Anda di halaman 1dari 39

ULKUS DIABETIKUM

1. DEFINISI

Diabetes mellitus merupakan penyakit endokrin akibat defek dalam sekresi dan
kerja insulin atau keduanya sehingga terjadi defisiensi insulin relatif atau absolut dimana
tubuh mengeluarkan terlalu sedikit insulin atau insulin yang dikeluarkan resisten
sehingga mengakibatkan kelainan metabolisme kronis berupa hiperglikemia kronik
disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan
komplikasi kronik pada sistem tubuh.

Kaki diabetic atau Diabetic foot adalah kelainan pada tungkai bawah yang
merupakan komplikasi kronik diabetes mellitus. Suatu penyakit pada penderita diabetes
bagian kaki, dengan gejala dan tanda sebagai berikut:

1. Sering kesemutan/gringgingan (asmiptomatus).

2. Jarak tampak menjadi lebih pendek (klaudilasio intermil).

3. Nyeri saat istirahat.

4. Kerusakan jaringan (necrosis, ulkus).

Salah satu komplikasi yang sangat ditakuti penderita diabetes adalah Diabetic
foot. Komplikasi ini terjadi karena terjadinya kerusakan saraf, pasien tidak dapat
membedakan suhu panas dan dingin, rasa sakit pun berkurang.

2. EPIDEMIOLOGI

Di Negara maju Diabetic foot memang masih merupakan masalah kesehatan


masyarakat yang besar, tetapi dengan kemajuan cara pengelolaan, dan adanya klinik
diabetic foot yang aktif mengelola sejak pencegahan primer, nasib penyandang diabetic
foot menjadi lebih cerah. Angka kematian dan angka amputasi dapat ditekan samapai
sangat rendah, menurun sebanyak 49-85% dari sebelumnya.

Di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, masalah diabetic foot masih merupakan


masalah besar. Sebagian besar perawatan penyandang DM selalu menyangkut diabetic
foot. Angka kematian dan angka amputasi masih tinggi, masing-masing sebesar 16% dan
25% (data RSUPNCM tahun 2003). Nasib para penyandang DM pasca amputasi pun
masih sangat buruk. Sebanyak 14,3% akan meninggal dalam setahun pasca amputasi,
dan sebanyak 37% akan meninggal 3 tahun pasca amputasi.

3. PATOGENESIS

Diabetes mellitus seringkali menyebabkan penyakit vaskular perifer yang


menghambat sirkulasi darah. Dalam kondisi ini, terjadi penyempitan di sekitar arteri
yang sering menyebabkan penurunan sirkulasi yang signifikan di bagian bawah tungkai
dan kaki. Sirkulasi yang buruk ikut berperan terhadap timbulnya diabetic foot dengan
menurunkan jumlah oksigen dan nutrisi yang disuplai ke kulit maupun jaringan lain,
sehingga menyebabkan luka tidak sembuh-sembuh.

Kondisi diabetic foot berasal dari suatu kombinasi dari beberapa penyebab seperti
sirkulasi darah yang buruk dan neuropati. Berbagai kelainan seperti neuropati, angiopati
yang merupakan faktor endogen dan trauma serta infeksi yang merupakan faktor eksogen
yang berperan terhadap terjadinya diabetic foot.

Angiopati diabetes disebabkan oleh beberapa faktor yaitu genetik, metabolik dan
faktor risiko yang lain. Kadar glukosa yang tinggi (hiperglikemia) ternyata mempunyai
dampak negatif yang luas bukan hanya terhadap metabolisme karbohidrat, tetapi juga
terhadap metabolisme protein dan lemak yang dapat menimbulkan pengapuran dan
penyempitan pembuluh darah (aterosklerosis), akibatnya terjadi gaangguan peredaran
pembuluh darah besar dan kecil., yang mengakibatkan sirkulasi darah yang kurang baik,
pemberian makanan dan oksigenasi kurang dan mudah terjadi penyumbatan aliran darah
terutama derah kaki.

Neuropati diabetik dapat menyebabkan insensitivitas atau hilangnya kemampuan


untuk merasakan nyeri, panas, dan dingin. Diabetes yang menderita neuropati dapat
berkembang menjadi luka, parut, lepuh, atau luka karena tekanan yang tidak disadari
akibat adanya insensitivitas. Apabila cedera kecil ini tidak ditangani, maka akibatnya
dapat terjadi komplikasi dan menyebabkan ulserasi dan bahkan amputasi. neuropati juga
dapat menyebabkan deformitas seperti Bunion, Hammer Toes (ibu jari martil), dan
Charcot Foot.
Gambar 1. Salah satu bentuk deformitas pada diabetic foot.

Yang sangat penting bagi diabetik adalah memberi perhatian penuh untuk mencegah
kedua kaki agar tidak terkena cedera. Karena adanya konsekuensi neuropati, observasi setiap
hari terhadap kaki merupakan masalah kritis. Jika pasien diabetes melakukan penilaian
preventif perawatan kaki, maka akan mengurangi risiko yang serius bagi kondisi kakinya.
Sirkulasi yang buruk juga dapat menyebabkan pembengkakan dan kekeringan pada kaki.
Pencegahan komplikasi pada kaki adalah lebih kritis pada pasien diabetik karena sirkulasi
yang buruk merusak proses penyembuhan dan dapat menyebabkan ulkus, infeksi, dan kondisi
serius pada kaki.

Dari faktor-faktor pencetus diatas faktor utama yang paling berperan dalam timbulnya
diabetic foot adalah angiopati, neuropati dan infeksi. Infeksi sendiri sangat jarang merupakan
faktor tunggal untuk terjadinya diabetic foot. Infeksi lebih sering merupakan komplikasi yang
menyertai diabetic foot akibat iskemia atau neuropati. Secara praktis diabetic foot
dikategorikan menjadi 2 golongan :diabetic foot akibat angiopati / iskemia dan diabetic foot
akibat neuropati, dan ditambah diabetic foot akibat infeksi.

II.4.1 Diabetic foot akibat angiopati / iskemia

Penderita hiperglikemia yang lama akan menyebabkan perubahan patologi pada


pembuluh darah. Ini dapat menyebabkan penebalan tunika intima “hiperplasia membran
basalis arteria”, oklusi (penyumbatan) arteria, dan hiperkeragulabilitas atau abnormalitas
tromborsit, sehingga menghantarkan pelekatan (adhesi) dan pembekuan (agregasi).

Selain itu, hiperglikemia juga menyebabkan lekosit DM tidak normal sehingga fungsi
khemotoksis di lokasi radang terganggu. Demikian pula fungsi fagositosis dan bakterisid
intrasel menurun sehingga bila ada infeksi mikroorganisme (bakteri), sukar untuk
dimusnahkan oleh sistem plagositosis-bakterisid intraseluler. Hal tersebut akan diperoleh lagi
oleh tidak saja kekakuan arteri, namun juga diperberat oleh rheologi darah yang tidak normal.
Menurut kepustakaan, adanya peningakatan kadar fripronogen dan bertambahnya reaktivitas
trombosit, akan menyebabkan tingginya agregasi sel darah merah sehingga sirkulasi darah
menjadi lambat, dan memudahkan terbentuknya trombosit pada dinding arteria yang sudah
kaku hingga akhirnya terjadi gangguan sirkulasi.

Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita DM antara lain berupa


penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer (yang utama). Sering terjadi pada
tungkai bawah (terutama kaki). Akibatnya, perfusi jaringan bagian distal dari tungkai menjadi
kurang baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat berkembang menjadi nekrosis/gangren
yang sangat sulit diatasi dan tidak jarang memerlukan/tindakan amputasi.

Tanda-tanda dan gejala-gejala akibat penurunan aliran darah ke tungkai meliputi


klaudikasi, nyeri yang terjadi pada telapak atau kaki depan pada saat istirahat atau di malam
hari, tidak ada denyut popliteal atau denyut tibial superior, kulit menipis atau berkilat, atrofi
jaringan lemak subkutan ,tidak ada rambut pada tungkai dan kaki bawah, penebalan kuku,
kemerahan pada area yang terkena ketika tungkai diam, atau berjuntai, dan pucat ketika kaki
diangkat.

II.4.2 Diabetic foot akibat neuropati

Pasien diabetes mellitus sering mengalami neuropati perifer, terutama pada pasien
dengan gula darah yang tidak terkontrol. Di samping itu, dari kasus ulkus/gangren diabetes,
kaki DM 50% akan mengalami infeksi akibat munculnya lingkungan gula darah yang subur
untuk berkembanguya bakteri patogen. Karena kekurangan suplai oksigen, bakteri-bakteri
yang akan tumbuh subur terutama bakteri anaerob.

Neuropati diabetik dapat menyebabkan insensitivitas atau hilangnya kemampuan


untuk merasakan nyeri, panas, dan dingin. Diabetes yang menderita neuropati dapat
berkembang menjadi luka, parut, lepuh, atau luka karena tekanan yang tidak disadari akibat
adanya insensitivitas. Apabila cedera kecil ini tidak ditangani, maka akibatnya dapat terjadi
komplikasi dan menyebabkan ulserasi dan bahkan amputasi.

Secara klinis dijumpai parestesi, hiperestesi, nyeri radikuler, hilangnya reflek tendon,
hilangnya sensibilitas, anhidrosis, pembentukan kalus, ulkus tropik, perubahan bentuk kaki
karena atrofi otot ataupun perubahan tulang dan sendi seperti Bunion, Hammer Toes (ibujari
martil), dan Charcot Foot. Secara radiologis akan nampak adanya demineralisasi, osteolisis
atau sendi Charcot.

Gambar 2. Predileksi paling sering terjadinya ulkus pada diabetic foot adalah bagian dorsal
ibu jari dan bagian proksimal & dorsal plantar metatarsal.

Faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya neuropati ditentukan oleh :

- Respon mekanisme proteksi sensoris terhadap trauma


- Macam, besar dan lamanya trauma
- Peranan jaringan lunak kaki

Neuropati perifer pada kaki akan menyebabkan terjadinya kerusakan saraf baik saraf
sensoris maupun otonom. Kerusakan sensoris akan menyebabkan penurunan sensoris nyeri,
panas dan raba sehingga penderita mudah terkena trauma akibat keadaan kaki yang tidak
sensitif ini. Gangguan saraf otonom disini terutama diakibatkan oleh kerusakan serabut saraf
simpatis. Gangguan saraf otonom ini akan mengakibatkan peningkatan aliran darah, produksi
keringat berkurang atau tidak ada, hilangnya tonus vaskuler.

Hilangnya tonus vaskuler disertai dengan adanya peningkatan aliran darah akan
menyebabkan distensi vena-vena kaki dan peningkatan tekanan parsial oksigen di vena.
Dengan demikian peran saraf otonom terhadap timbulnya diabetic foot neuropati dapat
disimpulkan sebagai berikut : neuropati otonom akan menyebabkan produksi keringat
berkurang, sehingga menyebabkan kulit penderita akan mengalami dehidrasi serta menjadi
kering dan pecah-pecah yang memudahkan infeksi, dan selanjutnya timbulnya selullitis ulkus
ataupun gangren. Selain itu neuropati otonom akan mengakibatkan penurunan nutrisi jaringan
sehingga terjadi perubahn komposisi, fungsi dan keelastisitasannya sehingga daya tahan
jaringan lunak kaki akan menurun yang memudahkan terjadinya ulkus.

Gambar 3. Gangren jari kaki.

Distribusi tempat terjadinya diabetic foot secara anatomik :3

- 50% ulkus pada ibu jari


- 30% pada ujung plantar metatarsal
- 10 – 15% pada dorsum kaki
- 5 – 10% pada pergelangan kaki
- Lebih dari 10% adalah ulkus multipel

II.4.3 Diabetic foot akibat infeksi

Pada prinsipnya penderita diabetes melitus lebih rentan terhadap infeksi


daripada orang sehat. Keadaan infeksi sering ditemukan sudah dalam kondisi serius
karena gejala klinis yang tidak begitu dirasakan dan diperhatikan penderita.

Faktor-faktor yang merupakan risiko timbulnya infeksi yaitu:

a. faktor imunologi
- produksi antibodi menurun
- peningkatan produksi steroid dari kelenjar adrenal
- daya fagositosis granulosit menurun
b. faktor metabolik
- hiperglikemia
- benda keton mengakibatkan asam laktat menurun daya bakterisidnya
- glikogen hepar dan kulit menurun
c. faktor angiopati diabetika
d. faktor neuropati
Beberapa bentuk infeksi diabetic foot antara lain: infeksi pada ulkus telapak kaki,
selulitis atau flegmon non supuratif dorsum pedis dan abses dalam rongga telapak kaki. Pada
ulkus yang mengalami gangren atau ulkus gangrenosa ditemukan infeksi kuman Gram
positif, negatif dan anaerob.

Pada diabetic foot yang disertai infeksi, berdasarkan letak serta penyebabnya dibagi
menjadi 3 kelompok yaitu: (Goldberg dan Neu, 1987)

1. Abses pada deep plantar space


2. Selulitis non supuratif dorsum pedis
3. Ulkus perforasi pada telapak kaki

4. KLASIFIKASI

Berdasarkan dalamnya luka, derajat infeksi dan derajat gangren, maka dibuat
klasifikasi derajat lesi pada diabetic foot menurut Wagner ( Cit. Levin dan O'Neal 1983).

Tabel 4. Klasifikasi Wagner untuk diabetic foot.

Derajat 0 Tidak ada lesi terbuka, kulit utuh dan mungkin disertai kelainan
bentuk kaki
Deraj
at I Ulkus superficial dan terbatas di kulit

Derajat II Ulkus dalam mengenai tendo sampai kulit dan tulang

Derajat III Abses yang dalam dengan atau tanpa ostemoielitis

Dearjat IV Gangren jari kaki atau kaki bagian distal dengan atau tanpa selulitis

Derajat V Gangren seluruh kaki dan sebagian tungkai bawah


Sedangkan bila dilihat dari gejala klinis gangguan vascular pada diabetic foot, maka seperti
gangguan vascular kronik lainnya mengikuti stadium dari Fontaine yaitu sebagai berikut :

Tabel 5. Stadium dari Fontaine

Stadium Gejala dan Tanda Klinis

I Gejala tidak spesifik seperti kesemutan, rasa berat

II Claudicatio intermitten yaitu sakit bila berjalan, hilang bila istirahat

IIa Bila keluhan sakit pada jarak jalan >200 m

IIb Bila keluhan sakit pada jarak jalan <200 m

III Rest pain : sakit meskipun waktu istirahat (malam hari)

IV Ulkus / gangrene

5. MANIFESTASI KLINIK

Gambaran klinis dibedakan:

 Neuropathic Foot yang terdiri dari: Ulkus neuropatik, Artropati neuropatik (Artropati
Charcot ), Edema neuropatik
 Neuro-ischemic-foot

Ulkus Neuropatik.

Neuropati perifer diabetik dapat memberikan small fibre neuropathy yang


berakibat gangguan somatik dan otonom. Manifestasinya berupa hilangnya sensasi panas
dan nyeri sebelum rabaan dan fibrasi terganggu. Juga saraf simpatik mengalami
denervasi yang mengganggu aliran darah disebabkan karena terjadi aliran yang berlebih
dengan arteriovenous shunting disekitar kapiler-serta dilatasi arteri perifer. Aliran darah
yang miskin makanan ini mengurangi efektivitas dari perfusi jaringan yang memang
sudah berkurang. Disamping ini neuropati merusak serabut C saraf sensorik sehingga
terjadi gangguan nosiseptor. Jadi ulkus pada kaki diabetik ini akibat iskemia, sering
terlihat adanya gambaran gas. Penyebabnya dapat karena Clostridium , E coli,
Streptococus anaerob, dan Bacteroides sp. Untuk melakukan identifikasi kasus yang
rentan ulkus, kini digunakan alat sederhana untuk screening, yaitu TCD (Tactile
Circumferential Discriminator) pada hallux yang korelasinya dengan menggunakan
filament dan ambang fibrasi yang cukup tinggi. Dalam menilai ulkus perlu dipastikan
dalam serta luasnya ulkus. Sering kita terkecoh karena kita anggap enteng, padahal lesi
ini merupakan puncak dari gunung es.

Klinis terlihat melebar pada kaki dan tungkai bawah pada sikap berbaring. Kaki
ada aliran lebih cepat dan vaskularitas lebih. Apabila ada ulkus maka perlu diperhatikan
kuman penyebab infeksinya. Kirim sample untuk biakan bakteri. Goldstein (1996)
Meneliti 25 orang yang secara berurutan masuk dirawat dengan ulkus. la menemukan
phylococcus sebagai isolat terpenting, termasuk MRSA pada 20 % kasus. Streptococcus
enterococcus, Enterobactericcae, dan kuman anaerob terlihat pada 40% luka. Lebih dari
80% peka terhadap Ciprofloxasin dan Levofloxasin.

Artropati Neuropatik

Deformitas kaki sering berakibat pada ulcerasi. Penderita diabetes cenderung


mempunyai jari bengkok yang menekan jari tersebut, yang berhubungan dengan menipis
dan menggesernya timbunan lemak bawah caput metatarsal pertama. Akibatnya daerah
ini rawan ulserasi dan infeksi. Bentuk yang ekstrim dari deformitas kaki ini, yaitu kaki
Charcot. Sebab terjadinya fraktur dan reabsorbsi tulang pada kaki Charcot ini belum
jelas, tetapi diduga akibat neuropati otonom (akibat gagalnya tonus vaskular akan
meningkatkan aliran darah, pembentukan shunt arteriovenosa dan resorbsi tulang padahal
penderita diabetes densitas tulang rendah) dan neuropati perifer (hilang rasa, sehingga
pasien masih aktif berjalan dan sebagainya meskipun tulang fraktur). Akibatnya ada
fraktur, kolaps sendi, dan deformitas kaki. Awalnya kaki Charcot ini akut: panas, merah,
dengan nadi yang keras, dengan atau tanpa trauma (perlu di DD dengan selulitis). Pada
stadium 4 mudah sekali terjadi ulkus dan infeksi dan gangren yang dapat berakibat
amputasi.

Neuro ischeimic foot

Gambaran tungkai ini gabungan antara kelainan arterosklerosis yang dipercepat


pada diabetes dan neuropathic foot. Keluhan klaudikasio intermitten, nyeri tungkai waktu
istirahat, dengan ulserasi dan gangren. Umumnya rest pain diwaktu malam, dan
berkurang pada sikap kaki yang tergantung. Untuk membedakan dengan ulkus
neuropatik, disini ulkusnya nyeri, satu nekrosis, dilingkari pinggiran eritemateus dan
tidak disertai callus. Predileksi di ibu jari, tepi medial metatarsal I, atau tepi lateral
metatarsal V, serta tumit. Perlu diperiksa pembuluh darah arteri, kalau perlu dengan
arteriografi.

Adapun perbedaan gambaran klinis antara iskemia dan neuropati pada diabetic foot :

Tabel 6. Perbedaan klinis iskemia dan neuropati pada diabetic foot

Iskemia Neuropati

Gejala Klaudikasio Biasanya tidak nyeri

Nyeri saat istirahat Kadang nyeri neuropati

Inspeksi Tergantung rubor Lengkung tinggi

Perubahan Tropik Kuku-kuku jari kaki

Tak ada perubahan tropic

Palpasi Dingin Hangat

Tak teraba nadi Nadi teraba

Ulserasi Nyeri Tak nyeri

Tumit dan jari kaki Plantar

6. DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis ulkus diabetikum ditegakkan berdasarkan :

Anamnesa

Penderita diabetes melitus mempunyai keluhan klasik yaitu poliuri, polidipsi dan
polifagi. Riwayat pemeriksaan yang telah dilakukan sebelumnya ke dokter dan laboratorium
menunjang penegakkan diagnosis. Adanya riwayat keluarga yang sakit seperti ini dapat
ditemukan, dan memang penyakit ini cenderung herediter. Anamnesis juga harus dilakukan
meliputi aktivitas harian, sepatu yang digunakan, pembentukan kalus, deformitas kaki,
keluhan neuropati, nyeri tungkai saat beraktivitas atau istirahat , durasi menderita DM,
penyakit komorbid, kebiasaan (merokok, alkohol), obat-obat yang sedang dikonsumsi,
riwayat menderita ulkus/amputasi sebelumnya.

Riwayat berobat yang tidak teratur mempengaruhi keadaan klinis dan prognosis
seorang pasien, sebab walaupun penanganan telah baik namun terapi diabetesnya tidak teratur
maka akan sia-sia.

Keluhan nyeri pada kaki dirasakan tidak secara langsung segera setelah trauma.
Gangguan neuropati sensorik mengkaburkan gejala apabila luka atau ulkusnya masih ringan.
Setelah luka bertambah luas dan dalam, rasa nyeri mulai dikeluhkan oleh penderita dan
menyebabkan datang berobat ke dokter atau rumah sakit. Banyak dari seluruh penderita
diabetes melitus dengan komplikasi ulkus atau bentuk infeksi lainnya, memeriksakan diri
sudah dalam keadaan lanjut, sehingga penatalaksanaannya lebih rumit dan prognosisnya lebih
buruk ( contohnya amputasi atau sepsis ).

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, seorang dokter akan menemukan ulkus ialah defek pada kulit
sebagian atau seluruh lapisannya ( superfisial atau profunda ) yang bersifat kronik, terinfeksi
dan dapat ditemukan nanah, jaringan nekrotik atau benda asing. Ulkus yang dangkal
mempunyai dasar luka dermis atau lemak / jaringan subkutis saja. Ulkus yang profunda
kedalamannya sampai otot bahkan tulang. Ulkus sering disertai hiperemi di sekitarnya yang
menunjukkan proses radang.

Abses adalah kumpulan pus atau nanah dalam rongga yang sebelumnya tidak ada.
Pada pemeriksaan fisik tampak kulit bengkak, teraba kistik dan fluktuatif. Abses yang
letaknya sangat dalam secara fisik sulit untuk didiagnosis, kecuali nanah telah mencari jalan
keluar dari sumbernya.

Flegmon atau selulitis mempunyai ciri klinis berupa udem kemerahan, non pitting
edema, teraba lebih hangat dari kulit sekitar, tak ada fluktuasi dan nyeri tekan. Hal ini
menandakan proses infeksi / radang telah mencapai jaringan lunak atau soft tissue.

Gangren merupakan jaringan yang mati karena tidak adanya perfusi darah. Klinis
tampak warna hitam, bisa disertai cairan kecoklatan, bau busuk dan teraba dingin. Jika
terdapat krepitasi di bawah kulit maka disebut dengan gas gangren.
Melakukan penilaian ulkus kaki merupakan hal yang sangat penting karena berkaitan
dengan keputusan dalam terapi. Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mendapatkan deskripsi
karakter ulkus, menentukan ada tidaknya infeksi, menentukan hal yang melatarbelakangi
terjadinya ulkus (neuropati, obstruksi vaskuler perifer, trauma atau deformitas), klasifikasi
ulkus dan melakukan pemeriksaan neuromuskular untuk menentukan ada/ tidaknya
deformitas, adanya pulsasi arteri tungkai dan pedis.Deskripsi ulkus DM paling tidak harus
meliputi; ukuran, kedalaman, bau, bentuk dan lokasi. Penilaian ini digunakan untuk menilai
kemajuan terapi. Pada ulkus yang dilatarbelakangi neuropati ulkus biasanya bersifat kering,
fisura, kulit hangat, kalus, warna kulit normal dan lokasi biasanya di plantar tepatnya sekitar
kaput metatarsal I-III, lesi sering berupa punch out. Sedangkan lesi akibat iskemia bersifat
sianotik, gangren, kulit dingin dan lokasi tersering adalah di jari. Bentuk ulkus perlu
digambarkan seperti; tepi, dasar, ada/tidak pus, eksudat, edema atau kalus. Kedalaman ulkus
perlu dinilai dengan bantuan probe steril. Probe dapat membantu untuk menentukan adanya
sinus, mengetahui ulkus melibatkan tendon, tulang atau sendi. Berdasarkan penelitian Reiber,
lokasi ulkus tersering adalah di permukaan jari dorsal dan plantar (52%), daerah plantar
(metatarsal dan tumit: 37%) dan daerah dorsum pedis (11%).

Sedangkan untuk menentukan faktor neuropati sebagai penyebab terjadinya ulkus


dapat digunakan pemeriksaan refleks sendi kaki, pemeriksaan sensoris, pemeriksaan dengan
garpu tala, atau dengan uji monofilamen. Uji monofilamen merupakan pemeriksaan yang
sangat sederhana dan cukup sensitif untuk mendiagnosis pasien yang memiliki risiko terkena
ulkus karena telah mengalami gangguan neuropati sensoris perifer. Hasil tes dikatakan tidak
normal apabila pasien tidak dapat merasakan sentuhan nilon monofilamen. Bagian yang
dilakukan pemeriksaan monofilamen adalah di sisi plantar (area metatarsal, tumit dan dan di
antara metatarsal dan tumit) dan sisi dorsal.

Gangguan saraf otonom menimbulkan tanda klinis keringnya kulit pada sela-sela jari
dan cruris. Selain itu terdapat fisura dan kulit pecah-pecah, sehingga mudah terluka dan
kemudian mengalami infeksi.

Pemeriksaan pulsasi merupakan hal terpenting dalam pemeriksaan vaskuler pada


penderita penyakit oklusi arteri pada ekstremitas bagian bawah. Pulsasi arteri femoralis,
arteri poplitea, dorsalis pedis, tibialis posterior harus dinilai dan kekuatannya di kategorikan
sebagai aneurisma, normal, lemah atau hilang. Pada umumnya jika pulsasi arteri tibialis
posterior dan dorsalis pedis teraba normal, perfusi pada level ini menggambarkan patensi
aksial normal. Penderita dengan claudicatio intermitten mempunyai gangguan arteri
femoralis superfisialis, dan karena itu meskipun teraba pulsasi pada lipat paha namun tidak
didapatkan pulsasi pada arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior. Penderita diabetik lebih
sering didapatkan menderita gangguan infra popliteal dan karena itu meskipun teraba pulsasi
pada arteri femoral dan poplitea tapi tidak didapatkan pulsasi distalnya.

Ankle brachial index (ABI) merupakan pemeriksaan non-invasif untuk mengetahui


adanya obstruksi di vaskuler perifer bawah. Pemeriksaan ABI sangat murah, mudah
dilakukan dan mempunyai sensitivitas yang cukup baik sebagai marker adanya insufisiensi
arterial. Pemeriksaan ABI dilakukan seperti kita mengukur tekanan darah menggunakan
manset tekanan darah, kemudian adanya tekanan yang berasal dari arteri akan dideteksi oleh
probe Doppler (pengganti stetoskop). Dalam keadaan normal tekanan sistolik di tungkai
bawah (ankle) sama atau sedikit lebih tinggi dibandingkan tekanan darah sistolik lengan atas
(brachial). Pada keadaan di mana terjadi stenosis arteri di tungkai bawah maka akan terjadi
penurunan tekanan. ABI dihitung berdasarkan rasio tekanan sistolik ankle dibagi tekanan
sistolik brachial. Dalam kondisi normal, harga normal dari ABI adalah >0,9, ABI 0,71–0,90
terjadi iskemia ringan, ABI 0,41–0,70 telah terjadi obstruksi vaskuler sedang, ABI 0,00–0,40
telah terjadi obstruksi vaskuler berat.

Pasien diabetes melitus dan hemodialisis yang mempunyai lesi pada arteri kaki bagian
bawah, (karena kalsifikasi pembuluh darah), maka ABI menunjukkan lebih dari 1,2 sehingga
angka ABI tersebut tidak menjadi petunjuk diagnosis. Pasien dengan ABI kurang dari 0,5
dianjurkan operasi (misalnya amputasi) karena prognosis buruk. Jika ABI >0,6 dapat
diharapkan adanya manfaat dari terapi obat dan latihan.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk menegakkan diagnosis secara pasti
adalah dengan melakukan pemeriksaan lengkap yakni pemeriksaan CBC (Complete Blood
Count), pemeriksaan gula darah, fungsi ginjal, fungsi hepar, elektrolit.

Untuk menentukan patensi vaskuler dapat digunakan beberapa pemeriksaan non


invasif seperti; (ankle brachial index/ ABI) yang sudah dijelaskan pada pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan lainnya ialah transcutaneous oxygen tension (TcP02), USG color Doppler atau
menggunakan pemeriksaan invasif seperti; digital subtraction angiography (DSA), magnetic
resonance angiography (MRA) atau computed tomography angoigraphy (CTA).
Apabila diagnosis adanya penyakit obstruksi vaskuler perifer masih diragukan, atau
apabila direncanakan akan dilakukan tindakan revaskularisasi maka pemeriksaan digital
subtraction angiography, CTA atau MRA perlu dikerjakan. Gold standard untuk diagnosis
dan evaluasi obstruksi vaskuler perifer adalah DSA. Pemeriksaan DSA perlu dilakukan bila
intervensi endovascular menjadi pilihan terapi. Pemeriksaan foto polos radiologis pada pedis
juga penting untuk mengetahui ada tidaknya komplikasi osteomielitis. Pada foto tampak
gambaran destruksi tulang dan osteolitik.

7. TATALAKSANA

Prinsip dasar yang baik pengelolaan terhadap tukak diabetic adalah :

a. Evaluasi tukak yang baik : keadaan klinis luka, dalamnya luka, gambaran radiologi
(benda asing, osteomielitis, adanya gas sub kutis), lokasi, biopsy vaskularisasi (non
invasive).
b. Pengelolaan terhadap neuropati diabetik
c. Pengendalian keadaan metabolic sebaik-baiknya
d. Debridement luka yang adekuat, radikal
e. Biakan kuman (aerobic dan anaerobic)
f. Antibiotic oral-parental
g. Perawatan luka yang baik
h. Mengurangi edema
i. Non weight bearing (tirah baring, tongkat penyangga, kursi roda, alas kaki khusus, total
kontak casting)
j. Perbaikan sirkulasi, atau bedah vascular
k. Nutrisi
l. Rehabilitasi

A. Evaluasi
a. Kedalaman ulkus.
Pengobatan ulkus sangat dipengaruhi oleh derajad dan dalamnya ulkus.
Hati-hati bila menjumpai ulkus yang nampaknya kecil dan dangkal, karena
kadang - kadang hal tersebut hanya merupakan puncak dari gunung es,
dan pada pemeriksaan yang seksama penetrasi itu mungkin sudah
mencapai jaringan lebih dalam dan luas.
b. Pemeriksaan X foto
Pemeriksaan X foto dimaksudkan untuk mengevaluasi apakah
didapatkan benda asing, osteomielitis, gas subkutan, dan fraktur
asimptomatik.
c. lokasi Ulkus
Apabila lokasi ulkus tidak umum untuk suatu ulkus diabetik sukar
sembuh. Dengan pengelolaan yang adekuat. Dan pada anamnesis tidak diakibatkan
oleh suatu trauma perlu dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan biopsi. Hal
ini, untuk mengetahui kemungkinan terjadinya keganasan pada ulkus tersebut.
d. Evaluasi vaskuler
Untuk rencana pengelolaan lebih lanjut diperlukan evaluasi vaskuler kaki
penderita, diusahakan pemeriksaan yang tidak invasif Salah satu diantaranya
adalah membandingkan tekanan darah sistolik pergelangan kaki dengan tekanan
darah sistolik lengan atas (Ankle-Brachial pressure index), normalnya > 1,1.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Pressure index tersebut dapat dipakai
untuk memperkirakan / meramalkan penyembuhan , suatu ulkus. Pada suatu
penelitian, 87% penderita ulkus dengan pressure index lebih dari 0,6 dapat

sembuh, sedangkan penderita dengan pressure index kurang dari 0,6 yang
mengalami penyembuhan hanya 40 %.
Pengukuran tekanan oksigen transkutan dapat digunakan untuk menaksir
keadaan mikrosirkulasi jaringan. Normalnya, tPO2 jaringan kaki adalah antara
45-90 mmHg.

B. Pengelolaan terhadap Neuropati Diabetik


Pengelolaan neuropati diabetik (ND) sampai saat ini masih sering
menimbulkan frustasi, baik bagi para klinisi maupun penderita. Kegagalan
pengobatan ini oleh karena patogenesis ND masih belum jelas dan tampaknya
multi faktorial. Pada dasarnya pengelolaan ND dilakukan dengan mengontrol
gula darah dan pemberian obat - obatan kausal dan simptomatik.
a. Kontrol gula darah
Pengobatan ND yang paling memberikan harapan adalah kontrol gula

darah secara terus menerus. Suatu penelitian "multicenter randomized clinical


trial" pada 1441 penderita tipe I selama 6,5 tahun menyimpulkan bahwa

pengobatan DM yang intensif dapat menghambat progresitifitas neuropati

sebesar 60%.
b. Pengobatan kausal
i. Aldose reduktase inhibitor (ARI).
Pemberian ARI bertujuan untuk mengurangi penumpukkan sorbitol
di saraf perifei dan dengan demikian memperbaiki fungsi saraf
perifer, contoh: Sorbinil, tolstrat.
ii. Aminoguanidin
Aminoguanidin adalah suatu senyawa yang secara farmakologik dapat
menghambat pembentukan AGEs. Mekanisme penghambatannya melalui
reaksi antara prekursot AGEs yaitu 3 deoxyglucosone dengan
aminoauanidine membentuk 3-amino 5-triazines. Pada percobaan binatang,
pemberian aminoguanidine dapat memperbaiki kecepatan hantaran saraf motoris
maupun sensoris. Satu hal yang belum diketahui apakah senvawa int dapat
memberikan efek yang sama pada manusia.
iii. Gangliosid
Gangliosid adalah suatu kompleks glikolipid yang merupakan komponen
intrinsik dari membran sel saraf. Pada suatu percobaan klinis manusia
yang dilakukan secara doble blind versus placebo, nampak terdapat
perbaikan dari parameter elektrofisiologis dan perbaikan gejala klinis. Suatu
multicenter randomized WHO trial di empat negara juga menunjukkan
pengaruh yang positif dari ganglioside. Dosis yang dianjurkan adalah 40 mg
/ hari intra muskuler selama 8 minggu.
iv. Neurotropik
Pemberian neurotropik (vitamin B1. B6 dan B12) untuk mengobati atau
mengurangi gejala ND memberikan hasil yang berbeda-beda. Hal ini
mungkin oleh karena tidak ada bukti yang nyata bahwa defisiensi vitamin

B1, B6, B12 merupakan faktor penyebab terjadinya ND. Bahkan seorang
sarjana melaporkan bahwa pemberian Vitamin B6 dosis tinggi dapat
menyebabkan neuropati sensori.
c. Pengobatan simptomatik
Pada pengobatan ND biasanya yang kita obati adalah keluhannya
terutama rasa nyeri atau rasa sakit yang sangat menganggu penderita Belum
ada terapi yang spesifik untuk mengatasi masalah ini.
Penggunaan obat amitriptilin dan flupenasin baik tunggal maupun kombinasi sudah
lama dicoba untuk mengurangi rasa nyeri pada ND. Pemberian obat ini akan
lebih baik hasilnva apabila nyeri disertai gejala depresi. Amitriptilin dapat
diberikan dengan dosis 75 mg / hari dan flupenasin 1 - 3 mg / hari.
Mexiletin merupakan derivat lianokain yang dapat diberikan secara
peroral. mexiletin mempunyai sifat penghambatan saluran natrium sehingga
terjadi hambatan aktivasi saraf Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg / kg
BB / hari, sebaiknya dimulai dengan dosis kecil kemudian dinaikkan pelan -
pelan untuk mengurangi efek samping yang mungkin timbul.
Untuk rasa nyeri yang membandel dapat dicoba pemberian karbamazepin
atau fenitoin. Obat ini diduga dapat menghambat aktivitas saraf tepi yang
kuat dan iritatif.

C. Kontrol metabolik
Istilah PVD mengacu pada penyempitan arteri besar oleh aterosklerosis. Hal ini
sangat umum terjadi pada penderita DM. Terjadinya aterosklerosis adalah akibat defek
metabolik dan defek fisik. Faktor resiko terjadinya aterosklerosis antara lain adalah
hiperglikemia. hiperinsulinemia, dislipidemia, hipertensi, obesitas, hiperkoagulabilitas,
genetik, merokok. Semua faktor resiko yang dapat diobati seharusnya segera dikontrol
dengan sebaik – baiknnva untuk menghambat proses terjadinva atheroklerosis lebih
lanjut.

Intervention

Defect of insulin secretion

Insulin
Insulin Insulin secretagogue
Metformin

Hepatic glucose Carbohydrate


production 
HYPERGLYCEMIA
absorption

Alpha-glucosidase
Thiazolidinedione inhibitor
Metformin
Insulin
Glucose uptake
by muscle and adipose
tissue 
Gambar. Algoritma Intervensi Hiperglikemi Pada DM Tipe II

D. Debridement dan Pembalutan


Pada dasarnya, terapi ulkus diabetikum sama dengan terapi pada luka lain, yaitu
mempersiapkan bed luka yang baik untuk menunjang tumbuhnya jaringan granulasi,
sehingga proses penyembuhan luka dapat terjadi. Kita mengenalnya dengan istilah
preparasi bed luka.
Debridement merupakan tahapan yang penting dalam proses penyembuhan luka.
Buang jaringan mati, jaringan hyperkeratosis dan membuat drainase yang baik, dan jika
diperlukan dilakukan secara berulang. Perlu disadari bahwa setelah tindakan ini, luka
menjadi lebih besar dan berdarah. Harus diketahui bahwa tidak ada obat-obatan topikal
yang dapat menggantikan debridement yang baik dengan teknik yang benar dan proses
penyembuhan luka selalu dimulai dari jaringan yang bersih.
Pada beberapa kondisi tidak memerlukan tindakan debridement seperti pada gangren
yang kering, ulkus yang menyembuh dengan scar dan ulkus pada tungkai dengan
sirkulasi yang buruk.
Proses debridement adalah proses usaha menghilangkan jaringan nekrotik atau
jaringan nonvital dan jaringan yang sangat terkontaminasi dari bed luka dengan
mempertahankan secara maksimal struktur anatomi yang penting seperti saraf, pembuluh
darah, tendo dan tulang. Tujuan dasar dari debridement adalah mengurangi kontaminasi
pada luka untuk mengontrol dan mencegah infeksi.
Ada beberapa jenis debridement, yaitu: Autolytic debridement; Enzymayic
debridement; Mechanical debridement; biological debridement; surgical debridement.
Sebelum tindakan bedah (debridement), kondisi yang harus diperhatikan adalah keadaan
umum yang meliputi serum protein > 6,2 g/dl, serum albumin >3,5 g/dl, total limfosit
>1500 sel/mm3. Pemeriksaan kultur diperlukan terutama pada ulkus yang dalam dan
diambil dari jaringan yang dalam.Diperlukan debridement yang optimal sampai nampak
jaringan yang sehat. dengan cara membuang semua jaringan nekrotik. Debridement yang
tidak optimal akan menghambat penyembuhan ulkus.
Pada penanganan infeksi, debridement merupakan langkah awal yang sangat bermanfaat
untuk mengurangi lama pemberian antibiotik dan mengurangi angka amputasi. Kultur
sebaiknya dilakukan setelah atau sewaktu dilakukan debridement. Kultur yang didapat
dari hapusan luka luar, sudah dibuktikan memiliki korelasi yang buruk dengan kuman
pathogen sebenarnya

Pembalutan

Banyak teknik dan macam jenis pembalutan yang digunakan saat ini, tapi yang
terpenting pembalutan ideal mempunyai karakteristik sebagai berikut :

Menjaga dan melindungi kelembaban jaringan.

Merangsang penyembuhan luka.

Melindungi dari suhu luar.

Melindungi dari trauma mekanis.

Tidak memerlukan penggantian sering.

Aman digunakan, tidak toksik, tidak mensensitisasi dan hipoalergik.

Bebas dari zat yang mengotori.

Tidak melekat diluka.

Mudah dibuka tanpa rasa nyeri dan merusak luka.

Mempunyai daya serap terhadap eksudat.

Mudah untuk melakukan monitor luka.

Memudahkan pertukaran udara.

Tidak tembus mikroorganisme.

Nyaman untuk pasien.

Mudah penggunaannya.

Biaya terjangkau.

Perawatan luka dalam suasana lembab akan membantu penyembuhan luka dengan
memberikan suasana yang dibutuhkan untuk pertahanan lokal oleh makrofag, akselerasi
angiogenesis, dan mempercepat proses penyembuhan luka. Suasana lembab membuat
suasana optimal untuk akselerasi penyembuhan dan memacu pertumbuhan jaringan.
Kemampuan hidrokoloid secara signifikan lebih baik dari kasa NaCl 0,9%, dressing time
rata-rata dan lama rata-rata perawatan ulkus relatif lebih sedikit.

E. Biakan Ulkus
Dalam menghadapi kasus KD kita haruslah berpegang bahwa tidak semua KD
mengalami infeksi. Ulkus yang tidak ada tanda-tanda infeksi tidaklah perlu dilakukan
kultur. Kuman penyebab infeksi pada KD umumnya adalah :
 Infeksi yang ringan : aerobic gram positif ( Staphylococcus aureus. Streptococcus)
 Pada infeksi yang dalam dan mengancam penyebab biasanya polimikrobial, terdiri
dari Aerobic gram positif. Basil gram positif (E coli, Klebsiella sp, Proteus sp),
anaerob ( Bacteriodes sp, Peptostreptcoccus sp).

Untuk menentukan bakteri penyebab infeksi KD diperlukan kultur. Pengambilan


bahan kultur dengan cara swab tidak dianjurkan. Hasil kultur akan lebih dipercaya
apabila pengambilan bahan dengan cara “curettage” dari hasil ulkus setelah
debridement. Budi Riyanto (1997) mendapatkan penyebab infeksi pada KD di RSUP Dr
Kariadi Semarang yang terbanyak adalah enterobacter (18,6%), protese (10%) dan
eschericiacoli (8,6%). Sedangkan Gatot Soegiarto (1998) di RSUP Dr. Soetomo
Surabaya mendapatkan pseudomonas sp (39,15%), Enterobacter sp (23,20%),
Eschericia sp (1,6%) dan Proteus (5,8%).

F. Antibiotika
Adapun prinsip-prinsip penggunaan antibiotik pada kaki diabetik :
 Pilihlah antibiotik yang paling potent terhadap bakteri - bakteri ditempat yang
dicurigai sebagai lokasi (site infeksi).
 Harus diketahui potensi antibiotik yang kita pilih terhadap bakteri -bakteri tertentu.
Antibiotik yang mempunyai potensi balk, memungkinkan pemberian dosis yang
kecil khususnya pada infeksi yang ringan — sedang.
 Spektrum antibiotik. Pada infeksi yang dalam dan mengancam jiwa biasanya
penyebabnya polymicrobial. Sehingga gunakan antibiotik yang melawan aerob gram
positif, aerob gram negatif, dan anaerob.
Pada ulkus diabetika ringan/sedang antibiotika yang diberikan difokuskan pada
patogen Gram positif. Pada ulkus terinfeksi yang berat (limb or life threatening
infection) kuman lebih bersifat polimikrobial (mencakup bakteri Gram positif
berbentuk coccus, Gram negatif berbentuk batang, dan bakteri anaerob). Antibiotika
harus bersifat broadspectrum dan diberikan secara injeksi.

Pada infeksi berat yang bersifat limb threatening infection dapat diberikan beberapa
alternatif antibiotika seperti: ampicillin/sulbactam, ticarcillin/clavulanate, piperacillin/
tazobactam, Cefotaxime atau ceftazidime + clindamycin, fluoroquinolone +
clindamycin.

Sementara pada infeksi berat yang bersifat life threatening infection dapat diberikan
beberapa alternatif antibiotika seperti berikut: ampicillin/sulbactam + aztreonam,
piperacillin/tazobactam +vancomycin, vancomycin + metronbidazole+ceftazidime,
imipenem/cilastatin atau fluoroquinolone + vancomycin + metronidazole. Pada
infeksi berat pemberian antibitoika diberikan selama 2 minggu atau lebih.

Bila ulkus disertai osteomielitis penyembuhannya menjadi lebih lama dan sering
kambuh. Maka pengobatan osteomielitis di samping pemberian antibiotika juga harus
dilakukan reseksi bedah. Antibiotika diberikan secara empiris, melalui parenteral
selama beberapa minggu dan kemudain dievaluasi kembali melalui foto polos
radiologi. Apabila jaringan nekrotik tulang telah direseksi sampai bersih, pemberian
antibiotika dapat dipersingkat, biasanya memerlukan waktu 2 minggu.

G. Perbaikan sirkulasi
Sirkulasi pada KD merupakan salah satu faktor yang penting untuk penyembuhan
maka selain faktor vaskuler perlu dipertimbangkan kemungkinan gangguan rheologi
pada penderita tersebut. Penderita DM mempunyai kecenderungan untuk lebih mudah
mengalami koagulasi dibandingkan yang bukan DM akibat adanya gangguan viskositas
pada plasma, deformabilitas eritrosit, agregasi trombosit serta adanya peningkatan trogen
dan faktor von Willbrand’s.
Obat-obat yang mempunyai efek reologik bencyclame, pentoxyfilin dapat memperbaiki
eritrosit disamping mengurangi agregasi eritrosit pada trombosit. Perubahan –perubahan
ini akan memperbaiki mikrosirkulasi dengan tentunya menambah oksigenisasi pada
piringan yang sebelumnya kurang mendapat oksigen. Perbaikan mikrosirkulasi bukan
hanya memperbaiki oksigenasi jaringan dapat kemungkinan juga mempertinggi
efektifitas obat antibiotic , dengan demikian dapat mempercepat penyembuhan.
John MF Adam (1990) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa penderita KD yang
mendapat pemberian bencyclane / pentoxyfilin sebanyak 6 ampul sertiap hari yang
diberikan secara “continous drips” selama 10 hari, dan selanjutnya diberikan obat tablet
per oral, mempunyai lama perawatan yang lebih singkat dibandingkan kolompok control.
H. Non weight bearing
Tindakan non wight bearing diperlukan pada penderita KD karena umunnya kaki
penderita sudah tidak peka lagi terhadap rasa nyeri, sehingga apabila dipakai berjalan
maka akan menyebabkan luka bertambah besar dan dalam, serta menyebabkan bakteri
yang ada akan mengadakan penetrasi lebih dalam sehingga. menghambat penyembuhan.
Penggunaan tongkat penyangga ("crutches") dan atau kursi roda jarang mencapai non
weight bearing total dan konsisten. Cara terbaik untuk mencapainya adalah
mempergunakan gips (“contact cast”).

I. Nutrisi
Faktor nutrisi merupakan salah satu faktor yang berperan dalam penyembuhan luka.
Adanya anemia dan hipoalbuminenia akan sangat berpengaruh dalain proses
penyembuhan. Perlu untuk monitor kadar Hb dan albumin darah minimal satu minggu
sekali. Usahakan Hb di atas 12 gr / dl dan albumin darah > 3,5 gr / dl (4,15). Besi,
vitamin B12, asam folat membantu sel darah merah membawa oksigen ke jaringan. Besi
juga merupakan suatu kofaktor dakam sintesis kolagen, sedangkan vitamin C dan Zinc
penting untuk perbaikan jaringan. Zinc juga berperan dalam respon imun.

Pengelolaan kaki diabetic berdasarkan kriteria Wagner.

Tabel 7. Pengelolaan berdasarkan kriteria Wagner

Derajat 0 Sepatu yang layak

Edukasi

Perawatan Podiatrik paliatif

Bedah profilaksis

Prevensi
Derajat I Infeksi : kultur permukaan ulkus dan antibiotic

Perawatan luka

Evaluasi Radiologi

Koreksi Stress

Pembedahan

Derajat II Terapi antibiotic

Evaluasi dimensi luka

Evaluasi radiology

Pembedahan

Derajat III Rawat Rumah Sakit untuk terapi antibiotic intravena

Debribement agresif yang dalam untuk diagnosis osteomielitis

Control metabolic

Bedah plastic menutup sebagaimana diperlukan

Derajat IV Amputasi lokal sesuai lokasi nekrosis dan vaskularitas

Derajat V Amputasi mayor dikehendaki

8. PROGNOSIS
Prognosis penderita kaki diabetik sangat tergantung dari usia karena semakin tua usia
penderita diabetes mellitus semakin mudah untuk mendapatkan masalah yang serius pada
kaki dan tungkainya, lamanya menderita diabetes mellitus, adanya infeksi yang berat, derajat
kualitas sirkulasi, dan keterampilan dari tenaga medis atau paramedis
CHRONIC KIDNEY DISEASE
2.1. Definisi Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik adalah adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Kriteria definisi CKD:
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional dengan atau tanpa laju filtrasi glomerulus dengan manifestasi kelainan
patologis(yang ditentukan secara radiologik misalnya, terdapatnya kista, massa,
scarring, atropi ginjal; yang ditentukan secara histologik, misalnya kelainan pada
hasil biopasi ginjal) atau ditemukannya marker kerusakan ginjal seperti
mikroalbuminuria, proteinuria, hematuria, cast(hipertensi tidak termasuk).
2. GFR kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan
ginjal.5,6

2.2. Epidemiologi Penyakit Ginjal Kronik


Data dan studi epidemiologi tentang penyakit ginjal kronik di Indonesia dapat
dikatakan tidak ada. Yang adapun juga langka adalah studi atau data epidemiologi klinik.
Pada saat ini tidak dapat dikemukakan pola prevalensi di Indonesia, demikian pula morbiditas
dan mortalitas. Data klinik yang ada berasal dari RS Referal Nasional, RS Referal Provinsi,
RS Referal Swasta Spesialitik. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa data tersebut
berasal dari kelompok yang khusus.4
Kesulitan dalam menentukan angka yang tepat tentang prevalensi penyakit ginjal
kronik di Indonesia adalah karena banyaknya pasien yang datang ke rumah sakit dalam
stadium terminal atau karena memerlukan dialisis. Namun di Amerika Serikat diperkirakan
sekitar 6%dari populasi dewasa menderita gagal ginjal kronik dengan GFR > 60 mL/min per
1.73m2 (stadium 1 dan 2 ) dan 4.5% berada dalam stadium 3 dan 4.2

2.3. Etiologi dan Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik


Tabel 2.1. Penyebab utama Penyakit Ginjal Kronik6
Penyebab Contoh
Glomerulopati (primer) Fokal glomerulosklerosis
Nefropati IgA
Membranoproliferatif gromerulonefritis
Nefropati membranosa
Glomerulopati terkait penyakit sistemik dan Amiloidosis
sekunder Hepatitis B dan C
Infeksi
DM
HUS
SLE
RA
Sindroma Goodpasture
Glomerulonephritis post-infeksi
Wegener’s granulomatosis
Nefropati herediter Nefritis herediter (sindroma Alport’s)
Penyakit kistik
Penyakit ginjal polikistik
Hipertensi Glomerulosklerosis malignan
Nefroangiosklerosis
Uropati Obstruktif BPH
Fibrosis retroperitoneal
Obstruksi ureter (kongenital, kalkulus,
keganasan)
Refluks vesikoureter
Penyakit makrovaskular ginjal Stenosis arteri renal (aterosklerosis atau
dysplasia fibromuskular)
Ateroemboli
Trombosis vena renalis

Patofisiologi penyakit ginjal kronik melibatkan dua mekanisme: (1) Adanya mekanisme
spesifik (contohnya kompleks imun dan mediator inflamasi pada beberapa tipe
glomerulonephritis atau paparan toksin pada penyakit tertentu) dan (2) mekanisme progresif
berupa hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang masih berfungsi.
Hipertensi sistemik yang terjadi mengakibatkan hipertensi glomerulus. Ginjal secara
normal dilindungi dari hipertensi sistemik dengan adanya mekanisme otoregulasi. Namun,
hal ini tidak terjadi pada tekanan darah yang tinggi. Hipertensi glomerulus yang terjadi
memicu perubahan lokal pada hemodinamik glomerulus sehingga terjadi kerusakan
glomerulus. Respon dari pengurangan jumlah nefron diperantarai oleh hormon vasoaktif,
sitokin, dan faktor pertumbuhan.
Hipertensi glomerulus normalnya merupakan mekanisme adaptasi nefron yang tersisa
untuk meningkatkan kerja glomerulus akibat kehilangan nefron. Dengan adanya mekanisme
adaptasi ini, kehilangan 75% jaringan renal hanya mengakibatkan turunnya GFR 50% dari
normal.6 Hal ini berarti hipertensi sistemik ditranslasikan secara langsung pada barrier filtrasi
glomerulus yang menyebabkan kerusakan glomerulus. Namun, pada saat ini, terjadi hipertrofi
dan hiperfiltrasi renal yang mengakibatkan jaringan renal lebih terkekspos dengan jumlah zat
berbahaya yang lebih banyak.8
Hipertensi kronik bahkan menyebabkan vasokonstriksi dan sklerosis arteriol yang
menyebabkan atrofi glomerulus dan tubulointerstitial. Faktor pertumbuhan lainnya seperti
angiotensin II, EGF, PDGF, TGF-β, aktivasi kanal ion dan respon gen awal tertentu terlibat
dalam hubungan tekanan darah yang tinggi yang menyebabkan proliferasi miointima dan
sklerosis pembuluh darah.8 Peningkatan aktivitas RAA yang terjadi juga dapat
mengakibatkan hipertrofi dan sklerosis pada nefron yang masih aktif. Sklerosis yang terjadi
disebabkan TGF-β. TGF-β dan faktor pertumbuhan lainnya penting untuk fibrogenesis
glomerulus. Sitokin ini menstimulasi sel glomerulus untuk memproduksi ECM, menghambat
sintesa protease.8
DIABETES MELLITUS

NEFROPATI DIABETIK HIPERTENSI

Kerusakan pembuluh darah renal


Hipertensi renovaskular
Vasokonstriksiiskemia nefron

Kerusakan nefron(jumlah nefron ↓) Aktivasi saraf simpatis


aliran darah ke nefron ↓
GFR ↓ Permeabilitas Vasokonstriksi sistemik dan
glomerulus ↑ Aktivasi sistem RAA
sitokin+GF
Kompensasi hiperfiltrasi dan Retensi air dan natrium
Hipertropi surviving nefron Peningkatan filtrasi untuk memperbaiki perfusi
untuk mempertahankan GFR protein darah ke ginjal dan otak

Hipertopi berupa penggantian Reabsorpsi Proteinuria Rangsangan rasa haus


jaringan normal dengan jaringan protein ↑
ikat (Maladaptasi nefron)
TGF-β VasokontriksiGFR ↓
Fibrosis dan scarring(glomerulosklerosis) Inflamasi (Lingkaran setan)
(Iskemianekrosisfibrosis) tubulointerstitial

Nefron makin rusak

Nefron tinggal 70%

Dekompensasi mempertahankan GFR

Penyakit Ginjal KronikGangguan berbagai organ

Gambar 2.1 Patogenesis Penyakit Ginjal Kronik5,6,7,8,9,10

2.4. Diagnosis Penyakit Ginjal Kronik


Ketika pasien datang yang kita lakukan pertama kali adalah menentukan apa benar
pasien menderita gagal ginjal menyingkirkan diagnosis banding lainnya. Kemudian, tentukan
juga apakah gagal ginjal tersebut akut atau pun kronik. Penyakit ginjal akut bersifat
reversibel, jadi gejala yang ditimbulkan tidaklah terlalu berarti. 9 Berbeda dengan penyakit
ginjal kronik yang kronis dan irreversibel, menimbulkan manifestasi gejala pada seluruh
tubuh, baik keseimbangan cairan tubuh maupun gangguan fungsi organ. Gangguan elektrolit
biasanya terjadi apabila jumlah nefron telah berkurang lebih dari 60-70%.5,7,10
Tabel 2.2 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik10

Stadium GFR(ml/menit/1,73 m2) Gangguan metabolik

1 >90 Asimptomatik, kadar kreatinin mulai


meningkat
2 60-89 PTH mulai meningkat, kadar urea dan
kreatinin serum telah meningkat
3 30-59 Aborpsi kalsium menurun, malnutrisi,
hipernatremia, hipertensi, LVH, anemia,
mual, muntah
4 15-29 Hiperfosfatemia, asidosis metabolik,
peningkatan trigliserida, hiperkalemia,
pruritus
5 <15 atau memerlukan Uremia atau azotemia
dialisis

Pemeriksaan dilakukan mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan


laboratorium baru melakukan pemeriksaan radiologik. Pemeriksaan dilakukan secara
bertahap untuk menyingkirkan diagnosis banding lain dan untuk mengidentifikasi penyebab
penyakit. Pada anamnesis, tanyakan gejala utama dan gejala tambahan, anamnesis
periodisitas dan kronisitas gejala. Kemudian, analisis gejalanya secara lebih mendalam.
Tanyakan juga keadaan yang mungkin menjadi faktor resiko hipotesis awal, riwayat keluarga
dan riwayat pemakaian obat-obatan.11,12
Gejala gangguan ginjal belum begitu tampak pada penderita gagal ginjal akut,
apalagi pada pasien stadium awal, penderita hanya akan mengeluhkan oliguria. Keluhan
penderita gagal ginjal akut biasanya lebih terorientasi pada penyakit penyebab gagal ginjal
akut. Penderita gagal ginjal akut akibat gangguan prerenal akan mengeluhkan keadaanya
yang sesak karena hipertensi, rasa haus(dehidrasi) karena diare atau sepsis. Penderita gagal
ginjal akut akibat gangguan renal akan mengeluhkan sesuai gejala dari kerusakan ginjal.
Penderita gagal ginjal akut akibat gangguan postrenal akan mengeluhkan nyeri kolik akibat
batunya ataupun Lower Urinary Tract Syndrome akibat BPH. Akan tetapi, bila penderita
gagal ginjal akut sudah menuju ke tahap L/E dari RIFLE, gejala seperti lemah, lesu,
anoreksia, mual, muntah, gatal-gatal, rentan terhadap pendarahan bahkan bisa terjadi kejang-
kejang.12,13,14
Pasien gagal ginjal kronik yang masih berada dalam stadium 1 dan 2 biasanya masih
asimptomatik. Stadium 3 dan 4 terjadi poliuria, nokturia, badan lemah, nafsu makan
berkurang dan penurunan BB. Stadium 4/5 telah terjadi gejala sistemik uremia yang nyata
seperti anemia, peningkatan tekanan darah, mual, muntah, pruritus, osteomalasia, rentan
infeksi, gangguan keseimbangan air dan gejala terus memburuk sampai indikasi transplantasi
ginjal. Penderita gagal ginjal kronik dengan komplikasi, akan mengehipertensi, anemia,
osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, klorida). 10,14

Gejala yang dialami penderita gagal ginjal akut dan kondisi akut pada gagal ginjal
kronik biasanya sama. Bedanya, pada kondisi akut gagal ginjal kronik, penderita akan
mengeluhkan sesak nafas yang lebih berat dibanding penderita gagal ginjal akut. Hal ini
akibat komplikasi gagal ginjal kronik pada kardiovaskular yang progresif. Selain itu,
penderita gagal ginjal akut selalu mengeluhkan oliguria atau anuria, sedangkan urinari
penderita gagal ginjal kronik tahap awal masih normal atau bahkan mengalami poliuria akibat
kompensasi nefron. 6,10,15
Setelah itu, eksplorasi faktor risiko untuk menentukan penyebab. Faktor risiko
penderita Acute Kidney Injury terbanyak adalah akibat dehidrasi, hipertensi, gagal jantung,
nekrosis tubular akut dan hanya sedikit yang disebabkan obstruksi saluran kemih. 50% dari
gagal ginjal kronik disebabkan oleh diabetes mellitus, 27% disebabkan hipertensi, 13%
disebabkan glomerulonefritis dan penyebab lain hanya berkisar 10%. Perlu ditanyakan obat-
obat yang digunakan sebelumnya seperti diuretik, NSAIDS, ACE-inhibitor, atau ARB untuk
mengidentifikasi obat-obatan yang nefrotoksik. Selain itu, riwayat keluarga penderita gagal
ginjal menjadi suatu faktor resiko penting timbulnya hal yang sama pada keturunannya.16
Setelah anamnesis, selanjutnya lakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik
dianjurkan dilakukan pada ginjal, jantung, paru dan abdomen untuk menyingkirkan asumsi
penyakit lain dan untuk menentukan apakah terdapat komplikasi pada organ tersebut.
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tanda vital, inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
5,17

Pada pemeriksaan fisik prerenal gagal ginjal akut ditemukan hipertensi, penurunan
tekanan vena jugularis, berkurangnya turgor kulit, dan membran mukosa yang kering. Untuk
gangguan sirkulasi yang menyebabkan prerenal ARF, dapat ditemukan pada pemeriksaan
fisik penyakit hati kronik, gagal jantung lanjut, sepsis, dan sebagainya(tergantung etiologi).
Apabila pada kulit didapati petekie, purpura, ecchymosis menandakan kemungkinan gagal
ginjal akut yang berhubungan dengan pembuluh darah. Ditemukannya uveitis
mengindikasikan adanya nefritis interstitial dan necrotizing vasculitis. Ocular palsy
menandakan keracunan etilen glikol atau necrotizing vasculitis.5,1018
Umumnya pemeriksaan fisik pada gagal ginjal kronik tidak begitu membantu namun
dapat mengetahui etiologi atau komplikasi yang telah terjadi. Hal ini disebabkan karena pada
stadium awal, penderita gagal ginjal kronik masih belum menunjukkan kelainan apapun.
Tetapi, bila sudah menimbulkan komplikasi, gejala akan sangat parah. Pada inspeksi
penderita gagal ginjal kronik akan tampak pucat. Penderita gagal ginjal akut, kecuali gagal
ginjal akut yang disebabkan anemia, tidak akan terlihat pucat.Pemeriksaan Pada palpasi dan
perkusi ginjal akan dirasakan ginjal yang semakin mengecil. Pemeriksaan palpasi dan perkusi
jantung akan menunjukkan pembesaran ventrikel kiri. Dan identifikasi murmur saat
auskultasi. Pemeriksaan perkusi paru-paru juga sering menimbulkan bunyi redup yang
menunjukkan terdapatnya edema paru.12,13
Setelah pemeriksaan fisik, lanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan radiologik. Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan adalah pemeriksaan
darah rutin, pemeriksaan BUN, pemeriksaan kreatinin, pemeriksaan elektrolit dan urinalisis
(protein, sedimen urin dan kultur urin bila terdapat tanda infeksi). Untuk konfirmasi gagal
ginjal termasuk gagal ginjal akut atau gagal ginjal kronik, lakukan pemeriksaan USG. Untuk
pasien yang dicurigai penderita gagal ginjal kronik, wajib dilakukan pemeriksaan radiologik
jantung berupa foto toraks maupun EKG. Selain itu, pemeriksaan penunjang harus dilakukan
juga sesuai dengan penyakit penyerta. Misalnya, lakukan pemeriksaan KGD atau reduksi urin
pada penderita DM, faal hati (SGOT, SGPT) pada pasien dengan gangguan hati, foto polos
dan IVP pada penderita dengan gangguan ginjal atau obstruksi saluran kemih (pertimbangkan
juga kadar ureum dan kreatinin sebelum melakukan IVP). 7,19,20
Pemeriksaan Hb bisa menjadi suatu patokan awal untuk membedakan gagal ginjal
akut dan gagal ginjal kronik. Hb (normal= 12-16 g/dL)8 yang menurun (anemia normokrom
normositik) dijumpai pada penderita gagal ginjal kronik.6,19 Selain itu, pada penderita gagal
ginjal kronik sering juga ditemukan disfungsi platelet dan trombositopenia akibat uremia. 10
Pemeriksaan leukosit untuk menentukan ada tidaknya terjadi komplikasi infeksi saluran
kemih atau sepsis. Pada pasien gagal ginjal stadium akhir biasanya menunjukkan keadaan
leukopenia.21
Peningkatan BUN (ureum normal=20-40 mg%)13 dan kreatinin merupakan pertanda
khas untuk gagal ginjal, baik gagal ginjal akut maupun gagal ginjal kronik. Bedanya,
penderita gagal ginjal akut menunjukkan penurunan ureum secara tiba-tiba, sedangkan
penderita gagal ginjal kronik menunjukkan peningkatan ureum yang perlahan.10 False
postive terjadi pada pasien dengan intake protein yang tinggi. BUN juga mungkin meningkat
pada pasien dengan perdarahan pada mukosa dan saluran pencernaan, dan pengobatan
steroid. Kadar kreatinin darah diperiksa untuk menentukan stadium penyakit melalui
perhitungan GFR dengan rumus: GFR (ml/menit/1,73m2)= 186 x (Kreatinin serum)-1,154 x
(Umur)-0,203 x (0,742 pada wanita) x (1,21 pada orang kulit hitam).7,13
Pemeriksaan protein urin pada penderita gagal ginjal akut biasanya +2 dan + pada
penderita gagal ginjal kronik. Pemeriksaan sedimen urin penderia gagal ginjal akut bila
terdapat hemautir menunjukkan eritrosit yang banyak dan silinder eritrosit. Penderita gagal
ginjal kronik menunjukkan eritrosit yang sedikit, leukosit pada urin, waxy xast, broad renal
dan failure cast.14
USG merupakan diagnosis pasti untuk membedakan gagal ginjal akut maupun gagal
ginjal kronik. Gejala akut gagal ginjal akut hampir sama dengan gejala akut pada gagal ginjal
kronik. Penting untuk membedakan kedua hal ini sebab akan sedikit berbeda dalam prosedur
diagnosis, penatalaksanaan dan prognosisnya. Yang dinilai pada USG adalah ukuran ginjal.
Pada pasien gagal ginjal kronik, ukuran ginjalnya telah atropi sebab pengurangan nefron yang
irreversibel dan digantikan oleh jaringan ikat (fibrosis dan sklerosis). Berbeda dengan gagal
ginjal akut yang reversibel, ukuran ginjal masih tampak normal.7,13
Karena komplikasi utama gagal ginjal kronik adalah gangguan gagal ginjal kronik,
pada penderita gagal ginjal kronik harus dilakukan penilaian fungsi jantung. Biasanya
pemeriksaan penunjang yang dipilih adalah foto toraks dan EKG. Biasanya, hasil
pemeriksaan akan mengarah pada pembesaran ventrikel kiri akibat hipertensi dan anemia dan
bisa juga menunjukkan gambaran gagal jantung.10,21

2.5. Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik


Prinsip penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:5
 Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
 Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
 Memperlambat perburukan (progression) fungsi ginjal
 Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
 Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Tabel 2.3 Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya5

Derajat LFG (ml/menit/1,73m2) Rencana tatalaksana

1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi


pemburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil
risiko kardiovaskular
2 60-89 Menghambat perburukan(progression) fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-30 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 Tetapi pengganti ginjal

a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya


Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan
LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal
secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi
yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari
normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien penyakit
ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan
pasien, antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi
traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau
peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
c. Menghambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus.
Cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah:22
 Diet dengan jumlah kalori 30-35 kkal/kgBB/hari, pengaturan asupan karbohidrat 50-60%
dari kalori total, pengaturan asupan lemak 30-40% dari kalori total dan mengandung
jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh, garam 2-3 gram/hari,
kalium 40-70 mEq/kgBB/hari, fosfor 5-10 mg/kgBB/hari, dan pembatasan jumlah protein
sebagai berikut:
Tabel 2.4 Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik23
d. Pence
LFG Asupan protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari
(ml/menit) gahan
dan
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hari ≤ 10 g
nilai biologi tinggi
5-25 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hari ≤ 10 g
protein nilai biologi tinggi atau tambahan
0,3 gr asam amino esesial atau asam keton
< 60 0,8/kg/hari (+1 gr protein / g proteinuria ≤ 9 g
(sindrom atau 0,3 g/kg tambahan asam amino
nefrotik) esensial atau asam keton

Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular


Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena
40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-
hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovakular adalah pengendalian
diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia,
pengendalian hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap
komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.

e. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium V, yaitu pada LFG
kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa:
 Hemodialisis
Gambar 2.2 Mekanisme Hemodialisis24
Pada hemodialisis, darah penderita dipompa oleh mesin kedalam kompartemen darah
pada dialyzer. Dialyzer mengandung ribuan serat (fiber) sintetis yang berlubang kecil
ditengahnya. Darah mengalir di dalam lubang serat sementara cairan dialisis (dialisat)
mengalir diluar serat, sedangkan dinding serat bertindak sebagai membran semipermeabel
tempat terjadinya proses ultrafiltrasi. Ultrafiltrasi terjadi dengan cara meningkatkan tekanan
hidrostatik melintasi membran dialyzer dengan cara menerapkan tekanan negatif kedalam
kompartemen dialisat yang menyebabkan air dan zat-zat terlarut berpindah dari darah
kedalam cairan dialisat.
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis
berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah hipotensi, kram otot, mual
dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil.
Komplikasi yang jarang terjadi misalnya sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia,
tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemodialisis, emboli udara, neutropenia,
serta aktivasi komplemen akibat dialisis dan hipoksemia. Kontraindikasi dari hemodialisis
adalah perdarahan, ketidakstabilan hemodinamik, dan aritmia.24
Pasien hemodialisa harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dalam gizi
yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang penting untuk terjadinya kematian pada
pasien hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1-1,2 g/KgBB/hari dengan 50% terdiri atas
protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40-70 mEq/hari.22
Indikasi dilakukannya hemodialisis pada penderita gagal ginjal stadium terminal antara
lain karena telah terjadi:24
o Kelainan fungsi otak karena keracunan ureum (ensepalopati uremik).
o Gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit, misalnya asidosis metabolik,
hiperkalemia, dan hiperkalsemia.
o Kelebihan cairan ( volume overload ) yang memasuki paru-paru sehingga
menimbulkan sesak nafas berat.
o Gejala-gejala keracunan ureum ( uremic symptoms )

Dialisis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari:24
o Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata.
o K serum > 6mEq/L
o Ureum darah > 200 mg/dl
o pH darah < 7,1
o Anuria berkepanjangan (> 5 hari)
o Fluid overloaded atau kelebihan cairan yang memasuki paru-paru sehingga
menimbulkan sesak nafas berat.
 Peritoneal Dialisis (PD)
Peritoneal Dialisis (beberapa orang menyebutnya sebagai 'cuci perut') merupakan proses
dialisis yang berlangsung di dalam rongga perut memanfaatkan ruang peritoneum. Cairan
dialisis/dialisat dimasukkan kedalam rongga perut melalui suatu kateter two way (disebut
Tenckhoff catheter) yang lembut, untuk kemudian didiamkan beberapa waktu (disebut dwell
time). Antara darah dengan cairan dialisis dibatasi oleh membran peritoneum yang berfungsi
sebagai media pertukaran zat. Ketika cairan dialisat berada di dalam rongga peritoneum maka
terjadi pertukaran zat-zat, yang berguna akan terserap kedalam darah dan yang tidak berguna
(produk limbah dan racun) serta kelebihan air akan terserap kedalam cairan dialisat melalui
proses ultrafiltrasi. Ketika klep kateter pengeluaran dibuka, maka cairan dialisis
meninggalkan tubuh dengan membawa serta limbah (racun) ditambah ekstra cairan yang tadi
diserap dari dalam darah pasien.24
Indikasi pemakaian dialisis peritoneal dapat digunakan pada pasien:24
o Gagal ginjal akut (dialisat peritoneal akut)
o Gangguan keseimbangan cairan elektrolit atau asam basa
o Intoksikasi obat atau bahan lain
o Gagal ginjal kronik (dialisat peritoneal kronik)
o Keadaan klinis lain dimana DP telah terbukti manfaatnya
 Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal telah menjadi terapi pengganti utama pada pasien gagal ginjal tahap akhir
hampir di seluruh dunia. Manfaat transplantasi ginjal sudah jelas terbukti lebih baik
dibandingkan dengan dialisis terutama dalam hal perbaikan kualitas hidup. Salah satu
diantaranya adalah tercapainya tingkat kesegaran jasmani yang lebih baik. Misalnya seorang
perempuan muda yang menerima transplantasi ginjal bisa hamil dan melahirkan bayi yang
sehat. Manfaat transplantasi ginjal paling jelas terlihat pada pasien usia muda dan pasien
diabetes melitus.
Cangkok ginjal adalah mencangkokkan ginjal sehat yang berasal dari manusia lain
(donor) ke tubuh pasien gagal ginjal terminal melalui suatu tindakan bedah (operasi).
Biasanya ginjal cangkokan ditempelkan (dicangkokkan) di sebelah bawah pada pembuluh
darah yang sama dari ginjal lama yang sudah 'tidak' berfungsi sedangkan ginjal lama
dibiarkan ditempatnya.25
Tabel 2.5 Perbandingan Keuntungan Transplantasi Ginjal dan Hemodialisis Kronik.24
Transplantasi Ginjal HD kronik

Prosedur Biasanya satu kali Seumur hidup


Kualitas hidup Baik sekali Cukup baik
(jika berhasil)
Ketergantungan pada minimal Besar
fasilitas medic
Jika gagal Dapat HD kembali atau Meninggal
transplantasi lagi
Angka kematian pertahun 4-8 % 20-25 %

Penatalaksanaan Farmakologis Hipertensi

Terapi hipertensi pada CKD non diabetik dan CKD diabetik, level turunnya tekanan darah
sistolik dan level proteinuria dipakai sebagai diagnosis dan prognosis progresifitas dan
komplikasi CVD pada CKD.26,27
Tabel 2.6 Rekomendasi penatalaksanaan hipertensi pemilihan obat anti hipertensi pada
CKD27
Clinical assessment of Blood Preffered Agents for CKD, Other agent to
Kidney disease Pressure with (or without) reduced CVD risk,
Target Hypertension target BP

Blood pressure > < 130/80 ACE Inhibitor or ARB Diuretik preffered
130/80 mmHg and spot then BB or CCB
urine total protein to
creatinin ratio > 200
mg/g
Blood pressure > < 130/80 No prefered Diuretik, BB or
130/80 mmHg and spot CCB
urine total protein to
craetinin ratio < 200
mg/g
Blood pressure < 130/80 ACE Inhibitor or ARB Diuretik preffered
130/80 mmHg and spot then BB or CCB
urine total protein to
craetinin ratio > 200
mg/g

Gambar 2.3 Manajemen hipertensi pada CKD28

2.6. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik


Tabel 2.7. Komplikasi CKD berdasarkan derajatnya7,29

Stadium Penjelasan LFG (ml/menit) Komplikasi

1 Kerusakan ginjal ≥ 90 -
dengan LFG normal
2 Kerusakan ginjal 60-89 Tekanan darah mulai
dengan penurunan LFG meningkat
ringan
3 Penurunan LFG sedang 30-59 - Hiperfosfatemia
- Hipokalsemia
- Anemia
- Hiperparatiroid
- Hipertensi
- Hiperhomosistenemia
4 Penurunan LFG berat 15-30 - Malnutrisi
- Asidosis metabolik
- Cenderung
hiperkalemia
- Dislipidemia
5 Gagal ginjal < 15 - Gagal jantung
- Uremia
2.7. Prognosis Penyakit Ginjal Kronik
Prognosis pasien dengan penyakit ginjal kronis berdasarkan data epidemiologi telah
menunjukkan bahwa semua penyebab kematian meningkat sesuai dengan penurunan fungsi
ginjalnya.3 Penyebab utama kematian pada pasien dengan penyakit ginjal kronis adalah
penyakit kardiovaskuler (45%), dengan atau tanpa ada kemajuan ke stage V.30 Penyebab
lainnya termasuk infeksi (14%), penyakit cerebrovaskular (6%), dan keganasan (4%).
Diabetes, umur, albumin serum rendah, status sosial ekonomik rendah dan dialisis inadekuat
adalah prediktor signifikan dalam angka kematian.
Angka kematian lebih tinggi pada pasien yang menjalani dialisis dibandingkan pada
pasien kontrol dengan umur yang sama. Angka kematian setiap tahun adalah 21,2 setiap
seratus pasien per tahun. Angka kelangsungan hidup yang diharapkan pada pasien grup usia
55-64 tahun adalah 22 tahun sementara pada pasien dengan gagal ginjal terminal angka
kelangsungan hidup adalah 5 tahun.6
Sementara terapi penggantian ginjal dapat mempertahankan pasien tanpa waktu dan
memperpanjang hidup, kualitas hidup adalah sangat terpengaruh.6,7 Transplantasi Ginjal
meningkatkan kelangsungan hidup pasien penyakit ginjal kronik stage V secara signifikan
bila dibandingkan dengan pilihan terapi lainnya.8,9 Namun, transplasntasi ginjal ini terkait
dengan mortalitas jangka pendek yang meningkat (akibat komplikasi dari operasi). Selain
transplantasi, intensitas yang tinggi dari home hemodialysis tinggi tampak terkait dengan
peningkatan ketahanan hidup dan kualitas hidup yang lebih besar, bila dibandingkan dengan
cara konvensional yaitu hemodialiasis dan dialysis peritonial yang dilakukan tiga kali
seminggu.29

Anda mungkin juga menyukai