, mengadu domba, dendam dan menggunjing.
Pengertian Ilmu Kalam
Secara etimologi, kalam berasal dari bahasa Arab yang artinya pembicaraan.Namun demikian,
ilmu kalam tidak dapat diartikan begitu saja sebagai ilmu yang berkaitan dengan
pembicaraan.Lebih tepatnya secara etimologi, ilmu kalam diartikan sebagai ilmu yang
membahas tentang pembicaraan yang di dalamnya terdapat logika atau nalar berpikir.

Sementara definisi ilmu kalam menurut terminology adalah salah satu cabang keilmuan Islam
yang membahas tentang cara menetapkan kepercayaan atau keimanan terhadap agama (baca:
Islam) menggunakan bukti-bukti yang telah meyakinkan. Dari definisi ini dapat disimpulkan
bahwa pembahasan dalam ilmu kalam ini tidak jauh dari segi keimanan (rukun iman). Maka dari
itu tidak salah jika beberapa ahli menamai ilmu kalam ini dengan nama ilmu Aqa’id ataupun
ilmu Ushuluddin.

Salah satu tokoh Islam yang mengungkapkan pemikirannya tentang arti dari ilmu kalam ini
adalah Ibn Khaldun. Menurutnya, ilmu kalam merupakan keilmuan yang di dalamnya memuat
argumen atau dalil yang bersifat rasional untuk digunakan sebagai pembelaan terhadap akidah
yang diimani, dan memuat pengelakan terhadap golongan yang menyimpang dari mazhab yang
benar serta ahli sunnah.
Fungsi Ilmu Kalam
Dari beberapa fungsi yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan secara umum fungsi dalam
mempelajari ilmu kalam adalah untuk menjadi dasar atau fondasi bagi keimanan kaum muslimin
agar tidak mudah goyah dengan adanya goncangan akidah, serta tidak mudah untuk tersesat
dengan akulturasi budaya yang seringkali mengaburkan ajaran Islam.

1. Hubungan Ilmu Kalam Dengan Filsafat, Dan Tasawuf


Ilmu kalam, filsafat dan tashawuf mempunyai memiliki kemiripan obyek kajian. Objek kajian
ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Objek kajian
filsafat adalah masalah ketuhanan di samping masalah alam, manusia dan segala sesuatu yang
ada. Sementara itu objek kajian tashawuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan
terhadap-Nya. Jadi, dilihat dari aspek obyek ketiga ilmu itu membahas yang berkaitan dengan
ketuhanan.

Baik ilmu kalam, filsafat maupun tashawuf berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran.
Ilmu kalam dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan dan berkaitan
dengan-Nya. Filsafat dengan wataknya sendiri pula berusaha menghampiri kebenaran baik
tentang alam maupun manusia atau tentang Tuhan. Sementara itu tashawuf dengan metodenya
yang tipikal berusaha menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan kebenaran spiritual menuju
Tuhan.

ALIRAN-ALIRAN ILMU KALAM DAN DOKTRIN-DOKTRINNYA

A. Aliran Khowarij
1. Pengertian
Khowarij secara bahasa diambil dari Bahasa Arab khowaarij, secara harfiah berarti mereka yang
keluar. Istilah khowarij adalah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam islam yang
pada awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib lalu menolaknya. Pertama kali muncul
pada pertengahan abad ke-7, berpusat di daerah yang kini terletak di bagian negara Irak Selatan
dan merupakan bentuk yang berbeda dari kaum sunni dan syiah. Disebut atau dinamakan
khawarij karena keluarnya mereka dari kepemimpinan Khalifah Ali Bin Abi Thalib.
Kebanyakan dari kaum Khawarij adalah Arab dusun yang tinggal di kawasan pegunungan dan
karena itu hidup dengan sangat sederhana. Mereka sangat keras hati tetapi amat taat menjalankan
agama. Karena pemikirannya yang sederhana, Khawarij mengartikan Al Qur’an benar-benar
secara tekstual; tetapi betapapaun beratnya mereka toh melaksanakannya.
Aliran Khawarij dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang
keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang
telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh
Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin (37H/657).
3. Doktrin Ajaran
Secara umum, ajaran-ajaran pokok golongan ini adalah kaum muslimin yang berbuat dosa besar
adalah kafir. Kemudian, kaum muslimin yang terlibat dalam perang jamal, yakni perang antara
Aisyiah, Thalhah, dan dan Zubair melawan Ali bin Abi Thalib dihukumi
kafir. Kaum Khawarij memutuskan untuk membunuh mereka berempat tetapi hanya berhasil
membunuh Ali. Menurut mereka Khalifah harus dipilih rakyat serta tidak harus dari keturunan
Nabi Muhammad SAW dan tidak mesti keturunan Quraisy. Jadi, seorang muslim dari golongan
manapun bisa menjadi kholifah asalkan mampu memimpin dengan benar.
a. Setiap ummat Muhammad yang terus menerus melakukan dosa besar hingga matinya belum
melakukan tobat, maka dihukumkan kafir serta kekal dalam neraka.
b. Membolehkan tidak mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila kepala negara tersebut khianat
dan zalim.
c. Ada faham bahwa amal soleh merupakan bagian essensial dari iman. Oleh karena itu, para
pelaku dosa besar tidak bisa lagi disebut muslim, tetapi kafir. Dengan latar belakang watak dan
karakter kerasnya, mereka selalu melancarkan jihad (perang suci) kepada pemerintah yang
berkuasa dan masyarakat pada umumnya.
d. Keimanan itu tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalahnya sendiri.
Namun demikian, karena pada umumnya manusia tidak bisa memecahkan masalahnya, kaum
Khawarij mewajibkan semua manusia untuk berpegang kepada keimanan, apakah dalam berfikir,
maupun dalam segala perbuatannya. Apabila segala tindakannya itu tidak didasarkan kepada
keimanan, maka konsekwensinya dihukumkan kafir.
Dengan mengutip beberapa ayat Al-Quran, mereka berusaha untuk mempropagandakan
pemikiran-pemikiran politis yang berimplikasi teologis itu, sebagaimana tercermin di bawah ini :
a. Mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar; sedangkan Usman dan Ali, juga orang-orang
yang ikut dalam “Perang Unta”, dipandang telah berdosa.
b. Dosa dalam pandangan mereka sama dengan kekufuran. Mereka mengkafirkan setiap pelaku
dosa besar apabila ia tidak bertobat. Dari sinilah muncul term “kafir” dalam faham kaum
Khawarij.
c. Khalifah tidak sah, kecuali melalui pemilihan bebas diantara kaum muslimin. Oleh karenanya,
mereka menolak pandangan bahwa khalifah harus dari suku Quraisy.
d. Ketaatan kepada khalifah adalah wajib, selama berada pada jalan keadilan dan kebaikan. Jika
menyimpang, wajib diperangi dan bahkan dibunuhnya.
e. Mereka menerima Al Qur’an sebagai salah satu sumber diantara sumber-sumber hukum Islam.
f. Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Ustman) adalah sah, tetapi setelah tahun ke-7
kekhalifahannya Utsman r.a. dianggap telah menyeleweng.
g. Khalifah Ali adalah sah, tetapi setelah terjadi arbitras (tahkim) ia dianggap telah menyeleweng.
h. Mu’awiyah dan Amr bin Al-Asy dan Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan
telah menjadi kafir.
Selain pemikiran-pemikiran politis yang berimplikasi teologis, kaum Khawarij juga memiliki
pandangan atau pemikiran (doktrin-doktrin) dalam bidang sosial yang berorientasi pada teologi,
sebagaimana tercermin dalam pemikiran-pemikiran sebagai berikut :
a. seorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim, sehingga harus dibunuh. Yang sangat
anarkis lagi, mereka menganggap seorang muslim bisa menjadi kafir apabila tidak mau
membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus
dilenyapkan pula.
b. Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka, bila tidak ia wajib
diperangi karena dianggap hidup di negara musuh, sedangkan golongan mereka dianggap berada
dalam negeri islam,
c. Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng,
d. Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk kedalam surga, sedangkan orang yang
jahat harus masuk neraka),
e. Amar ma’ruf nahi munkar,
f. Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari tuhan,
g. Qur’an adalah makhluk,
h. Memalingkan ayat-ayat Al Qur’an yang bersifat mutasyabihat (samar)
Jadi secara umum pokok ajaran aliran Khawarij adalah
a. Orang Islam yang melakukan Dosa besar adalah kafir; dan harus di bunuh.
b. Orang-orang yang terlibat dalam perang jamal (perang antara Aisyah, Talhah, dan zubair,
dengan Ali bin abi tahAlib) dan para pelaku tahkim—termasuk yang menerima dan
mambenarkannya – di hukum kafir;
c. Khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat.
d. Khalifah tidak harus keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi
Khalifah apabila suda memenuhi syarat-syarat.
e. Khalifah di pilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan
syari’at islam, dan di jatuhi hukuman bunuh bila zhalim.
f. Khalifah sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya
Usman r.a dianggap telah menyeleweng,
g. Khalifah Ali dianggap menyelewang setelah terjadi Tahkim (Arbitrase).
4. Tokoh
a. 'Abdullah bin Wahhab ar-Rasyidi
b. Urwah bin Hudair
c. Mustarid bin Sa'ad
d. Hausarah al-Asadi
e. Quraib bin Maruah
f. Nafi' bin al-Azraq
g. 'Abdullah bin Basyir
h. Najdah bin Amir al-Hanafi

B. Aliran Murji’ah
1. Pengertian
Kata Murji’ah berasal dari kata bahasa Arab arja’a, yarji’u, yang berarti menunda atau
menangguhkan. Salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada abad pertama Hijriyah.
Pendirinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi Syahristani menyebutkan dalam bukunya Al-Milal
wa an-Nihal (buku tentang perbandingan agama serta sekte-sekte keagamaan dan filsafat) bahwa
orang pertama yang membawa paham Murji’ah adalah Gailan ad-Dimasyqi.
Aliran ini disebut Murji’ah karena dalam prinsipnya mereka menunda penyelesaian persoalan
konflik politik antara Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Khawarij ke hari
perhitungan di akhirat nanti. Karena itu mereka tidak ingin mengeluarkan pendapat tentang siapa
yang benar dan siapa yang dianggap kafir diantara ketiga golongan yang tengah bertikai tersebut.
Menurut pendapat lain, mereka disebut Murji’ah karena mereka menyatakan bahwa orang yang
berdosa besar tetap mukmin selama masih beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Adapun
dosa besar orang tersebut ditunda penyelesaiannya di akhirat. Maksudnya, kelak di akhirat baru
ditentukan hukuman baginya.
Persoalan yang memicu Murji’ah untuk menjadi golongan teologi tersendiri berkaitan dengan
penilaian mereka terhadap pelaku dosa besar. Menurut penganut paham Murji’ah, manusia tidak
berhak dan tidak berwenang untuk menghakimi seorang mukmin yang melakukan dosa besar,
apakah mereka akan masuk neraka atau masuk surga. Masalah ini mereka serahkan kepada
keadilan Tuhan kelak. Dengan kata lain mereka menunda penilaian itu sampai hari pembalasan
tiba.
Paham kaum Murji’ah mengenai dosa besar berimplikasi pada masalah keimanan seseorang.
Bagi kalangan Murji’ah, orang beriman yang melakukan dosa besar tetap dapat disebut orang
mukmin, dan perbuatan dosa besar tidak mempengaruhi kadar keimanan. Alasannya, keimanan
merupakan keyakinan hati seseorang dan tidak berkaitan dengan perkataan ataupun perbuatan.
Selama seseorang masih memiliki keimanan didalam hatinya, apapun perbuatan atau
perkataannya, maka ia tetap dapat disebut seorang mukmin, bukan kafir. Murji’ah mengacu
kepada segolongan sahabat Nabi SAW, antara lain Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqas,
dan Imran bin Husin yang tidak mau melibatkan diri dalam pertentangan politik antara Usman
bin Affan (khalifah ke-3; w. 656) dan Ali bin Abi Thalib (khalifah ke-4; w. 661).
Dalam perkembanganya, golongan ini ternyata tidak dapat melepaskan diri dari persoalan
teologis yang muncul di zamannya. Waktu itu terjadi perdebatan mengenai hukum orang yang
berdosa besar. Kaum Murji’ah menyatakan bahwa orang yang berdosa besar tidak dapat
dikatakan sebagai kafir selama ia tetap mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya dan Muhammad
SAW sebagai rasul-Nya. Pendapat ini merupakan lawan dari pendapat kaum Khawarij yang
mengatakan bahwa orang Islam yang berdosa besar hukumnya adalah kafir.
Golongan Murji’ah berpendapat bahwa yang terpenting dalam kehidupan beragama adalah aspek
iman dan kemudian amal. Jika seseorang masih beriman berarti dia tetap mukmin, bukan kafir,
kendatipun ia melakukan dosa besar. Adapun hukuman bagi dosa besar itu terserah kepada
Tuhan, akan ia ampuni atau tidak. Pendapat ini menjadi doktrin ajaran Murji’ah.
3. Doktrin Ajaran
Doktrin-doktrin aliran Murji’ah bisa diketahui dari makna yang terkandung
dalam “murji’ah” dan dalam sikap netralnya. Pandangan“netral” tersebut, nampak pada
penamaan aliran ini yang berasal dari kata “arja’a”, yang berarti orang yang
menangguhkan, mengakhirkandan memberi pengharapan. Menangguhkan berarti menunda soal
siksaan seseorang ditangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan, dia akan langsung masuk
surga. Jika sebaliknya, maka akan disiksa sesuai dengan dosanya.
Istilah “memberi harapan” mengandung arti bahwa, orang yang melakukan maksiat padahal ia
seorang mukmin, imannya masih tetap sempurna. Sebab, perbuatan maksiat tidak mendatangkan
pengaruh buruk terhadap keimanannya, sebagaimana halnya perbuatan taat atau baik yang
dilakukan oleh orang kafir, tidak akan mendatangkan faedah terhadap kekufurannya. Mereka
“berharap” bahwa seorang mukmin yang melakukan maksiat, ia masih dikatakan mukmin.
Menurut Harun Nasution menyebutkan, bahwa Murji’ah memiliki empat ajaran pokok, yaitu :
a. Menunda hukuman atas Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ari yang
terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
b. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
c. Meletakkan (pentingnya) iman dari amal.
d. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan
rahmat dari Allah.
4. Tokoh
a. Abu Hasan Ash-Shalihi
b. Yunus bin An-Namiri
c. Ubaid Al-Muktaib
d. Ghailan Ad-Dimasyq
e. Bisyar Al-Marisi
f. Muhammad bin Karram
5. Sekte
Kaum Murji’ah pecah menjadi beberapa golongan kecil. Namun, pada umumnya
Aliran Murji’ah menurut Harun Nasutuion, terbagi kepada dua golongan besar, yakni “golongan
moderat” dan “golongan ekstrim”.
a. Golongan Murji’ah moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan
tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum sesuai dengan besar kecilnya dosa yang
dilakukan.
b. Golongan Murji’ah ekstrim, yaitu pengikut Jaham Ibnu Sofwan, berpendapat bahwa orang
Islam yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah
menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati. Bahkan, orang yang menyembah
berhala, menjalankan agama Yahudi dan Kristen sehingga ia mati, tidaklah menjadi kafir. Orang
yang demikian, menurut pandangan Allah, tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna
imannya.
Golongan ekstrim dalam Murji’ah terbagi menjadi empat kelompok, yaitu :
1) Al-Jahmiyah, kelompok Jahm bin Syafwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa orang
yang percaya kepada tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir
karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
2) Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui
tuhan, sedangkan kufur tidak tahu tuhan. Sholat bukan merupakan ibadah kepada Allah, yang
disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahui tuhan. Begitu pula zakat, puasa
dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
3) Yumusiah dan Ubaidiyah, melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan
jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan jahat yang
dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini Muqatil bin Sulaiman
berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak merusak iman seseorang sebagai
musyrik.
4) Hasaniyah, jika seseorang mengatakan “saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya
tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”, maka orang tersebut tetap
mukmin, bukan kafir

C. Aliran Syi’ah
1. Pengertian
Istilah Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah Syī`ī.
Syi'ah adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali artinya "pengikut Ali", yang
berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW
bersabda: "Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali anta
wa syi'atuka humulfaaizun)
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu
juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara.
Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu
Thalib sangat utama di antara parasahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk
kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau.
Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber
pengetahuan terbaik tentang Qur'an danIslam, guru terbaik tentang Islam setelah
Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.
Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan
menantu Muhammad dan kepala keluargaAhlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi
Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh MuslimSunni. Muslim
Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan perintah
Nabi berarti wahyu dari Allah.
Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang
tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al Qur’an , Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-
hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul
Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.
Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga
dikenal dengan Khalifah Ilahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam
Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.
2. Latar Belakang
Mengenai latar belakng munculnya aliran Syi’ah, terdapat dua pendapat ;
a. Menurut Abu Zahrah
Syi’ah mulai muncul pada akhir dari masa jabatan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan
berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, Adapun
b. Menurut Mongomary Watt
Syi’ah muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal
denganPerang siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan ali terhadap
arbitrase yang diatwarkan Mu’awiyah, pasukan Ali di ceritakan terpecah menjadi dua, satu
kelompok mendukung sikap Ali, kelak di sebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali,
kelak di sebut Khawarij.
Secara historis, akar aliran Syi’ah terbentuk segera setelah kematian Nabi Muhammad, yakni
ketika Abu Bakar terpilih sebagai khalifah pertama pada pertemuan tsaqifah yang
diselenggarakan di Dar al-Nadwa, di Madinah. Pemilihan tersebut dilaksanakan secara tergesa-
gesa sebagai wujud persaingan antara kelompok Anshar dan Muhajirin yang sempat mengancam
perpecahan Islam. Dalam pertemuan itu Ali tidak hadir karena sibuk mengurus jenazah Nabi.
Pada waktu itu usia Ali 30 tahun, di mana bangsa Arab menjadikan usia sebagai syarat penting
kecakapan dalam kepemimpinan, meskipun secara historis terdapat sejumlah pengecualian akan
hal tersebut. Tetapi pengikut Ali, pada saat itu, merasa bahwa klaim mereka telah direbut secara
tidak adil.
Selanjutnya Umar ditunjuk oleh Abu Bakar sebagai penggantinya, menjadi khalifah kedua yang
kemudian dilanjutkan oleh Usman. Setelah Usman terbunuh oleh pemberontak yang
mengatasnamakan diri mereka sebagai anti depotisme keluarga Umayah, Ali kemudian diangkat
menjadi khalifah keempat pada tahun 35H/656M.
Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa peristiwa pembunuhan khalifah ke-3 Usman Bin Affan,
telah melahirkan rentetan sejarah yang sangat panjang dan membawa dampak pada khalifah
setelahnya, Ali bin Abi Thalib. Di antaranya adalah penolakan Muawiyah, gubernur Damaskus
atas Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, dengan alasan bahwa Ali tidak melakukan pengusutan
terhadap pembunuhan Usman. Ketegangan antara Ali dan Muawiyah ini berbuntut dengan
terjadinya perang Siffin yang berakhir dengan peristiwa arbitrase (tahkim), yang dianggap
sebagai titik temu penyelesaian persengketaan yang terjadi antara khalifah (Ali Bin Abi Thalib)
dengan Muawiyah.
Namun peristiwa itu justru melahirkan berbagai reaksi dan aksi, seiring dengan tidak bisanya
menyatukan pemikiran dan pendapat dari masing-masing kelompok. Pada akhirnya membuat
umat menjadi bagian-bagian (firqah-firqah). Sejarah mencatat, bermula dari perpecahan politik
ini, pada kelanjutannya melahirkan aliran-aliran teologi dalam Islam.
Aliran yang paling terkenal dengan peristiwa ini adalah Khawarij yang muncul sebagai pasukan
yang keluar dari barisan Ali atau memisahkan diri sebagai bentuk protes terhadap keputusan Ali
dan pada saat yang bersamaan juga muncul satu golongan yang tetap setia mendukung Ali bin
Abi Thalib, yang pada berikutnya terkenal dengan nama Syi’ah, yang dalam perekembangnya
hadir sebagai sebuah aliran yang memiliki konsep dan ajaran tersendiri.
Dalam perkembangannya, Syi’ah dapat diterima oleh banyak kalangan namun dengan banyak
perbedaan dan perpecahan yang melahirkan sekte yang tidak sedikit dalam Syi’ah itu sendiri.
Tetapi sekalipun Syi’ah terpecah kepada beragam sekte, namun mereka mempunyai keyakinan
yang sama pada umumnya, yang merupakan ciri Syi’ah secara menyeluruh.
3. Doktrin Ajaran
Dalam Syi'ah terdapat apa yang namanya ushuluddin (pokok-pokok agama)
dan furu'uddin (masalah penerapan agama). Syi'ah memiliki Lima Ushuluddin:
a. Tauhid, bahwa Allah SWT adalah Maha Esa.
b. Al-‘Adl, bahwa Allah SWT adalah Maha Adil.
c. An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan Syi'ah meyakini keberadaan para nabi sebagai pembawa
berita dari Tuhan kepada umat manusia
d. Al-Imamah, bahwa Syiah meyakini adanya imam-imam yang senantiasa memimpin umat
sebagai penerus risalah kenabian.
e. Al-Ma'ad, bahwa akan terjadinya hari kebangkitan.
Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Qur’an yang menginformasikan bahwa
Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang Bathin [QS. Al Hadid (57) :3]. Allah
tidak terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini atau akan
datang). Dimensi ketuhanan ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Qur’an yang
menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan
Takdir.
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang Bathin [QS. Al Hadid (57) :3]. Allah
tidak terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini atau akan
datang). Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya
(takdirnya) [QS. Al-Furqaan (25) :2] Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala
sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab,
sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah [QS. Al-Hajj (22) :70] Dia menciptakan apa yang
dikehendaki-Nya [QS. Al-Maa'idah (5) :17] Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi
petunjuk kepadamu semuanya [QS. Al-An'am (6) :149] Allah menciptakan kamu dan apa yang
kamu perbuat [QS. As-Safat (37) :96] Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan
[QS. Luqman (31) :22]. Allah yang menentukan segala akibat. Dia (Allah) telah menciptakan
segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya (takdirnya) [QS. Al-Furqaan (25) :2]Apakah
kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi.
Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah [QS.
Al-Hajj (22) :70] Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya [QS. Al-Maa'idah (5) :17] Kalau
Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya [QS. Al-An'am (6)
:149] Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat [QS. As-Safat (37) :96] Dan hanya
kepada Allah-lah kesudahan segala urusan [QS. Luqman (31) :22]. Allah yang menentukan
segala akibat. nabi sama seperti muslimin lain.
I’tikadnya tentang kenabian ialah:
a. Jumlah nabi dan rasul Allah ada 124.000.
b. Nabi dan rasul terakhir ialah Nabi Muhammad SAW.
c. Nabi Muhammad SAW suci dari segala aib dan tiada cacat apa pun. Ialah nabi paling utama
dari seluruh Nabi yang ada.
d. Ahlul Baitnya, yaitu Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan 9 Imam dari keturunan Husain adalah
manusia-manusia suci.
e. Al Qur’an ialah mukjizat kekal Nabi Muhammad SAW.
4. Tokoh
a. Abu Dzar al Ghiffari
b. Miqad bin Al aswad
c. Ammar bin Yasir
5. Sekte
Syi'ah terpecah menjadi 22 sekte. Dari 22 sekte itu, hanya tiga sekte yang masih ada sampai
sekarang, yakni:
a. Dua Belas Imam
Disebut juga Imamiah atau Itsna 'Asyariah (Dua Belas Imam); dinamakan demikian sebab
mereka percaya yang berhak memimpin muslimin hanya imam, dan mereka yakin ada dua belas
imam. Aliran ini adalah yang terbesar di dalam Syiah. Urutan imam mereka yaitu:
1) Ali bin Abi Thalib (600-661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2) Hasan bin Ali (625-669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3) Husain bin Ali (626-680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4) Ali bin Husain (658-713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5) Muhammad bin Ali (676-743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6) Jafar bin Muhammad (703-765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
7) Musa bin Ja'far (745-799), juga dikenal dengan Musa al-Kadzim
8) Ali bin Musa (765-818), juga dikenal dengan Ali ar-Ridha
9) Muhammad bin Ali (810-835), juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad at
Taqi
10) Ali bin Muhammad (827-868), juga dikenal dengan Ali al-Hadi
11) Hasan bin Ali (846-874), juga dikenal dengan Hasan al-Asykari
12) Muhammad bin Hasan (868-), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi
b. Ismailiyah
Disebut juga Tujuh Imam; dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh
orang dari 'Ali bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma'il. Urutan
imam mereka yaitu:
1) Ali bin Abi Thalib (600-661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2) Hasan bin Ali (625-669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3) Husain bin Ali (626-680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4) Ali bin Husain (658-713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5) Muhammad bin Ali (676-743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6) Ja'far bin Muhammad bin Ali (703–765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
7) Ismail bin Ja'far (721 – 755), adalah anak pertama Ja'far ash-Shadiq dan kakak Musa al-Kadzim.
c. Zaidiyah
Disebut juga Lima Imam; dinamakan demikian sebab mereka merupakan pengikut Zaid bin 'Ali
bin Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Mereka dapat dianggap moderat karena tidak menganggap
ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak sah. Urutan imam mereka yaitu:
1) Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2) Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3) Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4) Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5) Zaid bin Ali (658–740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin
Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baq

D. Aliran Jabariyah
1. Pengertian
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di
dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang
mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah
adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah
menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah.
Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan
manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa
setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan
oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam
berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah
aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.
Menurut catatan sejarah, paham jabariyah ini di duga telah ada sejak sebalum agama Islam
datangke masyarakat arab. Kehidupan bangsa arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah
memberikan pengaruh besar terhadap hidup mereka, dengan keadaan yang sangat tidak
bersahabat dengan mereka pada waktu itu. Hal ini kemudian mendasari mereka untuk tidak bisa
berbuat apa-apa, dan menyebankan mereka semata-mata tunduk dan patuh kepada kehendak
tuhan.
2. Latar Belakang
Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih.
Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah.
Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika
berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan. Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini
menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm bin Safwan, yang bersamaan dengan
munculnya aliran Qadariayah.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama
Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara
telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik
matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan
kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput
yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyatalkat arab tidak melihat jalan
untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka
merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung
dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.
3. Doktrin Ajaran
Adapun ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan berdasarkan menjadi dua kelompok, yaitu
ekstrim dan moderat.
a. Aliran ekstrim.
Diantara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendaptnya adalah bahwa manusia tidak
mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri,
dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal
dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan,
meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan yang
kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan
dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam
Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara,
mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat
kelak. Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.
Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Al Qur’an adalah
makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai
sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa
oleh Allah dalam segala hal.
Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak
berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan
kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan
manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang
diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
b. Aliran Moderat
Menurut Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia
mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek
untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang
dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh
perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin
Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia,
tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan
Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya)
pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan
oleh dua pihak.
Dasar pemahaman pada aliran jabariyah ini dijelaskan Al Qur’an diantaranya :
QS. Al-saffat; 96
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
QS. Al Insan; 30
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah”.
Selain ayat-ayat Al Qur’an di atas, benih-benih faham Jabariyah juga dapat dilihat dalam
beberapa peristiwa sejarah:
a. Suatu ketika Nabi menjumpai sabahatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir
Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari
kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika ditntrogasi,
pencuri itu berkata "Tuhan telah menentukan aku mencuri". Mendengar itu Umar kemudian
marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua
jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena mencuri dan hukuman
dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c. Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa
dan pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila perjalanan (menuju perang siffin) itu terjadi dengan
qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya”.Kemudian Ali menjelaskannya
bahwa Qadha dan Qadha Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan siksa akan didapat
berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan
siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah, dan tidak pujian bagi orang yang baik dan tidak ada
celaan bagi orang berbuat dosa.
d. Adanya paham Jabariyah telah mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang
tumbuh berkembang di Syiria.
4. Tokoh
a. Jahm bin Shafwan
b. Al-Ja’ad Bin Dirham
c. Husain Bin Muhammad Al Najjar
d. Dirar Ibn ‘Amr.

E. Aliran Qadariyah
1. Pengertian
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang
bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang
percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini
berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat
sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas
kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya.
Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia menusia
mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian
bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Menurut Ahmad Amin, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan
bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan
perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan
buruk.
2. Latar Belakang
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan
sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang
mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-
Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin,
aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama
Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan,
demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan
dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan
ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700 M.
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani
Umayyah, karena itu kehadiranQadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan,
bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruhQadariyah dapat dikatakan lenyap tapi
hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyahitu
tertampung dalam Muktazilah.
3. Doktrin Ajaran
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia
berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak
dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-
perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa
manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala
perbuatannya.
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri.
Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri,
baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas
kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang
diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan
ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya
sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan
mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang
dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah
ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang
telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah
yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang
dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia
dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti hokum alam. Misalnya
manusia ditakdirkan oleh Tuhan kecuali tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu
berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang
mampu membawa barang seratus kilogram.
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam, menyebut pokok-pokok
ajaran qadariyah sebagai berikut :
a. Orang yang berdosa besar itu bukanlah kafir, dan bukanlahmukmin, tapi fasik dan orang fasikk
itu masuk neraka secara kekal.
b. Allah SWT. Tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusia lah yang
menciptakannyadan karena itulah maka manusia akan menerima pembalasan baik (surga) atas
segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk (siksa Neraka) atas segala amal perbuatannya
yang salah dan dosakarena itu pula, maka Allah berhak disebut adil.
c. Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu maha esa atau satu dalam ati bahwa Allah tidak
memiliki sifat-sifat azali, seprti ilmu, Kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan
zat nya sendiri. Menurut mereka Allah SWT, itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan
meilahat dengan zatnya sendiri.
d. Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan
mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu ada
yang memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk.
Selanjutnya terlepas apakah paham qadariyah itu di pengaruhi oleh paham luar atau tidak, yang
jelas di dalam Al Qur’an dapat di jumpai ayat-ayat yang dapat menimbulkan paham qadariyah.
Dalam QS. Al Ra’ad ; 11,
“Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan diri mereka sendiri”
QS. Al-Kahfi ; 29
“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah
ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”.
4. Tokoh
a. Ma’bad Al-Juhani
b. Ghailan al Dimasyqi

F. Aliran Mu’tazilah
1. Pengertian
Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata “Í’tizal” yang artinya “memisahkan diri”, pada mulanya
nama ini di berikan oleh orang dari luar mu’tazilah karena pendirinya, Washil bin Atha’, tidak
sependapat dan memisahkan diri dari gurunya, Hasan al-Bashri. Dalam perkembangan
selanjutnya, nama ini kemudian di setujui oleh pengikut Mu’tazilah dan di gunakan sebagai
nama dari bagi aliran teologi mereka.
Ada beberapa pandangan, mengapa mereka disebut mu’tazilah, yaitu kelompok atau orang yang
mengasingkan dan memisahkan diri.
Pendapat pertama, pemisahan mereka lebih disebabkan karena politik (i’tizâl siyâsi), dimana
mereka menamakan diri dengan Mu’tazilah ketika Hasan bin ‘Ali membai’at Mu’awiyah dan
menyerahkan jabatan khalifah kepadanya. Mereka mengasingkan diri dari Hasan, Mu’awiyah
dan semua orang. Mereka menetap di rumah-rumah dan masjid-masjid. Mereka berkata: “kami
bergelut dengan ilmu dan ibadah.”
Pendapat kedua, pemisahan mereka lebih disebabkan karena perdebatan (i’tizâl kalâmi)
mengenai hukum pelaku dosa besar antara Imam Hassan al-Bashri dengan Wâshil bin ‘Atha’
yang hidup pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdil Malik al-Umawy.
2. Latar Belakang
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih 120 H, pada abad permulaan kedua hijrah di kota basyrah
dan mampu bertahan sampai sekarang, namun sebenarnya, aliran ini telah muncul pada
pertengahan abad pertama hijrah yakni diisitilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri
atau besikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada peristiwa meletusnya perang
jamal dan perang siffin, yang kemudian mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat
dalam konflik tersebut dan memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah.
Disisi lain, yang melatarbelakangi munculnya Aliran Mu’tazilah adalah sebagai respon persoalan
teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim.
Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah
tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar.
Dari segi geografis, aliran Mu’tazilah dibagi menjadi dua, yaitu aliran Mu’tazilah Basrah dan
aliran Mu’tazilah Baghdad. Menurut Ahmad Amin sebagaimana yang ditulis oleh A. Hanafi
bahwa pengaruh filsafat Yunani pada aliran Mu’tazilah Baghdad lebih nampak, karena adanya
kegiatan penerjemahan buku-buku filsafat di Baghdad, dan juga karena istana khalifah-khfalifah
Abbasiyah di Baghdad menjadi tempat pertemuan ulama-ulama Islam dengan ahli-ahli pikir
golongan lain.
Aliran Basrah lebih banyak menekankan segi-segi teori dan keilmuan, sedang aliran Baghdad
sebaliknya, lebih menekankan segi pelaksanaan ajaran Mu’tazilah dan banyak terpengaruh oleh
kekuasaan khalifah-khalifah. Aliran Baghdad banyak mengambil soal-soal yang telah dibahas
aliran Basrah, kemudian diperluas pembahasannya.
3. Doktrin Ajaran
Ada lima prinsip pokok ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan bagi pemeluk ajaran ini untuk
memegangnya, yan dirumuskan oleh Abu Huzail al-Allaf :
a. Al Tauhid (keesaan Allah)
Ini merupakan inti akidah madzhab mereka dalam membangun keyakinan tentang mustahilnya
melihat Allah di akhirat nanti, dan sifat-sifat Allah itu adalah substansi Dzatnya sendiri serta Al
Qur`an adalah makhluq.
Dalam buku Ahmad Hanafi M.A., Theology Islam (Ilmu Kalam) dikutip pandangan al-Asy’ari
yang menyebutkan bahwa kaum Mu’tazilah menafsirkan Tauhid sebagai berikut:
“Tuhan itu Esa, tidak ada yang menyamainya, bukan benda (jisim), bukan orang (syakhs),
bukan jauhar, bukan pula aradh…tidak berlaku padanya…tidak mungkin mengambil tempat
(ruang), tidak bisa disifati dengan sifat-sifat yang ada pada makhluq yang menunjukkan ketidak
azalianNya. Tidak dibatas, tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan, tidak dapat dicapai
pancaindera…tidak dapat dilihat mata kepala dan tidak bisa digambarkan akal pikiran. Ia
Maha Mengetahui, berkuasa dan hidup, tetapi tidak seperti orang yang mengetahui, orang yang
berkuasa dan orang yang hidup…hanya Ia sendiri yang Qadim, dan tidak ada lainnya yang
Qadim…Tidak ada yang menolongNya dalam menciptakan apa yang diciptakanNya dan tidak
membikin makhluq karena contoh yang telah ada terlebih dahulu.”
b. Al ‘Adl (keadlilan tuhan)
Paham keadilan yang dikehendaki Mu’tazilah adalah bahwa Tuhan tidak menghendaki
keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia dan manusia dapat mengerjakan perintah-
perintahNya dan meninggalkan larangan-laranganNya dengan qudrah (kekuasaan) yang
ditetapkan Tuhan pada diri manusia itu. Tuhan tidak memerintahkan sesuatu kecuali menurut apa
yang dikehendakiNya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkanNya dan tidak
tahu menahu (bebas) dari keburukan-keburukan yang dilarangNya.
Dengan pemahaman demikian, maka tidaklah adil bagi Tuhan seandainya Ia menyiksa manusia
karena perbuatan dosanya, sementara perbuatan dosanya itu dilakukan karena diperintah Tuhan.
Tuhan dikatakan adil jika menghukum orang yang berbuat buruk atas kemauannya sendiri.
c. Al Wa’d wa al wa’id (janji dan ancaman)
Al-Wa’du Wal-Wa’id (janji dan ancaman), bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-
Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam surga, dan melaksanakan
ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke
dalam neraka, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena
inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah
d. Al Manzilah bain al Manzilatain (posisi diantara posisi)
Secara harfiah, berarti posisi diantara dua posisi. Menurut Mu’tazilah maksudnya adalah suatu
tempat antara surga dan neraka sebagai konsekwensi dari pemahaman yang mengatakan bahwa
pelaku dosa besar adalah Fasiq; tidak dikatakan beriman dan tidak pula dikatakan kafir, dia tidak
berhak dihukumkan Mu’min dan tidak pula dihukumkan Kafir, begitu pula dihukum munafiq,
karena sesungguhnya munafiq berhak dihukumkan kafir seandainya telah diketahui
kenifaqkannya. Dan tidaklah yang demikian itu dihukumkan kepada pelaku dosa besar.
e. Amar ma’ruf nahi mungkar
Dengan berpegang kepada QS. Ali Imran ; 104 dan QS. Luqman ; 17, seperti halnya golongan
lain bahwa perintah untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat jahat adalah wajib
ditegakkan.
Dalam pandangan Mu’tazilah; dalam keadaan normal pelaksanaan al-amru bil ma’rûf wan nahyu
‘anil munkar itu cukup dengan seruan saja, tetapi dalam keadaan tertentu perlu kekerasan.
Dalam memastikan terlaksananya prinsif ini, mereka bertindak berlebih-lebihan dan berselisih
pandangan dengan mayoritas (jumhur) ummat; mereka mengatakan al-amru bil ma’rûf wan
nahyu ‘anil munkar itu dilakukan dengan hati saja bila itu cukup, jika tidak cukup maka dengan
lisan, dan jika dengan lisan saja tidak cukup maka dengan tangan, bahkan dilaksanakan dengan
senjata.
4. Tokoh
a. Washil bin Atha’
b. Abu Huzail Al Allaf
c. Al Nazzam
d. Abu Hasyim Al Jubba’i
G. Aliran Ahu Sunnah Wal Jamaah/Sunni
Ahlussunnah berarti penganut atau pengikut sunnah Nabi Muhammad SAW, dan jemaah berarti
sahabat nabi. Jadi Ahlussunnah wal jama’ah mengandung arti “penganut Sunnah (ittikad) nabi
dan para sahabat beliau. Aliran ini, muncul sebagai reaksi setelah munculnya aliranAsy’ariyah
dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Tokoh utama yang juga merupakan pendiri mazhab ini adalah Abu Al Hasan Al Asy’ari dan Abu
Mansur Al Maturidi. Dua tokoh Sunniini kemudian dalam perkembanganya ajaran mereka
menjadi doktrin penting dalam aliran Sunni yakni aliran Asy’ariyah dan aliranMaturidiyah.
Sebagai aliran yang se zaman, keduanya termasuk dalam aliran Ahlussunnah. Terkait
kepemimpinan para khalifah setelah Nabi saw sesuai urutan historis yang telah terjadi, keduanya
memiliki pandangan serupa. Juga tak ada perbedaan dalam pandangan mereka terhadap para
penguasa Bani Umayah dan Bani Abbas. Dalam semua sisi masalah imamah pun mereka saling
sepakat. Keduanya juga sepaham bahwa Allah bisa dilihat
tanpa kaif (cara), had (batas), qiyam (berdiri) wa qu`ud (duduk) dan hal-hal sejenisnya.
1. Aliran Asy’ariyah
a. Pengertian
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al Asy`ariy.
Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail
bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al Asy’ari. Kelompok
Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab
Asy’ariyah.
Abul Hasan Al Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di
Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al Marwazi, seorang fakih
madzhab Syafi’i di Masjid Al Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al Jubba’i, seorang
ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al Jubba’i, salah seorang
pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam sehingga
ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk
membantah kelompok Muktazilah.
Al Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab
yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa
dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain
menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al Jubba’i seputar
masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi
dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil
riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada
sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang
ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar
dari Muktazilah, Al Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia
mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan
menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian
barunya. Dalam kitab Al Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin
Hambal.
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah,
Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al Qur’an, Sunnah Nabi,
dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
b. Latar Belakang
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan
menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan
besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga
dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa
dicerna akal.
Al Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat
ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan
merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap
paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al
Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan-manusia, bahwa
kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan
seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa
keemasan madrasah An Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur.
Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para
petinggi negeri itu seperti Al Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan
Shalahuddin Al Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy Syafi'i dan mazhab
Al Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy'ariyah
ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
c. Doktrin Ajaran
1) Sifat-sifat Tuhan.
Menurutnya, Tuhan memiliki sifat sebagaiman di sebut di dalam Al Qur’an, yang di sebut
sebagai sifat-sifat yang azali,Qadim, dan berdiri diatas zat tuhan. Sifat-sifat itu bukanlah zat
tuhan dan bukan pula lain dari zatnya.
2) Al Qur’an.
Menurutnya, Al Quran adalah qadim dan bukan makhluk diciptakan.
3) Melihat Tuhan.
Menurutnya, Tuhan dapat dilihat dengan mata oleh manusia di akhirat nanti.
4) Perbuatan Manusia.
Menurutnya, perbuatan manusia di ciptakan tuhan, bukan di ciptakan oleh manusia itu sendiri.
5) Keadlian Tuhan
Menurutnya, tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menentukan tempat manusia di
akhirat. Sebab semua itu marupakan kehendak mutlak tuhan sebab Tuhan Maha Kuasa atas
segalanya.
6) Muslim yang berbuat dosa.
Menurutnya, yang berbuat dosa dan tidak sempat bertobat diakhir hidupnya tidaklah kafir dan
tetap mukmin.
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli
sunnah wal jamaah ialah Imam Al Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada
paham-paham Asy’ari. Al Ghazali meyakini bahwa:
1) Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan
mempunyai wujud di luar zat.
2) Al Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan.
3) Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
4) Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
5) Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia, tidak wajib
memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tak dapat dipikul
kepada manusia.
Berkat Al-Ghazali paham Asy’ari dengan Ahl sunah wal jamaahnya berhasil berkembang ke
mana pun, meski pada masa itu aliran Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para khalifah
Abasiyah.
d. Tokoh
1) Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
2) Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
3) Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
4) Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
5) Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
2. Aliran Maturidiyah
a. Pengertian
Aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi yang bercorak rasional-tradisional. Nama aliran itu
dinisbahkan dari nama pendirinya, Abu Mansur Muhammad al-Maturidi. Al Maturidi lahir dan
hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara
Muktazilah dan Asy'ariyah mengenai kemampuan akal manusia. Aliran ini disebut-sebut
memiliki kemiripan dengan Asy'ariyah.
Aliran Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur Al Maturidi yang
berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami. Aliran Maturidiyah digolongkan
dalam teologi Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran yang bercorak rasional.
Jika dilihat dari metode berpikir dari aliran Maturidiyah, aliran ini merupakan aliran yang
memberikan otoritas yang besar kepada akal manusia, tanpa berlebih-lebihan atau melampaui
batas, maksudnya aliran Maturidiyah berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang
tidak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan syara’, maka akal
harus tunduk kepada keputusan syara’.
Berdasarkan prinsip pendiri aliran Maturidiyah mengenai penafsiran Al Qur’an yaitu kewajiban
melakukan penalaran akal disertai bantuan nash dalam penafsiran Al Qur’an. Dalam menfsirkan
Al Qur’an Al Maturidi membawa ayat-ayat yangmutasyabih (samar maknanya) pada makna
yang muhkam (terang dan jelas pengertiannya). Ia menta’wilkan yang muhtasyabihberdasarkan
pengertian yang ditunjukkan oleh yang muhkam. Jika seorang mikmin tidak mempunyai
kemampuan untuk menta’wilkannya, maka bersikap menyerah adalah lebih selamat.
b. Latar Belakang
Aliran Maturidiyah lahir di samarkand, pertengahan kedua dari abad IX M. pendirinya adalah
Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al Maturidi, di daerah Maturid
Samarqand, untuk melawan mazhab Mu`tazilah. Abu Manshur Maturidi (wafat 333 H) menganut
mazhab Abu Hanifah dalam masalah fikih. Oleh sebab itu, kebanyakan pengikutnya juga
bermazhab Hanafi. Riwayatnya tidak banyak diketahui. Ia sebagai pengikut Abu Hanifa
sehingga paham teologinya memiliki banyak persamaan dengan paham-paham yang dipegang
Abu Hanifa. Sistem pemikiran aliranmaturidiyah, termasuk golongan teologi ahli sunah.
Al Maturidi dalam pemikiran teologinya banyak menggunakan rasio. Hal ini mungkin banyak
dipengaruhi oleh Abu Hanifa karena Al Maturidi sebagai pengikat Abu Hanifa. Dan timbulnya
aliran ini sebagai reaksi terhadap mu’tazilah.
Dalam Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve, disebutkan, pada pertengahan abad
ke-3 H terjadi pertentangan yang hebat antara golongan Muktazilah dan para ulama. Sebab,
pendapat Muktazilah dianggap menyesatkan umat Islam. Al Maturidi yang hidup pada masa itu
melibatkan diri dalam pertentangan tersebut dengan mengajukan pemikirannya.Pemikiran-
pemikiran Al Maturidi dinilai bertujuan untuk membendung tidak hanya paham Muktazilah,
tetapi juga aliran Asy'ariyah. Banyak kalangan yang menilai, pemikirannya itu merupakan jalan
tengah antara aliran Muktazilah dan Asy'ariyah. Karena itu, aliran Maturidiyah sering disebut
“berada antara teolog Muktazilah dan Asy'ariyah”.Namun, keduanya (Maturidi dan Asy'ari)
secara tegas menentang aliran Muktazilah.
c. Doktrin Ajaran
1) Akal dan Wahyu
Al Maturidi dalam pemikiran teologinya berdasarkan pada Al Qur’an dan akal, akal banyak
digunakan diantaranya karena dipengaruhi oleh Mazhab Imam Abu Hanifah. Menurut Al-
Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Hal
tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al Qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan
akalnya untuk memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadapAllah melalui pengamatan
dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Jika akal tidak memiliki
kemampuan tersebut, maka tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk
melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan
pengetahuan mengenai Allah berarti ia telah meninggalkan kewajiban yang diperintahkan oleh
ayat-ayat tersebut Namun akal, menurut Al Maturidi tidak mampu mengetahui kewajiban-
kewajiban yang lain.
Dalam masalah amalan baik dan buruk, beliau berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya
sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah
mengikuti kemampuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu, walau ia mengakui bahwa akal
terkadang tidak mampu melakukannya. Dalam kondisi ini, wahyu dijadikan sebagai
pembimbing.
Al Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu :
a) Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
b) Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu,
c) Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk wahyu.
Tentang mengetahui kebaikan dan keburukan Maturidiyah memiliki kesamaan dengan
Mu’tazilah, namun tentang kewajiban melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan
Maturidiyah berpendapat bahwa ketentuan itu harus didasarkan pada wahyu.
2) Perbuatan Manusia
Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-
Nya. Mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Allah mengharuskan
manusia untuk memiliki kemampuan untuk berbuat (ikhtiar) agar kewajiban yang dibebankan
kepadanya dapat dilaksanakan. Dalam hal ini Al Maturidi mempertemukan antara ikhtiar
manusia dengan qudrat Allah sebagai pencipta perbuatan manusia. Allah mencipta daya (kasb)
dalam setiap diri manusia dan manusia bebas memakainya, dengan demikian tidak ada
pertentangan sama sekali antara qudrat Allah dan ikhtiar manusia.
Dalam masalah pemakaian daya ini Al Maturidi memakai faham Imam Abu Hanifah, yaitu
adanya Masyiah (kehendak) dan ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan
perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak Allah, tetapi ia dapat memilih yang
diridhai-Nya atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan
Allah, dan Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Allah, dan berbuat buruk pun
dengan kehendak Allah, tetapi tidak dengan kerelaan-Nya.

3) Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan


Penjelasan di atas menerangkan bahwa Allah memiliki kehendak dalam sesuatu yang baik atau
buruk. Tetapi, pernyataan ini tidak berarti bahwa Allah berbuat sekehendak dan sewenang-
wenang. Hal ini karena qudrat tidak sewenang-wenang (absolute), tetapi perbuatan dan
kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya
sendiri.
4) Sifat Tuhan
Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam, dan sebagainya. Al Maturidi
berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-
Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama/inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam
takun ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga
berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada bilangannya yang qadim (taadud al-qadama).
Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham Mu’tazilah,
perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap adanya sifat Tuhan.
5) Melihat Tuhan
Al Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal ini diberitakan dalam. QS. Al
Qiyamah ayat 22 dan 23 :
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka
melihat.”
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena
Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak
dalam bentuknya, karena keadaan di sana beda dengan dunia.
6) Kalam Tuhan
Al Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara denagn kalam
nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah,
sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadits). Kalam nafsi tidak
dapat kita ketahui hakikatnya dari bagaimana Allah bersifat dengannya, kecuali dengan suatu
perantara.
Maturidiyah menerima pendapat Mu’tazilah mengenai Al Qur’an sebagai makhluk Allah, tapi Al
Maturidi lebih suka menyebutnya hadits sebagai pengganti makhluk untuk sebutan Al Qur’an.
7) Perbuatan Tuhan
Semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak
Tuhan, kecuali karena da hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri.
Setiap perbuatan-Nya yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada
manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban
tersebut antara lain:
Tuhan tidak akan membebankan kewajiban di luar kemampuan manusia, karena hal tersebut
tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia diberikan kebebasan oleh Allah dalam kemampuan
dan perbuatannya,
Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah
ditetapkan-Nya.
8) Pengutusan Rasul
Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang
disampaikan oleh rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar
kemampuan akalnya. Pandangan ini tidak jauh dengan pandangan Mu’tazilah, yaitu bahwa
pengutusan rasul kepada umat adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik bahkan
terbaik dalam hidupnya.
9) Pelaku Dosa Besar
Al Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka
walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan
balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan
untuk orang musyrik.
Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah
penyempurnaan iman. Oleh karena itu amal tidak menambah atau mengurangi esensi iman,
hanya menambah atau mengurangi sifatnya.
10) Iman
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi
al qalb, bukan semataiqrar bi al-lisan. Al Qur’an surat Al-Hujurat ayat 14 :
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah: ‘Kamu belum
beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu;
dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala
amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’."
Ayat tersebut difahami sebagai penegasan bahwa iman tidak hanya iqrar bi al-lisan, tanpa
diimani oleh qalbu. Lebih lanjut Al Maturidi mendasarkan pendapatnya pada QQS. Al Baqarah ;
260,
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana
Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim
menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)
Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya
olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-
bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam ayat tersebut, bukan berarti bahwa Nabi Ibrahim belum beriman, tetapi beliau
menginginkan agar keimanannya menjadi keimanan ma’rifah. Ma’rifah didapat melalui
penalaran akal. Adapun pengertian iman menurut golongan Bukhara, adalah tashdiq bi al-qalb
dan iqrar bi al-lisan, yaitu meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan
rasul-rasul yang diutus-Nya dengan membawa risalah serta mengakui segala pokok ajaran islam
secara verbal.
d. Madzhab Aliran Maturidiyah
1) Golongan Samarkand.
Golongan ini dalah pengikut Al Maturidi sendiri, golongan ini cenderung ke arah paham
mu’tazilah, sebagaimana pendapatnya soal sifat-sifat tuhan, maturidi dan asy’ary terdapat
kesamaan pandangan, menurut maturidi, tuhan mempunyai sifat-sifat, tuhan mengetahui bukan
dengan zatnya, melainkan dengan pengetahuannya.
Begitu juga tuhan berkuasa dengan zatnya. Mengetahui perbuatan-perbuatan manusia maturidi
sependapat dengan golongan mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya mewujudkan perbuatan-
perbutannya. Apabila ditinjau dari sini, maturidi berpaham qadariyah. Maturidi menolak paham-
paham mu’tazilah, antara lain maturidiyah tidak sepaham mengenai pendapat mu’tazilah yang
mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk. Aliran maturidi juga sepaham dengan mu’tazilah
dalam soal al-waid wa al-waid. Bahwa janji dan ancaman tuhan, kelak pasti terjadi. Demikian
pula masalah antropomorphisme. Dimana maturidi berpendapat bahwa tangan wajah tuhan, dan
sebagainya seperti pengambaran Al Qur’an. Mesti diberi arti kiasan (majazi). Dalam hal ini.
Maturidi bertolak belakang dengan pendapat asy’ary yang menjelaskan bahwa ayat-ayat yang
menggambarkan tuhan mempunyai bentuk jasmani tak dapat diberi interpretasi (ditakwilkan).
2) Golongan Buhara
Golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al Yusr Muhammad Al Bazdawi. Dia merupakan
pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al Bazdawi
menjadi salah satu murid maturidi. Dari orang tuanya, Al Bazdawi dapat menerima ajaran
maturidi. Dengan demikian yang di maksud golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-
Bazdawi di dalam aliran Al Maturidiyah, yang mempunyai pendapat lebih dekat kepada
pendapat-pendapat Al Asy’ary.
Namun walaupun sebagai aliran maturidiyah. Al Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan
maturidi. Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh sebagin umat Islam yang bermazab
Hanafi. Dan pemikiran-pemikiran maturidiya sampai sekarang masih hidup dan berkembang
dikalangan umat Islam.
PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN ILMU KALAM

Ilmu kalam sebagai ilmu yang membahas permasalahan ketuhanan dengan berpegang
kepada dalil-dalil naqli serta menggunakan akal/rasio sebagai media penafsirannya. Wahyu
sebagai kabar dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang
Tuhan dan akal sebagai media yang ada pada diri manusia berusaha keras untuk dapat mencapai
Tuhan.
Terdapat beberapa aliran di dalam ilmu kalam yang mana pola pemikiran antar aliran ini
cenderung kontradiktif. Masalah utama yang timbul dari perbedaan aliran-alian teologi tersebut
adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang tetap beriman.
Dalam makalah ini akan diuraikan perbandingan pemikiran antar beberapa aliran ilmu
kalam tentang permasalahan; Kedudukan Akal dan Wahyu dalam pandangan aliran-aliran ilmu
kalam, kedudukan Pelaku Dosa-Dosa Besar (kafir atau tidak), dan sifat Al-Qur’an (apakah
qodim atau hadits/baharu) menurut aliran-aliran ilmu kalam.
Dari perbandingan antar aliran ini, kita dapat mengetahui, menela’ah dan
membandingkan antar paham aliran satu dengan aliran yang lain. sehingga kita memahami
maksud dari segala polemik yang ada.

A. Wahyu dan Akal


Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa segala pengetahuan dapat diperoleh dengan
perantaraan akal, dan kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. dan dapat
pula mengetahui mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk adalah wajib. Bahkan
sebelum wahyu turun, orang sudah wajib bersyukur kepada Tuhan, Menjauhi yang buruk dan
mengerjakan yang baik.
Golongan Al-Murdar bahkan terlihat lebih ekstrim. Menurut pandangan mereka, dalam
kewajiban mengetahui Tuhan, termasuk pula kewajiban-kewajiban mengetahui hukum-hukum
dan sifat-sifat Tuhan berdasarkan kemampuan akal manusia, walaupun tanpa adanya wahyu. Dan
orang yang tidak mengetahui hal tersebut berarti tidak berterima kasih kepada tuhan, dan akam
mendapat hukuman kekal dalam neraka.
Kaum Asy’ariyah menolak sebagian besar dari pendapat kaum mu’tazilah diatas. Mereka
berpendapat akal memang dapat mengetahui adanya Tuhan. Namun kewajiban manusia hanya
dapat diketahui melalui wahyu. Wahyulah yang mewajibkan manusia untuk mengetahui tuhan
dan berterima kasih kepada-Nya. Dengan wahyu pula manusia dapat mengetahui bahwa
mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk adalah wajib. Menurut mereka akal tidak
dapat mengetahui kewajiban-kewajiban manusia, Akal hanya dapat memperoleh pengetahuan.
untuk itulah wahyu diperlukan.
Menurut aliran Maturidiyah Samarkand, seperti halnya dengan golongan Mu’tazilah, akal
dapat mengetahui adanya Tuhan, kewajiban mengetahui tuhan, dan berterima kasih kepada
Tuhan. Seperti yang diterangkan oleh Al-Bazbawi dan Abu ‘Uzbah. Namun dalam hal baik dan
buruk mereka tidak sefaham dengan Mu’tazilah. Akal tidak dapat mengetahui kewajiban berbuat
baik dan meninggalkan buruk, akal hanya dapat mengetahui hal yang baik dan yang buruk,
karena yang menentukan kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk
hanyalah Tuhan. karena itu wahyu sangatlah diperlukan untuk menjelaskannya.
Golongan Maturidiyah Bukhara tidak berpendapat demikian, menurut mereka akal hanya
dapat mengetahui Tuhan serta mengetahui yang baik dan yang buruk, namun akal tidak dapat
mengetahui kewajiban mengetahui Tuhan serta kewajiban melakukan yang baik dan
meningggalkan yang buruk. Bagi sekte ini yang menentukan kewajiban-kewajiban bagi manusia
hanyalah Tuhan.

B. Pelaku Dosa-Dosa Besar


1. Menurut aliran Khawarij
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ektrimitas dalam memutuskan
persoalan-persoalan kalam. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang
status pelaku dosa besar. Mereka memandang bahwa orangorang yang terlibat dalam peristiwa
tahkim, yakni Ali, Mu’awiyah, amr bin al-ash, Abu Musa al-asy’ari adalah kafir. Hal ini
didasarkan kepada firman Allah pada surat Al-Maidah ayat 44:
Artinya:
“…Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir.”
Semua pelaku dosa besar, menurut semua sub sekte khwarij adalah kafir dan akan disiksa
dineraka selamanya. Sub sekte yang sangat ekstrim, Azariqah memandang musyrik bagi siapa
saja yang tidak sefaham dengan mereka. Adapun pelaku dosa besar dalam pandangan mereka
telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan berarti ia telah keluar dari
Islam, mereka kekal dineraka bersama orang-orang kafir lainnya.
Sub sekte Najdah menganggap kafir bagi seseorang yang melakukan dosa kecil secara
berkesinambungan, seperti halnya dengan pelaku dosa besar. Namun mereka tidak memandang
kafir bagi pengikutnya. Mereka berpendapat jika pengikutnya melakukan dosa besar mereka
akan tetap mendapatkan siksa dalam neraka namun pada akhirnya mereka akan masuk surga
juga.
Sub sekte As-Sufriah membagi dosa besar menjadi dua macam. Yaitu dosa besar yang
terdapat sanksi didunia (seperti membunuh, berzina, dll) dan dosa besar yang tidak ada sanksinya
didunia (seperti meninggalkan sholat dan puasa). Mereka tidak memandang kafir bagi pelaku
dosa besar golongan pertama. Sedangkan pelaku dosa besar golongan kedua dipandang kafir
2. Menurut aliran Murji’ah
Pandangan aliran murji’ah tentang setatus pelaku dosa besar dapat ditelusuri dari definisi
iman yang dirumuskan oleh mereka. Tiap-tiap sekte aliran murji’ah berbeda pendapat tentang
definisi tersebut, sehingga pandangan mereka mengenai status pelaku dosa besar juga berbeda-
beda.
Secara garis besar sub sekte Murji’ah dapat dikategorikan dalam dua kategori: ekstrim
dan moderat. Harun nasution berpendapat bahwa sub sekte murji’ah yang ekstrim adalah mereka
yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan
tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala
ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti telah
menggeser atau merusak keimanannya. Bahkan keimanannya masih sempurna dimata Tuhan.
Diantara sub sekte yang ekstrim ini adalah al-jamiyah, as-salihiyah, dan al-yunusiah.
Menurut kelompok ini perbuatan maksiat yang dilakukan seseorang tidak dapat menggugurkan
keimanannya, sehingga mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak akan disikas
dineraka selama mereka tetap dalam keadaan beriman kepada Allah.
Adapun murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar
tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa dineraka, mereka tidak kekal didalamnya, tergantung
kepada ukuran dosar yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan
mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari siksa neraka.
Salah satu sub sekte Murji’ah moderat ini adalah Abu Hanifah dan pengikutnya. Ia
berpendapat bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin, akan tetapi perbuatan dosa yang
dilakukannya tetap mempunyai implikasi. Jika mereka masuk neraka, dank arena kehendak allah,
mereka tidak akan kekal di dalamnya.

3. Menurut aliran Mu’tazilah


Bila aliran Khwarij mengkafirkan pelaku dosa besar dan Murji’ah memelihara keimanan
pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa
besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir, kecuali dengan sebutan al-manzilah bainal-
manzilataini.
Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah, berada diposisi tengah diantara posisi
mukmin dan kafir. Jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, ia akan
dimasukkan ke dalam nerak selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya
lebih ringan dari pada siksaan orang-orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh
Mu’tazilah, seperti wastul bin atha’ dan amr bin ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah
fasik yang bukan mukmin atau kafir.
Dalam menentukan kriteria dosa besar, aliran mu’tazilah menggunakan ancaman yang
terdapat dalam nash. Dosa besar menurut mereka adalah segala pelanggaran yang ancamannya
disebutkan secara jelas dalam nash. Sedangkan segala pelanggaran yang tidak disebutkan dengan
tegas hukumannya di dalam nash di golongkan kepada dosa kecil.

4. Aliran Asy’ariyah
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya al-asy’ari, sebagai wakil ahl-as-Sunah, tidak
mengkafirkannya. walaupun melakukan dosa besar, Menurutnya, mereka masih tetap sebagai
orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan
tetapi jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan
tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir.
Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar, apabila ia meninggal dan tidak
sempat bertaubat, maka menurut Al-Asy’ari, mereka akan mendapat siksaan di dalam neraka
sesuai dengas ukuran dosa yang mereka lakukan. Namun mereka tidak akan kekal di dalam
neraka, setelah siksaan yang mereka alami dineraka menghapus semua dosa-dosa mereka,
mereka selanjutnya akan dimasukkan kedalam surga. Namun jika Allah SWT menghendaki dan
mereka mendapat syafaat dari Nabi SAW maka bisa saja Allah mengampuni dosa-dosanya
sehingga terbebas dari siksa neraka.
Golongan Asy’ariyah dalam memposisikan pelaku dosa besar cenderung sama dengan
golongan Murji’ah, yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa besar. khususnya golongan
Murji’ah moderat.
5. Aliran Maturidiyah
Aliran maturidiyah, baik samarkand maupun bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku
dosa masih tetap sebagai seorang mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun
balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. jika
ia meninggal tanpa tobat terlebih dahulu, sama halnya dengan golongan asy’ariyah keputusan
mutlak berada di tangan allah. Apakah pelaku dosa besar tersebut diampuni sehingga tidak
mendapat siksaan di neraka ataupun allah akan memasukkan keneraka dan menyiksanya
berdasarkan perduatan dosa yang dilakukannya.
Sebagai mana yang di ungkapkan oleh al-maturidi sendiri selaku pendiri aliran ini pelaku
dosa besar tidak akan kekal didalam neraka. Hal ini didasarkan atas janji allah yang akan
memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya didunia. Mereka yang kekal di
dalam neraka hanyalah mereka yang mensekutukan allah (syirik). Perbuatan dosa besar tidak
menjadikan seseorang kafir atau murtad.

6. Aliran Syi’ah Zaidiyah


Penganut Syi’ah zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal di
dalam neraka, jika ia belum tobat dengan tobat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah
zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah.

C. Al-Qur’an (Qodim atau Mahluk)


Diskusi tentang Kalam Allah muncul tatkala terlontar pemikiran tentang kemakhlukkan
Kalam Allah. Pemikiran tentang kemakhlukkan Kalam Allah ini untuk pertama kalinya
dilontarkan oleh Ja’d ibn Dirham, semasa Khlaifah Umayyah Hisham (724-743 M) . Hisyam
kemudian memerintahkan untuk mengeksekusi Ja’d ibn Dirham.
Namun demikian, pembicaraan tentang kemakhlukan Kalam Allah ini baru populer dan
menjadi diskusi Ilmu Kalam secara lebih serius pada masa Khalifah Al-Ma’mun, setelah cukup
lama Mu’tazilah lahir, baru dilontarkan kembali pemikiran tentang kemakhlukkan Kalam Allah
(khususnya Al-Qur’an) ini oleh Ibn Abi Duwad masa Khalifah Al-Ma’mun (sekitar 827 M),
yang menjadikan paham Mu’tazilah sebagai mazhab resmi yang dianut Negara.
Aliran yang populer dalam tradisi Islam yang beranggapan bahwa Kalam Allah sebagai
Makhluk adalah aliran Mu’tazilah. Kaum Mu’tazili pada umumnya memahami hakikat kalam
atau perkataan, sebagai: huruf yang tersusun dan suara yang terputus-putus yang diucapkan
dengan lisan.
Al-Nadzdzam dan para pengikutnya berpendapat bahwa kalam manusia merupakan ‘ard
dan harakat (gerakan, movement, berubah) karena bagi mereka tidak ada ‘ard kecuali al-harakat.
Dan Kalam Allah merupakan jism. Dengan demikian Kalam Allah adalah makhluk sebab jism
dan ard merupakan makhluk yang diciptakan Allah.
Argumen-argumen tentang kemakhlukkan Kalam Allah ini diantaranya berpijak ayat Al-
Qur’an, antara lain :
Artinya :
“Susungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya
“Jadilah” maka terjadilah ia.” (QS. Yasin, 36: 82)
Ayat ini, dalam pandangan Mu’tazili, kata “kun” adalah baharu (muhadats), karena
merupakan sesuatu yang tersusun dari dua huruf yang dapat dipindah-pindahkankan, yang satu
mendahului yang lain (memiliki struktur). Selain itu, dalam ayat di atas terdapat lafadz “an”,
menurt Mu’tazilah, lafadz tersebut merupakan fi’il mudhari, menunjuk pada masa mendatang.
Dengan demikian, lafadz “an” tersebut menunjukkan pada baharunya “kun”. Demikian juga
dengan huruf “fa” dalam kata “fayakun” sebagai li al-ta’qid (penegasan), sehingga membawa
pengertian bahwa ciptaan di dahului oleh zaman. Maka, berdasarkan pengertian dan argumen-
argumen tersebut di atas, Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an, sebagai Kalam Allah adalah
baharu, makhluk.
Pemikiran Mu’tazilah tentang kemakhlukkan Al-Qur’an atau Kalam Allah mendapat
reaksi keras dari kelompok yang berpegang teguh pada atsar (hadits nabi), yang lebih
mengutamakan riwayah dari pada dirayah, yang kemudian mereka menamakan dirinya dengan
Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah.
Salah seorang tokoh salaf yang secara gencar dan konsisten dalam melakukan reaksi
terhadap pemikiran Mu’tazilah adalah Ahmad bin Hanbal. Pernah terjadi dialog antara Ahmad
bin Hanbal dengan Ishaq Ibn Ibrahim penganut madzahm Mu’tazilah yang juga adalah seorang
Gubernur Iraq. Pada inti dari dialog tersebut Ibn Hanbal secara tegas menolak pemikiran kaum
Mu’tazilah yang menganggap Al-Qur'an sebagai makhluq. Karena keberaniannya ini kemudian
beliau dipenjarakan.
Tokoh sentral lainnya yang melakukan kritik dan penentangan terhadap paham
Mu’tazilah adalah Abu Hasan Al-‘Asy’ari. Kaum Asy’ariah berpegang keras pada berpendapat
bahwa sabda adalah sifat, dan sebagai sifat Allah mestilah kekal. Sabda menurut Asy’ariah,
sebagai jawaban terhadap teori Mu’tazilah tentang kalam sebagai suara yang tersusun atas kata-
kata, dan merupakan peristiwa yang menganl awal dan pemilahan.
Asy’ariah mendefinisikan kalam sebagai arti atau makna abstrak dan tidak tersusun.
Sabda bukanlah apa yang tersusun dari huruf dan suara. Karena sabda itu tersusun hanya dalam
arti kiasan (konsep). Sabda yang sebenarnya apa yang terletak di balik yang tersusun itu. Sabda
yang tersusun apa dari huruf-huruf dan kata-kata bukanlah sabda Tuhan. Sabda dalam arti
abstrak inilah yang dapat bersifat kekal dan dapat menjadi sifat tuhan. Dan al-Qur’an bukanlah
apa-apa yang tersusun dari huruf-huruf, kata-kata dan surat-surat itu, akan tetapi arti atau makna
abstrak.
Pemikiran yang diajukan Asy’ariyah dalam menjawab argumen dan pemikiran
Mu’tazilah yang mendasarkan pada dalil naqli dalam QS. An-Nahl, 30: 40 dan QS. Yasin, 36:
82, tentang kata “kun” sebagai perintah atau kalam Allah dalam “proses” menjadikan sesuatu
yang dianggap Mu’tazilah sebagai sesuatu yang baharu, cukup menarik dan cerdas. Asy’ariyah
menyatakan bahwa apabila kata “kun” itu baharu, sedangkan kata atau perintah “kun” itu
merupakan syarat bagi terjadinya sesuatu, maka harus ada kata-kata “kun” lainnya sebelum
munculnya kata “kun” tersebut, demikian seterusnya tanpa akhir.
Dalam hal ini Asy’ariyah memisahkan antara memerintah dengan menciptakan, seperti
diungkap dalam Al-Qur’an :
Artinya :
“Ingatlah, hanya pada Allahlah hak mencipta dan memerintah.” (QS. Al-A’raaf: 54)
Al-Asy’ari menjelaskan maksud dari ayat diatas dengan: Ketika Dia berfirman, “Ingatlah
pada Allahlah hak mencipta.” maka mencipta ini mencakup apa pun yang diciptakan oleh allah,
dan ciptaan adalah makhluk; dan ketika berfirman “dan memerintah”, maka memerintah sebagai
kalamullah, ini tidaklah termasuk apa pun yang dicipta. Dengan demikian maka mencipta dengan
memerintah merupakan dua hakl yang berlainan. Maka dari itu, apa yang diuraikan di atas
menegaskan pengertian bahwa Kalamullah (Al-Qur'an) bukanlah makhluk.

Analisis Ibnu Rusyd


Dalam memecahkan persoalan kalam salah satu metode yang digunakan oleh Ibnu Rusyd
ialah dengan mengkritisi pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh para mutakallimin.
Menurut Ibnu Rusyd, pemikiran para mutakallimin belum bisa membawa keyakinan manusia
secara menyeluruh, dikarenakan metode yang mereka gunakan susah difahami.
Dalam mengkritisi pemikiran-pemikiran mutakallimin, Ibnu Rusyd selalu memadukan
antara dalil-dalil nash (wahyu) dengan logika. Ada beberapa golongan yang mendapat kritikan
tajam bari Ibnu Rusyd mengena pemikiran kalamnya. Salah satunya adalah madzhab
Hasywiyyah, yaitu aliran yang hanya berpegang kepada makna lahir dari nash, golongan ini
tidak mengakui adanya pentakwilan terhadap dalil-dalil nash. Karena pendiriannya tersebut
mereka kuga disebut Al-Zhahiriyyah.
Madzhab ini berkeyakinan bahwa hanyalah wahyu satu-satunya cara untuk mengetahui
Allah. Akal tidak dapat mengetahui allah karena kemampuannya yang sangat lemah.
Ibnu Rusyd tidak sepenuhnya menyalahkan pemikiran golongan Hasywiyyah ini, karena
memang ada beberapa orang yang hanya mampu memahami dzahirnya ayat saja. Yang menjadi
persoalan bagi Ibnu Rusyd adalah bahwa aliran ini tidak mengakui argumen lain diluar nash.
Mereka mewajibkan bagi setiap mu’min untuk berpedoman kepada dzahir nash saja, bahkan
mengharamkan adanya takwil bagi semua nash, tidak terkecuali nash-nash yang bersifat tasybih.
Ibnun Rusyd berpendapat bahwa orang yang mengabaikan penggunaan akal seperti
golongan Hasywiyyah ini telah melakukan suatu kesalahan. Karena pendapat tersebut justru
bertentangan dengan Al-Qur'an. Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan
manusia untuk menggunakan akalnya.
Selanjutnya adalah golongan Mu’tazilah dan golongan Asy’ariyah. Dalam masalah
kedudukan akal dan wahyu, golongan mu’tazilah mengungkapkan; jika terjadi perdebatan antara
pendapat akal dengan keterangan wahyu, akal harus berusaha mencari dan menganalisa makna
sejati yang terkandung di dalam wahyu tersebut. Dalam hal ini mu’tazilah memberikan prioritas
kepada akal dalam mencari kebenaran. Sedangkan golongan Asy’ariyah lebih menerima dan
mengimani wahyu tersebut apa adanya. Menurut Ibnu Rusyd golongan Mu’tazilah terlalu besar
memberikan porsi kepada akal sehingga mereka terlalu sering mentakwilkan ayat Al-Qur'an.
Sedangkan golongan Asy’ariyah terlalu sedikit memberikan porsi kepada akal/ rasio.
Dalam permasalahan Al-Qur'an, golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur'an
adalah kalam yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur'an dikategorikan
sebagai fi’il (perbuatan) Allah. Karena Al-Qur'an memiliki huruf dan suara, maka Mu’tazilah
berpendapat bahwa Al-Qur'an adalah makhluk dan tidak qodim. Dan yang qodim hanyalah
Allah.
Namun sebaliknya, Asy’ariyah berpendapat bahwa Al-Qur'an adalah qodim. Asy’ariyah
melihat Al-Qur'an dari sumber datangnya. Sejatinya Al-Qur'an itu berada pada sisi Allah,
sedangkan apa saja yang berupa huruf, suara, dan tertulis dalam mushaf adalah ungkapan dari
apa yang ada pada sisi Allah. Oleh karena itu golongan ini meyakini bahwa Al-Qur'an adalah
kalam Allah yang qodim.
Ibnu Rusyd tidak menolak pemikiran Mu’tazilah bahwa Al-Qur'an diciptakan, namun dia
juga tidak menolak pemikiran Al-Asy’ari akan keqodiman Al-Qur'an. Menurutnya Al-Qur'an
adalah kalam yang termasuk sifat af’al dan bertujuan untuk memberikan pengertian sesuatu
kepada pendengar. Allah menganugerahkan kepada manusia untuk memahami Al-Qur'an melalui
penggunaan ungkapan (lafzhi).
Ibnu Rusyd mengungkapkan berdasarkan firman Allah Q.S asy-syura : 51 :
Artinya :
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali
dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan
(malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki.
Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”
Ibnu rusyd cenderung menekankan keberadaan Al-Qur'an di sisi Allah dari pada
keberadaannya di sisi manusia. Di sisi Allah Al-Qur'an memiliki bahasa tersendiri dimana hanya
Allah yang mengetahuinya. Karena itu Allah menurunkan Al-Qur'an dengan bahasa manusia
melalui seorang Rosul.
Jadi, Al-Qur'an berasal dari Allah sedangkan bahasanya adalah perbuatan manusia. Ibnu
Rusyd berpendapat bahwa Al-Qur'an mengandung dua aspek, yaitu aspek kemakhlukan dari sisi
keberadaannya yang berhuruf dan bersuara. Dan Al-Qur'an juga memiliki aspek qodim dari
asalnya, yaitu dari Allah SWT.

A. AKHLAK BERPAKAIAN

Pakaian adalah salah satu alat pelindung fisik manusia. Tentunya pakaian tak lepas dari
kehidupan manusia. Semua kehidupan manusia haruslah sesuai syari’at Islam, yang mana telah
diatur oleh Al – Qur’an. Maka dari itu, manusia haruslah berpakaian sesuai dengan yang
telah diatur oleh Allah SWT. Berpakaian sesuai dengan syari’at Islam, akan membuat kita
merasa itu adalah sebuah kewajiban untuk menjaganya agar tetap dengan aturan yang ada.

1. PENGERTIAN AKHLAK BERPAKAIAN


Pakaian adalah kebutuhan pokok bagi setiap orang sesuai dengan situasi dan kondisi dimana
seorang berada. Pakaian termasuk salah satu kebutuhan yang tak bisa lepas dari kehidupan.
Karena pakaian mempunyai manfaat yang sangat besar bagi kehidupan kita. Melindungi tubuh
kita agar tidak mengalami dan mendapatkan bahaya dari luar. Dalam bahasa Arabg pakaian
disebut dengan kata “Libaasun-tsiyaabun”. Dan dalam kamus besar Bahasa Indonesia, pakaian
diartikan sebagai barang apa yang biasa dipakaioleh seorang baik berupa jaket, celana, sarung,
selendang, kerudung, jubah, surban dll.
Secara istilah, pakaian adalah segala sesuatuyang dikenakan seseorang dalam berbagai ukuran
dan modenya berupa (baju, celana, sarung, jubah, ataupun yang lain), yang disesuaikan dengan
kebutuhan pemakainya untuk suatu tujuan yang bersifat khusus artinya pakaian yang digunakan
lebih berorientasi pada nilai keindahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi pemakaian.
Pakaian mempunyai tujuan umum untuk melindungi ataupun menutup tubuh manusia agar
terhindar dari bahaya yang dapat merusak tubuh kita secara langsung melalui kontak fisik.
Sedangkan menurut agama lebih mengarah kepada menutup aurat tubuh manusia, agar tidak
melanggar ketentuan syariat.

2. BENTUK AKHLAK BERPAKAIAN

Dalam pandangan Islam, pakaian terbagi menjadi 2 bentuk pertama pakaian untuk menutupi
aurat tubuh sebagai realisasi dari perintah Allah bagi wanita seluruh tubuhnya kecuali tangan dan
wajah, dan bagi pria menutup aurat dibawah lutut dan diatas pusar. Batasan pakaian yang telah
ditetapkan oleh Allah ini melahirkan kebudayaan yang sopan dan enak dilihat oleh kita dan kita
pun merasa aman dan tenang karena pakaian kita yang memenuhi kewajaran pikiran manusia.
Sedangkan yang kedua, pakaian merupakan perhiasan yang menyatakan identitas diri sebagai
konsekuensi perkembangan peradaban manusia.

Apabila berpakaian dalam tujuan menutup aurat dalam Islam, memiliki ketentuan – ketentuan
yang jelas, baik dalam hal ukuran pakaian maupun jenis pakaian yang akan dipakai. Maka dari
itu, sebagai muslim kita harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Pakaian yang berfungsi sebagai perhiasan menyatakan identitas diri, sesuai dengan adat dan
tradisi dalam berpakaian, yang menjadi kebutuhan untuk menjaga dan mengaktualisasi dirinya
dalam perkembangan zaman. Setiap manusia berhak mengekspresikan dirinya lewat pakaian
yang dipakainya, tetapi tidaklah sembarangan. Tetap harus mengikuti syari’at Islam.

Didalam Islam, kita mengenal salah satu jenis pakaian yang dapat menutup salah satu aurat
wanita yaitu Jilbab. Jilbab mempunyai berbagai ragam jenisnya, tetapi walaupun banyak
ragamnya Jilbab boleh dikatakan Jilbab apabila dapat menutup aurat, dari atas kepala manusia
sampai dengan dada manusia,menutupi bagian – bagian yang harus ditutupi terkecuali muka.

Bagi wanita, aurat adalah seluruh bagian tubuh kecuali muka dan telapak tangan, yang lainnya
haram untuk diperlihatkan kepada masyarakat umum. Kecuali bagi mahram atau maharimnya.
Bagi suaminya, wanita tidak mempunyai batasan aurat. Sedangkan batasan aurat bagi laki-laki
dari pusar sampai lutut.

Busana Muslimah haruslah mempunyai kriteria sebagai berikut:

1. Menutupi aurat.
2. Tidak menyerupai laki – laki
3. Tidak menyerupai busana khusus non-muslim
4. Pantas dan sederhana
5. Tidak jarang/ transparan dan Ketat

3. NILAI POSITIF AKHLAK BERPAKAIAN

Pakaian sangat berfungsi bagi tubuh kita, salah satunya untuk melindungi kulit kita. Apabila
kulit kita tidak terlindungi oleh pakaian, langsung terkena pancaran sinar ultra violet, maka kulit
kita akan terbakar dan kita bisa mengalami kanker kulit.

Pakaian juga menjaga suhu tubuh menusia agar tetap stabil, dengan menggunakan jenis bahan
pakaian tertentu, kita bisa menjaga suhu tubuh kita. Pakaian juga bisa menjadi identitas diri kita,
apabila kita menggunakan pakaian yang bagus dan kelihatan nyaman, berarti kita sudah
memenuhi kriteria berpakaian yang sopan, dan kita pun bisa melakukan ibadah tanpa harus
khawatir, apakah baju kita suci dan pantas untuk dipakai.

HIKMAH MENGUNAKAN PAKAIAN SESUAI AJARAN AGAMA ISLAM


a. Mendatangkan rasa aman dan tenang
b. Menumbuhkan sikap tawaddhu dan rendah hati
c. Terlindung dari sengatan panas dan dinginnya cuaca
d. Terhindar dari ganguan pandangan yang berlebihan
e. Mencerminkan kepribadian seseorang

4. MEMBIASAKAN AKHLAK BERPAKAIAN

Agama Islam memerintahkan pemeluknya agara berpakaian yang baik dan bagus, sesuai dengan
kemampuan masing – masing. Dalam pengertian bahwa pakaian tersebut dapat memenuhi hajat
tujuan berpakaian, yaitu menutup aurat dan keindahan.

Islam memiliki etika berbusana yang telah diatur oleh Allah SWT didalam Al – Qur’an dan
Hadits. Didalam Islam, kita sebagai umat Allah tidak diperbolehkan memakai pakaian yang
melanggar aturan Islam, tetap harus mengikuti aturan itu sampai kita meninggal. Jika kita
melanggar, dan tidak mau mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh Allah, maka sama saja
kita orang munafiq. Zaman semakin berkembang bukan berarti kita harus mengikuti
perkembangan yang ada secara keseluruhan. Pakaian merupakan pengaruh yang besar bagi
perkembangan zaman. Karena, akibat dari perkembangan zaman yang datangnya dari Dunia
Barat, sangat mempengaruhi mode pakaian kita sebagai umat muslim. Maka dari itu biasakanlah
berpakaian sesuai syari’at Islam, agar tidak terpengaruh oleh pengaruh – pengaruh negatif, yang
membuat kita lupa akan Allah serta aturanNya.

B. AKHLAK BERHIAS

1. PENGERTIAN AKHLAK BERHIAS


Berhias dalam bahasa arab tazaiyana-yataziyanu, dalam kamus bahasa Indonesia berhias
diartikan usaha memperelok diri dengan pakaian ataupun lainya yang indah-indah, berdandan
dengan dadanan indah dan menarik.
Secara istilah, berhias dapat dimaknai sebagai upaya setiap orang untuk memperindah diri
dengan berbagai busana, aksesoris, atau make-up yang dapat memperelok diri bagi pemakainya
sehingga memunculkan kesan indah bagi yang menyaksikan serta menambah rasa percaya diri
penampilan untuk tujuan tertentu.

Berhias adalah naluri yang dimiliki oleh manusia. Berhias sudah menjadi kebutuhan bagi
sebagian besar manusia, agara dapat memperindah diri baik di lingkungan sekitar maupun diluar.
Berhias adalah salah satu alat untuk mengekspresikan diri, yang menunjukkan identitas serta jati
diri seseorang. Berhias dapat memberikan kesan indah tersendiri bagi orang lain yang
melihatnya, baik dari segi pakaian, maupun make up wajah mereka. Maka dari itu berhias
dikategorikan sebagai akhlak terpuji. Tetapi berhias juga terdapat aturannya agar tidak
melanggar syari’ay Islam. Dalam sebuah hadits Nabi SAW bersabda:
Artinya: Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan (HR. Muslim)

2. BENTUK AKHLAK BERHIAS

Berhias bukanlah dipandang dari segi dandanan nuka, tetapi pakaian juga termasuk sesuatu yang
bisa dikatakan alat untuk berhias. Pakaian kita yang sederhana bisa menjadi pakaian yang
mempunyai nilai keindahan yang tinggi apabila kita beri hiasan agar kita terlihat cantik
memakainya. Jilbab juga dapat menjadi hiasan. Sekarang sudah banyak bentuk Jilbab yang
berbagai macam, dan dapat menghias diri kita agar terlihat indah dan nyaman dipakai.

Perhiasan kita juga termasuk salah satu alat untuk berhias. Arloji, kalung, gelang, cincin dsb.
Parfum juga termasuk, tapi kita tidak boleh lupa. Jika kita ingin berhias tersapat rambu – rambu,
agar tidak melanggar Syari’at yang sudah ditetapkan oleh Allah:

1. Niat yang lurus, berhias hanya untuk beribadah yang diorientasikan sebagai rasa syukur atas
nikmat yang telah Allah berikan.
2. Dalam berhias tidak diperbolehkan menggunakan bahan – bahan yang dilarang agama
3. Tidak boleh menggunakan hiasan yang menggunakan simbol non muslim
4. Tidak berlebih – lebihan
5. Tidak Boleh berhias seperti orang jahiliah
6. Berhias menurut kelaziman dan kepatutan dengan memperhatikan jenis kelamin
7. Berhias bukan untuk berfoya – foya

Ketika berhias terkadang kita lupa akan aturan, melewati batas kewajaran yang telah ditetapkan.
Seringkali naluri manusia berubah menjadi hawa nafsu yang liar. Yang aka menyebabkan
manusia terjerumus kedalam hal yang mnyesatkan. Agama Islam memeberi batasan dalam etika
berhias, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah

3. NILAI POSITIF AKHLAK BERHIAS

Berhias dapat menunjukkan kepribadian kita. Apabila kita menggunakan hiasan yang cocok
dengan diri kita, maka orang akan menilai diri kita dengan pandangan yang berbeda ketika kita
tidak berhias. Jika kita menggunakan arloji, jas, kerudung, maka orang lain akan memandang
kita dengan penug pemikiran. Bahwa kita sebenarnya tidak sesederhana yang dibayangkan. Kita
bisa berorientasi dengan waktu, tanpa meninggalkan syari’at Islam.

Berhias memberikan pengaruh positif dalam berbagai aspek kehidupan, karena berhias diniatkan
untuk beribadah, maka setiap langkah kita akan menjadi langkah menggapai barokan dan pahala
dari Allah SWT. Namun sebaliknya apabila berhias hanya untuk menarik perhatian orang lain
untuk tergoda dan memuji muji kita agar kita senang sendiri, maka itu menjadi alat yang sesat.
Lupa akan Allah, dan hanya ingin dijadikan alat pemuas diri kita. Maka yang demikian itu
adalah haram.

4. MEMBIASAKAN AKHLAK BERHIAS

Berhias merupakan kebutuhan manusia untuk menjaga dan mengaktualisasikan dirinya menurut
tunutan perkembangan zaman. Nilai keindahan dan kekhasan dalam berhias menjadi tuntutan
yang terus dikembangkan seiring dengan perkembangan zaman. Dalam kaitannya dengan
kegiatan berhias atau berhias atau berdandan, maka setiap manusia memiliki kebebasan untuk
mengekspresikan keinginan mengembangkan berbagai mode menurut fungsi dan momentumnya,
sehingga berhias dapat menyatakan identitas diri seseorang.

Dalam Islam diperintahkan untuk berhias yang baik, bagus, dan indah sesuai dengan kemampuan
masing – masing. Terutama apabila kita akan melakukan ibadah shalat maka seyogyanya
perhiasan yang kita pakai itu haruslah baik, bersih dan indah (bukan berarti mewah), karena
mewah itu sudah memasuki wilayah berlebihan.

Hal ini sesuai firman Allah; “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah disetiap
(memasuki ) masjid, makan, minumlah, dan janganlah berlebih – lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang yang brlebih – lebihan.” Qs. Al - A’raf /7 : 31)
akibat yang ditimbulkan apabila mengunakan pakaian, berhias, secara berlebihan/tidak sesuai
ajaran agama Islam. laranganberhias dan berbusana berlebihan di riwayatkan dari aisyah ra,
katanya ketika Rasulullah S.A.W sedang duduk beristirahat di masjid, tiba tiba ada seorang
perempuan golongan muzainah terlihat memamerkan dandanannya di masjid sambil
menyeretnyeret busana panjangnya Rasulullah S.A.W bersabda:”hai sekalian manusia, laranglah
istri istrimu (termasuk anak anak remaja perempuan yang merekamiliki) mengenakan dandanan
seraya berjalan angkuh. nanti (HR Ahmad, Abu Daud, An-Nassai dan Ibnu Majah).

‫ي يَاأَيُّ َها‬ ِ ‫اء َو َبنَاتِكَ ِِلَز َو‬


ُّ ِ‫اجكَ قُل النَّب‬ ِ ‫س‬َ ِ‫َج ََلبِي ِب ِه َّن ِمن َعلَي ِه َّن يُدنِينَ ال ُمؤ ِمنِينَ َون‬
َ‫ يُؤذَينَ فَ ََل يُع َرفنَ أَن أَدنَى ذَلِك‬...
Artinya.“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri
orang mukmin; “hendaklahmereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka”.Yang
demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu (oleh
lidah/tangan usil)” (Q.S.Al-Ahzâb (33): 59).

Siapa yang memakai pakaian (yang bertujuan mengundang) popularitas, maka Allah akan
mengenakan untuknya pakaian kehinaan pada hari kemudian, laludikobarkan pada pakainnya itu
api”. (H.R. Abû Daud). Yang dimaksud disini adalah bila tujuan memakainya mengundang
perhatian dari laki-lakidan bertujuan memperoleh popularitas. Pemilihan mode busana tertentu
juga tercakup di sini, akan tetapi bukan berarti seseorang dilarang memakai pakaian yang indah
dan bersih, karena itu itulah justru yang dianjurkan.

C. AKHLAK PERJALANAN (SAFAR)


1. PENGERTIAN AKHLAK PERJALANAN

Perjalanan dalam bahasa Arab disebut dengan kata “Rihlah atau – Safar” dalam kamus besar
Bahasa Indonesia perjalanan diartikan ; “perihal” (cara, gerakan, dsb) Berjalan atau berpergian
dari suatu tempat menuju tempat untuk suatu tujuan”. Secara istilah, perjalanan sebagai aktifitas
seseorang untuk keluar ataupun meninggalkan rumah dengan berjalan kaki ataupun
menggunakan berbagai sarana transportasi yang mengantarkan sampai pada tempat tujuan
dengan maksud ataupun tujuan tertentu.
Pada zaman Rasulullah, melakukan perjalanan telah menjadi tradisi masyarakat Arab. Dalam Al
Qur’an Surah Al Quraisy yang disebut diatas, Allah mengabadikan tradisi masyarakat Arab yang
suka melakukan perjalananpada musim tertentu untuk berbagai keperluan. Karena itu tidak heran
jika Islam sebagai satu – satunya agama yang mengatur kegiatan manusia dalam melakukan
perjalanan, mulai dari masa persiapan perjalanan, ketika masih berada dirumah, selanjutnya pada
saat dalam perjalanan dan ketika sudah kembali pulang dari suatu perjalanan.

2. BENTUK AKHLAK PERJALANAN

Islam mengajarkan agar setiap perjalanan yang dilakukan bertujuan untuk mencari Ridho Allah.
Diantara jenis perjalanan (Safar) yang dianjurkan dalam Islam yaitu pergi Haji, Umroh,
menyambung silaturahmi , menuntut Ilmu, berdakwah, berperan di jalan Allah, mencari karunia
Allah dll. Perjalanan (Safar) juga berfungsi untuk menyehatkan dan merefreshing kondisi
jasmani dan rohani dari kelelahan dan kepenatan dalam menjalani suatu aktifitas.

Sebagai pedoman Islam mengajarkan adab dalam melakukan perjalanan yaitu :

1. Bermusyawarah dan shalat Istikharah


2. Mengembalikan hak dan amanat kepada pemiliknya
3. Membawa 6 benda : gunting, siwak, tempat celak, tempat air minum, cebok dan wudhu. Hal
tersebut disunnahkan Rasulullah
4. Menyertakan Istri ataupun anggota keluarga
5. Wanita menyertakan teman atau muhrimnya
6. Memiliki kawan pendamping yang shalih dan shalihah
7. Mengangkat pemimpin atau ketua rombongan
8. Mohon pamitan pada keluarga dan handai taolan serta mohon do’a

3. NILAI POSITIF AKHLAK PERJALANAN


Keuntungan melakukan perjalanan diantaranya yaitu:
1. Safar dapat menghibur diri dari kesedihan
2. Safar menjadi sarana bagi sesorang untuk memperoleh tambahan pengalaman
3. Safar dapat mengantarkan seseorang untuk memperoleh pengalaman dan ilmu pengetahuan
4. Dengan Safar maka seseorang akan lebih banyak mengenal adapt kesopanan yang
berkembang pada suatu komunitas masyarakat.
5. Perjalanan akan dapat menambah wawasan dan bahkan kawan yang baik dan mulia.

4. MEMBIASAKAN AKHLAK PERJALANAN

Sebaiknya setiap orang memikirkan terlebih dahulu secara matang terhadap semua perjalanan.
Niat kita harus lah baik, ingin beribadah kepada Allah SWT. Apabila melakukan safar atau
Rihlah dengan perhitungan jadwal yang matang, akurat , rinci dan jelas agendanya. Sebaiknya
jika suatu perjalanan tanpa adanya agenda yang jelas, maka akan cenderung menyia – nyiakan
waktu, biaya ataupun Energi, dan bahkan akan membuka celah bagi syaitan untuk menyesatkan
dan akhirnya tujuan Safar tak tercapai. Dan kita harusnya bersyukur jika kita sudah berhasil
melakukan perjalanan

D. AKHLAK BERTAMU

Dalam kehidupan bermasyarakat, kita tidak akan pernah terlepas dari kegiatan bertemu.
Adakalanya kita yang datang mengunjungi anak saudara, teman-teman atau para kenalan, namun
kesempatan lain berganti kita yang dikunjungi. Supaya kegiatan saling berkunjung tetap
berdampak positif bagi kedua belah pihak, maka islam memberikan tuntunan begaimana
sebaiknya bertamu dan menerima tamu dilakukan.
1. PENGERTIAN AKHLAK BERTAMU

Bertamu dalam bahasa arab ata liziyarati-istadafa-yastadifu, dalam kamus bahasa Indonesia
bertamu diartikan dating berkunjung ke rumah seorang teman ataupun kerabat untuk satu tujuan
atapun maksud (melawat dan sebagainya).
Secara istilah, bertamu merupakan kegiatan mengunjungi rumah sahabat kerabat ataupun orang
lain dengan tujuan untuk menjalin persaudaraan ataupun untuk keperluan lain dalam rangka
menciptakan kebersamaan dan kemaslahatan bersama
Bertamu merupakan tradisi masyarakat yang selalu dilestarikan. Dengan bertamu seorang bias
menjalin persaudaraan bahkan dapat menjalin kerja ama untuk meringankan berbagai maalah
yang dihadapi dalam kehidupan.adakalanya seorang bertamu karena adanya urusan yang serius,
mialnya untuk mencari solusi terhadap problema masyarakat actual, sekedar bertandang, karena
lama tidak ketemu (berjumpa) ataupun sekedar untuk mampir sejenak. Dengan bertangang ke
rumah kerabat atau sahabat, maka kerinduan terhadap kerabat ataupun ahabat dapat tersalurkan,
sehingga jalinan persahabatan menjadi kokoh.

Bertamu dalam bahaa Arab disebut dengankata ( ) “Ataa liziyaroti, atau ( - ) Iatadloofa-
Yastadliifu”. Menurut kamus bahasa Indonesia, bertamu diartikan ; “dating berkunjung kerumah
seorang teman atupun kerabat untuk suatu tujuan ataupun maksud (melawat dan sebagainya)”.
Ecara istilah bertamu merupakan kegiatan mengunjungi rumah ahabat, kerabat atau[un orang
lain, dalam rangka menciptakan kebersamaan dan kemalahatan bersama.

Tujuan bertamu sudah barang udah barang tentu untuk menjalin persaudaraan ataupun
perahabatan. Sedangkan bertamu kepadea orang yang belum dikenal, memiliki tujuan untuk
saling memperkenalkan diri ataupun bermaksud lain yang belu diketahui kedua belah pihak.
Bertamu merupakan kebiaaan poitif dalam kehidupan bermasyarakat dari zaman tradisional
sampai zaman modern. Dengan melestarikan kebiaaan kunjung mengunjungi, maka segala
persoalan mudah dilestarikan, segala urusan mudah diberskan dan segala maalah mudah diatasi.

2. BENTUK AKHLAK BERTAMU

Sebelum memasuki rumah seseorang, hendaklah orang yang bertamu terlebih dahulu meminta
izin dan mengucapkan salam kepada penghuni rumah. Allah berfirman: Artinya:”Wahai orang-
orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta
izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu
(selalu) ingat.”(.S. an-Nur/24/27).

Berdasarkan iyarat al-Qur’an di atas, maka yang pertama dilakukan adalah meminta izin, baru
kemudian mengucapkan salam. Sedangkan menurut mayoritas ahli fiqih berpendapat sebaliknya.
Menurut Rasululluh aw, meminta izin maksimal boleh dilakukan tiga kali.
Disamping meminta izin dan mengucapkan alam, hal lain yang perlu diperhatikan oleh setiap
orang yang bertamu sebagai berikut:

1. Jangan bertamu sembarangan waktu.


2. Kalau diteima bertamu, jangan selalu lama sehingga merepotkan tuan rumah. Setelah urusan
seleai segeralah pulang.
3. Jangan melakukan kegiatang yang membuat tuan rumah terganggu.
4. Kalau diuguhi minuman atau makanan hormatilah jamuan itu. Bahkan Rasulullah saw.
Menganjurkan kepada orang yang berpuasa sunnah sebaiknya berbuka puasanya untuk
menghormati jamuan.
5. Hendaklah pamit pada waktu mau pulang.

3. NILAI POSITIF AKHLAK BERTAMU

Bertamu secara baik dapat menumbuhkan sikap toleran terhadap oaring lain dan menjauhkan
sikap pakaan, tekanan, dan intimidasi. Islam tidak mengenal tindakan kekerasan. Bukan saja
dalam usaha meyakinkan orang lain terhadap tujuan dan maksud beik kedatangan, tetapi juga
dalam tindak laku dan pergaulan dengan sesame manuia harus terhindar cara-cara pakaan dan
kekerasan.

Dengan bertamu ataupun bertangang, seorang akan mempertemukan persamaan ataupun


kesesuaian sehingga akan terjalin persahabatan dan kerjasama dalam menjalin kehidupan.
Dengan bertamu, seorang akan melakukan diskui yang baik, sikap yang sportif, dan elegan
terhadap seamanya.
Bertamu dianggap sebagai sarana yang efektif untuk berdakwah dan menciptakan kehidupan
mesyarakat yang bermartabat.

4. MEMBIASAKAN AKHLAK BERTAMU

Sesungguhnya bertamu itu sebagai kegiatan yang cukup mengasyikan. Dengan tujuan bertamu
seseorang dapat menemukan berbagai manfaat, baik berupa wawasan, pengalaman berharga
ataupun dapat menikmati segala bentuk penyambutan tuan rumah. Menurut ungkapan Al-Qu’an,
sebaiknya orang bertamu tidak memaksa untuk pada saat tidak ada orang yang di rumah.
Allah berfirman:
Artinya: ‘Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, maka janganlah kamu masuk
sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah, maka
hendaklah kamu kembali. Itu bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”. (Q.S. an-Nur/24:28).
Al-Qur-an memberikan isyarat yang tegas, betapa pentingnya setiap orang yang bertemu dapat
nejaga diri agar tetap menghormati tuan rumah. Setiap tamu haru berusaha menahan segala
keinginan dan kehendaknya baiknya sekalipun, jika tuan rumah tidak berkenan menerimanya.
Demikin pula apabila kegiatan bertamu telah uai, maka seorang yang bertamu telah usai, maka
seorang yang bertamu harus meninggalkan kesan yang beik dan menyenagkan bagi tuan rumah.
Karena itu haram hukumnya orang yang bertamu meninggalkan kekecewaan ataupun kesusahan
bagi tuan rumah.
HIKMAH AKHLAK BERTAMU SESUAI AJARAN AGAMA ISLAM
a. mempererat hubungan tali silaturahim antar sesama
b. melatih kesabaran, kearifan dan kebijaksanaan
c. belajar menghargai, memuliakan orang lain.

E. AKHLAK MENERIMA TAMU

Islam memberikan aturan yang jelas agar setiap muslim memuliakan etiap tamu yang dating,
kerena memuliakan tamu sebagai perwujudan keimanan kepada Allah dan hari akhir.

1. PENGERTIAN AKHLAH MENERIMA TAMU

Menurut kamus bahasa Indonesia, menerima tamu (ketamuan) diartikan; “kedatangan orang
yang bertamu, melawat atau berkunjung”. Secara istilah menerima tamu dimaknai menyambut
tamu dengan berbagai cara penyambutan yang lazim (wajar) dilakukan menurut adapt ataupun
agama dengan meksud yang menyenagkan atau memuliakan tamu, atas dasar keyakinan untuk
mendapatkan rahmad dan rida dari Allah.

2. BENTUK AKHLAK MENERIMA TAMU

Islam sebagai agama yang sangat serius dalam memberikan perhatian orang yang sedang
bertamu. Sesungguhnya orang yang bertau telah dijamun hak-haknya dalam islam.karena itu
menghormati tamu merupakan perhatian yang mendatangkan kemuliaan di dunia dan akhirat.
Setiap muslim wajib memuliakan tamu, tanpa membeda-bedakan statu social ataupun maksud
dan tujuan bertamu.
Memuliakan tamu dilakukan antara lain dengan menyambut kedatangannya dengan muka menis
dan tutur kata yang lemah lembut, mempersilahkan duduk ditempat yang baik. Kalau perlu,
disediakan ruangan khusus untuk menerima tamu yang selau dijaga kerapian dan kelestariannya.
Kalau tamu dating dari tempat yang jauh dan ingin menginap, tuan rumah wajib menerima dan
menjamunya mekimal tiga hari tiga malam. Lebih dari tiga hari terserah kepada tuan rumah
untuk tetap menjamunyaatau tidak. Menurut Rasulullah saw menjamu tamu lebih dari tiga hari
nilainya sedekah, bukan lagi kewajiban.

3. NILAI POSITIF AKHLAK MENERIMA TAMU

Setiap oaring islam telah diikat oleh suetu tata aturan supaya hidup bertetangga dan bersahabat
dengan orang lain, sekalipun berbeda agama atau suku. Hak-hak mereka tidak boleh dikurangi
dan tidak boleh dilanggar undang-undang perjanjian yang mengikat di antara sesame manusia.
Menerima tamu sebagai perwujudan keimanan, artinya semakin kuat iman seseorang, maka
semakin ramah dan antun dalam menyambut tamunya karena orang yang beriman meyakini
bahwa menyambut tamu bagian dari perintah Allah.

Menyambut tamu dapat meningkatkan akhlak, mengembangkan kepribadian, dan tamu juga
dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendpatkan kemashalatan dunia ataupun akhirat

4. MEMBIASAKAN AKHLAK MENERIMA TAMU

Menerima tamu merupakan bagian dari aspek soial dalam ajaran Islam yang harus terus dijaga.
Menerima tamu dengan penyambutan yang baik merupakan cermin diri dan menunjukkan
kualitas kepribadian seorang muslim. Setiap muslim harus membiasakan diri untuk menyambut
setiap tamu yang dating dengan penyambutan yang penuh suka cita.

Agar dapat menyambut tamu dengan suka cita maka tuan rumah harua menghadirkan pikiran
yang positif (husnudon)terhadap tammu, jangan sampai kehadiran tamu disertai dengan
munculnya pikiran negative dari tuan rumah (su’udzon).

Apabila suatu saat tuan rumah meraakan berat untuk menerima kehadirab tamunya, maka tuan
rumah haru tetap menunjukkan sikap yang arif dan bijak, jngan sampai menyinggung perasaan
tamu.
Seyogyanya setiap muslim harus menunjukkan sikap yang baik terhadap tamunya, mulai dari
keramahan diri dalam menyambut tamu, menyediakan sarana dan prasarana penyambutan yang
memadai, serta memberikan jamuan makan ataupun minuman yang memenui tamu.
A. Pengertian, asal usul dan istilah-istilah dalam tasawuf
1. Pengertian Tasawuf

Dalam penjelasannya, Dr. Harun Nasution menerangkan bahwa: Tidak mengherankan


kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci.
Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:
1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi
banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama
salat dan puasa.
2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf
pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca
ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini
adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.
3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan
meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang
miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah,
(pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik
serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi.
4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan
kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena
kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin
dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.
5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf,
ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol
kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan
kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.

Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal
kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari
dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama memakai
kata sufi kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).

2. Asal Usul / Sejarah Tasawuf

Hakikat dan Sejarah Tasawuf

Hakikat Tasawuf Seringkali tasawuf dituduh sebagai ajaran sesat. Tasawuf dipersepsikan
sebagai ajaran yang lahir dari rahim non Islam. Ia adalah ritual keagamaan yang diambil
dari tradisi Kristen, Hindu dan Brahmana. Bahkan gerakan sufi, diidentikan dengan
kemalasan bekerja dan berfikir. Betulkah?
Untuk menilai apakah satu ajaran tidak Islami dan dianggap sebagai terkena infiltrasi
budaya asing tidak cukup hanya karena ada kesamaan istilah atau ditemukannya beberapa
kemiripan dalam laku ritual dengan tradisi agama lain atau karena ajaran itu muncul
belakangan, paska Nabi dan para shahabat. Perlu analisis yang lebih sabar, mendalam,
dan objektif. Tidak bisa hanya dinilai dari kulitnya saja, tapi harus masuk ke substansi
materi dan motif awalnya.
Tasawuf pada mulanya dimaksudkan sebagai tarbiyah akhlak-ruhani: mengamalkan
akhlak mulia, dan meninggalkan setiap perilaku tercela. Atau sederhananya, ilmu untuk
membersihkan jiwa dan menghaluskan budi pekerti. Demikian Imam Junaid, Syeikh
Zakaria al-Anshari mendefiniskan.
Asal kata sufi sendiri ulama berbeda pendapat. Tapi perdebatan asal-usul kata itu tak
terlalu penting. Adapun penolakan sebagian orang atas tasawuf karena menganggap kata
sufi tidak ada dalam al-Qur\'an, dan tidak dikenal pada zaman Nabi, Shahabat dan tabi\'in
tidak otomatis menjadikan tasawuf sebagai ajaran terlarang! Artinya, kalau mau jujur
sebetulnya banyak sekali istilah-istilah (seperti nahwu, fikih, dan ushul fikih) yang lahir
setelah periode Shahabat, tapi ulama kita tidak alergi, bahkan menggunakannya dengan
penuh kesadaran.
Sejarah Tasawuf
Kenapa gerakan tasawuf baru muncul paska era Shahabat dan Tabi\'in? Kenapa tidak
muncul pada masa Nabi? Jawabnya, saat itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf.
Perilaku umat masih sangat stabil. Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi garapan
Islam masih dijalankan secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya
pragmatisme, materialisme dan hedonisme.
Tasawuf sebagai nomenklatur sebuah perlawanan terhadap budaya materialisme belum
ada, bahkan tidak dibutuhkan. Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabi\'in pada
hakikatnya sudah sufi: sebuah perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan
dunia, tapi juga tidak meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq
Ketika kekuasaan Islam makin meluas. Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin
mapan, mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani. Budaya hedonisme pun menjadi
fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf (sekitar abad 2 Hijriah). Gerakan
yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup. Konon, menurut pengarang
Kasf adh-Dhunun, orang yang pertama kali dijuluki as-shufi adalah Abu Hasyim as-Shufi
(w. 150 H)
Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan
agama Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan
bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.
Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang
mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir
Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang
gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang
kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-
rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari
dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.
Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam
filsafatnya, roh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke
dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh yang pada mulanya
suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang
suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada fllsafat serta
ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh
yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi
kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk
dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu dibersihkan dulu
melalui ibadat yang banyak.
Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus. Roh
memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras,
dia berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak
dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha
membersihkan diri melalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat mendekatkan diri
dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu dengan Dia di bumi ini.
Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam ajaran tasawuf. Paham itu
memang bertentangan dengan ajaran al-Qur’an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan
kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh pergi ke alam
barzah menunggu datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya
roh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.
Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai
dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri.
Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam.
Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman
dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf
terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan.
Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang
lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang
terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti
historis. Dalam kaitan ini timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidak
ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam sendiri?
Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan
memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-
Qur’an dan Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan, “Jika hambaKu bertanya
kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil
jika Aku dipanggil.”
Kaum sufi mengartikan do’a disini bukan berdo’a, tetapi berseru, agar Tuhan
mengabulkan seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata
lain, ia berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada yang
berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut, “Timur dan Barat
kepunyaan Tuhan, maka kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan” (QS. al-
Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai.
Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi jauh, untuk menjumpainya.
Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia,
“Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya.
Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya
(QS. Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di
dalam diri manusia sendiri. Karena itu hadis mengatakan, “Siapa yang mengetahui
dirinya mengetahui Tuhannya.”
Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia masuk kedalam dirinya dan
Tuhan yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat
berikut dipahami kaum sufi, “Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah
yang membunuh dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir)
tapi Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17).
Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah
perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada
makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, “Pada mulanya Aku adalah harta
yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui
mereka Aku-pun dikenal.”
Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang
bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia
dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud
makhluk dengan Tuhan.
Demikianlah ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya
Tuhan kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini
tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan
Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan,
lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan rohnya
dengan roh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.

3. Istilah-Istilah dalam Tasawuf

sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang istilah-istilah dalam Tasawuf, ada baiknya
mengikuti uraian berikut ini.

Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati
dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun
orang harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya sedikit sekali orang yang
bisa sampai puncak tujuan tasawuf. Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari
sinilah berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, yang intinya adalah
penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab
disebut maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu sambil berusaha keras untuk
membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke stasion berikutnya.
Sebagaimana telah di sebut diatas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama
puasa, shalat, membaca al-Qur’an dan dzikir. Maka, seorang calon sufi banyak
melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri itu,
terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.
Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus dilakukan
seseorang adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam tasawuf
adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar yang
dilakukannya Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil,
kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat yang
dimaksud adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-
dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun.
Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang. Untuk memantapkan tobatnya ia
pindah ke stasion kedua, yaitu zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materi
dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat,
membaca al-Qur’an dan dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah,
dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk
mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun
sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh
kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani, dan itu
diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur’an dan berdzikir.
Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari
pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa,
melakukan shalat, membaca al-Qur’an dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji.
Sampailah ia ke stasion wara’. Di stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-
perbuatan syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi menolak
makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr al-Hafi tidak bisa mengulurkan
tangan ke arah makanan yang berisi syubhat.
Dari stasion wara’, ia pindah ke stasion faqr. Di stasion ini ia menjalani hidup kefakiran.
Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat
menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia
tidak punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan.
Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion sabar. Ia sabar bukan hanya dalam
menjalankan perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi larangan-larangan Tuhan
yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang
ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan,
bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Ia sabar menderita.
Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada
kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari
ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tenteram. Kendatipun
ada padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan
dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati.
Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari stasion ini ia tidak menentang
percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk
surga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada
hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di
dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat sekali dengan Tuhan
dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya
bersatu dengan Tuhan.
Karena stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri bagi orang
yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi baru menjadi
zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasion berikutnya dan
memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf.

Adapun istilah-isilah yang berkaitan dengan tasawuf


1. maqam / maqamat
2. fana' dan baqa
3. ittihad
4. hulul
5. wihdatul wujud
6. zuhud
7. Mahabbah

B. Fungsi dan peranan tasawuf dalam kehidupan modern


1. Karakteristik tasawuf
Berdassarkan objek dan sasarannya tasawuf dikasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu:
a. Tasawuf Akhlaqi, yaitu Tasawuf yang sangat menekankan pada nilai-nilai etis (moral)
2. Tasawuf Amali, yaitu Tasawuf yang lebih mengutamakan kebiasaan beribadah,
tujuannya agar diperoleh pengahayatan spiritual dalam setiap melakukan ibadah.
3. Tasawuf Falsafi, yaitu Tasawuf yang lebih menekankan pada masalah-masalah
metafisik (sesuatu yang diluar nalar dan rasio manusia).
2. Pentingnya tasawuf
3. Hubungan tasawuf dengan akhlak
B. 1. Pengertian Adil
C.
D. Adil menurut bahasa Arab disebut dengan kata ‘adilun, yang berarti samadengan
seimbang.Menurut kamus besar bahasa Indonesia, adalah diartikan tidak berat
sebelah,tidak memihak,berpihak pada yang benar,berpegang pada kebenaran, sepatutnya,
dan tidak sewenang-wenang. Dan menurut ilmu akhlak ialah meletakan sesuatu pada
tempatnya, memberikan atau menerima sesuatu sesuai haknya, dan menghukum yang
jahat sesuai haknya, dan menghukumyang jahat sesuai dan kesalahan dan pelanggaranya.
E.
F. 2. Karakteristik Sikap Adil
G.
H. Islam mengajarkan bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dan sederajat
dalam hukum. Dalam islam , tidak ada diskriminasi hukum karena perbedaan kulit, status
social, ekonomi,atau politik .
I. Berikut ini beberapa contoh sikap adil dalam Al-Qur’an :
J. Adil terhadap diri sendiri.
K. Adil terhadap istri dan anak
L. Adil dalam mendamaikan perselisihan
M. Adil dalam bertuturkata
N. Adil terhadap musuh sekalipun
O.
P. 3. Nilai Positif Sikap Adil
Q.
R. Keadilan merupakan sesuatu yang bernilai tinggi, baik, dan mulia. Apabila keadilan
diwujudkan dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, serta bangsa dan Negara,
sudah tentu ketinggian, kebaikan, dan kemuliaan akan diraih. Jika seseorang mampu
mewujudkn keadilan dalam dirinyasendiri, tentu akan meraih keberhasilan dalam
hidupnya, memperoleh kegembiraan batin, disenangi banyak orang, dapat meningkatkan
kualitas diri, dan memperoleh kesejahteraan hidup duniawi serta ukkhrawi (akhirat).
S. Jika keadilan dapat diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, akan terwujud masyarakat yang aman,tentra , serta damai sejahtera lahir dan
batin. Hal ini disebabkan masing-masing anggota masyarakat melaksanakan kewajiban
terhadap orang lain dan akan memenuhi hak orang lain dengan seadil-adilnya .
T.
U. 4. Membiasakan Sikap Adil
V.
W. Seorang hendaknya membiasakan diri berlaku adil, baik terhadap dirinya,kedua orang
tua nya,saudara-saudaranya,anak-anaknya, teman-temannya, tetangganya,
masyarakatnya, bangsa dan Negaranya, maupun terhadap sang Khalik(Alloh swt).
X. Apabila keadilan itu ditegakan dalam setiap aspek kehidupan, tentu keamanan,
ketentraman,kedamaian, serta kesejahteraan lahir dan batin, duniawi dan ukhrawi akan
dapat diraih.

Y. B. Rida
Z.
AA. 1. Pengertian rida
BB.
CC. Perkataan rida berasal dari bahasa arab, radiya yang artinya senang hati (rela).
Rida menurut syariah adalah menerima dengan senang hati atas segala yang diberikan
Allah swt, baik berupa hokum (peraturan-peraturan) maupun ketentuan-ketentuan yang
telah ditetapkan-Nya. Sikap rida harus ditunjukkan, baik ketika menerima nikmat
maupun tatkala ditimpa musibah.
DD. Kebanyakan manusia merasa sukar atau gelisah ketika menerima keadaan yang
menimpa dirinya, seperti kemiskinan, kerugian, kehilangan barang, pangkat, kedudukan,
kematian anggota keluarganya, dan lain-lain, kecuali orang yang mempunyai sifat rida
terhadap takdir. Orang yang memiliki sifat rida tidak mudah bimbang atau kecewa atas
pengorbanan yang dilakukannya. Ia tidak menyesal dengan kehidupan yang diberikan
Allah swt dan tidak iri hati atas kelebihan yang didapat orang lain karena yakin bahwa
semua itu berasal dari Allah swt. Sedangkan kewajibannya adalah berusaha atau
berikhtiar dengan kemampuan yang ada.
EE. Rida terhadap takdir bukan berarti menyerah atau pasrah tanpa usaha lebih
dulu untuk mencari jalan keluarnya. Menyerah dan berputus asa tidak dibenarkan oleh
tatanan hidup dan tidak dibenarkan pula oleh ajaran Islam. Allah swt. memberikan
cobaan atau ujian dalam rangka menguji keimanan dan ketakwaan hamba-Nya. Firman
Allah swt.:
FF.
GG. Artinya : “ Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita
gembira kepada orang-orang yang sabar. (156) (yaitu) orang-orang yangapabila
ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.
Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali. kalimat ini
dinamakan kalimat istirjaa (pernyataan kembali kepada Allah). Disunatkan menyebutnya
waktu ditimpa marabahaya baik besar maupun kecil. (Q.S. Al Baqarah:155-156).
HH.
II. Sikap rida dapat ditunjukkan melalui hal-hal sebagai berikut:
JJ. 1. Sabar dalam melaksanakan kewajiban hingga selesai dengan kesungguhan usaha atau
ikhtiar dan penuh tanggung jawab.
KK. 2. Senantiasa mengingat Allah swt. dan tetap melaksanakan shalat dengan
kusyuk.
LL. 3. Tidak iri hati atas kekurangan atau kelebihan orang lain dan tidak ria untuk
dikagumi hasil usahanya.
MM. 4. Senantiasa bersyukur atau berterima kasih kepada Allah swt. atas segala nikmat
pemberian-Nya. Hal itu adalah upaya untuk mencapai tingkat tertinggi dalam perbaikan
akhlak.
NN. 5. Tetap beramal saleh (berbuat baik) kepada sesama sesuai dengan keadaan dan
kemampuan, seperti aktif dalam kegiatan social, kerja bakti, dan membantu orangtua di
rumah dalam menyelesaikan pekerjaan mereka.
OO. 6. Menunjukkan kerelaan atau rida terhadap diri sendiri dan Tuhannya. Juga rida
terhadap kehidupan terhadap takdir yang berbentuk nikmat maupun musibah, dan
terhadap perolehan rezeki atau karunia Allah swt.
PP.
QQ. Menurut kamus besar Indonesia, rida diartikan rela, suka, dan senang
hati.sedangkan menurut bahasa adalah ketetapan hati untuk menerima segala keputusan
yang sudah ditetapkan dan ridha merupakan akhir dari semua keinginan dan harapan
yang baik .
RR.
SS. 2. Karakteristik sikap rida
TT.
UU. Apabila sebagian pendapat para ahli hikmah, rida dikelompokan menjadi tiga
tingkatan, yaitu rida kepada Alloh, rido pada apa yang datang dari Alloh, dan rida pada
qada Alloh.
VV. Rida kepada Allah adalah fardu ain.Rida pada apa yang datang dari Allah
meskipun merupakan sesuatu yang sangat luhur, hal ini termasuk ubudiah yang sangat
mulia.
WW. Sesungguhnya pilihan tuhan untuk hamba-Nya dibagi dua macam yaitu
pertama, ikhtiyar ad-din wa syar’I (pilihan keagamaan dan syariat).kedua, ikhtiyar kauni
kadari (pilihan yang berkenaan dengan alam dan takdir).Takdir yang tidak dicintai dan
diridai Alloh yaitu perbuatan aib dan dosa-dosa.
XX. Macam-macam rida :
YY. a. Ridha terhadap perintah dan larangan Allah
ZZ. Artinya ridha untuk mentaati Allah dan Rasulnya. Pada hakekatnya seseorang
yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, dapat diartikan sebagai pernyataan ridha
terhadap semua nilai dan syari’ah Islam. Perhatikan firman Allah dalam Q.S. al-Bayyinah
(98) ayat 8
AAA.
BBB. Artinya : Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha
terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. Yang demikian itu adalah (balasan)
bagi orang yang takut kepada Tuhannya. (Q.S.al-Bayyinah ayat 8 )
CCC.
DDD. Dari ayat tersebut dapat dihayati, jika kita ridha terhadap perintah Allah maka
Allah pun ridha terhadap kita.
EEE.
FFF. b. Ridha terhadap taqdir Allah.
GGG. Mari kita simak, apa yang dikisahkan berikut ; pada suatu hari Ali bin Abi
Thalib r.a. melihat Ady bin Hatim bermuram durja, maka Ali bertanya ; “Mengapa
engkau tampak bersedih hati ?”. Ady menjawab ; “Bagaimana aku tidak bersedih hati,
dua orang anakku terbunuh dan mataku tercongkel dalam pertempuran”. Ali terdiam
haru, kemudian berkata, “Wahai Ady, barang siapa ridha terhadap taqdir Allah swt. maka
taqdir itu tetap berlaku atasnya dan dia mendapatkan pahalaNya, dan barang siapa tidak
ridha terhadap taqdirNya maka hal itupun tetap berlaku atasnya, dan terhapus amalnya”.
HHH. Ada dua sikap utama bagi seseorang ketika dia tertimpa sesuatu yang tidak
diinginkan yaitu ridha dan sabar. Ridha merupakan keutamaan yang dianjurkan,
sedangkan sabar adalah keharusan dan kemestian yang perlu dilakukan oleh seorang
muslim.
III. Perbedaan antara sabar dan ridha adalah sabar merupakan perilaku menahan nafsu dan
mengekangnya dari kebencian, sekalipun menyakitkan dan mengharap akan segera
berlalunya musibah. Sedangkan ridha adalah kelapangan jiwa dalam menerima taqdir
Allah swt. Dan menjadikan ridha sendiri sebagai penawarnya. Sebab didalam hatinya
selalu tertanam sangkaan baik (Husnuzan) terhadap sang Khaliq bagi orang yang ridha
ujian adalah pembangkit semangat untuk semakin dekat kepada Allah, dan semakin
mengasyikkan dirinya untuk bermusyahadah kepada Allah.
JJJ. Dalam suatu kisah Abu Darda’, pernah melayat pada sebuah keluarga, yang
salah satu anggota keluarganya meninggal dunia. Keluarga itu ridha dan tabah serta
memuji Allah swt. Maka Abu Darda’ berkata kepada mereka. “Engkau benar,
sesungguhnya Allah swt. apabila memutuskan suatu perkara, maka dia senang jika
taqdirnya itu diterima dengan rela atau ridha.
KKK. Begitu tingginya keutamaan ridha, hingga ulama salaf mengatakan, tidak akan
tampak di akhirat derajat yang tertinggi daripada orang-orang yang senantiasa ridha
kepada Allah swt. dalam situasi apapun (Hikmah, Republika, Senin 5 Februari 2007,
Nomor: 032/Tahun ke 15)
LLL. c. Ridha terhadap perintah orang tua.
MMM. Ridha terhadap perintah orang tua merupakan salah satu bentuk ketaatan kita
kepada Allah swt. karena keridhaan Allah tergantung pada keridhaan orang tua, perintah
Allah dalam Q.S. Luqman (31) ayat 14 ;
NNN. Artinya : “ Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan
kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Q.S. Luqman :14)
OOO.
PPP. Bahkan Rasulullah bersabda : “Keridhaan Allah tergantung keridhaan orang
tua, dan murka Allah tergantung murka orang tua”. Begitulah tingginya nilai ridha orang
tua dalam kehidupan kita, sehingga untuk mendapatkan keridhaan dari Allah,
mempersyaratkan adanya keridhaan orang tua. Ingatlah kisah Juraij, walaupun beliau ahli
ibadah, ia mendapat murka Allah karena ibunya tersinggung ketika ia tidak
menghiraukan panggilan ibunya.
QQQ.
RRR.
SSS. d. Ridha terhadap peraturan dan undang-undang negara
TTT. Mentaati peraturan yang belaku merupakan bagian dari ajaran Islam dan
merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah swt. karena dengan demikian akan
menjamin keteraturan dan ketertiban sosial. Mari kita hayati firman Allah dalam Q.S. an-
Nisa (4) ayat 59 berikut :
UUU.
VVV. Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.( Q.S. an-Nisa :59)
WWW.
XXX. Ulil Amri artinya orang-orang yang diberi kewenangan, seperti ulama dan
umara (Ulama dan pemerintah). Ulama dengan fatwa dan nasehatnya sedangkan umara
dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
YYY. Termasuk dalam ridha terhadap peraturan dan undang-undang negara adalah
ridha terhadap peraturan sekolah, karena dengan sikap demikian, berarti membantu diri
sendiri, orang tua, guru dan sekolah dalam mencapai tujuan pendidikan. Dengan
demikian mempersiapkan diri menjadi kader bangsa yang tangguh.
ZZZ.
AAAA. 3. Nilai Positif Sikap Rida
BBBB.
CCCC. Rida merupakan kesadaran diri, perasaan jiwa, dan dorongan hati yang
menyebabkan seseorang berkenaan sepenuh hati untuk menerima apa yang didapat
ataupun yang dihadapi dengan penuh semangat dan rasa kasih sayang.
DDDD.
EEEE. 4. Membiasakan Sikap Rida
FFFF.
GGGG. Konsekuensi rida kepada Alloh harus mengikuti semua yang diajarkan oleh
Rasululloh saw. (ittiba’ ar-Rasul). Apabila seorang rida kepada Alloh, tentu dia akan
selalu berusaha melakukan segala sesuatu yang diterima dari-Nya dan meninggalkan
segala sesuatu yang dibenci-Nya.
HHHH.
IIII. C. Amal Saleh
JJJJ.
KKKK. 1. Pengertian Amal Saleh
LLLL.
MMMM. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, amal diartikan sebagai perbuatan
(baik atau buruk). Secara istilah, amal saleh berarti perbuatan sungguh- sungguh dalam
menjalankan ibadah ataupun menunaikan kewajiban agama yang dilakukan dalam bentuk
berbuat kebaikan terhadap masyarakat atau sesama manusia.contoh mengumpulkan dana
untuk membantu korban bencana alam, penyandang cacat, orang jompo dan anak yatim
piatu.
NNNN. Dalam al-Qur’an banyak dijumpai perkataan amal dengan berbagai bentuknya
yaitu ‘amila, a’mala, ta’malun, ya’malun, ‘amilun, ‘amalus-salihat, dan ‘amalus-
syyari’at.
OOOO. 2. Karakteristik Amal Saleh
PPPP.
QQQQ. Orang yang hidup pada zaman pra-islam mempunyai anggapan bahwa
kekayaan, keturunan, kedudukan, dan bermacam-macam kelebihanduniawi lainnya
menjadi factor yang akan menentukan keadaan seseorang.
RRRR. Agama islam membawa satu ajaran (dokrin) bahwa keturunan, pangkat,
kedudukan yang tinggi, dan kekayaan yang bayak , semua itu tidak mendatangkan
keuntungan, terutama untuk kehidupan di akhirat kelak. Satu-satunya yang memberikan
faedah ialah amal saleh, yakni perbuatan baik.
SSSS. Secara umum, pengelompokan amal itu terbagi dua, yaitu amal saleh (amal yang
baik) dan ‘amalus sayyi’ah (amal yang buruk). Amal saleh ialah segala perbuatan
kebbijakan yang mendatangkan manfaat untuk diri sendiri, keluarga, bangsa, dan
manusia seluruhnya, baik berupa perbuatan, ucapan, maupun sikap.bahkan melakukan
suatu perbuatan yang dilarang Alloh, itu pun termasuk amal saleh.
TTTT.
UUUU. 3. Nilai Positif Amal Saleh
VVVV.
WWWW. Dalam Al-Qur’an, banyak diuraikan hasil (buah) dari amal saleh, baik didunia
maupun diakhirat, yaitu:
XXXX. a. rezeki yang baik (al-Hajj/22:50);
YYYY. b. derajat yang tinggi (Taha/20:75);
ZZZZ. c. keberuntungan (al-Qasas/28:67);
AAAAA. d. keadilan (Yunus/10:4);
BBBBB. e. keluar dari kegelapan (at-Talaq/65:11);
CCCCC. f. rahmat dan cinta (al-Jasiyah/45:30);
DDDDD. g. hilang perasaan takut (Taha/20:112);
EEEEE. h. pahala yang cukup (Alli ‘Imran/3:57);
FFFFF. i. ampunanIlahi (Fatir/3:57);
GGGGG. J. kehidupan di surga (al-Mu’minun/23:40).
HHHHH.
IIIII. 4. Membiasakan Amal Saleh
JJJJJ.
KKKKK. Setiap amal saleh, harus didasari niat yang suci dan ikhlas. Jangan sampai
seorang yang beramal memiliki niat yang salah, ada udang dibalik madu. Misasal,
mengharap kedudukan,pujian, atau keuntungan yang lain-lain.
LLLLL. Berusaha atau beramal, pada umumnya tidak memandang ruang dan waktu
serta tidak hanya pada saat yang lapang. Dalam situasi apa pun, kita tidak menyianyiakan
untuk beramal atau berusaha. Walaupun hasil amal itu belum tampak sekarang, hal itu
tidak boleh menjadikan kita malas beramal.
Pengertian akhlak terpuji dal pergaulan remaja

Remaja atau disebut juga ialah masa antara usia anak-anak dan usia dewasa. Remaja
dalam istilah ilmu fikih disebut murahiq, masa sebelumnya disebut shabiy (anak-anak), dan
masa sesudahnya disebut mukallaf (dewasa). Masa remaja disebut juga
masa balig atau pubertas, pada masa ini unsur ketertarikan pada lawan jenis muncul dan
dirasakan. Jadi, remaja ialah orang yang telah melewati masa kanak-kanak dan belum memasuki
masa dewasa.
Secara fisik biologis, remaja putra dan putri memiliki ciri-ciri keremajaan yang berbeda
satu sama lainnya. Bagi remaja putra ditandai dengan terjadinya mimpi basah dan sebagainya,
dan bagi remaja putri ditandai dengan terjadinya menarche atau haid pertama kali dan
sebagainya. Agama islam tidak mengekang apalagi melarang para remaja melakukan pergaulan
dengan siapa pun, dimana pun, dan kapan pun, sepanjang pergaulan itu sesuai dengan tuntunan
akhlak terpuji. Akhlak terpuji ialah sikap perilaku. Uacapan, perbuatan dan tindakan yang sesuai
dengan tuntunan ajaran islam dan norma-norma aturan yang berlaku.
Firman allah SWT :
ُ ‫اس اِنَّا َخلَق َن ٌكم ِمن ذَك ٍَر َّواُنثَى َو َجعَل َن ُكم‬
.‫شعُوب ًَّاو قَبَآ إِ َل ِلتَعَا َرفُوا' ا َِّن اَك َر َم ُكم ِعندَهللاِ اَتقَ ُكم ا َِّن هللاَ َعلَي ٌم َخبِي ٌر‬ ُ َّ‫يَاَآ يُّ َهاالن‬
Artinya : “wahai manusia! Sungguh kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling mengenal, sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi allah adalah orang yang
paling bertakwa. Sungguh allah maha mengetahui, maha teliti.” (Q.S AL-Hujarat: 13)

 Pentingnya akhlak terpuji dalam pergaulan remaja

Remaja adalah sosok manusia yang secara fisik sudah hamper menyerupai orang
Dewasa , tetapi secara mental kejiwaan masih memerlukan nimningan dan tuntunan dari para
orang dewasa, terutama orang tua, guru, dan masyarakat linhgkungannya. Dalam kondisi mental
masih labil, tentu remaja akan mudah terbawa oleh arus pergaulan, baik positif maupun negatif.
Keberadaan remaja masa kini sangat penting dan menentukan nasib suatu bangsa pada
masa yang akan datang. Sebab pada gilirannya, para remajalah yang akan menggantikan tempat
kepemimpinan suatu bangsa.
Sebagaimana pepatah ARAB mengatakan :
‫شبا ناليو م رجال الغد‬
Artinya :”Pemuda (remaja) masa kini adalah pemimpin dimasa yang akan datang.”
Oleh sebab itu, batapa pentingnya para remaja memiliki akhlak terpuji dalam kehidupan
dan pergaulan sehari-hari.

A. BENTUK DAN CONTOH PERILAKU AKHLAK TERPUJI REMAJA.


a. Bentuk perilaku terpuji remaja
1. Menghidari perilaku maksiat
2. Menjaga norma-norma agama dan social
3. Selalu menjaga aurat dan tidak mengubar shawat
4. Tidak mengubar nafsu
5. Selalu mendekatkan diri kepada allah SWT

a. Contoh perilaku terpuji remaja.


Ali bin Abu Thalib seorang remaja yang pemberani, ia berani mepertaruhkan nyawanya
ketika menggantikan Rasulullah saw, di tempat tidur beliau pada saat hendak dibunuh.
Bilal bin Rabah seorang remaja yang teguh pendirian, anti kemunafikan, saat taat kepada
allah dan rasul-nya, sehingga ia rela tubuhnya disiksa di tengah padang sahara, darah mengalir di
sekujur tubuhnya, tetapi ia tetap teguh pendirian, tidak mau keluar dari agama islam. Dalam
hatinya ada suatu tekad, “bila remuk redam badanku, jancur luluh tulangku, aku akan tetap
beriman kepada allah dan rasul-nya.”
Hamzah bin Abdul Muthalib seorang remaja yang gagah perkasa, sangat pemberani dalam
membela kebenaran dan keadilan. Prinsipnya sangat tegas, siapapun boleh berbeda pendapat satu
sama lain, tetapi tidak boleh ada seorang mengalami pihak lain karena perbadaan itu. Ketika
Rasulullah saw. Mengalami kesulitan dan penganiayaan dari pihak yang tidak setuju dengan
ajarannya, Hamzah bin Abdul Muthalib segera tampil ke depan membela orang yang teraniaya.
Baginya, bukan hanya karena Muhammad sebagai kemenaknyannya, melainkan tidak rela di
muka bumi ini ada kezaliman dan kebiadaban. Demi keadilan dan kebenaran yang di belanya
dan kecintaannya terhadap Rasulullah saw, beliau wafat sebagai syahid dalam perang Uhud.

A. NILAI NEGATIF AKIBAT PERILAKU PERGAULAN REMAJA YANG TIDAK SESUAI


DENGAN AKHLAK ISLAM DALAM FENOMENA KEHIDUPAN.
Perilaku pergaulan remaja yang tidak sesuai dengan akhlak islam, niscaya akan
Mendatangkan ekses buruk dan nilai-nilai negative yang sangat berbahaya. Diantara nilai-nilai
negatif yang akan timbul dari pergaulan remaja yang tidak sesuai dengan akhlak islam adalah
sebagai berikut.
1.Cenderung emosional
Remaja yang tidak memiliki akhlak islami cenderung lebih mengutamakan perasaan atau emosi
jiwa dari pada akal sehat, sehingga membuatnya kadang bertindak tidak rasional menurut orang
dewasa. Bahkan kadang pula tindakannya dapat mengencam keselamatan jiwa raganya.
2.Cenderung tidak mau diatur (bebas)
Remaja yang tidak berakhlak islami sikap perilakunya sukar diatur, remaja seperti ini cenderung
mrnginginkan bersikap bebas lepas.
3.Cenderung egois
Remaja yang tidak berahlak islami, perilakunya cenderung egois, ingin menang sendiri, sukar di
atur, da tidak peduli terhadap orang lain. Bagi remaja seperti ini, kehidupan merupakan milik
pribadinya, siapapun tidak boleh mencampuri dan mengganggunya.
4.Tidak bertanggung jawab
Kita banyak mendengar dari media bahwa banyak remaja putri yang hamil dan ditinggalkan oleh
pacar nya, banyak pula yang di bunuh diri akibat telah hilang kegadisannya dan pacarnya kabur
entah kemana. Semua itu akibat remaja tidak memiliki akhlak islami, sehingga perbuatannya
tidak bisa dipertanggung jawab.

A. PERILAKU TERPUJI DALAM PERGAULAN REMAJA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-


HARI

Untuk dapat menampilkan perilaku terpuji dalam pergaulan remaj, hendaknya kamu perhatikan
terlebih dahulu beberapa hal berikut ini.
1. Berhati-hati dalam memilih pergaulan, sebab tidak semua orang memiliki sifat dan karakter
yang baik, sehingga kamu tidak terjebak oleh arus pergaulan sesat dan merugikan.
2. Hindari pergaulan bebas yang melanggar norma agama dan masyarakat, sebab hal itu hanya
akan merugikan kamu dan juga kedua orang tuamu. Bahkan, dapat mengganggu kenyaman dan
ketertiban masyarakat.
3. Indahkan segala masukan, saran, nasihat, dan kritik dari mana pun datangnya, apalagi dari
orang tua, guru maupun masyarakat luas. Sebab mereka melakukan itu demi kebaikan masa
depanmu.
4. Kuatkan iman dan keyakinan kepda allah dengan mempelajari ilmu agama, membaca al-quran
dengan memahami maknanya, dan atau kegiatan spiritual lainnya. Dengan demikian, kamu dapat
membentengi diri dari dashyatnya godaan setan pada masa modern sekarang ini.
5. Jangan sekali-kali mencoba melakukan sesuatu yang di larang agama, sebab kamu akan
menjadi ketagihan atau kecanduan, seperti mencoba melakukan minuman keras, seks bebas, dan
yang lainnya. Ingat setan tidak akan pernah berhenti menggoda manusia.
6. Selalu ingat bahwa dalam dirimu terdapat nama baik orang tua dan keluarnya juga
agamamu. Jika kamu bersikap perilaku bejat, mereka akan menanggung akibat negatifnya.
Pengertian Isyraf, Yang dimaksud dengan isyraf ialah sutu sikap jiwa yang memperturutkan
keinginan yang melebihi semestinya. Seperti makan terlalu kenyang, berpakaian terlalu dalam
menybabkan menyapu lantai atau tanah, Menguber hawa nafsu yang berlebihan, sehingga dapat
melanggar norma-norma Susila, agama, dan hukum.lihat al-Qur’an online di google

Artinya:”Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan
dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang berlebih-lebihan”.

2. Pengertian Tabzir

Yang dimaksud dengan tabzir ialah menggunakan/ membelanjakan harta kepada hal yang tidak
perlu, atau disebut juga boros. Alah menganggap orang tersebut sebagai temannya syetan. Allah
berfirman.lihat al-Qur’an online di google

Artinya:” Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang
miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan
dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS Al Isra’ : 26-27)

3. Pengertian Ghibah.

Ghibah ialah mempergunjingkan orang lain tentang aib lain atau sesuatu yang apabila didengar
oleh orang dibicarakan dia akan benci. Dalam sebuah ayat Allah menggambarkan laksana orang
memakan daging saudara yang sudah mati. Allah berfirman. .lihat al-Qur’an online di google

.Artinya :” Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan),


karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang.”( QS. Al Hujurat : 12)

1. Pengertian Fitnah.

Fitnah adalah suatu sipat yang tercela , suatu usaha seseorang untuk mencemarkan nama baik
seseorang, sehingga orang yang tidak mengerti persoalan menganggap bahwa fitnah itu benar.
Sehingga opini masyarakat akan negative kepada kelompok atau seseorang yang kena fitnah
tersebut. Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan . .lihat al-Qur’an online di google

Artinya:”Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari
tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari
pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka
memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah
mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak
ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka
berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-
orang yang zalim.”( QS Al Baqarah : 192-193 )

1. Memahami prinsip prinssip metode peningkatan akidah


- Menjelaskan prinsip akidah
 pengakuan dan keyakinan bahwa Allah swt adalah esa
 pengakuan bahwa para nabi telah diangkat dengan sebenarnya oleh Allah swt.
 Kepercayaan akan adanya hari kebangkitan.
 keyakinan bhwa Allah swt maha adil.

- MENERAPKAN PRINSIP-PRINSIP AKIDAH DALAM KEHIDUPAN


 Tidak menyekutukan ALLAH SWT
 Keyakinan akan kebenaran kitab suci
 Mendapatkan Balasan dari Allah SWT
- MENERAPKAN METODE-METODE PENINGKATAN KUALITAS AKIDAH
DALAM KEHIDUPAN
 Melalui Pembalasan dan keteladanan
 Melalui Pendidikan dan pengajaran
2. Memahami pengertian dan isitilah tauhid, macam” serta perilaku orang yang bertauhid
- Menjelaskan Pengertian Tauhid
 Secara BAHASA Arab = Keyakinan atas keesaan
 Secara ISTILAH = Menyakini bahwa Allah SWT itu Esa dan tidak ada
sekutu baginya
3. Memahami pengertian syirik, macam-macam syirik dan perilaku orang yang berbuat
syirik - Mengidentifikasi Macam-macam Syirik
 Syirik Akbar(Syirik Besar) atau syirik jali (syirik nyata)
 Syirik Asghar(Syirik Kecil) Atau Syirik Khafi(Syirik samar-samar)
4. Memahami Masalah Akhlak
- Menjelaskan Pengertian Akhlak
 Secara Istilah : Suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia , yang
melahirkan perbuatan-perbuatan yang mudah tanpa melalui proses pemikiran
 Secara Bahasa : Tabiat , budi pekerti , kebiasaan atau adat-istiadat
- Menjelaskan induk-induk akhlak terpuji
 Hikmah Secara Bahasa : Kebijaksanaan, pendapat atau pikiran yang bagus
sedangkan menurut Toha jahja Omar adalah meletakan sesuatu pada
tempatnya.
 Syaja’ah secara istilah : berarti berani secara bahasa arab keberanian atau
keperwiraan
 Iffah Secara Etimologis : adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik
secara termilogis adalah memelihara kehormatan diri dari segala hal yang
merendahkan atau merusak dan menjatuhkan
 Adil secara bahasa tetap pendirian sedangkan menurut syari’at adil berarti
tetap dalam pendirian dalam mengikuti jalan yang benar serta menjauhi
perbuatan yang dilarang

- Menjelaskan Induk-induk akhlak tercela


 Hubbu ad-Dunya Berarti cinta dunia, yaitu menganggap harta benda adalah
segalanya .
 Hasad berarti dengki maksudnya suatu sikap atau perbuatan yang
mencerminkan rasa marah, tidak suka karena rasa iri
 Takabur-Ujub Secara Bahasa Kagum , terheran-heran , takjub secara isitilah
sikap membanggakan diri, dengan memberikan satu penghargaan yang terlalu
berlebihan kepada kemampuan diri .
 Riya’ Adalah mengerjakan suatu perbuatan atau ibadah untuk mendapatkan
ujian dari orang lain,bukan karena ALLAH semata
- Menjelaskan macam-macam metode peningkatan kualitas akhlak
 Melalui Perumpamaan (Tamtsil) Agar menjadikan perumpaman itu sebagai
pedoman dalam melaksanakan tugas’’ kemanusiaan
 Melalui keteladanan (Uswatun Hasanah) setiap pribadi hendaknya bida
menjadi teladan bagi yang lain dalam usaha meningkatan kualitas akhlak
 Melalui latihan dan pengamalan supaya umat nya agar mengerjakan amal
shaleh yang diridhai ALLAH
 Melalui Ibrah dan mau’idah , Ibrah artinya kondisi yang memungkinkan orang
bisa sampai dari pengetahuan yang kongkrit kepada kepada pengetahuan yang
abstrak.
- Penerapan peningkatan kualitas akhlak
 Lingkungan Keluarga
 Lingkungan Pendidikan Formal
 Lingkungan Masyarakat
5. Memahami dan meningkatkan keimanan kepada Allah melalui sifat Allah dan Asmaul
Husna serta meneladani sifat Allah
- Menguraikan 10 Asmaul Husna
 Al-Muqsit aritnya yang maha adil
 Al-Waris artinya yang maha pewaris
 An-Nafi artinya pemberi manfaat
 Al-Basit artinya yang maha membuat perhitungan
 Al-Hafiz artinya yang maha merendahkan
 Al-Waliyy artinya maha memerintah
 Al-Wadud artinya yang maha mencintai
 Al-Rafi’ aritnya yang maha meninggikan
 Al-Mu’izz artinya yang maha memuliakan
 Al-Affuww artinya yang maha pemaaf
- Menunjukkan perilaku orang yang mengamalkan 10 Asmaul Husa
 Al-Muqsit
 Al-Waris
 An-Nafi
 Al-Basit
 Al-Hafiz
 Al-Waliyy
 Al-Wadud
 Al-Rafi’
 Al-Mu’izz
 Al-Affuww
6. Membiasakan Perilaku terpuji (husnuzan dan tobat)
- Mengidentifikasi buntuk dan contoh perilaku husnuzan dan bertaubat
 Husnuzan Kepada Allah Swt.
 Husnuzan Kepada sesama
 Husnuzan kepada diri sendiri

Anda mungkin juga menyukai