Anda di halaman 1dari 10

MANAJEMEN ULKUS KAKI DIABETIK

Ns Wajan Juni Udjianti, S.Kep, ETN

PENDAHULUAN

Kaki seorang penyandang diabetes berpotensi tinggi mengalami resiko-resiko patologis, antara lain
infeksi, terbentuknya ulkus/ulserasi, dan/atau kerusakan jaringan intrinsik sebagai akibat dari
abnormalitas neurologis, berbagai tingkatan penyakit vaskuler perifer (peripheral vascular disease
/PVD), dan/atau komplikasi metabolik dari diabetes pada extremitas bawah.
Ulserasi kaki merupakan komplikasi serius dari diabetes mellitus yang dapat mengakibatkan
kecacatan dan kemungkinan amputasi pada kaki yang bersangkutan.
Ulkus kaki menyebabkan sekitar 85% amputasi diabetik (Clinical Care of the Diabetic Foot, 2005).
Pedoman epidemiologi tentang DFU dapat dirangkum sebagai “ the Rule of 15”:
1. 15% pasien diabetes akan mengalami ulkus kaki selama hidupnya.
2. 15% dari ulkus kaki akan berkembang menjadi osteomyelitis.
3. Bahkan dengan perawatan multidisiplin yang optimal, 15% dari DFU akan berakibat amputasi
extremitas bawah dalam beberapa tingkatan.
Selain aspek biaya, amputasi memiliki konsekuansi tragis bagi individu penyandang DFU – yang dapat
dirangkum sebagai “the Rule of 50” (Clinical Care of the Diabetic Foot, 2005):
1. 50% amputasi diabetik terjadi di level transfemoral atau transtibial yang berpotensi
menyebabkan kecacatan.
2. 50% dari pasien ini akan mengalami amputasi kedua hanya dalam 5 tahun.
3. 50% dari pasien ini meninggal dalam 5 tahun, seringkali bersamaan dengan penyakit arteri
koroner / penyakit cerebrovascular.
Biaya perawatan DFU sangat mahal; di USA, biaya perawatan DFU sekitar $ 30.000/ulkus, biaya jasa
tenaga kesehatan profesioanl mencapai $ 9 milyar/tahun. Namun demikian, hal yang lebih penting
adalah konsekuansi tragis bagi individu penyandang DFU. Kualitas hidup yang berkaitan dengan
derajat kesehatan pasien dengan DFU mungkin lebih rendah daripada pasien dengan amputasi.
Individu tersebut pada awalnya harus menanggung beban non-weight-bearing selama beberapa
bulan atau membutuhkan waktu sangat lama untuk penyembuhan ulkusnya. Mereka harus
melakukan adaptasi perilaku seumur hidupnya untuk mencegah terulangnya ulserasi. Mereka harus
hidup dengan rasa takut terus menerus akan terulangnya ulserasi dan kemungkinan amputasi – rasa
takut yang sangat nyata karena terdapat 70% resiko munculnya kembali ulkus hanya dalam 3 tahun.

EPIDEMIOLOGI
Sekitar 23,6 juta penduduk USA menyandang diabetes dan ¼ dari mereka tidak mengetahuinya. Dan
sekitar 15% pasien diabetes akan mengalami ulserasi kaki atau Diabetic Foot Ulcer (selanjutnya
disebut DFU).
Data WHO memperkirakan bahwa penyandang diabetes di Indonesia pada tahun 2000, sekitar 8,4
juta dan akan meningkat menjadi sekitar21,8 juta pada tahun 2030. Berdasarkan Diabetes Care,
2004, diperkirakan pada tahun 2030 prevalensi diabetes di Indonesia mencapai 21,3 juta orang.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RisKesDas) 2007, jumlah penyandang diabetes (berusia > 15
tahun) yang mengaku sebagai penyandang diabetes adalah 1,2%, sedangkan yang tidak mengetahui
bahwa ia penyandang diabetes sekitar 4,5%. Jadi penduduk Indonesia yang mengalami diabetes

Wajan Juni Udjianti ETN/Manajemen Ulkus Kaki Diabetik Page 1


adalah 5,7% atau sekitar 12 juta orang. Sedangkan penduduk yang mengalami Prediabetes adalah
10,2%. Angka kematian karena komplikasi luka sekitar 17-32%.

PATHOGENESIS DIABETIC FOOT ULCER DAN AMPUTASI


Neuropathi sensori mengakibatkan hilangnya sensasi perlindungan di kaki dengan 2 konsekuensi: (1)
meningkatnya tekanan di atas tonjolan tulang yang berkontribusi atas terbentuknya callus; dan (2)
penurunan kemampuan mengenali dan mengurangi pemaparan area tersebut terhadap trauma
minor. Neuropathi motorik diabetik menyebabkan atrofi dari otot-otot intrinsik kaki dengan akibat
deformitas kaki; selanjutnya, deformitas kaki ini meningkatkan tekanan di atas tonjolan tulang dan
menyebabkan terbentuknya callus atau corn. Perubahan jaringan konektif yang dipicu oleh diabetes
akan menurunkan mobilitas persendian, terutama dorsifleksi di pergelangan kaki dan sendi
metatarsophalangeal pertama, yang sekali lagi menambah tekanan di atas tonjolan tulang dan
menyebabkan terbentuknya callus atau corn. Callus akan meningkatkan tekanan subcutan pada
jaringan di bawahnya dan dapat menyebabkan perdarahan subcutan. Lesi yang bentuk – callus
dengan perdarahan subkutan – disebut “pre-ulcer” karena tekanan terus menerus pada lesi dalam
beberapa hari dapat menyebabkan ulserasi (perlukaan).
Neuropathi otonom menyebabkan berkurangnya kemampuan berkeringat dan kulit kering yang
berlebihan sehingga dapat memicu fisura dan ulserasi. Maserasi interdigital akibat kelembaban
berlebihan dan infeksi sekunder oleh fungal dapat menyebabkan ulserasi di antara sela jari kaki dan
pada jari yang bersangkutan. Akhirnya, trauma mekanis, kimiawi, atau thermal yang diikuti oleh
hilangnya sensasi protektif dapat secara langsung menyebabkan kerusakan kulit dan ulserasi.
Peripheral arterial disease (PAD) dan iskemia yang mengikutinya dapat menyebabkan ulkus kaki
iskemia (ischemic foot ulcer), namun hal ini merupakan mekanisme yang relatif tidak umum
terhadap terbentuknya ulkus pada diabetes. Hal yang lebih penting dari iskemia arteri perifer adalah
menghambat penyembuhan luka dan menyebabkan infeksi sekunder dan progresinya, dan sebagai
kontributor utama atas kejadian amputasi extremitas bawah (kaki).

Wajan Juni Udjianti ETN/Manajemen Ulkus Kaki Diabetik Page 2


ETIOLOGI DAN FAKTOR RISK ULSERASI

Etiologi dan faktor resiko terjadinya perlukaan / ulserasi pada kaki diabetik antara lain:
1. Neuropathi sensori perifer
2. Deformitas struktural kaki
3. Trauma dan sepatu sempit
4. Riwayat ulkus atau amputasi sebelumnya
5. Tekanan dalam waktu lama
6. Keterbatasan mobilitas sendi
7. Hiperglikemia tidak terkontrol
8. Kebutaan atau penglihatan kabur
9. Penyakit ginjal kronis
Secara umum, ada 3 hal sebagai Etiologi Utama DFU yaitu:
1. Neuropathi Diabetik:
• Neuropathi sensori perifer
• Neuropathi motorik
• Neuropathi otonom
2. Mechanical Forces (tekanan, gesekan dan shear)
3. Peripheral Vascular Disease (gangguan vaskularisasi perifer)

NEUROPATHI DIABETIK
Peripheral Sensory Neuropathy
• Degenerasi saraf sensori perifer, menghambat individu diabetes merasakan adanya trauma
(nyeri/tekanan) dan merupakan faktor primer yang menyebabkan ulserasi.
• Seringkali terjadi di area kaki yang tertekan atau menjadi tumpuan berat tubuh/titik tekan,
misal telapak kaki.
• Penekanan terus menerus di area titik tekan akan memicu munculnya callus yang disebut
sebagai “pre-ulcer”
Motor Neuropathy
• Neuropati motorik mengakibatkan atrofi otot anterior atau kerusakan otot intrinsik dapat
menyebabkan deformitas kaki seperti foot drop, hallux valgus, claw-toes hammer-toes dan
penonjolan puncak metatarsal plantar.
• Deformitas kaki tersebut menyebabkan area tonjolan tulang menjadi rentan terhadap tekanan
yang selanjutnya memicu ulserasi.
Autonomic Neuropathy
• Autosympathectomy yang disertai kegagalan simpatis, arteriovenous shunting, dan disfungsi
pengaturan suhu mikrovaskular akan mengurangi perfusi normal jaringan dan respon-respon
mikrovaskular terhadap injuri.
• Hal ini mengakibatkan kulit kering dengan pecah-pecah dan fisura, sehingga menciptakan jalan
masuk/port d’entry bagir bakteri.

Neuropati sensori perifer Neuropati motorik Neuropati Otonom

Wajan Juni Udjianti ETN/Manajemen Ulkus Kaki Diabetik Page 3


MECHANICAL FORCES
Mechanical forces meliputi tekanan, gesekan dan shear yang
dapat menyebabkan trauma pada kaki diabetik. Tekanan yang
lama pada kaki diabetik - yang sekaligus mengalami gangguan
sensasi menyebabkan individu tidak mampu merasakan nyeri
atau ketidaknyamanan. Area tonjolan tulang seperti puncak
metatarsal, ibu jari kaki dan tumit adalah area yang rentan
terhadap tekanan dan gesekan. Memakai sepatu yang sempit
atau terlalu longgar dapat menjadi penyebab trauma dan
perlukaan pada kaki diabetik akibat adanya mechanical forces.

PERIPHERAL VASCULAR DISEASE


Penyakit vaskuler perifer merupakan masalah umum pada
panyandang diabetes, menghambat proses penyembuhan luka
sekaligus berkontribusi terhadap kejadian neuropathi. Pada
penyakit vaskuler perifer, atherosclerosis menyebabkan
penyempitan lumen arteri, menurunkan aliran darah ke kaki,
oleh karena perfusi menurun maka resiko iskhemia dan
nekrosis jaringan terjadi. Karakteristik lesi akibat gangguan
vaskuler perifer adalah terbentuknya jaringan nekrotik di jari-
jari kaki akibat insufisiensi arteri.

PENGKAJIAN
Pengkajian pasien DFU meliputi seluruh riwayat kesehatan pasien, pemeriksaan fisik dan test-test
khusus pada extremitas bawah.

RIWAYAT KESEHATAN, meliputi


• Riwayat Diabetes Mellitus
• Riwayat Terapi obat diabetes sepert oral anti diabetic drug, insulin
• Penyakit penyerta
• Status dan riwayat diagnosa neuropathi
• Penggunaan rokok dan alkohol
• Perubahan derajat aktivitas
• Riwayat Luka sebelumnya (kapan, lokasi)
• Riwayat Luka saat ini (kapan diketahui, penyebab, terapi yang telah didapat)
• Nyeri (jenis dan kualitas)

PEMERIKSAAN FISIK
• Muskuloskeletal: postur, gaya berjalan, ROM dan kekuatan-fleksibilitas-ketahanan.
• Neurologis: keseimbangan, reflex dan fungsi sensori.
• Vaskularisasi kaki: pulse postero-tibial dan dorsalis pedis; capillary refill time (CRT); dan ankle
brachial index/ABI.
• Integumen: suhu, warna, texture dan appenadges (kelenjar keringat, rambut, kelenjar
sebacea, kuku).

PEMERIKSAAN KAKI
• Area resiko tinggi pada kaki seperti callus atau ulkus di are plantar, ujung jari kaki, sela jari
kaki, aspek lateral plantar.
• Karakteristik kulit sekitar luka seperti callus, blister haemorragic, erithema, indurasi, fisura,
kulit kering-bersisik, maserasi, iritasi.

Wajan Juni Udjianti ETN/Manajemen Ulkus Kaki Diabetik Page 4


• Karakteristik Luka/Ulkus meliputi:
Lokasi kiri/kanan, lateral/medial; ibu jari, tumit, punggung kaki,
telapak kaki, sela jari, puncak metatarsal.
Jaringan Dasar Luka nekrosis, slough, granulasi, hipergranulasi, epithelisasi
Ukuran panjang, lebar, kedalaman, undermining, sinus
Margin fibrosis, edema, callus, maserasi
Exudate jumlah, warna, jenis
Bau tidak ada, ada, sangat kuat.
Karakteristik bau jika bau ada
Nyeri jenis, kualitas (lokal, neuropathi, insidensial)
Tanda Infeksi erithema, panas, edema, nyeri, drainage pus

SISTEM KLASIFIKASI PADA DIABETIC FOOT ULCERS


Wagner Classification of Diabetic Foot Ulcers
GRADE Karakteristik
0 Tidak ada luka, ada deformitas kaki
1 Ulkus superfisial tidak mencapai jaringan subcutan
2 Ulkus dalam, mencapai ligamen dan otot, namun tidak mencapai tulang atau
terbentuknya abses.
3 Ulkus dalam dengan cellulitis atau abses , seringkali osteomyelitis
4 Gangrene terlokalisir
5 Gangrene luas yang meliputi seluruh kaki

University of Texas Wound Classification System of Diabetic Foot Ulcers


STAGE Grade 0 Grade I Grade II Grade III
A Kaki preulcer atau Ulkus superfisial Ulkus mencapai Ulkus mencapai
postulcer yang tanpa melibatkan tendon atau tulang
beresiko terhadap tendon, kapsul kapsul sendi
ulcerasi sendi, atau tulang
B Ada infeksi Ada infeksi Ada infeksi Ada infeksi
C Ada iskemia Ada iskemia Ada iskemia Ada iskemia

D Ada infeksi dan Ada infeksi dan Ada infeksi dan Ada infeksi dan
iskemia iskemia iskemia iskemia

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium
• Darah Lengkap (Hb, Leukosit) • HgA1c
• Gula darah (puasa, 2 jam pp, sesaat) • Homocysteine (Hcy)
• Albumin, pre albumin, transferin (status nutrisi) • Kultur Exudate (jika infeksi)
• Cholesterol, HDL, LDL

 Imaging
• X-ray dengan plain film
• MRI atau CT Scan

Wajan Juni Udjianti ETN/Manajemen Ulkus Kaki Diabetik Page 5


WOUND MANAGEMENT
Pengelolaan ulkus kaki diabetik (DFU) memerlukan kerjasama berbagai tenaga kesehatan profesional
dari multidisiplin ilmu dengan masing-masing bidang keahliannya. Tim yang terlibat yaitu dokter
umum, endokrinologist, dokter bedah vascular, dokter bedah orthopedic, podiatrist, perawat
spesialis luka (WOCN/ETN), general nurse, nutritionist dan orthothist. Pendekatan manajemen
multidisiplin diharapkan mampu memberikan pengelolaan optimal dan meningkatkan kualitas hidup
penyandang DFU.

STANDAR PROTOKOL MANAJEMEN


1. Aggresive treatment untuk mengendalikan infeksi
2. Perawatan Luka Optimal dan Tepat
3. Kendalikan Kadar Gula Darah
4. Kontrol Edema
5. Offloading: kurangi tekanan, pemakaian alas kaki orthopedic, bedrest atau aktivitas sesuai
kondisi fisik
6. Edukasi
7. Tingkatkan Kualitas Hidup

Penilaian Pasien

Diagnosis Luka
AKUT KRONIK

WOUND BED PREPARATION

KONTROL PENGELOLAAN JARINGAN PENGELOLAAN


BAKTERI NON-VITAL EXUDATE

Antibiotika/ Debridement Balutan Absorbtif


Balutan Antimikroba

Luka telah terpreparasi

Penutupan Luka

Falanga V, 2001
Primer Sekunder Graft Flap

Luka Sembuh 34

WOUND BED PREPARATION (WBP)


WBP = Manajemen untuk (1) mengakselerasi penyembuhan endogen dan (2) memfasilitasi efektifitas
tindakan/terapi lain.
Langkah-langkah WBP antara lain:
1. Pengelolaan jaringan non vital (nekrotik) dengan debridemen dasar luka.
2. Pengendalian bakteri dengan memberikan terapi antibiotika, debridemen dan balutan
antimikroba.
3. Pengelolaan exudate dengan menggunakan balutan yang mampu mempertahankan lingkungan
luka lembab yang seimbang (moist balance environment).

Wajan Juni Udjianti ETN/Manajemen Ulkus Kaki Diabetik Page 6


Debridement
Tujuan:
• Membuang jaringan mati dan material asing
• Membersihkan jaringan terkontaminasi
• Mempertahankan struktur penting semaksimal mungkin
Metode Debridement:
1. Surgical debridement: debridemen tajam yang dilaksanakan oleh dokter bedah dengan memakai
gunting dan/atau pisau bedah yang dilakukan di kamar operasi.
2. CSWD (Conservative Sharp Wound Debridement): debrimen tajam yang dilaksanakan oleh
dokter bedah atau perawat spesialis luka menggunakan gunting atau pisau bedah yang dapat
dilakukan di ruang perawatan pasien (bed side) atau di rumah.
3. Mechanical debridement: debridemen menggunakan cara mekanis (misal: wet to dry dressing,
whirpool). Metode ini menimbulkan rasa sakit yang hebat bagi pasien.
4. Biological debridement: debridemen menggunakan larva lalat phaenicica sericata (green-bottle
fly), yang mana larva tersebut akan mencerna jaringan nekrotik.
5. Enzymatic debridement: debridemen menggunakan enzim seperti collagenase, fibrinolysin,
protease, papain urea dan trypsin. Metode ini digunakan jika debridemen tajam (bedah) tidak
dapat dilakukan/kontraindikasi.
6. Autolitik debridement: debridemen yang memfasilitasi dilepaskannya enzim-enzim endogen
(gelatinase, collagenase dan stromelisin). Debridemen ini menggunakan balutan hydrogel yang
diaplikasikan di dasar luka nekrotik dan membutuhkan moist environment sehingga perlu
balutan sekunder yang mempertahankan kelembaban dasar luka (moist gauze, hydrocolloid
sheet, transparent film).

Pengendalian Bakteri
1. Pengelolaan Biofilm melalui tindakan Irigasi dasar luka dengan tekanan sebesar 8-15 psi (per
square inch).
2. Manajemen Infeksi dengan cara pemberian terapi obat:
• Antibiotik Sistemik dan/atau Topikal.
Pemberian antibiotika sistemik harus mengacu kepada hasil pemeriksaan kultur, guna
memperoleh efektivitas antibiotika dan mencegah resistensi. Terapi antibiotika topikal
masih menjadi perdebatan, namun demikian berikut adalah jenis antibiotika topikal yang
digunakan luka terinfeksi :
Bahan Aksi Organisme Sensitivitas
Bacitracin Menggangu sintesa dinding sel Gram-positif dan anaerob
Gentamicin Menghambat sintesa protein Gram-positif & gram-negatif
Metronidazole Tidak jelas Anaerob
Mupirocin Menggangu sintesa dinding sel Gram-positif
Neomycin Menghambat sintesa protein Gram-positif dan gram-negatif
Silver sulfadiazine Merusak dinding sel Gram-positif, gram-negatif dan fungi
Mafenide acetat Tidak jelas Gram-positif, gram- negatif dan anaerob
Nitrofurazone Tidak jelas Gram-positif dan gram- negatif
• Stop pemakaian antibiotik jika tanda klinis infeksi pada luka telah hilang guna mencegah
resistensi bakteri dan reaksi sensitivitas.
Pengelolaan Biofilm dan Infeksi DFU dapat menggunakan balutan antiseptik yang mengandung ionic
silver, nanocristal silver, dan cadexomer iodine yang dilepaskan secara berkala ke permukaan luka
untuk membunuh bakteri.

Wajan Juni Udjianti ETN/Manajemen Ulkus Kaki Diabetik Page 7


Pengendalian Exudate
Exudate luka dikelola dengan balutan yang memiliki kemampuan menyerap exudate sehingga
tercipta keseimbangan kelembaban (moisture balance) di dasar luka. Kondisi kelembaban yang
seimbang akan memberikan lingkungan yang optimal sehingga mendorong proses penyembuhan
luka. Saat ini ada lebih dari 3000 jenis balutan luka dan jumlahnya akan terus meningkat setiap hari.
Pemilihan balutan (wound dressing) tergantung pada :
• Karakteristik luka
• Tujuan perawatan luka (mengelola exudate? debridemen? mempercepat epithelisasi? )
• Pemahaman kemajuan luka karena kebutuhan balutan akan berubah sesuai kondisi luka
• Keadaan sosial dan emosional pasien dan pemberi pelayanan (caregiver)
• Pemahaman penggunaan, aplikasi dan kontraindikasi melalui metode pengorganisasian balutan
akan memudahkan pemilihan yang tepat
Balutan ideal mempersyaratkan hal berikut ini :
• Mempertahankan moist environment
• Memfasilitasi pertukaran gas
• Sebagai insulator suhu (menjaga suhu inti luka ± 30°C)
• Tidak permiabel terhadap mikro-organisme
• Bebas dari toxin atau kontaminasi bahan tertentu
• Atraumatik (tidak nyeri) dan tidak lengket di dasar luka
• Sebagai barrier fisik untuk mencegah trauma lebih lanjut
• Biaya efektif
Primary dressing (balutan primer) adalah balutan yang kontak langsung dengan permukaan luka.
Balutan primer harus memiliki sifat-sifat: (1) non-traumatic dan tidak lengket pada luka, (2)
mengabsorpsi exudates, (3) menjaga moist environment, dan (4) sebagai physical barrier.
Contoh balutan primer: calcium alginate (KALTOSTAT), Hydrofiber (AQUACEL, AQUACEL Ag),
Hydrocolloid (DuoDerm Extra Thin/Duoderm CGF, Duoderm Paste, Stomahesive Powder), Hydrogel
(DuoDerm Gel), Polyurethane foam, Hydrofiber ionic silver (AQUACEL Ag), Hydropolymer dan
Composite dressing (Versiva XC).
Secondary dressing (balutan sekunder) adalah balutan lapisan ke 2 atau ke 3 yang ditempatkan di
atas balutan primer untuk menahan balutan primer tetap di tempatnya. Balutan sekunder harus
memiliki sifat-sifat: (1) non-traumatik dan tidak lengket pada luka (2) menjaga moist environment,
dan (3) sebagai physical barrier. Contoh balutan primer: hydrocolloid (DuoDerm Extra Thin/ Duoderm
CGF), transparent film, semi-occlusive adhesive tape dan retainer dressing (plester seperti micropore,
hipafix dan lain-lain).

DRESSINGS FOR DIABETIC FOOT ULCER


Jenis Ulkus Balutan yang direkomendasikan
Kering Hydrogel (DuoDERM Gel)
Basah Hydrofiber (AQUACEL), Calcium alginate (KALTOSTAT), foam
Nekrotik Hydrogel (DuoDERM Gel), hydrocolloid (DuoDERM CGF)
Dangkal Hydrocolloid sheet(DuoDERM CGF / DuoDERM Extra Thin),
transparent film, collagen
Tunnelling / Dalam • Alginate rope (KALTOSTAT rope) atau hydrofiber ribbon
(AQUACEL ribbon) untuk ulkus basah.
• Hydrogel/DuoDERM Gel (untuk ulkus kering)
Infeksi Antiseptic slow release dressing/hydrofiber with ionic silver
(AQUACEL Ag)
Berdarah Calcium alginate (KALTOSTAT)

Wajan Juni Udjianti ETN/Manajemen Ulkus Kaki Diabetik Page 8


OFF-LOADING
Off-loading adalah tindakan mengurangi tekanan pada area plantar DFU guna mempercepat proses
penyebuhan luka dan mengelola deformitas kaki sehingga dapat mencegah terulangnya ulserasi pada
kaki diabetik. Off-loading memberikan kendali, pembatasan dan menghilangkan faktor-faktor
intrinsik dan ekstrinsik yang dapat meningkatkan tekanan plantar kaki. Intervensi off-loading non-
surgical antara lain menggunakan alat bantu berjalan, sepatu therapeutic (off-loading shoe dengan
rocker soles, off-loading pad, off-loading diabetic walker, walking cast dan total cast contact).

Total contact cast Off loading walker Rocker soles Offloading pad and shoe

PROSEDUR PERAWATAN DIABETIC FOOT ULCERS


1. Cuci luka secara lembut dengan Sabun (mild soap) dan cairan Normal Saline (NaCl 0,9%)
kemudian keringkan dengan kasa. Irigasi NaCl 0,9% dengan syringe 30 ml dan feeding tube 5Fr
jika terdapat rongga luka yang dalam sampai bersih (cairan irigasi jernih).
2. Bersihkan tepi luka, kulit sekitar luka (minimal radius 5 cm) termasuk sela jari kaki dengan kasa
alkohol 70% secara hati-hati atau dengan Normal Saline.
3. Jika terdapat callus disekitar luka (area plantar) maka lakukan debridemen callus secara adekuat
(usahakan tidak menimbulkan perdarahan).
4. Jika luka sangat berbau, taburi luka dengan powder metronidazole dan aplikasikan DuoDERM
Hydroactive Gel atau campurkan DuoDERM Hydroactive Gel dengan powder metronidazole
kemudian aplikasikan secara merata pada area slough dan jaringan nekrotik.
5. Jika luka berongga, isi rongga dengan campuran DuoDERM Hydroactive Gel dan powder
metronidazole sampai ½ kedalaman rongga luka.
6. Jika terdapat rongga luka (seperti tunnel/sinus tract atau undermining), calcium alginate
(KALTOSTAT) rope atau hydrofiber (AQUACEL) ribbon yang dimasukkan ke dalam rongga luka
sebagai tampon. Jika luka bernanah atau terinfeksi, gunakan AQUACEL-Ag (hydrofiber with ionic
silver).
7. Tutup permukaan luka dengan balutan primer seperti calcium alginate (KALTOSTAT) atau
hydrofiber (AQUACEL) atau cavity foam sheet (jika exudates sedang atau banyak).
8. Tutup balutan primer atau luka dengan transparent film atau hydrocolloid sheet (DuoDERM CGF
atau DuoDERM Extra Thin); atur sesuai bentuk bagian tubuh yang dibalut. Untuk memfiksasi
dapat ditambahkan retainer dressing (misal: Hipafix, Fixomul).
Pemakaian elastic bandage dapat diberikan jika ABI normal (0,9 - 1,2) dan CRT (capilary refill
time) normal.

Slough& inflamasi/infeksi DuoDERM Gel & AQUACEL Ag DuoDERM Extra Thin


Metronidazole powder

Wajan Juni Udjianti ETN/Manajemen Ulkus Kaki Diabetik Page 9


CSWD DuoDERM Gel AQUACEL Ag DuoDERM Extra Thin

ADVANCED THERAPY
Beberapa advanced therapy telah dikembangkan dalam manajemen luka guna meningkatkan proses
penyembuhan luka termasuk DFU. Advanced therapy yang digunakan dalam manajemen DFU:
1. Negative Pressure Wound Therapy (NPWT)
2. Oxygen Hyperbaric Therapy
3. Living Skin Substitutes
4. Growth factors (sedang dalam penelitian)
5. Stem Cells (sedang dalam penelitian)

NPWT Oxygen hyperbaric Skin substitute Stem cell teraphy

Referensi
• American Diabetes Association,2000, Diabetes Facts and Figure, Alexandria, VA, American Diabetes Association.
• Armstrong DG, Lavery LA, Harkless LB. Validation of a diabetic wound classification system. The contribution of depth,
infection, and ischemia to risk of amputation. Diabetes Care. 1998 May;21(5):855-9.Bryant RA and Nix Denise P, 2007,
rd
• Bryant RA and Nix DP: Acute and Chronic Wounds: Current Management Concepts. 3 edition. 2007. St Louis.
Missouri. Mosby Elsevier.
• Baldwin MK, et.al., 2003, Wound Care made Incredibly Easy!, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
• Blackley Patricia, 2002, Practical Stoma Wound and Continence Management, Research Publications Pty, Ltd, Vermont
Victoria, Australia
rd
• Dealey Carol, 2005, The Care of Wounds A Guide for Nurses, 3 edition, Blackwell Publishing, UK
• Krasner DL, Rodeheaver GT, Siddald RG, 2001, Chronic Wound Care: A Clinical Source Book for Healthcare
rd
Professionals, 3 ed. HMP Communications, Wayne, PA
• Lavery LA, Armstrong DG, Vela SA, Quebedeaux TL, Fleischli JG. Practical criteria for screening patients at high risk for
diabetic foot ulceration. Arch Intern Med. 1998 Jan 26;158(2):157-62. Morison et.al., 2004, Chronic Wound Care A
Problem-based Learning Approach, Mosby Elsevier Limited, London
• Oyibo SO, Jude EB, Tarawneh I, Nguyen HC, Harkless LB, Boulton AJ. A comparison of two diabetic foot ulcer
classification systems: the Wagner and the University of Texas wound classification systems. Diabetes Care. 2001
Jan;24(1):84-8.
• Sussman C, Jensen B (eds), 1998, Wound Care: A Collaborative Practice Manual for Physical Therapists and Nurses,
MD Aspen, Gaithersburg
• Wagner FW: Supplement: algorithms of foot care. In The Diabetic Foot. 3 rd ed. Levin ME, O’Neal LW, Eds. St. Louis,
MO, CV. Mosby, 1983, p. 291–302

Wajan Juni Udjianti ETN/Manajemen Ulkus Kaki Diabetik Page 10

Anda mungkin juga menyukai