Anda di halaman 1dari 22

Tinjauan Pustaka

Divisi : Pengayaan
Penyaji : Dr. Merta Arum Prastika
Pembimbing : Dr. Inda Astri Aryani, Sp.D.V.E. Subsp.D.A, FINSDV, FAADV
Waktu & tempat : ...., ... April 2023, Pukul........WIB,
Ruang Ilmiah Lantai 2 Bagian/KSM DV FK UNSRI/RSMH Palembang

Ulkus Diabetikum: Patogenesis dan Tatalaksana


Merta Arum Prastika, Inda Astri Aryani
Bagian/KSM Dermatologi Venereologi dan Estetika
Fakultas Kedokteran UNSRI/Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Abstrak

Ulkus diabetikum adalah komplikasi tersering pada pasien dengan diabetes melitus tidak terkontrol.
Tertundanya penyembuhan ulkus diabetikum disebabkan oleh beberapa faktor penyebab, yaitu
neuropati, penyakit vaskuler perifer, dan trauma dengan infeksi sekunder. Penegakan diagnosis dapat
dilakukan dengan penelusuran riwayat dengan baik, pemeriksaan fisik untuk neuropati perifer dan
insufisiensi vaskuler serta beberapa modalitas pemeriksaan tambahan lainnya. Pemeriksaan dan
klasifikasi ulkus menjadi bagian penting dalam penanganan ulkus diabetikum, yaitu dalam penentuan
rencana terapi yang tepat. Tujuan utama dalam penatalaksanaan ulkus diabetikum adalah penutupan
luka. Penatalaksanaan ulkus diabetikum secara garis besar ditentukan oleh derajat keparahan ulkus,
vaskularisasi dan adanya infeksi. Dasar dari perawatan ulkus diabetikum meliputi tiga hal yakni
debridement, offloading dan kontrol infeksi.
Kata kunci: ulkus dibetikum, patogenesis, tatalaksana

Diabetic Ulcer: Pathogenesis and Management


Merta Arum Prastika, Inda Astri Aryani
Department of Dermatology Venereology and Aesthetic
Medical Faculty of Sriwijaya University/Dr. Mohammad Hoesin General Hospital Palembang

Abstract
Diabetic ulcers are the most common complication in patients with uncontrolled diabetes mellitus. A
triad of neuropathy, trauma with secondary infection, and arterial occlusive disease account for the
pathophysiology of the diabetic foot ulcer. Diagnosis can be made by tracing a good history, physical
examination for peripheral neuropathy and vascular insufficiency as well as several other additional
examination modalities. Examination and classification of ulcers is an important part in the
management of diabetic ulcers, namely in determining the appropriate treatment plan and monitoring
it. The main goal in the management of diabetic ulcers is wound closure. The management of diabetic
ulcers is broadly determined by the severity of the ulcer, its vascularity and the presence of infection.
The basis of diabetic ulcer care includes three things, namely debridement, offloading and infection
control.
Keywords: diabetic ulcer, pathogenesis, management

1
PENDAHULUAN
Ulkus diabetikum adalah suatu luka terbuka pada lapisan kulit biasanya terjadi di telapak kaki
pasien diabetes melitus.1 Penyebab umum perawatan di rumah sakit bagi para penderita
diabetes adalah masalah pada kaki diabetik misalnya ulserasi, infeksi dan gangren. Lebih dari
30% anggaran medis dihabiskan untuk diabetes dan komplikasinya.2 Dilaporkan bahwa 19-
34% pasien diabetes pernah mengalami ulkus diabetikum.3
Beberapa faktor penyebab ulkus diabetikum, yaitu neuropati, trauma, deformitas kaki,
tekanan tinggi pada telapak kaki, penyakit vaskuler perifer dan infeksi sekunder.1-4
Pemeriksaan dan klasifikasi ulkus diabetes yang menyeluruh dan sistematik dapat membantu
memberikan arahan perawatan yang adekuat.1-3
Ulkus kaki pada pasien diabetes harus mendapatkan perawatan karena ada beberapa
alasan, misalnya untuk mengurangi resiko infeksi dan amputasi, memperbaiki fungsi dan
kualitas hidup, dan mengurangi biaya pemeliharaan kesehatan. Tujuan utama perawatan ulkus
diabetes sesegera mungkin didapatkan kesembuhan dan pencegahan kekambuhan setelah
proses penyembuhan. Beberapa penelitian, menunjukkan bahwa perkembangan ulkus diabetes
dapat dicegah.2,3 Standar perawatan ulkus kaki diabetik meliputi kontrol glikemia, perfusi
yang adekuat, debridemen luka, off-loading, kontrol infeksi, antibiotika yang tepat, (non-wet-
bearing), moist wound care, dan protective dressings, serta penanganan komorbid.2-5

EPIDEMIOLOGI
Ulkus diabetikum terjadi pada 15%-25% pasien diabetes. Pasien diabetes diperkirakan
memiliki peningkatan risiko amputasi ekstremitas bawah 10-30 kali lebih besar daripada
populasi umum. Pada 14%-24% pasien diabetes dengan ulkus kaki pada akhirnya akan
menjalani amputasi.4
Angka kejadian penyakit tidak menular di Indonesia terus meningkat mencapai angka
69,91%. Salah satunya diabetes melitus dari 6,9% menjadi 8,5%. Komplikasi berupa ulkus
kaki diabetik berada di angka 24% dibanding komplikasi lain seperti mikrovaskular dan
komplikasi neuropati. Di Indonesia jumlah pengidap komplikasi ulkus ini terjadi kenaikan
sebesar 11%.6
Data tahun 2022 di Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang terdapat 6,85% kasus
diabetes mellitus dengan komplikasi gangren. Sebanyak 180 pasien ulkus diabetikum dari
total pasien diabetes melitus 2626 orang.7

FAKTOR RESIKO
2
Ulkus diabetikum biasanya berada di area kaki yang mengalami trauma berulang dan sering
mengalami sensasi tekanan. Penyebabnya bisa karena kontrol glikemik buruk, neuropati,
penyakit pembuluh darah perifer, atau adanya infeksi sekunder pasien ulkus diabetes
melitus.1,4,5
Faktor risiko ulkus kaki diabetik antara lain gangguan saraf, kelainan bentuk kaki,
peningkatan tekanan/beban pada kaki, kelainan tulang-tulang kaki, gangguan
pembuluh darah, riwayat luka pada kaki, kelainan pertumbuhan kuku, tingkat pendidikan
dan lingkungan sosial, dan pemakaian sepatu yang tidak sesuai.1-5
Dua faktor penting berperan penting pada ulkus kaki diabetikum antara lain gaya
gesekan dan gaya tekanan. Gaya gesekan terjadi akibat adanya sentuhan kulit dengan
permukaan benda seperti sepatu saat berjalan. Sedangkan gaya tekanan terjadi akibat proporsi
berat badan, semakin tinggi berat badan maka tekanan yang dihasilkan oleh kaki akan
semakin tinggi pula. Hal ini ditambah dengan kelainan-kelainan pada kaki diabetikum seperti
adanya kalus, bentuk kaki menonjol, tulang jari kaki atau kaki miring sehingga akan
memudahkan untuk terjadi sobekan pada permukaan kulit kaki. Tekanan dan gesekan pada
kulit akan merusak integritas jaringan kulit, awalnya lesi pra-ulkus. Jika hal ini tidak disadari
oleh pasien maka luka akan menjadi luas dan melebar sehingga sangat berisiko untuk
terjadinya infeksi.

PATOGENESIS
Ulkus diabetikum sering disebabkan oleh komplikasi kolektif dari neuropati perifer, dan
penyakit arteri perifer serta trauma dengan.³

Neuropati Perifer
Diabetes mellitus sebagai penyebab tersering neuropati melalui peningkatan stress
oksidatif yang meningkatkan Advance Glycosylated End products (AGEs), akumulasi polyol,
menurunkan nitric oxide, mengganggu fungsi endotel, mengganggu aktivitas Na/K ATP ase,
dan homosisteinemia. Pada hiperglikemia, glukosa berkombinasi dengan protein,
menghasilkan protein glikosilasi, yang dapat dirusak oleh radikal bebas dan lemak,
menghasilkan AGE yang kemudian merusak jaringan saraf yang sensitif. Selain itu,
glikosilasi enzim antioksidan dapat mempengaruhi sistem pertahanan menjadi kurang efisien.8
Glukosa di dalam sel saraf diubah menjadi sorbitol dan polyol lain oleh enzim aldose
reductase. Polyol tidak dapat berdifusi secara pasif ke luar sel, sehingga akan terakumulasi di
dalam sel neuron, yang menganggu kesetimbangan gradien osmotik sehingga memungkinkan
3
natrium dan air masuk ke dalam sel dalam jumlah banyak. Selain itu, sorbitol juga dikonversi
menjadi fruktosa, dimana kadar fruktosa yang tinggi meningkatkan prekursor AGE.
Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf menurunkan aktivitas Na/K ATP ase.8
Nitric oxide memainkan peranan penting dalam mengontrol aktivitas Na/K ATPase.
Radikal superoksida yang dihasilkan oleh kondisi hiperglikemia mengurangi stimulasi NO
pada aktivitas Na/K ATPase. Selain itu, penurunan kerja NO juga mengakibatkan penurunan
aliran darah ke saraf perifer.
Pada pasien dengan neuropati sensorik, rasa nyeri sebagai tanda peringatan alami
utama pada tubuh telah rusak. Neuropati sensori menimbulkan ketidaksadaran tubuh akan
trauma atau cedera yang biasa disebut loss of protective sensation (LOPS). LOPS mewakili
tingkat kehilangan sensorik di mana pasien dapat melukai dirinya sendiri tanpa mengenali
cedera tersebut.1 Neuropati sensorik menyebabkan sebagian besar ulkus akibat trauma ringan
tidak dirasakan oleh pasien dan selanjutnya tidak diobati karena tidak ada gejala nyeri.
Neuropati sensorik seperti kurangnya sensasi protektif, menyebabkan cedera ringan
disebabkan oleh tekanan berlebih atau cedera mekanis dan termal.3
Kerusakan neuron motorik otot kaki menyebabkan ketidakseimbangan otot dan
deformitas struktur kaki seperti claw toes dan subluksasi sendi metatarsophalangeal sehingga
akhirnya menyebabkan ulserasi kulit.1,3
Kerusakan saraf otonom merusak fungsi kelenjar keringat dan kemampuan untuk
melembabkan kulit menurun, menyebabkan retakan epidermis dan kerusakan kulit. Seringkali
pasien tidak menyadari luka pada kaki karena penurunan sensasi perifer. Ulserasi kronis dapat
terjadi karena suplai darah untuk menyembuhkan ulkus diabetikum lebih besar daripada yang
dibutuhkan untuk mempertahankan kulit utuh.1,3
Pasien diabetes menderita hilangnya saraf sensorik kutaneus. Persinyalan
neuroinflamasi berkurang melalui neuropeptida ke keratinosit, fibroblas, sel endotel, dan sel
inflamasi dapat berdampak buruk pada penyembuhan luka.4
Neuropati perifer menyebabkan atrofi otot intrinsik, perubahan anatomi berupa
hammer toe formation, dan terdapat zona high pressure pada permukaan plantar kaki di
kepala metatarsal. Trauma berulang saat berjalan dengan penurunan sensasi menghasilkan
atrofi dan dislokasi pelindung fat pad plantar menyebabkan ulserasi dan infeksi (Gambar 1).9
Kurangnya perhatian terhadap perawatan kulit, terlambatnya pengenalan trauma kulit
(kemerahan, pembentukan lepuh) dapat menyebabkan ulserasi dan infeksi hingga ke jaringan
lunak. Jika tidak segera ditangani, kerusakan jaringan akan terjadi. Akhirnya, proses destruktif
dari trauma dan infeksi menembus deep fascia, infeksi menyebar ke otot tengah kaki,
4
persendian, dan sepanjang selubung tendon.9

Gambar 1. Mekanisme yang terlibat dalam gangguan kaki diabetik.9

Penyakit Arterial
Penderita diabetes mempunyai kemungkinan besar menderita atherosklerosis, terjadi
penebalan membran basalis kapiler, hialinosis arteriolar, dan proliferasi endotel.7
Hiperglikemia membuat endotel cedera, hiperlipidemia, peningkatan viskositas darah,
trombosit; dan aterosklerosis. Distribusi aterosklerosis lebih banyak pada ekstremitas bawah
seperti pada arteri tungkai (arteri tibialis posterior dan anterior) dibanding arteri
femoropopliteal (femoralis superfisial, poplitea), dan arteri aortoiliaka. Perkembangan
penyakit oklusi arteri tibialis atau oklusi arteri proksimal menjadikan perfusi kaki terganggu
sehingga terjadi dan ulkus iskemik atau gangren.9
Perubahan vaskular menyebabkan ulkus diabetikum, berkorelasi dengan perubahan
yang diinduksi hiperglikemia pada arteri perifer kaki, dimulai pada tingkat sel. Disfungsi sel
endotel menyebabkan penurunan vasodilator dan peningkatan kadar tromboksan A2 plasma.
Hasilnya vasokonstriksi dan hiperkoagulasi plasma di arteri perifer menyebabkan iskemia dan
peningkatan risiko ulserasi.8,9
Penyakit arteri perifer merupakan penyebab lain terbentuknya ulkus diabetikum pada
hampir 50% pasien diabetes. Tahap awal diabetes, defisiensi mikrosirkulasi termasuk
berkurangnya ukuran kapiler, penebalan membran basal, dan hyalinosis arteriol.
Aterosklerosis dengan perkembangan cepat paling sering terjadi terutama mempengaruhi
pembuluh darah tibialis. Keadaan hiperglikemik persisten pada pasien diabetes
mengakibatkan disfungsi endotel dan kelainan otot polos diikuti oleh vasokonstriksi akibat
penurunan vasodilator. Peningkatan vasokonstriktor dan agonis agregasi platelet tromboksan
A2 menyebabkan hiperkoagulabilitas plasma. Semua faktor ini secara kolektif berkontribusi
pada perkembangan penyakit arteri oklusif menyebabkan iskemia dan pembentukan ulkus
5
pada pasien diabetes.10

Deformitas Kaki dan Tekanan


Pada pasien diabetes jangka panjang tidak terkontrol dengan baik, kadar glukosa darah yang
tinggi menyebabkan kerusakan saraf melalui pembentukan produk akhir glikasi lanjut,
aktivasi protein kinase C, peningkatan kadar spesies oksigen reaktif, pemblokiran oksida
nitrat, kerusakan DNA, dan inflamasi kronis. Neuropati diabetik paling umum adalah
polyneuropati sensorimotor distal. Seiring waktu, neuropati ini menyebabkan deformitas kaki.
9, 10

Distribusi tekanan pada kaki bervariasi dan tekanan abnormal muncul di berbagai titik.
Keratosis dan pembentukan kalus terjadi karena tekanan berulang. Tanda keparahan penyakit
karena tekanan 20 kali lebih tinggi diberikan pada titik kalus dibandingkan dengan kulit di
sekitarnya. Tekanan berlebihan pada area kalus merusak jaringan kaki dan menyebabkan
pembentukan ulkus di bawah kalus.9, 10

Charcot foot adalah komplikasi akhir dari perifer neuropati motorik dari penyebab apa
pun. Karakteristik deformitas charcot dislokasi tulang dan sendi tanpa trauma sebelumnya.
Tanda-tanda yang muncul adalah kemerahan, pembengkakan, kelainan bentuk, peningkatan
suhu kaki, dan ulserasi (Gambar 9). Pada fase akut sulit membedakannya dengan selulitis dan
osteomielitis. Deformitas kaki lebih dominan pada fase kronis kaki charcot. Proses
penyembuhan dapat berlangsung lebih dari 6 sampai 9 bulan, di mana kaki (tanpa off-loading
dan imobilisasi). Klinisi harus memeriksa kontur kaki abnormal dan membandingkan kedua
kaki. Perubahan dapat terjadi di kaki depan, kaki tengah, belakang kaki, atau daerah tumit
serta pergelangan kaki. Secara kronis, kelainan bentuk ini menyebabkan peningkatan
kerentanan untuk ulserasi.11

Diabetes dapat memberikan dampak buruk pada sendi dan tendon. Advanced
Glycosylated End product (AGEs) berhubungan dengan molekul kolagen pada tendon
sehingga menyebabkan hilangnya elastisitas dan bahkan pemendekan tendon. Akibat
ketidakmampuan gerakan dorsofleksi telapak kaki, arkus dan kaput metatarsal mendapatkan
tekanan tinggi dan lama karena adanya gangguan berjalan.11
Tekanan plantar berlebihan berkembang dari kelainan bentuk kaki seperti Charcot
arthropathy membuat tekanan plantar berlebih sehingga bisa terbentuk kalus dan kemudian
ulkus. Pembentukan kalus merupakan tanda gesekan berlebih dan seringkali mendahului
ulkus diabetikum. Hilangnya sensasi pada kaki akan menyebabkan tekanan berulang, injuri

6
dan fraktur, kelainan struktur kaki, misalnya hammertoes, kalus, kelainan metatarsal, atau
kaki Charcot. Tekanan terus menerus mengakibatkan kerusakan jaringan lunak. Tidak
terasanya panas dan dingin, tekanan sepatu salah, kerusakan akibat benda tumpul atau tajam
menyebabkan lepuh dan ulserasi. Faktor ini ditambah aliran darah buruk meningkatkan resiko
kehilangan anggota gerak pada penderita diabetes.2,11

Delayed Healing pada Ulkus Diabetikum

Perubahan imunitas seperti berkurangnya respons penyembuhan pada ulkus diabetikum.


Peningkatan apoptosis limfosit T menghambat penyembuhan, diamati pada pasien dengan
ulkus diabetikum.8

Penyembuhan luka adalah proses yang dimediasi oleh faktor pertumbuhan dan sitokin
dilepaskan, diaktifkan oleh respon imun, termasuk fibroblas, sel endotel, fagosit, trombosit,
dan keratinosit. Pada akhirnya, penutupan luka dan regenerasi saraf bergantung pada
komposisi empat fase terintegrasi.8

Gambar 2. Proses penyembuhan luka1

Proses penyembuhan luka tidak normal, mengakibatkan luka sulit sembuh


menyebabkan morbiditas dan mortalitas signifikan. Penyembuhan luka adalah proses yang
dimediasi oleh faktor pertumbuhan dan sitokin yang dilepaskan dan diaktifkan oleh sistem
imun, termasuk fibroblas, sel endotel, fagosit, trombosit dan keratinosit. Penutupan luka dan
regenerasi saraf tergantung pada komposisi empat fase yang terintegrasi yaitu fase hemostasis
yang melibatkan akumulasi trombosit dan faktor koagulan yang bersirkulasi di lokasi cedera
jaringan, fase peradangan yang merupakan respons terhadap kerusakan jaringan dan
melibatkan perekrutan sel inflamasi, fase pembentukan jaringan di mana sel-sel peradangan di
dasar luka menjadi proliferatif dan bermigrasi lalu fase remodeling dimana jaringan baru
terbentuk remodeling matriks ekstraseluler dan angiogenesis. Pada luka diabetes, kegagalan
pada tiap fase bisa terjadi sehingga mencegah luka menjadi sembuh (Gambar 2).10

7
Pada fase inflamasi, proses penyembuhan ulkus diabetikum menampilkan fenotip
proinflamasi kronis dengan peningkatan ekspresi sitokin inflamasi (Gambar 3). Faktor risiko
berupa neuropati perifer, kelainan bentuk kaki, dan penyakit arteri perifer menyebabkan
trauma kulit lokal dan dan akan terbentuk kalus. Setelah terbentuk, ulkus diabetikum
menampilkan rekrutmen leukosit, aktivasi makrofag, dan produksi sitokin proinflamasi.
Selanjutnya, makrofag dan neutrofil juga menghasilkan bentuk protease proenzim yang
diaktifkan di ruang ekstraseluler dan mendegradasi protein matriks ekstraseluler (elastin dan
kolagen interstitial). Peradangan lokal dan kerusakan jaringan yang persisten mencegah
penyembuhan dari ulkus diabetikum.1,10,11

Gambar 3. Patofisiologi dan target terapi ulkus kaki diabetikum.10


Faktor risiko klinis neuropati perifer, kelainan bentuk kaki dan penyakit arteri perifer menyebabkan trauma kulit
dan awal pembentukan ulkus pembentukan. Selain itu, hiperglikemia dan lingkungan diabetes mengaktifkan
makrofag, melalui modifikasi histon atau ekspresi microRNA, untuk fenotipe inflamasi. Terbentuknya ulkus
diabetikum membuat perekrutan leukosit, aktivasi makrofag, dan produksi sitokin pro-inflamasi. Makrofag dan
neutrofil juga menghasilkan bentuk proenzim protease yang diaktifkan di ruang ekstraseluler dan terdegradasi
protein matriks ekstraseluler (elastin dan kolagen interstisial).

Sitokin interleukin-1 beta inflamasi (IL-1β) meningkat pada ulkus diabetikum dari
sampel jaringan manusia dan tikus. Selanjutnya, penghambatan jalur IL-1β menghasilkan
penyembuhan luka lebih baik pada tikus melalui induksi dalam makrofag melalui peralihan
dari fenotip pro-inflamasi ke fenotipe reparatif. Pada subjek manusia, kadar serum sitokin IL-
1β yang tinggi, monosit protein-1 (MCP-1), dan tumor necrosis factor alpha (TNF-α)
berhubungan dengan kegagalan penyembuhan ulkus diabetikum.10

Hipoksia didefinisikan sebagai keadaan berkurangnya kadar oksigen karena


penurunan suplai oksigen atau peningkatan konsumsi oksigen. Kondisi penyembuhan luka

8
normal, hipoksia lokal menghasilkan stabilisasi hypoxia-inducible factor-1 (HIF-1) yang
mengatur berbagai proses seluler termasuk angiogenesis, perubahan metabolik, eritropoiesis,
proliferasi, dan kelangsungan hidup sel yang dirancang untuk mendorong respons seluler
adaptif dan penyembuhan luka. Peran penting HIF-1 dalam penyembuhan luka ditunjukkan
oleh gangguan angiogenesis, penurunan perekrutan sel progenitor, dan penyembuhan luka.
Hipoksia pada ulkus diabetikum terjadi setelah cedera jaringan. Kadar oksigen
berkurang, ekspresi gen target HIF-1α dan HIF-1 berkurang pada model hewan diabetes
mengakibatkan gangguan respons seluler terhadap hipoksia terutama angiogenesis yang
menyebabkan penyembuhan luka tertunda. Penurunan HIF-1α juga ditemukan secara klinis
pada biopsi pasien dengan ulkus diabetikum. Studi menunjukkan bahwa hiperglikemia
menghasilkan destabilisasi HIF-1α oleh degradasi yang bergantung pada Von Hippel-
Lindeau. Modifikasi ini mengganggu dimerisasi HIF-1α dan HIF-1β menghasilkan penurunan
ekspresi gen target HIF-1. Ekspresi berlebih HIF-1α lokal melalui transfer gen dari bentuk
HIF-1α yang stabil dan aktif telah berhasil meningkatkan penyembuhan luka pada tikus
diabetes.11
Faktor lingkungan dalam penyembuhan ulkus diabetikum adalah extracellular matrix
(ECM). Extracellular matrix berfungsi sebagai perancah interaktif untuk sel serta mendorong
pertumbuhan dan regenerasi jaringan yang terluka. Pembentukan dan pengendapan
extracellular matrix oleh fibroblas diperlukan untuk pengikatan seluler yang efisien karena
memberikan dukungan fisik untuk regenerasi dan perluasan pembuluh darah dalam
angiogenesis.11
Protein endopeptidase bergantung pada seng yang disebut matrix metalloproteinases
(MMPs), bersama dengan penghambatnya, tissue inhibitors of metalloproteinases (TIMPs),
penting untuk integritas extracellular matrix. Dengan inflamasi persisten pada luka
diabetikum, terjadi peningkatan produksi MMP dan penurunan TIMP. Peningkatan kadar
MMP-1, MMP- 8, dan MMP-9 diidentifikasi pada luka yang tidak sembuh dan berhubungan
dengan kadar TIMP yang relatif rendah.11
Matrix metalloproteinases-8 dari neutrofil dapat mencapai 50-100 kali lebih tinggi
pada luka diabetikum dibandingkan dengan luka normal akibat peradangan kronis. Selain itu,
Singh et al menjelaskan ekspresi gen yang diubah dalam MMP-9 pada ulkus diabetikum
dibandingkan dengan kontrol didorong oleh promotor gen MMP-9 yang mengalami
penurunan metilasi yang signifikan mengakibatkan ekspresi MMP menyimpang. MMP-9
mendegradasi fibronektin menjadi fragmen, selanjutnya mengaktifkan MMP, migrasi sel, dan
proliferasi.13 Fragmen fibronektin ini memicu infiltrasi sel darah putih, kerusakan jaringan,
9
dan peradangan terus menerus. Studi terbaru dari Gooyit et al juga menunjukkan bahwa
penghambatan selektif MMP-9 pada luka tikus diabetes dapat mempercepat penyembuhan.
Ketidakseimbangan MMP ini menambah degradasi matriks ekstraseluler, merusak migrasi
sel, dan mengurangi sintesis kolagen.14,15

DIAGNOSIS KLINIS

Diagnosis ulkus diabetikum dilakukan secara menyeluruh, dari identifikasi neuropati,


identifikasi lesi, durasi dan kontrol glikemik, identifikasi infeksi, identifikasi luka yang sudah
ada sebelumnya atau riwayat ulkus diabetikum sebelumnya, serta identifikasi insufisiensi
vaskular.

Gambar 5. Dua ulkus menutupi sendi metacarpophalangeal kanan dan kiri.4

Riwayat

Gejala neuropati perifer meliputi hiposthesia, hiperesthesia, paresthesia, disesthesia, radicular


pain dan anhidrosis. Sebagian besar pasien atherosklerosis pada ekstremitas bawah tidak
menunjukkan gejala (asimtomatik), beberapa gejala didapatkan claudicatio, nyeri iskemik saat
istirahat, luka tidak sembuh, nyeri kaki, kram, kelemahan dan rasa tidak nyaman pada kaki
sering dirasakan oleh penderita diabetes karena kecenderungan menderita oklusi
aterosklerosis tibioperoneal.3,6

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada penderita dengan ulkus diabetikum dibagi menjadi 3 bagian yaitu
pemeriksaan ulkus dan keadaan umum ekstremitas, penilaian kemungkinan isufisiensi
vaskuler dan penilaian kemungkinan neuropati perifer. Diabetes mellitus merupakan penyakit
10
sistemik, oleh karena itu pemeriksaan fisik secara menyeluruh pada pasien penting untuk
dilakukan.1,5

Pemeriksaan Ekstremitas

Ulkus diabetikum dapat terjadi pada beberapa daerah yang menjadi tumpuan beban terbesar,
seperti tumit, area kaput metatarsal di telapak, ujung jari yang menonjol (pada jari pertama
dan kedua). Ulkus dapat timbul pada malleolus karena pada daerah ini sering mendapatkan
trauma. Kelainan-kelainan lain pada pemeriksaa fisik seperti kalus hipertropik, kuku rapuh,
hammer toes, fissure.5

Gambar 6. Form Pemeriksaan Kaki Diabetikum1

11
Alat pemeriksaan lain adalah garputala 128 Hz, di mana dapat digunakan untuk
rnengetahui sensasi getar penderita dengan memeriksanya pada pergelangan kaki dan sendi
metatarsophalangeal pertama. Pada neuropati metabolik terdapat gradien intensitas dan paling
parah pada daerah distal. Pasien yang tidak dapat merasakan getaran pada pergelangan ketika
garputala dipindahkan dari ibu jari kaki ke pergelangan menunjukkan gardien intensitas
karena neuropati metabolik. Pada umumnya, seseorang tidak dapat merasakan getaran
garputala pada jari tangan lebih dari 10 detik setelah pasien tidak dapat merasakan getaran
pada ibu jari kaki. Beberapa penderita dengan sensasi normal menunjukkan perbedaan antara
sensasi pada jari kaki dengan tangan pemeriksa kurang dari 3 detik.2,3,8

Gambar 7. Pemerikasaan menggunakan monofilament Semmes-Weinsten2,3

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Leukositosis mungkin menandakan adanya abses atau infeksi pada kaki. Penyembuhan luka
dihambat oleh adanya anemia. Profil metabolik seperti pengukuran kadar glukosa darah,
glikohemoglobin dan kreatinin serum membantu untuk menentukan kecukupan regulasi
glukosa dan fungsi ginjal. Pemeriksaan laboratorium vaskuler noninvasif antara lain Pulse
Volume Recording (PVR), atau plethymosgrafi. 3,5

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

Pemeriksaan foto polos pada ulkus diabetikum dapat menunjukkan demineralisasi dan sendi
Charcot serta adanya ostomielitis. Meskipun pemeriksa yang berpengalaman dapat

12
mendiagnosis abses dengan pemeriksaan fisik, Computed Tomographic (CT) scan atau
Magnetic Resonance Imanging (MRI) dapat digunakan untuk membantu diagnosis apabila
pada pemeriksaan fisik tidak jelas. Bone scaning masih dipertanyakan kegunaannya karena
besarnya hasil false positif dan false negatif. Penelitian mutakhir menyebutkan 99mTc-IabeIed
ciprofolxacin sebagai penanda (marker) untuk osteomielitis. Pemeriksaan arteriografi
konvensional dilakukan apabila direncanakan pembedahan vaskuler atau endovaskuler,
arteriografi diperlukan untuk memperlihatkan luas dan makna penyakit atherosklerosis. 3,5

KLASIFIKASI ULKUS DIABETIKUM

Penilaian dan klasifikasi ulkus diabetikum sangat penting untuk membantu perencanaan terapi
dan memprediksi hasil. Beberapa sistem klasifikasi ulkus telah dibuat didasarkan pada
beberapa parameter yaitu luasnya infeksi, neuropati, iskemia, kedalaman atau luasnya luka,
dan lokasi. Sistem klasifikasi paling banyak digunakan pada ulkus diabetikum adalah Sistem
Klasifikasi Ulkus Wagner-Meggit yang didasarkan pada kedalaman luka dan terdiri dari 6
grade luka (Tabel 1).
Tabel 1. Sistem Klasifikasi Ulkus Wagner-Meggit5,8
Grade 0 Hanya keluhan nyeri
Grade 1 Ulkus diabetikum superfisial dan sampai jaringan subkutaneus
Grade 2 Ulkus melibatkan ligamen, tendon, kapsul sendi, atau fasia tanpa abses atau osteomyelitis
Grade 3 Ulkus dalam dengan abses atau osteomyelitis
Grade 4 Gangren kaki depan
Grade 5 Gangren seluruh kaki

University of Texas membagi ulkus berdasarkan dalamnya ulkus dan membaginyalagi


berdasarkan adanya infeksi atau iskemi. Adapun sistem Texas ini meliputi 8,16:
Tabel 2. University of Texas Diabetic Wound Classification16
Stage
A – Tidak ada infeksi atau iskemia
B – Terdapat infeksi
C – Terdapat iskemia
D – Terdapat infeksi dan iskemia
Grade
0 – Luka yang terepitelialisasi
1 – Luka superfisial
2 – Luka penetrasi ke tendon atau kapsul
3 – Luka penetrasi ke tulang atau sendi

Klasifikasi SAD (Size, Sepsis, Arteriopathy, Depth and Denervation)


mengelompokkan ulkus ke dalam 4 skala berdasarkan 5 bentukan ulkus (ukuran, kedalaman,

13
sepsis, arteriopati, dan denervasi). 16

14
Tabel 3. Mengklasifikasikan Ulkus Diabetikum menggunakan sistem S(AD) SAD 8,16
Size
Grade Sepsis Arteriophaty Denervation
Area Depth
0 Kulit utuh Kulit utuh Tidak ada Pedal pulses present Sensitivitas baik

1 < 1 cm2 Superfisial Permukaan Pedal pulses Sensitivitas


reduced or one berkurang
missing
2 1-3 cm2 Tendon, Selulitis Absence of both Sensitivitas hilang
periosteum, kapsul pedal pulses
sendi
3 >3 cm2 Tulang Osteomielitis Gangrene Charcot

PERAWATAN DIABETES

Regulasi glukosa darah perlu dilakukan, meskipun belum ada bukti adanya hubungan
langsung antara regulasi glukosa darah dengan penyembuhan luka. Hal itu disebabkan fungsi
leukosit terganggu pada pasien dengan hiperglikemia kronik. Perawatan meliputi beberapa
faktor sistemik yang berkiatan yaitu hipertensi, hiperlipidemia, penyakit jantung koroner,
obesitas, dan insufisiensi ginjal. 4,11,13

PENATALAKSANAAN ULKUS DIABETIKUM

Tujuan utama dalam penatalaksanaan ulkus diabetikum adalah penutupan luka.


Penatalaksanaan ulkus diabetikum secara garis besar ditentukan oleh derajat keparahan ulkus,
vaskularisasi dan adanya infeksi.3 Dasar dari perawatan ulkus diabetikum meliputi 3 hal yaitu
debridement, offloading dan kontrol infeksi.1

15
Gambar 8. Perawatan Ulkus Diabetikum4

Debridement

Debridement menjadi salah satu tindakan terpenting dalam perawatan luka. Debridement
adalah suatu tindakan untuk membuang jaringan nekrosis, kalus dan jaringan fibrotik.
Jaringan mati dibuang sekitar 2-3 mm dari tepi luka ke jaringan sehat. Debridement
meningkatkan pengeluaran faktor pertumbuhan, membantu proses penyembuhan luka. 2,4,17

Metode debridemen yang sering dilakukan yaitu surgical (sharp), autolitik, enzimatik,
kimia, mekanis dan biologis. Metode surgical, autolitik dan kimia hanya membuang jaringan
nekrosis (debridement selektif), sedangkan metode mekanis membuang jaringan nekrosis dan
jaringan hidup (debridement non selektif).8,17

16
Surgical debridement merupakan standar baku pada ulkus diabetikum dan metode
paling efisien, khususnya pada luka dengan jaringan nekrosis atau terinfeksi. Pada kasus
dimana infeksi telah merusak fungsi kaki, amputasi diperlukan untuk memungkinkan kontrol
infeksi dan penutupan luka selanjutnya.

Debridemen enzimatis menggunakan agen topikal yang akan merusak jaringan


nekrotik dengan enzim proteolitik seperti papain, colagenase, fibrinolisin-Dnase, papain- urea,
streptokinase, streptodornase dan tripsin. Agen topikal diberikan pada luka sehari sekali,
kemudian dibungkus dengan balutan tertutup. Penggunaan agen topikal tersebut tidak
memberikan keuntungan tambahan dibanding dengan perawatan terapi standar. Oleh karena
itu, penggunaannya terbatas dan secara umum diindikasikan untuk memperlambat ulserasi
dekubitus pada kaki dan pada luka dengan perfusi arteri terbatas.

Debridemen mekanis mengurangi dan membuang jaringan nekrotik pada dasar luka.
Teknik debridement mekanis yang sederhana adalah pada aplikasi kasa basah-kering (wet-to-
dry saline gauze). Setelah kain kasa basah dilekatkan pada dasar luka dan dibiarkan sampai
mengering, debris nekrotik menempel pada kasa dan secara mekanis akan terkelupas dari
dasar luka ketika kasa dilepaskan.

Off-loading

Off-loading adalah pengurangan tekanan pada ulkus, menjadi salah satu komponen
penanganan ulkus diabetikum. Ulserasi terjadi pada area telapak kaki mendapat tekanan
tinggi. Bed rest merupakan satu cara ideal untuk mengurangi tekanan tetapi sulit untuk
dilakukan.2,17-19
Total Contact Casting (TCC) merupakan metode off-loading paling efektif. TCC
dibuat dari gips, dibentuk secara khusus untuk menyebarkan beban pasien keluar dari area
ulkus. Metode ini memungkinkan penderita untuk berjalan selama perawatan dan bermanfaat
untuk mengontrol adanya edema yang dapat mengganggu penyembuhan luka. Meskipun
sukar dan lama, TCC dapat mengurangi tekanan pada luka dan itu ditunjukkan oleh
penyembuhan 73-100%. Kerugian TCC antara lain membutuhkan ketrampilan dan waktu,
iritasi dari gips dapat menimbulkan luka baru, kesulitan untuk menilai luka setiap harinya.20

17
Penanganan Infeksi

Ulkus diabetikum memungkinkan masuknya bakteri, serta menimbulkan infeksi pada luka.
Karena angka kejadian infeksi yang tinggi pada ulkus diabetikum, maka diperlukan
pendekatan sistemik untuk penilaian yang lengkap. Diagnosis infeksi terutama berdasarkan
keadaan klinis seperti eritema, edema, nyeri, lunak, hangat dan keluarnya nanah dari luka.17
Penentuan derajat infeksi menjadi sangat penting. Menurut The Infectious Diseases
Society of America membagi infeksi menjadi 3 kategori yaitu infeksi ringan apabila
didapatkan eritema < 2 cm, infeksi sedang apabila didapatkan eritema > 2 cm, infeksi berat
apabila didapatkan gejala infeksi sistemik. Ulkus diabetikum terinfeksi dibagi menjadi 2
kelompok yaitu: Non-limb threatening : selulitis < 2cm dan tidak meluas sampai tulang atau
sendi. Limb threatening : selulitis > 2cm dan telah meacapai tulang atau sendi, serta adanya
infeksi sistemik.21,22
Terapi antibiotik harus didasarkan pada hasil kultur bakteri dan kemampuan toksistas
antibiotika tersebut.19 Pada infeksi yang tidak membahayakan (non-limb threatening) biasanya
disebabkan oleh staphylococcus dan streptococcus. Infeksi ringan dan sedang dapat dirawat
poliklinis dengan pemberian antibiotika oral, misalnya cephalexin, amoxilin- clavulanic,
moxifloxin atauclindamycin.2,11,22
Sedangkan pada infeksi berat biasanya karena infeksi polimikroba, seperti
staphylococcus, streptococcus, enterobacteriaceae, pseudomonas, enterokokus dan bakteri
anaerob misalnya bacteriodes, peptokokus, peptostreptokokus. Pada infeksi berat harus
dirawat dirumah sakit, dengan pemberian antibiotika yang mencakup gram posistif dan gram
negatif, serta aerobik dan anaerobik. Pilihan antibiotika intravena untuk infeksi berat meliputi
imipenem-cilastatin, B-lactam B-lactamase (ampisilin-sulbactam dan piperacilin-
tazobactam), dan cephalosporin spektrum luass.

Pembedahan
Debridemen dilakukan untuk membuang jaringan mati dan terinfeksi dari ulkus, kalus
hipertropik. Pada debridemen juga ditentukan kedalaman dan adanya tulang atau sendi
terinfeksi. Pembedahan revisional dilakukan pada tulang untuk memindahkan titik beban.
Tindakan tersebut meliputi reseksi metatarsal atau ostektomi. Indikasi pembedahan vaskuler
apabila ditemukan adanya gejala dari kelainan pembuluh darah, yaitu nyeri hebat, luka tidak
sembuh, dan adanya gangren. Autologous skin graft merupakan ukuran standar penutupan
luka

18
partial thickness. Skin allograft memungkinkan penutupan luka luas dan dalam di mana dasar
luka tidak mencukupi untuk dilakukannya autologus skin graft.7

Perawatan Luka

Penggunaan balutan efektif dan tepat menjadi bagian yang penting untuk memastikan
penanganan ulkus diabetikum yang optimal. Pertahankan lingkungan sekitar luka bersih dan
lembab selama perawatan ulkus. Keuntungan pendekatan ini yaitu mencegah dehidrasi
jaringan dan kematian sel, akselerasi angiogenesis, dan memungkinkan interaksi antara faktor
pertumbuhan dengan sel target.17
Beberapa jenis balutan telah banyak digunakan pada perawatan luka serta didesain
untuk mencegah infeksi pada ulkus (antibiotika), membantu debridement (enzim), dan
mempercepat penyembuhan luka.23
Balutan basah-kering dengan normal salin menjadi standar baku perawatan luka.
Selain itu dapat digunakan Platelet Derived Growth Factor (PDGF), dimana akan
meningkatkan penyembuhan luka, PDGF telah menunjukan dapat menstimulasi kemotaksis
dan mitogenesis neutrofil, fibroblast dan monosit pada proses penyembuhan luka.23
Penggunaan pengganti kulit/dermis dapat bertindak sebagai balutan biologis, dimana
memungkinkan penyaluran faktor pertumbuhan dan komponen matrik esktraseluler.
Recombinant Human Platelet Derived Growth Factors (rhPDGF-BB) (beclpermin) adalah
satu-satunya faktor pertumbuhan yang disetujui oleh US Food and Drug Administration
(FDA). Living Skin Equivalen (LSE) merupakan pengganti kulit biologis yang disetujui FDA
untuk penggunaan pada ulkus diabetikum.23

Terapi Tekanan Negatif dan Terapi Oksigen Hiperbarik

Penggunaan terapi tekanan negatif berguna pada perawatan diabetic ulkus karena dapat
mengurangi edema, membuang produk bakteri dan mendekatkan tepi luka sehingga
mempercepat penutupan luka. Terapi oksigen hiperbarik juga dapat dilakukan, hal itu
dibuktikan dengan berkurangnya angka amputasi pada pasien dengan ulkus diabetikum.23

19
PROGNOSIS

Pada penderita diabetes, 1 diantara 20 penderita akan menderita ulkus pada kaki dan 1
diantara 100 penderita akan membutuhkan amputasi setiap tahun. Oleh karena itu, diabetes
merupakan faktor penyebab utama amputasi non trauma ekstremitas bawah di Amerika
Serikat. Amputasi kontralateral akan dilakukan pada 50 % penderita ini selama rentang 5
tahun ke depan.4,7
Neuropati perifer yang terjadi pada 60% penderita diabetes merupakan resiko terbesar
terjadinya ulkus pada kaki, diikuti dengan penyakit mikrovaskuler dan regulasi glukosa darah
yang buruk. Pada penderita diabetes dengan neuropati, meskipun hasil penyembuhan ulkus
tersebut baik, angka kekambuhanrrya 66% dan angka amputasi meningkat menjadi 12%.7

RINGKASAN

Ulkus diabetikum merupakan salah safu komplikasi penyakit diabetes yang menjadi salah satu
masalah yang sering timbul pada penderita diabetes. Ulkus diabetikum menjadi masalah
dibidang sosial dan ekonomi yang mempengaruhi kualitas hidup penderitanya.
Neuropati perifer, penyakit vaskuler perifer, deforrnitas struktur kaki menjadi faktor
utama penyebab ulkus diabetikum. Faktor lain turut berperan timbulnya ulkus diabetikum
meliputi trauma, kelainan biomekanik, keterbatasan gerak sendi, dan peningkatan resiko
infeksi.
Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan penelusuran riwayat dengan baik,
pemeriksaan fisik untuk neuropati perifer dan insufisiensi vaskuler serta beberapa modalitas
pemeriksaan tambahan lainnya. Pemeriksaan dan klasifikasi ulkus menjadi bagian yang
penting dalam penanganan ulkus diabetikum, yaitu dalam penentuan rencana terapi yang
tepat serta pengamatannya. Selama ini ada beberapa sistem klasifikasi yang telah dikenalkan.
Klasifikasi ulkus didasarkan pada ukuran dan kedalam ulkus, adanya hubungan dengan
tulang, jumlah jaringan granulasi dan fibrosis, keadaan sekitar luka dan adanya infeksi.
Perawatan ulkus diabetikum pada dasarnya terdiri dari 3 komponen utama yaitu
debridement, offloading dan penanganan infeksi. Penggunaan balutan yang efektif dan tepat
membantu penanganan ulkus diabetikum yang optimal. Keadaan sekitar luka harus dijaga
kebersihan dan kelembabannya.

20
Daftar Pustaka

1. Crisologo PA, Lavery LA, Kim PJ, Fontaine. Diabetic Foot Ulcers. Dalam: Baranoski S,
Ayello EA. Wound Care Essentials Pactice Principles. Edisi ke-5. Wolters Kluwer; 2020.
h. 1385-1403.
2. Scarborough P, McGuire J. Diabetes and Diabetic Foot. Dalam: Hamm RL. Text and
Atlas of Wound Diagnosis and Treatment. New York: McGraw-Hill Education; 2015. h.
193-226.
3. Kordestani SS. Diabetic Foot Ulcers. Dalam: Atlas of Wound Healing A Tissue
Regeneration Approach. Missouri: Elsevier; 2019. h. 77-82.
4. Schachtel A, Kalus A. Diabetes and Other endocrine Diseases. Dalam: Kang S, Amagai
M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, dkk., penyunting. Fitzpatrick’s
Dermatology. Edisi ke-9. New York: McGraw-Hill Education; 2019. h. 2494-500.
5. Packer CF, Ali SA, Manna B. Diabetic Ulcer. Dalam: StatPearls. Treasure Island:
StatPearls Publishing; 2023. h. 1-9.
6. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian RI. Jakarta; 2018.
7. ADA (American Diabetes Association). Classification and Diagnosis of Diabetes:
Standards of Medical Care in Diabetes. Diabetes Care. 2019;42(1):13-28.
8. Aumiller WD, Dollahite HA. Pathogenesis and Management of Diabetic Foot Ulcers.
JAAPA. 2015;28(5):28-34.
9. Yang S, Gu Z, Lu C, Zhang T, Guo X, Xue G, dkk. Neutrophil Extracellular Traps Are
Markers of Wound Healing Impairment in Patients with Diabetic Foot Ulcers Treated in
a Multidisciplinary Setting. Advances in Wound Care. 2019; 1-12.
10. Davis FM, Kimball A, Boniakowski A, Gallagher K. Dysfunctional Wound Healing in
Diabetic Foot Ulcers: New Crossroads. Current Diabetes Reports. 2018;18(2):1-8.
11. Alavi A, Sibbald G, Mayer D, Goodman L, Botros M, Amstrong DG, dkk. Diabetic Foot
Ulcers Part I. Pathophysiology and Prevention. Continuing Medical Education. J Am
Acad Dermatol. 2014;70(1):1-18
12. Mirza RE, Fang MM, Ennis WJ, Koh TJ. Blocking Interleukin-1β Induces a Healing-
Associated Wound Macrophage Phenotype and Improves Healing in Type 2 Diabetes.
Diabetes Journal. 2013;62(7):2579-87.
13. Singh K, Agrawal NK, Gupta SK, Mohan G, Chaturvedi S, Singh K. Differential

21
Expression of Matrix Metalloproteinase-9 Gene in Wounds Of Type 2 Diabetes Mellitus
Cases with Susceptible - 1562C>T Genotypes and Wound Severity. Int J Low Extrem
Wounds. 2014;13(2):94–102.
14. Gooyit M, Peng Z, Wolter WR, Pi H, Ding D, Hesek D, et al. A Chemical Biological
Strategy to Facilitate Diabetic Wound Healing. ACS Chem Biol. 2014;9(1):105–10.
15. Patel S, Srivastava S, Singh MR, Singh D. Mechanistic Insight into Diabetic Wounds:
Pathogenesis, Molecular Targets and Treatment Strategies to Pace Wound Healing.
Biomedicine & Pharmacotherapy. 2019;112:1-15.
16. Monteiro‐Soares M, Boyko EJ, Jeffcoate W, Mills JL, Russell D, Morbach S, dkk.
Diabetic Foot Ulcer Classifications: A Critical Review. Diabetes Metab Res Rev.
2020;36(S1):1-16.
17. Eming SA. Wound Healing. Dalam: Krieg T, Bickers DR, Miyachi YT. Therapy of Skin
Diseases. Jerman: Springer; 2010. h. 735-51.
18. Murphy-Lavoie HM, Ramsey A, Nguyen M, et al. Diabetic Foot Infections. In:
StatPearls. Treasure Island: StatPearls Publishing; 2022. h. 1-6.
19. Kantor J, Margolis DJ. Leg Ulcers. Dalam: Lebwohl MG, Heymann WR, Berth-Jones J,
Coulson I. Treatment of Skin Disease. Edisi kedua. Elsevier; 2010. h. 328-9.
20. Snyder RJ, Frykberg RG, Rogers LC, Applewhite AJ, Bell D, Bohn G, dkk. The
Management of Diabetic Foot Ulcers Through Optimal Off-Loading. J Am Podiatr Med
Assoc. 2014;104(6): 555-67.
21. Dixon D, Edmonds M. Managing Diabetic Foot Ulcers: Pharmacotherapy for Wound
Healing. Drugs. 2021;81(1), 29–56.
22. Uçkay I, Aragon-Sánchez J, Lew D, Lipsky BA. Diabetic Foot Infections: What Have
We Learned in The Last 30 years? Int J Infect Dis. 2015;40:81-91.
23. Lipsky BA, Berendt AR, Cornia PB, dkk. Infectious Diseases Society of America
Clinical Practice Guideline for The Diagnosis and Treatment of Diabetic Foot Infections.
Clin Infect Dis. 2012;54(12):e132-e73.

22

Anda mungkin juga menyukai