Anda di halaman 1dari 45

MATA KULIAH : KMB LANJUT 1

DOSEN : SYAHRUL NINGRAT, S. Kep., Ns., M. Kep.,MB

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


“HEART FAILURE”

OLEH
KELOMPOK 3:
Alimuddin (R012181048)
Asriyani Hamid (R012181020)
Irawati (R012181033)
Maria Kurni Menga (R012181009)
Iskandar Zulkarnain (R012181021)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat dan hidayahNYA sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
sebagai salah satu tugas pemicu dari mata kuliah KMB Lanjut I dengan baik dan
tepat waktu.
Makalah ini telah kami susun secara maksimal dengan peran anggota
kelompok Untuk itu, kami menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua
pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Makalah ini
diharapkan dapat memberikan gambaran yang tentang Heart Failure. Penanganan
dan Asuhan Keperawatan pasien Heart Failure
Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah
pengetahuan khususnya penanganan pasien dengan kasus Heart Failure, Namun
terlepas dari itu, kami menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
sehingga makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi isi maupun dari
tata bahasa. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari setiap pembaca agar makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Makassar, Maret 2019


Penulis

Kelompok III
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2


DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
BAB I ...................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................. 4
A. Latar Belakang ............................................................................................. 4
B. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 5
BAB II ..................................................................................................................... 6
TINJAUAN LITERATUR ...................................................................................... 6
KONSEP DASAR MEDIS ................................................................................. 6
A. DEFINISI ..................................................................................................... 6
B. ETIOLOGI ................................................................................................... 6
C. KLASIFIKASI ............................................................................................. 7
D. PATOFISIOLOGI .................................................................................... 8
E. MANIFESTASI KLINIS ........................................................................... 12
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG ............................................................... 13
G. PENATALAKSANAAN ....................................................................... 14
KONSEP DASAR KEPERAWATAN .............. Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 42
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagal jantung merupakan kondisi dimana jantung tidak mampu
memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh
secara adekuat, sehingga mengakibatkan dilatasi ruang jantung untuk
menampung darah lebih banyak untuk dipompakan ke seluruh tubuh
(Rampengan, 2014).
Gagal jantung akut dapat bersifat akut atau akut –kronis. Dalam
semua kasus, upaya harus dilakukan dalam mengidentifikasi penyebab
yang mendasarinya. Gagal jantung bukan kondisi yang homogen dan
meskipun beberapa prinsip umum berlaku, keberhasilan pengobatan
tergantung pada penilaian yang akurat dari etiologi dan profil
hemodinamik setiap pasien (Brown, J., Mazel, J., Myerson, S.,
Choudhury, R., & Mitchell, 2011).
Gagal jantung (gagal jantung) adalah sindrom klinis yang terjadi
akibat ketidakmampuan ventrikel untuk mengisi atau memompa cukup
darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh.
Insiden gagal jantung meningkat ketika populasi orang dewasa
yang lebih tua dan tingkat kelangsungan hidup pasien meningkat. Menurut
American Heart Association, 5 juta orang menderita gagal jantung dengan
lebih dari 550.000 kasus baru setiap tahun. Gagal jantung adalah alasan
paling umum untuk masuk rumah sakit pada orang dewasa yang lebih tua
(Williams, Linda S, Bradford, 2007). Di Amerika Serikat, gagal jantung
diderita sekitar 5 juta orang dengan 500.000 kasus yang teridagnosis setiap
tahun, orang yang berusia 65 tahun ke atas dengan lebih 1 juta pasien
doterima untuk perawatan rumah sakit, dan meskipun ada perbaikan dalam
diagnosis dan perawatan, sekitar 300.000 kematian setiap tahun dengan
12% untuk pasien yang dirawat dengan eksaserbasi gagal jantung akut
(Scott & Winters, 2015).
Pasien mungkin mengalami banyak keterbatasan dan gejala
fungsional, dan ada tingkat kematian yang tinggi. Kualitas hidup sering
terganggu. Tingkat penerimaan kembali ke rumah sakit segera setelah
keluar dari rumah sakit untuk perawatan gagal jantung sangat tinggi dan
menimbulkan tantangan bagi penyedia layanan kesehatan. Oleh karena itu,
selain membutuhkan terapi medis dan bedah yang agresif, pemberian
asuhan keperawatan sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup
bagi pasien dengan gagal jantung
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami asuhan keperawatan medikal
bedah pasien dengan Heart Failure
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui dan memahami defenisi penyakit Heart
Failure
b. Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi penyakit Heart
Failure
c. Untuk mengetahui dan memahami penatalaksanaan medis dan
keperawatan penyakit Heart Failure
d. Untuk mengetahui dan memahami asuhan keperawatan lanjut
pada pasien Heart Failure
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
KONSEP DASAR MEDIS
A. DEFENISI
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk
mempertahankan curah jantung (cardiac output = CO) dalam memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh. Penurunan CO mengakibatkan volume
darah yang efektif berkurang. Untuk mempertahankkan fungsi sirkulasi
yang adekuat, maka di dalam tubuh terjadi suatu refleks homeostasis atau
mekanisme kompensasi melalui perubahan-perubahan neurohormonal,
dilatasi ventrike,, dan mekanisme Frank Starling (Kabo, 2010).
B. ETIOLOGI
Secara epidemiologi di negara berkembang penyakit kardiovaskuler
dan hipertensi menjadi penyebab utama terjadinya gagal jantung,
sedangkan kasus katup jantung dan kekurangan gizi pada kasus jantung
adalah merupakan penyebab terbanyak di negara berkembang. Untuk
menentukan penyakit gagal jantung pada penderita penyakit jantung
koroner di lakukan pengukuran Skor Framingham (Mariyono & Santoso,
2007).
1. Faktor penyebab berasal dari jantung sendiri :
- Peradangan pada perikard (perikarditis)
- Peradangan pada miokardium (miokarditis)
- Peradangan pada endokardium (endokarditis)
- Abnormalitas klep jantung atau klep pada pembuluh darah besar
- Abnormalitas proses kimiawi tertentu
Pada pasien gagal jantung yang terbanyak adalah dengan kelainan
fungsi jantung kiri atau Left Ventrikel (Yancy et al., 2013).
2. Faktor penyebab mekanis
Gagal jantung dengan gangguan fungsi jantung kiri sangat berkaitan
dengan jumlah Ejection Fraction (EF). Menurunnya EF pada pasien
gagal jantung menandakan bahwa pasien mengalami pembesaran
ruang jantung yang berat dan perubahan signifikan dari fungsi sistole
dan diastole. EF sangat menentukan angka harapan hidup dan
kemungkinan – kemungkinan buruk yang akan terjadi pada pasien.
Namun perlu diketahui bahwa dengan penyakit gagal jantung tidak
bisa dipastikan bahwa itu adalah kardiomiopati atau kelainan fungsi
jantung kiri (Yancy et al., 2013).
3. Faktor resiko lain yang didapat yaitu pada pasien dengan penyakit
Diabetes, dislipidemia, penyakit hipertensi, sedangkan untuk faktor
dari gaya hidup pasien adalah merokok, kurang aktivitas olahraga,
makanan yang tidak sehat serta konsumsi alkohol yang berlebihan.
Hipertensi adalah masalah utama penyebab kejadian gagal jantung
karena sangat mempengaruhi fungsi ventrikel kiri jantung. Konsumsi
alkohol dapat mempengaruhi kejadian gagal jantung, akut maupun
gagal jantung aritmia, kardiomiopati, kekurangan vitami B1, serta
terjadi gangguan nutrisi dalam tubuh. Untuk gagal jantung akibat efek
toksik terhadap otot jantung bisa didapatkan dari konsumsi obat –
obatan kemoterapi dan obat – obatan antivirus (Mariyono & Santoso,
2007).
C. KLASIFIKASI
Menurut (Yancy et al., 2013), klasifikasi gagal jantung berdasarkan
berdasarkan American College of Cardiology Foundation (ACCF) /
American Heart Association (AHA) dan New York Heart Association
(NYHA) dapat menginformasikan derajat kegawatan gagal jantung.
1. ACCF / AHA
Tingkat ACCF / AHA mementingkan faktor kemajuan penyakit dan
dapat dipakai untuk memvisualkan perseorangan dan komunitas.
Tingkatan itu adalah sebagai berikut :
- Tanpa penyakit jantung struktural atau gejala gagal jantung namun
sangat beresiko untuk gagal jantung
- Tanpa gejala atau tanda gagal jantung namun merupakan penyakit
gagal jantung struktural
- Terdapat gejala dan tanda gagal jantung saat ini dan penyakit
jantung struktural sebelumnya
- Intervensi khusus sangat dibutuhkan pada refraktori gagal jantung
2. NYHA
Tahapan NYHA berpusat pada daya aktivitas dan gejala penyakit.
Tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
I. Bebas beraktivitas fisik dan tidak menyebabkan timbulnya
gejala atau tanda gagal jantung
II. Aktivitas fisik sedikit terbatas biasa menimbulkan gejala gagal
jantung namun nyaman pada saat istirahat
III. Aktivitas fisik dibatasi dengan jelas, menimbulkan gejala gagal
jantung namun nyaman pada saat istirahat
IV. Aktivitas fisik apapun tidak bisa dilakukan, tanpa gejala gagal
jantung maupun ada gejala pada saat istirahat.
D. PATOFISIOLOGI
Fungsi jantung sebagai sebuah pompa diindikasikan oleh
kemampuannya untuk memenuhi suplai darah yang adekuat ke seluruh
bagian tubuh (Mariyono & Santoso, 2007).
Gagal jantung merupakan sindrom kompleks yang dihasilkan dari
gangguan struktural atau fungsional dari pengisian ventrikel atau
pengeluaran darah (Yancy et al., 2013).
Mekanisme fisiologis dasar jantung yang sangat berpengaruh
terhadap kejadian gagal jantung, seperti stroke volume/SV (isi sekuncup)
adalah jumlah darah yang dipompakan oleh ventrikel setiap kali kontraksi;
cardiac output/CO (curah jantung) adalah jumlah darah yang dipompakan
oleh ventrikel setiap menit; heart rate/HR (laju jantung), preload (beban
awal), menggambarkan tekanan miokardium pada fase akhir diastolik atau
sesaat sebelum kontraksi ventrikel. Menurut Hukum Starling: makin besar
isi jantung saat diastolik, semakin besar pula jumlah darah yang
dipompakan ke aorta; dan afterload (beban akhir), menggambarkan
tekanan aortik total yang menahan ejeksi ventrikel. Apabila tekanan
sistemik arterial meningkat, maka kerja jantung akan meningkat pula; serta
kontraktilitas adalah kemampuan intrinsik serabut-serabut miokard untuk
menguncup. Peningkatan stroke volume menggambarkan peningkatan
kontraktilitas dan sebaliknya, penurunan stroke volume menggambarkan
penurunan kontraktilitas (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiologi
Indonesia, 2015).
(Price, Sylvia Anderson, Lorraine McCarty Wilson, 2005) dalam
bukunya mengatakan bahwa, kelainan intrinsik pada kontraktilitas
miokardial jantung yang khas pada gagal jantung akibat penyakit jantung
iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif.
Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi volume sekuncup
dan meningkatkan volume residu ventrikel. Dengan meningkatnya EDV
(volume akhir diastolik) ventrikel, terjadi peningkatan tekanan akhir
diastolik ventrikel kiri (LVEDP). Derajat peningkatan tekanan bergantung
pada kelenturan ventrikel. Meningkatnya LVEDP terjadi pula peningkatan
tekanan atrium kiri (LAP), karena atrium dan ventrikel berhubungan
langsung selama diastole. Peningkatan LAP diteruskan ke belakang ke
dalam pembuluh darah paru-paru untuk meningkatkan tekanan kapiler dan
vena paru-paru. Apabila tekanan hidrostatik anyaman kapiler paru-paru
melebihi tekanan onkotik pembuluh darah, akan terjadi transudasi cairan
ke dalam interstitial. Jika kecepatan transudasi cairan melebihi kecepatan
drainase limfitik, akan terjadi edema interstitial. Peningkatan lebih lanjut
dapat menyebabkan cairan merembes ke dalam alveoli dan terjadilah
edema paru. Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat akibat peningkatan
kronis tekanan vena paru. Hipertensi pulmonalis meningkatkan tahanan
terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serangkaian kejadian seperti yang terjadi
pada jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan yang akhirnya akan
menyebabkan edema dan kongesti sistemik. Perkembangan dari edema
dan kongesti sistemik atau paru dapat diperberat oleh regurgitasi
fungsional dari katup-katup trikuspidalis atau mitralis secara bergantian.
Regurgitasi fungsional disebabkan oleh dilatasi anuluskatup
atrioventrikularis, atau perubahan orientasi otot papilaris dan korda
tendinae akibat dilatasi ruang.
Jantung dibagi menjadi dua sistem pemompaan yang terpisah. Sisi
kanan jantung membentuk satu pompa. Sisi kiri jantung membentuk
pompa lainnya. Biasanya pompa ini bekerja bersama untuk memastikan
bahwa jumlah darah yang masuk dan yang sama tinggalkan hati. Biasanya,
aliran darah melalui jantung dimulai di atrium kanan. Darah yang tidak
teroksigenasi dari sistem vena tubuh memasuki atrium kanan dari venae
cavae inferior dan superior. Selanjutnya darah memasuki ventrikel kanan
untuk dipompa ke arteri paru-paru dan ke paru-paru untuk oksigenasi.
Setelah menerima oksigen di paru-paru, darah dikembalikan ke atrium kiri
melalui empat vena paru-paru. Darah teroksigenasi kemudian memasuki
ventrikel kiri dan dipompa keluar ke aorta dan sirkulasi sistemik
(Williams, Linda S, Bradford, 2007)
Fungsi jantung yang tepat mengharuskan setiap ventrikel
memompa jumlah darah yang sama sepanjang waktu. Jika jumlah darah
yang dikembalikan ke jantung menjadi lebih dari yang dapat ditangani
oleh ventrikel, jantung tidak lagi menjadi pompa yang efektif. Kondisi
yang menyebabkan gagal jantung dapat memengaruhi satu atau kedua
sistem pemompaan jantung. Oleh karena itu, gagal jantung dapat
diklasifikasikan sebagai gagal jantung sisi kanan, gagal jantung sisi kiri,
atau gagal jantung biventrikular. Ventrikel adalah area sistem pemompaan
jantung yang umumnya gagal. Dari dua ventrikel, ventrikel kiri biasanya
yang melemah terlebih dahulu karena memiliki beban kerja terbesar. Sisi
kanan dan kiri sistem pemompaan jantung bekerja bersama dalam sistem
tertutup untuk terus memajukan darah, sehingga kegagalan di satu sisi
akhirnya menyebabkan kegagalan di sisi lain.
1. Gagal Jantung Sisi Kiri
Sejumlah kekuatan harus dihasilkan oleh ventrikel kiri selama
kontraksi untuk mengeluarkan darah ke aorta melalui katup aorta.
Gaya ini disebut sebagai afterload. Tekanan dalam aorta dan arteri
mempengaruhi kekuatan yang dibutuhkan untuk membuka katup aorta
untuk memompa darah ke aorta. Tekanan ini disebut resistensi
pembuluh darah perifer (PVR).
Hipertensi adalah salah satu penyebab utama gagal jantung sisi kiri
karena meningkatkan tekanan dalam arteri. Tekanan yang meningkat
di aorta membuat ventrikel kiri bekerja lebih keras untuk memompa
darah ke aorta. Seiring waktu tekanan yang disebabkan oleh
peningkatan beban kerja menyebabkan ventrikel kiri melemah dan
gagal. Kondisi lain yang dapat menyebabkan gagal jantung sisi kiri
adalah kelainan yang membatasi aliran darah dari ventrikel kiri,
seperti pada stenosis katup aorta atau koarktasio aorta, yang
merupakan malformasi yang menyebabkan penyempitan; merusak
kontraktilitas jantung, seperti pada infark miokard atau kardiomiopati;
dan membiarkan darah mengalir mundur ke atrium kiri, seperti pada
gangguan katup. Dengan gagal jantung sisi kiri, darah kembali dari
ventrikel kiri ke atrium kiri dan kemudian ke empat vena paru-paru
dan paru-paru. Ini meningkatkan tekanan paru-paru, menyebabkan
pergerakan cairan pertama ke interstitium dan kemudian alveoli.
Edema alveolar lebih serius karena mengurangi pertukaran gas di
seluruh alveolar membran kapiler. Sesak napas dan sianosis dapat
terjadi akibat berkurangnya oksigenasi darah yang keluar paru-paru.
Jika penumpukan cairan parah, edema paru terjadi, yang
membutuhkan perawatan medis segera.
2. Gagal Jantung Sisi Kanan
Penyebab utama gagal jantung sisi kanan adalah gagal jantung sisi
kiri. Ketika sisi kiri gagal, cairan kembali ke paru-paru dan tekanan
paru meningkat. Ventrikel kanan harus terus memompa darah
terhadap peningkatan cairan dan tekanan di arteri paru-paru dan paru-
paru ini. Seiring waktu strain tambahan ini akhirnya menyebabkannya
gagal.
Kondisi yang menyebabkan gagal jantung sisi kanan meningkatkan
kerja ventrikel kanan. Mereka meningkatkan jumlah kekuatan
kontraktil yang dibutuhkan atau mereka membutuhkan pemompaan
volume darah berlebih (preload). Di antara kondisi-kondisi ini adalah
kelainan yang (1) meningkatkan tekanan paru-paru, seperti emfisema
atau kelainan jantung bawaan; (2) membatasi aliran darah dari
ventrikel kanan, seperti pada stenosis katup paru; dan (3)
memungkinkan darah atrium kiri mengalir ke atrium kanan, sehingga
meningkatkan volume darah di ventrikel kanan, seperti pada defek
septum. Ketika ventrikel kanan mengalami hipertrofi atau gagal
karena tekanan paru yang meningkat, ini disebut sebagai cor
pulmonale.
Ketika ventrikel kanan gagal, itu tidak kosong secara normal dan
ada penumpukan darah di sistemik pembuluh darah. Saat darah
kembali dari kanan ventrikel, volume darah vena atrium dan sistemik
kanan meningkat. Vena leher jugularis, yang tidak normal terlihat,
menjadi buncit dan bisa dilihat saat orang tersebut berada dalam posisi
tegak lurus 45 derajat. Edema dapat terjadi di jaringan perifer, dan
organ perut bisa menjadi engorged. Kemacetan di saluran cerna
saluran menyebabkan anoreksia, mual, dan sakit perut. Sebagai
kegagalan berlanjut, genangan darah di vena hepatika dan hati
menjadi sesak, dikenal sebagai hepatomegali. Nyeri di kuadran kanan
atas dan gangguan fungsi hati disebabkan oleh kemacetan hati ini.
Kemacetan vena sistemik juga mengarah ke pembengkakan limpa,
yang dikenal sebagai splenomegali.
E. MANIFESTASI KLINIS
Menurut (Yancy et al., 2013) :
1. Sesak, sehingga aktivitas terbatasi
2. Pembengkakan pada perifer karena kurangnya haluaran cairan
3. Kurangnya produksi atau haluaran urine
4. Fatigue, menyebabkan aktivitas terganggu
5. Ketidakmampuan untuk keraktivitas
Namun demikian tanda atau gejala yang paling awal didapatkan pada
pasien gagal jantung adalah peningkatan frekuensi nadi pada saat istirahat
dan sesak pada saat istirahat.
Kriteria sesak pada pasien dengan gagal jantung yaitu :
1. Orthopneu
2. Dyspneu d’ effort
3. Paroxismal Nocturnal Dyspneu
Untuk menegakkan diagnosis gagal jantung pada pasien Infark Miokard
Akut menurut (Baransyah, Rohman, & Suharsono, 2014), ditetapkan
berdasarkan kriteria Killip :
1. Pada pasien gagal jantung diagnosis IMA, ditegakkan bila terdapat
dua atau lebih dari gejala :
 Terdapat nyeri dada lebih dari 20 menit dan tidak menghilang
dengan pemberian Nitrat pada bawah lidah
 Terdapat gelombang Q yang panjang, ST Elevasi dan T
Inverted pada gambaran EKG
 Biomarker Troponin I / T meningkat
2. Pada pasien IMA diagnosis gagal jantung, ditegakkan bila terdapat
kriteria :
 Killip I : Tidak dengan Gagal jantung
 Killip II : Gagal jantung disertai ronkhi basah didaerah basal
paru, irama Gallop S3, serta tekanan vena pulmonalis
meningkat
 Killip III : gagal jantung disertai adanya edema paru disemua
area lapang paru
 Killip IV : terjadinya syok kardiogenik dengan hemodinamik
BPS < 90 mmHg serta penyempitan pembuluh darah perifer
(kebiruan, penurunan curah urin, keringat berlebihan yang
tidak wajar
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pasien dengan gagal jantung menurut (Scott &
Winters, 2015), yaitu :
1. Elektrokardiogram (EKG)
EKG dapat dilakukan secepat mungkin setelah melakukan tindakan
evaluasi pemantapan kondisi pernafasan dan sirkulasi pada pasien
untuk mengenal adanya tanda atau gejala infark atau iskemia, adanya
pembesaran pada jantung, atau kelainan irama pada jantung.
2. Echocardiography
Tindakan Echocardiograpy dilakukan pada pasien dicurigai atau
dengan gagal jantung yang pada fase kritis. Tindakan ini dilakukan
untuk mengetahui dan menilai kemampuan jantung untuk memompa
darah ( Ejection Fraction / EF). Oleh karena itu, pasien dengan
indikasi sesak yang disebabkan oleh tidak berfungsinya dengan baik
fase diastolik atau katup, maka echokardiograpi dilakukan di samping
tempat tidur pasien
3. Radiograpi Dada
Pemeriksaan radiograpi pada pasien dengan gagal jantung untuk
mengetahui dan mengevaluasi adanya peningkatan sistem vaskuler,
pembesaran jantung serta adanya cairan pada pleura.
4. Pengujian Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium klinik dilakukan untuk menentukan
stabilisasi fungsi ginjal, biomarker (Troponin I), atau pemeriksaan
metabolik lainnya. Biomarker yang meningkat menegaskan bahwa
ada tingkat kegawatan pada pasien dengan gagal jantung.
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiologi Indonesia,
2015).
1. Terapi nonfarmakologi
a. Manajemen perawatan diri
Manajemen perawatan diri mempunyai peran dalam keberhasilan
pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna
terhadap perbaikan gejala gagal jantung, kapasitas fungsional,
kualitas hidup, morbiditas, dan prognosis. Manajemen perawatan
mandiri merupakan tindakan menjaga stabilitas fisik, menghindari
perilaku yang memperburuk kondisi, serta mendeteksi gejala awal
perburukan gagal jantung.
b. Ketaatan berobat
Menurunkan morbiditas, mortalitas, serta meningkatkan kualitas
hidup pasien
c. Pemantauan berat badan
Kenaikan berat badan > 2 kg dalam 3 hari, harus menaikkan dosis
diuretik atas pertimbangan dokter
d. Asupan cairan
Retriksi cairan 1,5 – 2 liter/hari dipertimbangkan terutama pada
pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia
e. Pengurangan berat badan mandiri
Pengurangan berat badan untuk pasien obesitas (IMT > 30 kg/m²)
dipertimbangkan untuk mencegah perburukan
f. Kehilangan berat badan tanpa rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung
berat
g. Latihan fisik
Dilakukan oleh pasien gagal jantung kronik yang sudah stabil
h. Aktivitas sexual
2. Terapi farmakologi (Brown, J., Mazel, J., Myerson, S., Choudhury,
R., & Mitchell, 2011).
Tujuan perawatan segera adalah untuk mengurangi preload dan
afterload dengan kombinasi diuretik dan vasodilator. Selain itu, oksigen
sangat penting dan berdampak besar pada kinerja miokard dan respon
terhadap terapi diuretik. Langkah awal yang dilakukan adalah:
a. Terapi oksigen
b. Morfin 2-6 mg/IV, ulangi sesuai kebutuhan setiap 10-15 menit
c. Loop diuretik (misalnya: furosemide 40-120 mg/IV
d. IV Nitrat (misalnya: NTG 1-10 mg/jam) berguna jika kegagalan
signifikan, tetapi pastikan SBP mencukupi (>95mmHg)
e. Menarik obat apapun yang mungkin berkontribusi terhadap gagal
jantung (penghambat saluran kalsium dan NSAID)
Langkah lanjutan dengan pemberian terapi obat yang disesuaikan
dengan profil hemodinamik dan terlalu banyak cairan.
f. ACE Inhibtors
1) Biasanya tidak diperkenalkan pada fase akut gagal jantung,
meskipun ada bukti untuk pengenalan awal
2) Dalam jangka panjang manfaatnya, termasuk pengurangan
kematian
3) Obat ditarik sementara bila dalam keadaan: SBP <80 mmHg
atau <100 mmHg dikasus penurunan fungsi ginjal atau
resistensi diuretik; kreatinin >300mmol/L; peningkatan
kreatinin progresif > 25-30%; diberikan kembali pada saat
status cairan sudah optimal kembali dan hemodinamik stabil
g. Betablocker
1) Kontra indikasi pada gagal jantung
2) Dalam semua kasus kecuali kasus ringan dengan dominan
kelebihan cairan, seharusnya ditarik sementara
3) Dapat diperkenalkan kembali pada saat stabil, dan
keseimbangan cairan sudah optimal, tetapi ini memakan waktu
beberapa hari atau bahkan minggu.
h. Diuretik
1) Loop
a) Terapi standar pada edema paru akut dan pada pasien
menunjukkan tanda-tanda kelebihan cairan
b) Infusi lebih efektif daripada rejimen bolus (ini karena
waktu di atas ambang natriuretik lebih penting
daripadakonsentrasi maksimum di nefron)
c) Mulai dengan Furosemide 40 mg IV jika tidak
menggunakan diuretik atau, jika sebelumnya diobati
dengan dosis oral normal diberikan intravena dan titrasi
sesuai respon
d) Dalam kasus gagal jantung berat, resistensi diuretik. Atau
ginjal gangguan mempertimbangkan bolus Furosemide
diikuti oleh infus lebih dari 4-8 jam. Dosis bolus
maksimum adalah 4 mg/menit.
2) Nonloop
a) Tiazid dan antagonis aldosteron bermanfaat sebagai
tambahan loop diuretik dalam resistensi diuretik
b) Hydrochlothiazide 25-50 mg dua kali sehari (tidak efektif
bila pembersihan kreatinin <30mL/menit.
c) Metolazone (2,5-10 mg setiap hari) memiliki efek terlepas
dari pembersihan kreatinin dan menghasilkan diuresis
yang lebih cepat. Kepedulian diperlukan, bagaimanapun,
karena efeknya yang kuat
d) antagonis Aldosteron
e) Spironolakton (25-50 mg setiap hari).
f) Digoxin, tidak ada peran digoxin dalam pengelolaan CHF
akut.
g) Vasodilator
i. Morfin adalah venodilator yang poten dan ansiolitik.
Berikan 4-6 mg IV dan ulangi sesuai kebutuhan
ii. Nitrat
iii. Nitrogliserin sub-lingual seringkali sangat membantu,
tetapi jika pasien memiliki CHF parah berikan IV.
Mulai dengan 5 mcg / mnt dan memonitor dengan
cermat tekanan darah
iv. Oral dapat ditambahkan, meskipun bukti untuk
kegunaannya buruk
v. Nitrat adalah venodilator dengan dosis rendah dan
vasodilator arteri dosis tinggi
vi. Toleransi terjadi setelah 24 jam
vii. Bertujuan untuk penurunan tekanan darah sistolik 10
mmHg
viii. Hentikan jika tekanan darah turun di bawah 90 mmHg.
ix. Sodium nitroprusside, ini harus disediakan untuk kasus
yang parah.
x. Mulai dengan infus 0,5-5 μg / kg / min IV
xi. Membutuhkan pemantauan tekanan arteri
Penggunaan jangka panjang dikaitkan dengan toksisitas
dan harus dihindari pasien dengan gagal ginjal atau hati
yang parah. Ini paling berguna dalam hipertensi gagal
jantung dan regurgitasi mitral akut.
3) Pemantauan
a) Denyut nadi, TD, pemantauan EKG, oksimetri nadi
i. Secara otomatis dalam 24 jam pertama
ii. Berkepanjangan di hadapan aritmia, selama inotrop
terapi atau dalam kasus ketidakstabilan hemodinamik
persisten
b) Gas darah arteri
i. Ini tidak terlalu berguna, tetapi seringkali masih
menjadi bagian dari rutinitas laboratorium diperoleh
saat pasien masuk dengan gagal jantung berat. Periksa
dengan kolega Anda jika Anda tidak yakin tentang
pemesanan ABG.
ii. Secara teratur pada pasien dengan tekanan saluran
napas positif terus menerus (CPAP).
c) Elektrolit, kreatinin, dan fungsi ginjal
Setiap hari pada pasien yang hemodinamik tidak stabil,
dan pasien pada diuretik intravena atau kombinasi.
d) Keseimbangan cairan / kateterisasi urin
i. Keseimbangan cairan direkomendasikan dalam semua
kasus
ii. Kateterisasi urin biasanya dilakukan secara rutin pada
pasien dengan gagal jantung yang parah. Namun,
praktik rutin ini membuahkan hasil infeksi saluran
kemih yang dapat dihindari, yang buruk untuk pasien
(dan tidak lagi diganti oleh Medicare). Kemih
kateterisasi karena itu umumnya harus dihindari dan
dilakukan berdasarkan kasus per kasus.
e) CVP
i. Ini biasanya tidak diperlukan. Sulit untuk melakukan
penyisipan dalam pasien dengan edema paru, tetapi
dapat memandu terapi ketika inotropik dukungan
diperlukan.
Tabel Profil Hemodinamik pada gagal jantung
Hangat dan Basah Dingin dan Basah
 Penekanan pada terapi  Penekanan pada terapi
diuretik dengan vasodilator dengan diuretik
penambahan vasodilator tambahan
 Diuresis yang signifikan  Betablocker dan ACE
mungkin diperlukan Inhibitor mungkin perlu
 Betablocker dapat sementara penarikan
dilanjutkan  Inotrop vasodilatasi
 Mencatat yang tidak (Dobutamin) mungkin
pantas bermanfaat jika ada
perbutukan
Hangat dan Kering Dingin dan Kering
 Target profil Bedakan dari syok hipovolemik
 Penekanan pada titrasi  Penekanan pada dukungan
terapi kronik ke dosis pompa balon intra aorta
optimal inotropik
 Diperlukan pemantauan
hemodinamik
 Berhati-hati bila Chest X
Ray bersih
(Brown, J., Mazel, J., Myerson, S., Choudhury, R., & Mitchell, 2011)

4) Proses Perawatan untuk Gagal Jantung Kronis


Saat mendapatkan data untuk pasien dengan gagal jantung,
fokuslah pada area yang mungkin mengindikasikan adanya
gagal jantung. Diagnosis, Perencanaan, Intervensi, dan
Evaluasi Perawatan Keperawatan fokus utama dari perawatan
keperawatan untuk pasien gagal jantung kronis adalah untuk
meningkatkan oksigenasi dan mengurangi kebutuhan tubuh
akan oksigen dengan istirahat, posisi, obat-obatan,
keseimbangan cairan, dan kontrol konsumsi oksigen
a) Oksigen
Terapi oksigen dipesan oleh dokter dan dibimbing oleh
analisis gas darah. Sebelum memulai terapi oksigen,
jelaskan terapi tersebut kepada pasien. Untuk gagal
jantung kronis, oksigen diberikan pada 2 sampai 6 L /
menit melalui kanula hidung. Efek oksigen harus dipantau
dengan cermat. Oksigen harus digunakan dengan hati-hati
pada semua pasien, sehingga stimulus mereka untuk
bernafas tidak berkurang (terutama jika pasien memiliki
penyakit paru obstruktif kronis [COPD]). Terapi Oksigen
Rumah. Jika seorang pasien akan menggunakan terapi
oksigen di rumah, instruksi harus diberikan tentang
penggunaan oksigen yang tepat dan tindakan pencegahan
keamanan untuk penggunaan oksigen. Keluarga juga harus
memahami tindakan pencegahan keamanan oksigen dan
bersedia mematuhinya. Merokok dilarang ketika oksigen
digunakan
b) Sisa dan Aktivitas
Pengurangan tuntutan oksigen tubuh mengurangi beban
kerja jantung. Keseimbangan istirahat dan aktivitas yang
tidak menghasilkan tanda-tanda atau gejala kekurangan
oksigen sangat penting. Tingkat aktivitas pasien
ditentukan oleh tingkat keparahan gagal jantung. Selama
masa pengerahan tenaga, pantau tanda-tanda vital pasien
dan upaya pernapasan untuk kekurangan oksigen. Jika
intoleransi aktivitas berkembang, aktivitas tersebut harus
dihentikan
c) Posisi
Posisi semi-Fowler atau tinggi-Fowler membuat bernafas
lebih mudah. Dalam posisi tegak, paru-paru dapat
mengembang lebih penuh dan gravitasi menurunkan
jumlah cairan yang dikembalikan ke jantung, sehingga
mengurangi beban kerja jantung.
d) Retensi Cairan
Pemantauan bobot harian untuk penambahan berat badan
penting dalam mendeteksi retensi cairan. Edema biasanya
tidak diamati sampai ada 5 hingga 10 pon cairan
tambahan. Berat dasar harus diperoleh saat gagal jantung
didiagnosis. Bobot harian harus diukur pada skala yang
sama, pada waktu yang sama, dan dengan jenis pakaian
yang sama untuk memastikan akurasi. Waktu yang tepat
untuk mendapatkan berat badan harian adalah di pagi hari
setelah kandung kemih dikosongkan. Dokumentasi bobot
harian harus mencakup tanggal dan waktu berat, skala
yang digunakan, pakaian yang dikenakan, dan pengukuran
berat. Jurnal berat dapat disimpan oleh pasien. Beri tahu
pasien untuk melaporkan kenaikan berat badan 2 ke 3 lb
lebih dari 1 hingga 2 hari.
e) Konsumsi Oksigen
Peningkatan konsumsi oksigen oleh jantung harus
dihindari. Takikardia meningkatkan kebutuhan oksigen
jantung dan harus segera dilaporkan ke dokter untuk
perawatan. Pasien yang lebih tua sangat rentan terhadap
efek takikardia karena cadangannya menurun. Konstipasi
harus dicegah karena mengejan saat buang air besar,
manuver Valsalva, meningkatkan beban kerja jantung
dengan meningkatkan aliran balik vena ke jantung.
Pelunak tinja harus diberikan, seperti diperintahkan, untuk
mencegah tegang. Pasien harus diajarkan metode
penghematan energi saat melakukan kegiatan sehari-hari
(ADL). Aktivitas harus diselingi dengan periode istirahat.
Kelelahan harus dihindari. Rujukan ke terapi okupasi dan
terapi fisik dapat membantu dalam mengembangkan
teknik yang memungkinkan pasien menghemat energi
selama perawatan diri. Beberapa saran untuk menghemat
energi termasuk menempatkan benda-benda yang sering
digunakan pada tingkat pinggang untuk menghindari
mencapai overhead, merencanakan kegiatan mandi untuk
memasukkan waktu istirahat, dan menggunakan
pengencang Velcro untuk membuat berpakaian lebih
mudah.
f) Obat
Karena gagal jantung adalah kondisi kronis progresif,
pasien mungkin memerlukan obat seumur hidup. Terapi
obat kombinasi sering dibutuhkan. Minum banyak pil
setiap hari bisa jadi hal yang menantang. Sumber daya
keuangan, kepatuhan, dan pemantauan yang berkelanjutan
adalah masalah yang harus dipertimbangkan. Diuretik
membutuhkan pemantauan kadar kalium dan tekanan
darah pasien. Untuk mencegah hipokalemia, suplemen
kalium dapat diresepkan selama terapi diuretik, dan diet
dengan makanan kalium tinggi dianjurkan. Jika terlalu
banyak cairan dikeluarkan, pasien mungkin menjadi
hipotensi dan hipotensi ortostatik dapat berkembang.
Pasien kemudian mungkin pusing dan berisiko jatuh.
Perhatian pasien untuk mengubah posisi secara perlahan
untuk mencegah jatuh selama terapi diuretik.
BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN SISTEM


KARDIOVASKULER “ HEARTH FAILURE”

A. Pengkajian keperawatan
1. Anamnesis
Anamnesis terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit keluarga. Dari
anamnesis akan didapatkan keluhan utama dan perjalanan penyakit,
serta faktor-faktor lain yang sering membantu tegaknya diagnosis
(Gray, Dawkins, Morgan, & Simpson, 2002).
a. Identitas Pasien
Identitas pasien meliputi nama, tanggal lahir, umur, suku, agama,
alamat, pendidikan, dan pekerjaan
b. Keluhan utama
Sesak nafas memberat sejak 2 hari terakhir
c. Keluhan yang sering muncul menurut (Udjianti, 2013) :
1) Dada terasa berat
2) Berdebar-debar atau palpitasi
3) Paroxysmal Noctural Dyspnea (PND) atau Ortopneu, sesak
napas saat beraktivitas, batuk, hemoptu, tidur harus pakai
bantal lebih dari dua, tidak nafsu makan, mual dan muntah
4) Letargi (kelesuan) atau fatigue(kelelahan)
5) Insomnia
6) Kaki bengkak dan berat badan bertambah
7) Jumlah urine menurun
8) Serangan timbul mendadak atau sering kambuh
d. Riwayat penyakit sekarang
Hipertensi renal, angina, infarkmiokar kronis, diabetes melitus,
bedah jantung dan disritmia (Udjianti, 2013).
1) Ada tidaknya batuk ? sejak kapan , intensitasnya bagaimana,
batuk terus menerus atau hanya sesaat, apakah batu produktif
atau nonproduktif ?
2) Ada hemoptosis atau tidak ?
3) Ada tidaknya nyeri dada ? sejak kapan ? saat beristirahat atau
beraktivitas ? seperti tertekan atau tidak ? menjalar ketempat
lain atau tidak ? berapa lama rasa nyerinya ?
4) Ada tidaknya keringat dingin ? ada tidaknya mual dan muntah
? ada demam atau tidak ?
5) Adakah rasa letih, pembekakan di tungkai ?
e. Riwayat Diet
Mengkaji jumlah intake gula, garam, lemak, kafein, cairan,
alkohol
f. Riwayat pengobatan
Apakah ada toleransi terhadap pengobatan, penekanan fungsi
jantung, streoid, jumlah cairan per IV, alergi terhadap obat-obatan
tertentu.
g. Riwayat Penyakit Dahulu
1) Adakah riwayat sesak nafas sebelumnya ?
2) Adakah riwayat kencing manis? Sudah berapa lama?
kondisinya penyakit stabil atau semakin buruk? gula darah
terakhir periksa berapa dan kapan? Minum obat apa? Teratur
atau tidak?
3) Ada hipertensi? Sudah berapa lama? stabil atau semakin
buruk? tekanan darah berapa dan kapan terakhir? Minum obat
apa? Teratur atau tidak?
4) Riwayat penyakit parah sampai masuk RS? Jantung koroner,
kapan? Sudah diobati? Kondisi membaik, stabil atau
memburuk?
5) Menanyakan riwayat minum obat sebelumnya ? obat apa ?
hasilnya bagaimana membaik atau tidak ada perubahan ?
6) Apakah pernah menjalani operasi ?
7) Ada tidaknya alergi ?
h. Riwayat pribadi
1) Apakah merokok atau tidak ?
2) Peminum alkohol atau tidak ?
3) Sering melakukan olahraga atau tidak ?
4) Bagaimana pola makannya, apakah suka memakan daging,
santan, makanan yang digoreng ?
i. Riwayat Penyakit Keluarga
1) Apakah ada dalam keluarga yang merokok ?
2) Apakah ada dalam keluarga yang menderita penyakit kencing
manis, stroke, darah tinggi ?
3) Apakah ada dalam keluarga yang mengalami serangan jantung
di usia muda, peningkatan kadar koleterol ?
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum dan tanda vital
Pada gagal jantung ringan atau sedang, pasien tampak tidak
memiliki keluhan, kecuali merasa tidak nyaman saat berbaring datar
selama lebih dari beberapa menit. Pada pasien dengan gagal jantung
yang lebih berat, pasien bisa memilliki upaya nafas yang berat dan bisa
kesulitn untuk menyelesaikan kata-kata akibat sesak (Gray et al.,
2002).
Tekanan darah sistolik bisa normal atau tinggi, tapi pada umumnya
berkurang pada gagal jantung lanjut karena fungsi nodus AV yang
sangat menurun. Tekana nadi bisa berkurang, dikarenakan stroke
volume, dan tekanan diastolik arteri bisa meningkat sebagai akibat
vasokonstriksi sistemik (Gray et al., 2002).
1) Pemeriksaan vena jugularis dan leher
Pemeriksaan vena jugulari memberikan perkiraan tekanan pada
atrium kanan, dan secara tidak langsung tekanan pada atrium kiri.
Pemeriksaan tekanan vena jugularis dinilai terbaik saat pasien tidur
dengan kepala diangkat dengan sudut 45 o. Tekanan vena jugularis
dihitung dengan satuam cm H2O (normalnya < 4cm H2O). Pada
tahap awal gagal jantung, tekanan vena jugularis bisa normal saat
istirahat, tapi dapat secara abnormal menigkat saat diberikan
tekanan yang cukup lama pada abdomen (Gray et al., 2002).
2) Pemeriksaan paru
Pulmonary crackles (ronkhi atau krepitasi) dihasilkan oleh
transudasi cairan dari rongga intravaskular kedalam alveoli. Pada
pasien dengan edema paru, ronkhi dapat didengar pada kedua
lapang paru dan dapat disertai dengan wheezing ekspiratoar (asma
kardiale). Jika ditemukan pada pasien tanpa penyakit paru, ronkhi
spesifik untuk gagal jantung. Walau demikian harus ditekankan
bahwa ronkhi seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan gagal
jantung kronik, bahakan ketika pulmonary capilary wedge
pressure kurang dari 20 mmHg, hal ini karena pasien sudah
beradaptasi dan drainase sistem limfatik cairan rongga alveolar
sudah meningkat (Gray et al., 2002).
Efusi pleura timbul sebagai akibat meningkatnya tekanan
sistem kapiler pleura hasilnya adalah transudasi cairan kedalam
rongga pleura. Karena vena pada pleura bermuara pada vena
sistemik dan pulmoner, effusi pleura paling sering terjadi pada
kegagalan kedua ventrikel (biventricular failure) (Gray et al.,
2002).
3) Pemeriksaan jantung
Pemeriksaan jantung, walau penting, sering sekali tidak
dapat memberikan informasi yang berguna mengenai beratnya
gagal jantung. Jika terdapat kardiomegali, ictus cordis biasanya
tergeser kebawah ICS ke V dan kelateral line midclavicularis.
Hipertrofi ventrikel kiri yang berat mengakibatkan pulsasi
prekordial teraba lebih kuat angkat. Pemeriksaan pulsasi prekordial
ini tidak cukup untuk mengevaluasi beratnya disfungsi ventrikel
kiri (Gray et al., 2002).
Pada beberapa pasien, bunyi janutng ketiga dapat didengar
dan teraba pada apex. Pada pasien dengan ventrikel kanan yang
besar dan mengalami hipertrofi dapat memiliki impuls yang kuat
dan lama sepanjang sistol pada parasternal kiri. Gallop umumnya
ditemukan pada pasien dengan volume overload yang mengalami
takikardi dan takipnue dan seringkali menunjukan kompensasi
hemodinami yang berat. Bunyi jantung keempat bukan indikator
spesifik pada ggal jantung, tapi biasanya ada pada pasien dengan
disfungsi diastolik. Murmur refurgitasi mitral dan trikuspid
umumnya ditemukan pada pasien dengan gagal jantung yang lanjut
(Gray et al., 2002).
4) Pemeriksaan abdomen dan ekstremitas
Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umu
pada pasien dengan gagal jantung. Jika memang ada, hati yang
membesar sering teraba lunak dan dapat berpulsasi saat sistol jika
terdapat regurgutasi katup trikuspid. Asites dapat timbul sebagai
akibat transudasi karena tingginya tekanan pada vena hepatik dan
sistem vena yang berfungsi dalam drainase peritenium (Gray et al.,
2002).
Jaundice dapat ditemukan dan merupakan tanda gagal
jantung stgadium lanjut, biasanya kadar bilirubin direk dan indirek
meningkat. Ikterik pada gagal jantung diakibatkan terganggunya
fungsi hepar sekunder akibat kongesti hepar dan hipoksia
hepatoseluler (Gray et al., 2002).
Edema perifer adalah manisfestasi kardinal gagal jantung,
hal ini walau demikian tidaklah spesifik dan biasanya tidak
terdapat pada pasien yang telah mendapat diuretik. Edema perifer
pada pasien gagal jantung biasanya simetris, beratnya tergantung
pada gagal jantung yang terjadi, dan paling sering terjadi
dipergelangan kaki dan daerah pretibial pada pasin yang masih bisa
beraktivitas. Pada pasien tirah baring, edema dapat ditemukan pada
sacrum dan skrotum (Gray et al., 2002).
5) Kaheksia kardiak
Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat ditemukan riwayat
penurunan berat badan dan kaheksia. Walau mekanisme kaheksia
tidak sepenuhnya dimengerti, kemungkinan besar factor
penyebabnya banyak termasuk didalamnya adalah meningkatnya
basal metabolik rate, anorexia, nausea dan muntah-muntah yang
diakibatkan oleh hepatomegali dan rasa penuh diabdomen,
menigkatnya konsentrasi sitokin proinflamasi yang bersirkulasi dan
terganggunya absorpsi pada saluran cerna akibat kongesti vena
intestinal. Jika terdapat kaheksia maka prognosis gagal jantung
akan semakin memburuk (Gray et al., 2002).

B. Diagnosa Keperawatan (Black & Hawks, 2014)


1) Penurunan curah jantung b/d gagal jantung atau disritmia
2) Kelebihan volume cairan b/d retensi air serta natrium
3) Ganguan pertukaran gas b/d adanya cairan dialveoli
4) Risiko intoleransi aktivitas
5) Risiko gangguan intergritas kulit
6) Risiko kecemasan
C. INTERVENSI KEPERAWATAN (Black & Hawks, 2014)
Diagnosa NOC (Moorhead, NIC Rasional
No Keperawatan Johnson, Maas, &
Swanson, 2013)
Efektifitas pompa Pementauan & monitor Hipotensi dapat megindikasikan penurunan curah
jantung dimana TTV jantung dan dapat menyebabkan penurunan
kecukupan volume 1. Kaji tekanan darah untuk perfusi arteri koroner. Hipertensi dapat
darah yang mengetahui hipotensi atau disebabkan vasokontriksi kronis dan dapat
dipompahkan dari hipertensi & kecepatan mengindikasikan ketakutan atau kecemasan dan
vventrikel kiri dapat pernapasan per jam atau peningkatan prnapasan dapat mengindikasikan
mendukung perfusi tergantung kondisi pasien. keletihan atau peningkatan kongesti pulmonal.
sistemik dengan
skala target outcome 2. Kaji denyut jantung dan Takikardia dapat meningkatkan kebutuhan
Penurunan curah dipertahankan pada 3 iramanya setiap jam atau oksigen dan miokardium dan dapat menjadi suatu
jantung b/d gagal (dengan nilai deviasi secara kontinue, amati mekanisme kompensasi terkait dgn penurunan
1.
jantung atau sedang dari kisaran adanya disritmia. keluaran jantung. Pembesaran venrtikel
disritmia normal) ditingkatkan menurunkan konduksi implus jantung dan dapat
ke 5(tidak ada deviasi menyebabkan terjadinya disritmia , selanjutnya
dari kisaran normal) disritmia dapat melemahkan curah jantung dan
mengurangi waktu pengisian ventrikel dan
kontraktilitas miokarddengan meningkatkan
kebutuhan oksigen miokardium.
3. Auskultasi denyut jantung Waktu pengisian yang terlambat , ejeksi yang
tiap 2 jam amati adanya tidak sempurnadan perubahan struktural di dalam
suara jantung tambahan jantung dapat dari kelebihan caran dapat
seperti s3 atau s4. menyebabkan suara jantung abnormaljika
terdeteksi bunyi jantun s3 dapat mengindikasikan
ventrikek yang kaku atau nonkomplain dan s4
dapat mengindikasikan ventrikel yang mengalami
distensi berlebihan atau lemah.

4. Monitor suara paru setiap 2 Peningkatan tekanan intraventricular di


jam untuk mengetahui transmisikan kembali ke sirkulasi pulmonal
adanya ronchi dan amati meningkatakan tekanan hidrostatik kapiler
adanya batuk pulmonal dan melebihi tekanan onkotik cairan
yang bergerak diiidalam septum intralveolar;
yang di tandai dengan hasil auskultasi
menunjukan ronchi , bradipnoe, dan adanya
produksi sputum. Batuk dapat diakibatkan oleh
peningkatan cairan diparu atau akibat obat
inhibitor ACE.
Perawatan jantung akut

5. Dokumentasikan irama Distritmia yang sering terjadi adalah distritmia


jantung setiap 8 jam dan kontraksi prematur atrium, kontraksi prematur
jika terjadi disritmia. Ukur ventrikel dan takikardia paroksimal arterial.
dan catat denyut jantung, Perubahan pada segmen ST dapat mengindikasi
tiap interval QRS,PR, QT iskemia miocardium , yg dpt terjadi krn
& ST. Catat adanya deviasi penurunan perfusu arteri koroner.
dari kondisi semula.
6. Laporkan disritmia kepada Distrimia dapat mengurangi curah jantung
dokter atau ikuti protokol perhatian tambahan harus diberikan pada
untuk tindakan emergency. disritmia ventrikuler karena dapat meningkatkan
kemungkinan kematian mendadak.

7. Monitor hasil laboratorium Nilai laboratorium dapat mengindikasikan infark


untuk mengetahu nilai miokard, gagal jantung berat, gagal ginjal, gagal
isoenzim,peptida atrial, hati,penyakit tiroid dapat mencetuskan gagal
CK,LDH,AST,BUN,kreati jantung.
nin, uji fungsi hati, fungsi
tiroid, profil lipid.

8. Monitor asupan dan Jika asupan lebih banyak dari keluaran, klien
keluaran dan analisis beresiko kelebihan cairan dan tidak
temuan tiap 8 jam dan jika mengeksreikan caoran karena dekompensasi
diperlukan amati warna jantun. Urin gelap dan pekat dan oliguria
dan jumlah urine tiap 2 menunjukan penurunan perfusi ginjal. Diuresis
jam. diharapkan diharapkan terjadi pada pasien yang
mendapatkan terapi diuretik.

9. Kaji perubahan status Perubahan status mental dapat mengindikasikan


mental. penurtunan [erfusi cerebri atau hipoksia.

10. Kaji pulsasi perifer, Penurunan kekuatan denyut perifer sering


qamati kekuatan, kualitas ditemukan pada klien dengan penutunan curah
dan amati adanay pulpus jantungdan penurunan lanjutan pada denyut nadi
alternans. dan dapat ditentukan anaya gagal jantung yang
berat. Pulsus alternans dapat di deteksi dengan
11. Berikan obat sesuai mengindikasikan gagal jantung berat.
dengan yang telah
diresepkan dan evaluasi
efek yang diinginkan

Kewaspadaan terhadap
jantung

12. Dorong pasien untuk


istirahat secara fisik dan
mental Peningkatan kelelahan mantal dan fisik dapat
meningkatkan kebutuhan oksigen miokard.
13. Hindari pemberian
tindakan melaui anus (
ukur suhu, enema, Stimulasi pada recktum menyebabkan respon
suposutoria, atau RT). valsava manuver yabg dapat memicu bradikardi.

14. Dorong pasien untuk


makan dalam porsi kecil Makan porsi besar dapat meningkatkan beban
dan beristirahat setelah miokardium yang dpt menyebabkan stimulasi
makan vagal, yg akan menyebabkan bradikardia.

2 Kelebihan volume Dapat Pemantauan Cairan Berat badan adalah indikator sensitif
cairan b/d retensi mempertahankan
air serta natrium keseimbangan cairan 1. Monitor asupan dan
didalam ruang keluarahn setiap 4 jam.
intrasesluler dan
ekstraseluler tubuh keseimbangan cairan dan peningkatan berat
dengan skala tarhet 2. Timbang berat badan klien badan mengindikasikan kelebihan volume cairan.
outcome 3(cukup setiap hari dan bandingkan
terganggu) di dengan berat badan
tingkatkan ke 5(tidak sebelumnya.
terganggu)
3. Auskultasi suara napas Jika tekanan hidrostatik kapiler pulmonal
tiap 2 jam dan jika perlu melebihi tekanan onkotik, cairan bergerak dalam
amati adanya ronchi dan intra alveolar dan di tandai dengan suara ronchi
monitor produksi sputum pada auskultasi. Sputum berbusa berwarna merah
berbusa. merupakan indikasi terjadi odem paru

4. Kaji edema perifer. Jgn Gagal jantung menyebabkan kongesti vena yang
mengangkat tungkai jika menyebabkan peningkatan kapiler jika tekanan
klien sesak. hidrostatik melebihi tekanan interstisiel maka
cairan akan bocor keluar dari kapiler dan
mengakibatkan odem tungkai, sakrumdan
skrotum. Angkat tungkai meningkatkan aliran
5. Kaji distensi vena balik vena ke jantung.
jugularis , hepatomegali
dan nyeri abdomen
Peningkatan volume pada vena cava terjadi
akibat pengosongan atrium kanan yg tdk
adekuat.kelebihan cairan ini akan di transmisikan
ke vena jugularis, hati dan abdomen dapat di
Manajemen hipervolemia amati distensi abdomen.

6. Ikuti pembatasan cairan


atau diet rendah natrium
Penurunan tekanan darah sistemik dapat
menyebabkan stimulasi aldosteron yang akan
menyebabkan peningkatan absorbsi natrium di
tubulus ginjal . diet rendah natrium dapat
membantu mencegah pengkatan retensi natrium.
Pembatasan cairan dapat digunakan menurangi
asupan cairan selanjkan mengurangi kelebihan
volume cairan.

7. Berikan terapi diuretik Dieuretik sering diresepkan untuk meningkatkan


sesuai advis dokter dan diuresis cairan yang terakumulasi. Perawat
evaluasi efektifitas sebaiknya menemukan peningkatan keluaran
terapi.kososngkan kateter urine, perbaikan pernapasan dan penurunan berat
sebelm pemberian terapi badan setelah klien mendapatkan terapi diuretik.
diuretikuntuk mencatat
volume urin yang
dikeluarkan.

Pemeliharaan kesehatan
oral

8. Dorong dan berikan Klien merasakan haus karena tubuh merasakan


perawatan mulut tiap 2 dehidrasi. Perawatan mulit dapat mengurangi
jam sensasi tanpa meningkatkan asupan
3 Gangguan Kemampuan Pemantauan TTV
pertukaran gas b/d pertukaran
adanya cairan karbondioksida dan 1. Auskultasi suara nafas Auskultasi untuk mengidentifikasi adanya ronchi
dialveoli oksigen dialveoli setiap 2 jam. yang menandakan adanya kongesti pulmonal.
untuk
mempertahankan 2. Kaji laju pernapasan dan Peningkatan laju pernapasan mengindikasikan
konsentrasi dara irama pernapasan satiap 2 oksigenasi yg terganggu dan penurunan laju
arteri dengan skala jam jika perlu. pernapasan dapat menginndikasikan ancaman
target yang gagal napas.
dipertahankan pada
3(devisiansi sedang 3. Monitor pulse/denyut Saturasi oksigen yg rendah menandakan
dari kisaran normal)k oksimetri. Gerakan probe hipoksia.
ditingkatkan ke 5 untuk meyakinkan kontak
(tidak ada devisiansi dengan kulit atau telinga.
dari kisaran normal)
Peningkatan batuk

4. Dorong klien untuk Membantu memperlancar oksigenasi dan


mengubah posisi, batuk memebersihkan jalan napas.
dan bernafas dalam dan
mengunkan spirometri
setiap 2 jam

Pemantauan pernapasan

5. Kaji sianosis tiap 4 jam Sianosis adalah tanda lanjut dari oksigenasi yang
jika perlu buruk.

Manajemen jalan nafas


6. Posisikan klien untuk Posisi fowler dan penenpatan klien pada posisi
pernapasan yg adekuat orthopnoe /tegak lurus dapat menfasilitasi
dan amati adanya dispnea pergerakan diagfragma. Dispnea nokturna
nokturnal atau paroksimal. paroksimal dapat terjadi pada pasien yg berbaring
terlentan, aliran balik vena ke jantung bertambah
, hal ini kan meningkatkan perload dan akan
meningkatkan tekanan hidrostatik kapiler
pumlonal dan dapat menyebabkan edema paru.

Terapi oksigen

7. Berikan okseigen sesuai Akan meprbaiki oksigenasi dengan


advis dokter. Monitor meningkatkan jumlah oksigen yang tersedia
kondisi mukosa nasal untuk di hantarkan. Pemberian oksigen yg tdk
terhadap cedera akibat mengalami humudifikasi dapat menyebabkan
kekeringan mukosa nasal kering bahkan cedera.

Manajemen asam basah

8. Lakukan pemeriksaan AGD dapat menentukan pasien mengalami


AGD jika di indikasikan hipoksia, asidodis atau keduanya.
Manajemen hipervolemia

9. Berikan diuretik sesuai Diuretik menigkatkan kehilangam cairan di


advis dan pantau dalam alveoli
keefektifannya.

4 Risiko intoleransi Mempertahankan Monitor TTV


aktivitas respon fisiologi
terhadap pergerakan 1. Monitor respon klien Dispnea, takikardia,angina dan diaforesis serta
yang memerlukan terhadap aktivital kaji ttv hipotensi menandakan ada aktivitas tersebut
energi dalam sebelm dan sesudah meningkatkan meningkatkan kebutuhan
melakukan aktivitas aktivitas miokardium lebih banyak daripada yang
sehari-hari dengan disediakanoleh jantung. Waktu yg diperlukan
skala target yang untuk TTV kembali ke tingkat semula
dipertahankan pada mengindikasikan derajat penurunan fungsinal
3(cukup terganggu) jantung.
dan ditingkatkan ke
5(tidak terganggu) Manajemen energi

2. Beri jarak pada saat Pengelompokan aktivitas meningkatkan


memberikan tindakan atau kebutuhan miokardium dan dapat menyebabkan
aktivitas. keletihan ekstrim.

Periode istirahat membantu menghilangkan


3. Jadwaljan periode istirahat kelelahan dan penurunan beban kerja jantung.

Promosi latihan ambulasi

4. Tingkatkan aktivitas Aktivitas fisik yang meningkatkan secara


sesuai advis dokter atau bertahap dan teapat dapat membantu klien
arahan dari bagian mendapatkan kondisi jantung yang optimal dan
rehabilitasi. memeprbaiki toleransi aktivitas.

Konseling

5. Ajarkan klien untuk Aktivitas seperti naik tangga, bekerja dengan


menghindari aktivitas lengan di atas kepala
yang meningkatkan beban
jantung

5 Risiko gangguan Mempertahankan Pencegahan Decubitus


intergritas kulit keutuhan struktur dan
funsi fisiologi kulit 1. Posisikan ulang klien tiap Mengubah posisi lebih sering mengurangi
dan selaput lendir 2 jam jika pasien dpt pembentukan ulkus karena tekanan dengan
secara normal dengan bergerak sendiri. Geser mengurangi jumlah waktu paparan tekanan pada
skala darget yang di sisi ke sisi tiap 2 jam jika daerah tertentu.
pertahankan pada 3( klien dapat bergerak
cukup terganggu) di sendiri.
tingkatkan ke 5 (tidak
mengalami 2. Bersihkan kasur atau Matras dan kasur yang dapat mendistribusikan
gangguan) matras terapeutik jika tekanan dapat mengurangi tekanan pada sakrum
klien berada di tempat jika klien duduk di tempat tidur.
tidur.

3. Kaji kulit terutama Kemerahan menandakan[enigkatan tekanan pada


penonjolan tulang, kaji suatu daerah yang merupakan suatu tanda
adanya pertama luka pada kulit. Daerah yang beresiko
kemerahan.inspeksi juga antara lain sakrum, kogsigi, tumit, siku dan
pada lipatan kulit pasien bagain belakang kepala.
yang obesitas.

4. Bantu klien untuk Klien dapat mengalami kesulitan dalam


perawatan pada pagi hari perawatan diri sendiri oleh sebabitu perawat
dan bantu lumasi kulit harus memastikan kulit bersih dan memilki
kelembaban yang pas untuk mencegah kuit
pecah-pecah.

Survailens kulit Prominensia posterior pada tumit sangat berisiko


5. Angkat tumit dari tempat mengalami cedera pada klien dengan posisi
tidur jika klien mengalami fowler.
gerakan spontan halus
pada tungkai.
6 Risiko kecemasan Pengendalian Penurunan kecemasan
kecemasan dengan
manifestasi klien 1. Berikan lingkungan yang Lingkungan yang tenag mengurangi kecemasan
tidak mengalami tenang.
kecemasan dan dapat
mengekpresikan
kekhawatirannya 2. Dorong klien untuk Dengan mendorong klien bertanya maka perawat
bertanya. telah mebuka forum diskusi terbuka dgn klien
3. Berikan dukungan Dengan menfasilitasi klien dan keluarga
emosional pada klien dan menjelaskan tantang rasa takut dan
orang lain yang penting kecemasannya maka perawat telahmembantu
menguragi kecemasannya.

Bimbingan antisipasi

4. Jelakan tentang prosedur Dengan informasi yang lengkap , klien tdk


dan regimen terapeutik merasa cemas mengenai perawatan rutin yang
yang akan dilakukan dilakukan.
terlebih dahulu.

Peningkatan koping

5. Dorong klien mengunakan Suport sistem tambahan seperti pemimpin agama,


sistem dukungan pekrja sosial, konselor, perawatklinis
tambahan. spesialisdapat meningkatkan sistim dukungan
klien dan mengurangi kecemasan.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Insiden gagal jantung meningkat ketika populasi orang dewasa


yang lebih tua dan tingkat kelangsungan hidup pasien meningkat. Menurut
American Heart Association. Dimna kerja jantung dibagi menjadi dua
sistem pemompaan yang terpisah. Sisi kanan jantung membentuk satu
pompa. Sisi kiri jantung membentuk pompa lainnya.

Mekanisme fisiologis dasar jantung yang sangat berpengaruh


terhadap kejadian gagal jantung, seperti stroke volume/SV (isi sekuncup)
adalah jumlah darah yang dipompakan oleh ventrikel setiap kali kontraksi;
cardiac output/CO (curah jantung) adalah jumlah darah yang dipompakan
oleh ventrikel setiap menit; heart rate/HR (laju jantung), preload (beban
awal), menggambarkan tekanan miokardium pada fase akhir diastolik atau
sesaat sebelum kontraksi ventrikel

Fungsi jantung yang tepat mengharuskan setiap ventrikel


memompa jumlah darah yang sama sepanjang waktu. Ventrikel adalah
area sistem pemompaan jantung yang umumnya gagal. Dari dua ventrikel,
ventrikel kiri biasanya yang melemah terlebih dahulu karena memiliki
beban kerja terbesar. Sisi kanan dan kiri sistem pemompaan jantung
bekerja bersama dalam sistem tertutup untuk terus memajukan darah,
sehingga kegagalan di satu sisi akhirnya menyebabkan kegagalan di sisi
lain. Dimna dapat menyebabkan gagal jantung sisi kiri dan gagal jantung
sisi kanan.

B. Saran

a) Diharapkan kepada tenaga perawat mampu untuk menegakkan


pemberian asuhan keperawatan menggunakan pendekatan 5 proses
keperawatan untuk mengkajian, menetapkan masalah, merencanakan
dan menerapkan rencana asuhan keperawatan, dan evaluasi.
b) Perawat membutuhkan kemampuan interpersonal dan keterampilan dan
pengalaman klinis dalam tatanan pelayanan keperawatan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan asuhan keperawatan diantaranya pada
kasus-kasus gangguan kardiovaskuler seperti Gagal Jantung.

No EBN Judul Jurnal

1 Pemberian Tindakan deep breathing Deep breathing exercise dan


exercise sebanyak 30 kali dilanjut active range of motion efektif
dengan active range of motion masing – Menurunkan dyspnea pada pasien
masing gerakan 5 kali. Intervensi
sebanyak 3 kali sehari selama 3 hari. congestive heart failure

Analisis dengan Mann Withney


menunjukkan hasil intervensi deep NurseLine Journal
breathing exercise dan active range of Vol. 2 No. 2 Nopember 2017 p-
motion lebih efektif daripada intervensi
standar rumah sakit atau semi fowler ISSN 2540-7937 e-ISSN 2541-
dalam menurunkan dyspnea (p=0,004,
alfa=0,05). Peneliti merekomendasikan
464X
penerapan deep breathing exercise dan
active range of motion sebagai bentuk
pilihan intervensi dalam fase inpatient
untuk mengurangi dyspnea pada pasien
CHF.
DAFTAR PUSTAKA

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Manajemen


Klinis untuk Hasil yang Diharapkan. (A. Susila, F. Ganiajri, L. P. Puji, & R.
W. A. Sari, Eds.) (Edisi 8). Salemba Medika.

Brown, J., Mazel, J., Myerson, S., Choudhury, R., & Mitchell, A. (2011).
Cardiology Emergencies. OUP USA: Oxford University Press, Inc.

Gray, H., Dawkins, K., Morgan, J., & Simpson, I. (2002). Lecture notes
kardiologi (Edisi IV). Jakarta: Erlangga.

Kabo, P. (2010). Bagaimana menggunakan obat-obat kardiovaskular secara


rasional (1st ed.). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Mariyono, H., & Santoso, A. (2007). Gagal jantung. Journal Penyakit Dalam,
8(3), 85–94.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing
Outcomes Classification (NOC) (5th editio). Elsevier Inc.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiologi Indonesia. (2015). Pedoman


Tatalaksana Gagal Jantung.

Price, Sylvia Anderson, Lorraine McCarty Wilson, and S. P. (2005).


Pathophysiology: clinical concepts of disease processes (6th ed.). Mosby:
Elsevier.

Rampengan, S. H. (2014). Buku Praktis Kardiologi. (C. T. Cahyono, Ed.).


Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Scott, M. C., & Winters, M. E. (2015). Congestive Heart Failure. Emergency


Medicine Clinics of North America.
https://doi.org/10.1016/j.emc.2015.04.006

Udjianti, W. J. (2013). Keperawatan Kardiovaskuler (III). Jakarta: Salemba


Medika.

Williams, Linda S, Bradford, J. L. (2007). UNDERSTANDING THE


CARDIOVASCULAR.

Yancy, C. W., Jessup, M., Bozkurt, B., Butler, J., Casey, D. E., Drazner, M. H.,
… Wilkoff, B. L. (2013). 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management
of Heart Failure. Journal of the American College of Cardiology.
https://doi.org/10.1016/j.jacc.2013.05.019

Anda mungkin juga menyukai