Anda di halaman 1dari 11

Jati diri seorang muslim

Sesungguhnya setiap Muslim adalah pemimpin bagi dirinya, keluarganya, atau bahkan penduduk bumi ini yang kelak akan dipertanggungjawabkan dihadapan Sang Penguasa segala penguasa di muka bumi yang Tunggal dan tidak satupun Makhluk yang bisa menandinginya yang berada di Arsy Allah swt, tapi satu hal yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin sejati adalah bagaimana dia memposisikan dirinya sebagai khalifah dimuka bumi yaitu tegas mengambil tindakan tanpa pandang ras, suku, budaya, atau bahkan bangsa.

Sebagai ummat Muhammad insya Allah pasti kita pernah mendengar sabda beliau yang sudah gak asing lagi di telinga kita menurut versi saya yang bunyinya begini "Siapapun yang bersalah akan diberi ganjaran sesuai dengan perbuatannya, kalau perlu Fatimah saya potong tangannya kalau terbukti mencuri" Ini membuktikkan kepada kita kalau beliau itu bisa berbuat Adil, tegas,dan bijaksana dalam menindak siapa saja yang bersalah, akan tetapi beliau di sisi lain sangat lembut, pembicara yang paling ulung di dunia sejagat ini bahkan musuh2 Islam tidak bisa berkutik ketika mendengar Nama beliau, Beliau murah senyum ketika berjumpa dengan siapapun dengan senyum beliau penduduk dunia ini terharu karena senyuman beliau tidak bisa digambarkan dengan kata-kata , dengan senyum beliau dapat menggugah perasaan setiap musuhnya, bahkan tidak sedikit musuhnya masuk Islam karena senyum dan bijaksana beliau. sekarang bagaimana dengan kita sebagai ummatnya apa yang bisa

kita lakukan untuk meneruskan perjuangan beliau karena kita ummat yang istimewa. Apakah kita bisa menjadi Muslim sejati???? Wallahu a'lam :)

SETIAP agama tatacara yang mengatur hidup ummatnya. Setiap ideologi pun mengajarkan halhal yang berbeda dalam memandang kehidupan ini, lalu mewujudkan sikap dan perilakunya masing-masing. Budaya dan peradaban manusia, mencerminkan nilai yang hidup dalam diri bangsa. Dan di antara sekian banyak tatanan nilai, cara pandang dalam melihat kehidupan, kerangka yang menyusun peradaban dan budaya manusia, maka Islam menjadi sumber nilai yang akan membentuk jatidiri kaum muslimin.

Jatidiri muslim, adalah nilai-nilai yang hidup dalam diri seorang muslim. Nilai-nilai ini akan membentuk identitas diri seorang muslim, sekaligus akan menjadi ciri beda dengan ummat lainnya. Perbedaan yang menampakkan keistimewaan dan keindahan diantara identitas ummat lain. Nilai ini, berasal dari apa yang Allah turunkan melalui RasulNya, yakni Islam. Islam lah yang mewarnai seluruh diri kaum muslimin. Islam adalah celupan istimewa yang diberikan Allah SWT bagi kaum muslimin.

Dalam salah satu ayatnya, Allah SWT berfirman: Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah? Dan hanya kepadaNyalah kami menyembah. (QS. Al-Baqarah 138)

Celupan, begitulah Allah SWT mengistilahkan ajaran Islam dan keimanan seorang muslim. Celupan ini, akan mewarnai kain seorang muslim. Celupan ini akan meresap ke seluruh sendisendi, memasuki setiap serat-seratnya, lalu muncullah penampakkan yang indah, warna yang memikat serta corak yang istimewa. Begitulah gambaran seorang muslim yang telah tershibghah oleh shibghah Allah.

Shibghah ini adalah keimanan yang penuh atas seluruh ajaran, nilai dan ketetapan Allah SWT. Shibghah ini akan masuk meresap ke dalam diri seorang muslim, yang telah dengan kesadaran dan penuh pemahaman, menerima Islam.

Kesadaran dan pemahaman yang pertama adalah atas makna syahadatain (persaksiannya), yang akan melahirkan kecintaan kepada Allah SWT. Rasa cinta (mahabbah) inilah yang akan menumbuhkan keinginan yang kuat serta sikap menerima atas seluruh perintah Allah SWT. Sikap menerima seluruh ajaran Allah SWT, maka seorang muslim telah membuka diri sepenuhnya untuk menerima celupan Allah. Keterbukaan yang sempurna, menjadikan celupan yang utuh dan sempurna pula pada dirinya.

Celupan ini secara sempurna akan mewarnai seorang muslim. Warnanya akan mengikat erat pada seluruh serat dalam diri seorang muslim. Keindahannya pun akan tampil abadi dan cemerlang. Indah, tidak hanya pada penampakkannya. Keistimewaannya pun, tidak bisa disembunyikan. Celupan Allah, akan mewarnani sisi dalam (dakhiliyah) seorang muslim dan nampak pada sisi luarnya (khariziyah)nya.

Sisi dalam yang terwarnai dalam siri seorang muslim mencakup warna aqidahnya yang lurus dan shahih, jauh dari penyimpangan dan kesesatan. Aqidah para sahabat shalafus shalih. Warna pemikirannya (fikrah) pun akan mencerminkan wawasan dan cara pandang Islami, selalu merujuk kepada nilai-nilai Islam. Selera dan perasaannya (suur) pun fitrah rabbaniah, selalu cenderung pada nilai-nilai Rabbani, nilai-nilai Islam. Ini adalah sisi dalamnya.

Sedangkan sisi luarnya, akan nampak jelas pada seluruh sikap dan perilakunya. Celupan Allah akan menjadi warna istimewa yang menjadikan cirri khas seorang muslim (simat). Dari penampilannya, celupan ini akan mewarnai wajah seorang muslim dengan raut muka yang cerah, murah senyum dan ramah. Dari pakaiannya, seorang muslim tampil bersih, rapi dan sopan menutup auratnya. Demikian pula halnya dalam seluruh sikap dan perilakunya (suluk) menampakkan keistimewaan seorang muslim.

Bila celupan Allah telah meresap pada diri seorang muslim, maka tidak akan ada yang lebih istimewa keberadaannya selain kaum muslimin. Tidak akan ada ummat yang kehadirannya lebih baik, lebih indah dan lebih bermanfaat daripada kaum muslimin. Sungguh, bila Islam telah menjadi celupan yang membentuk jatidiri muslim, maka ummat manusia pun tidak sulit untuk

merasakan keindahan dan kenikmatan hidup dalam naungan Islam. Dan siapakah yang lebih baik celupannya daripada celupan Allah?

Saatnyalah bagi kita, kaum muslimin, untuk mulai membuka diri selebar-lebarnya sehingga celupan Allah dapat meresap ke dalam seluruh sendi tubuh kita, dalam hati dan pikiran, ke dalam sikap dan perilaku kita. Perlahan celupan itu akan mewarnai diri kita, menjadi jatidiri kita sebagai seorang muslim.

Jati Diri Manusia

Ada tiga pertanyaan abadi, yakni dari mana ? mau kemana ? dan untuk apa kehadiran manusia di pentas kehidupan. Pertanyaan pertama dan kedua sudah terjawab; orang beragama menyatakan bahwa manusia berasal dari Allah dan akan kembali kepada Nya, inna lillahi wa inna ilaihi raji`un. Orang Atheis menyatakan bahwa manusia hadir secara alamiah dan nanti akan hilang secara alamiah, tidak ada akhirat, tidak ada sorga ataupun neraka.

Pertanyaan ketigalah yang selalu mengelitik manusia sepanjang sejarah. Dalam keadaan tertentu orang sering mempertanyakan makna kehadiran dirinya, sehingga muncullah pertanyaan-pertanyaan; (a) untuk apa aku dilahirkan ? (b) untuk apa aku capai-capai ngurusin beginian ? (c) untuk apa semua yang telah kukerjakan ? (d) mengapa aku harus patuh ?, (e) untuk apa jujur jika semua pada korupsi ? . Di sisi lain ada yang bertanya-tanya : (f) kenapa ya kita selalu membela dia sampai hampir mati, padahal kita nggak dikasih apa-apa ? (g) kenapa kita sedih ketika dia mati ? (h) kenapa orang pergi haji suka menangis ? dan masih banyak lagi pertanyaan orang.

Kesemuanya itu sebenarnya berhubungan dengan apa yang disebut makna hidup, (the meaning of life). Manusia memang bukan saja makhluk biologis, tetapi juga makhluk yang bisa berfikir, merasa dan mengeti

akan makna hidup. Terkadang atau kebanyakan orang lebih menonjol kebiologisannya, sehingga meski ia berpendidikan tetapi perilakunya tak lebih dari perilaku hewan. Ada yang seperti kambing (tidak bisa mendengar nasehat), ada yang seperti ular (licik), seperti ayam jago (free sex), seperti anjing (pendengki) dan ada yang seperti lalat (baik-buruk di embat semua). Adapun orang yang mengerti akan makna hidup maka ia mengerti akan makna pengorbanan, makna persahabatan, makna kesetiaan. Orang yang mengerti akan makna hidup sanggup untuk menderita demi kebahagiaan orang lain, sanggup menantang maut demi kehidupan orang lain, sanggup menderita di dunia demi kebahagiaan di akhirat.

Jati Diri Manusia Menurut Al Qur'an Al Qur'an menyebut jati diri manusia dengan berbagai sebutan, sesuai dengan kualitas perilakunya , yaitu , mu'min, muslim, muttaqin, fasiq, munafiq, kafir, zalim, mukhlis, sabir, halim, hanif, jahil,

1. Musilim, Mu'min dan Muttaqin Seorang muslim artinya orang yang telah berpasrah diri kepada Tuhan, tetapi dalam rangking manusia berkualitas, seorang yang baru pada tingkat muslim berada pada tingkatan terendah. Karakteristik seorang muslim adalah seorang yang telah meyakini supremasi kebenaran, berusaha untuk mengikuti jalan kebenaran itu, tetapi dalam praktek ia belum tangguh karena ia masih suka melupakan hal-hal yang kecil.

Sedangkan seorang yang sudah mencapai kualitas mukmin adalah seorang muslim yang sudah istiqamah atau konsisten dalam berpegang kepada nilai-nilai kebenaran, sampai kepada hal-hal yang kecil. Ciri orang mukmin antara lain (1) hanya berbicara yang baik, (2) tidak menganggu orang lain, (3) merasa sependeritaan dengan mukmin yang lain, dan sebagainya. Sedangkan Muttaqin adalah orang mukmin yang telah menjiwai nilai-nilai kebenaran dan allergi terhadap kebatilan.

2. Fasiq, Kafir dan Munafiq. Orang Fasiq adalah orang yang mengetahui dan meyakini supremasi nilai kebenaran, tetapi dalam kehidupan ia malas mengikutinya terutama jika bertentangan dengan dorongan syahwat/kesenangannya.

Adapun orang kafir adalah kebalikan dari orang mukmin. Jika orang mukmin konsisten dalam berpegang kepada kebenaran yang diimaninya dalam keadaan apapun, orang kafir konsisten dalam hal tidak mempercayai kepada nilai-nilai kebenaran. Secara terbuka ia menyatakan tidak percaya kerpada Tuhan, kepada dosa dan kepada kebajikan..

Sedangkan orang munafik, karakteristiknya dapat disebut sebagai orang yang bermuka dua, berbeda antara kata dan perbuatan. Jika orang kafir secara terbuka mengemukakan kekafirannya, orang munafik justeru menyembunyikan kemunafikannya. Secara lahir ia perlihatkan perilaku

seakan-akan ia sama dengan orang mukmin yaitu mempercayai nilai-nilai kebenaran, padahal yang sebenarnya ia tidak percaya dan berusaha melecehkan kebenaran dibelakang penglihatan orang mukmin. Orang munafik tak ubahnya musuh dalam selimut, sehari-hari ia bersama kita padahal ia memusuhi kita, mencuri peluang untuk mencelakakan kita. Tanda-tanda orang munafik menurut hadis Nabi ada tiga, yaitu (1) jika berkata dusta, (2) jika berjanji ingkar, (3) jika dipercaya khianat.

Karena kualitas itu bersifat psikologis, maka jarak antara satu kualitas dengan kualitas yang lain tidaklah seterang warna hitam dan putih, oleh karena itu seorang mukmin boleh jadi pada dirinya masih terdapat karakter-karakter fasiq, nifaq atau bahkan kufur.

3. Mukhlis, Shabir dan Halim Mukhlis, artinya orang yang ikhlas. Seorang dengan kualitas mukhlis adalah orang yang hatinya bersih dari keinginan memperoleh pujian. Semua perbuatannya, perkataannya, pemberiannya, penolakannya, perkataannya, diamnya, ibadahnya dan seterusnya, semata-mata dilakukan hanya untuk Allah SWT. Oleh karena itu baginya pujian orang tidak membuatnya berbangga hati, dan kekecewaan serta caci maki orang tidak membuatnya surut

Adapun shabir atau shabur, artinya adalah orang yang sabar atau penyabar. Menurut Imam Gazali, sabar artinya tabah hati tanpa

mengeluh dalam menghadapi cobaan dan rintangan, dalam jangka waktu tertentu, dalam rangka mencapai tujuan. Jadi orang yang bisa sabar adalah orang yang selalu ingat kepada tujuan, karena kesabaran itu diperlukan adalah justeru demi untuk mencapai tujuan. Orang yang tidak sabar biasanya , karena lupa tujuan akhir, ia mudah terpedaya untuk melayani gangguan-gangguan yang tidak prinsipil, sehingga apa yang menjadi tujuan terlupakan dan segalanya menjadi berantakan.. Manusia dengan kualitas penyabar adalah sosok manusia yang ulet, tak kenal menyerah, tak kenal putus asa, dan tak kurang akal.. Al Qur'an menghargai manusia unggul yang penyabar, setara dengan seratus orang kafir (yang sombong, emosionil dan tak mempunyai nilai keruhanian) (Q/al Anfal, 65). Dalam keadaan normal. Al Qur'an menghargai peribadi penyabar setara dengan dua orang biasa (Q/8: 66).

Sedangkan manusia dengan kualitas halim, Al Qur'an memberi contoh sosok nabi Ibrahim. Dia adalah pribadi yang awwahun halim (Q/ at Taubah: 114). Nabi Ibrahim sebagai sosok model seorang yang berkualitas halim, memang sangat tepat, karena pada dirinya terkumpul sifat-sifat kecerdasan, kelembutan hati, belas kasih, dan perasaan mengkhawatirkan keadaan orang lain.. Ibrahim tidak memiliki perasaan marah dan benci termasuk kepada orang yang memusuhinya. Ketika Nabi Ibrahim lapor kepada Tuhan tentang kaumnya yang patuh dan yang durhaka, Nabi Ibrahim memohon kepada Tuhan agar mengampunni dan menyayangi kaumnya yang durhaka (faman tabi`ani fa innahu minni ,

waman `asoni fa innaka ghofu run rohiem (Q/14:36).

4. Zalim dan Jahil Zalim (sewenang-wenang) dan jahil (bodoh) keduanya merupakan penyakit yang dalam bahasa Arab disebut maradl.. Jika adil mengandung arti menempatkan sesuatu pada tempatnya (proporsionil), maka perbuatan zalim artinya menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Orang zalim melakukan sesuatu tidak pada tempatnya secara sadar, disebut juga sewenang-wenang, sedangkan orang jahil suka melakukan hal yang sama tetapi tanpa keasadarannya karena kebodohannya. Orang pandai terkadang melakukan perbuatan zalim , yang bisa juga disebut sebagai perbuatan bodoh. Orang bodoh yang baik hati itu lebih baik daripada orang pandai yang zalim. Kezaliman orang bodoh biasanya hanya sedikit dampaknya, tetapi kezaliman orang pandai bisa berdampak sangat luas.

Wassalam, agussyafii

Anda mungkin juga menyukai