Anda di halaman 1dari 5

Definisi perdagangan online :

Melakukan aktifitas penjualan dari mencari calon pembeli, menawarkan produk atau barang sampai
pembelian barang atau produk dengan memanfaatkan jaringan internet yang didukung dengan
seperangkat alat elektronik sebagai penghubung dengan jaringan internet.

Definisi Tataniaga :

Pemasaran atau distribusi yaitu kegiatan ekonomi yang berfungsi menyampaikan barang dari
produsen ke konsumen. Disebut tataniaga karena niaga berarti dagang sehingga tataniaga
mempunyai arti pula segala sesuatu yang menyangkut aturan media dalam perdagangan barang-
barang.

Tataniaga Konvensional = Perdagangan Umum

Kontra :

Kami tidak menyetujui pernyataan bahwa perdagangan On-Line merusak tataniaga konvensional
karena menurut kami adanya perdagangan On-Line justru dapat membantu meningkatkan
pendapatan negara. Pendapatan negara akan semakin berkembang karena adanya pajak yang
diberlakukan untuk perdagangan tersebut. Pendapatan negara pun dari tahun ke tahun semakin
meningkat, karena sudah mulai banyak usahawan yang memasarkan produknya lewat online.
Dengan adanya perdagangan online ini juga dapat menyerap tenaga kerja serta mengurangi
pengangguran yang ada di Indonesia. Selain menambah pendapatan negara dan mengurangi
pengangguran perdagangan online masih memiliki manfaat yang lain seperti :

 Dapat berbelanja tanpa meninggalkan rumah


 Harga yang ditawarkan pada perdagangan online lebih murah karena banyak memberikan
potongan-potongan harga
 Dapat memilih barang tanpa perlu lelah untuk berkeliling toko mencari barang yang sesuai
 Barang yang telah dibeli dapat dikirim langsung ke tempat pembeli

Dengan adanya manfaat-manfaat yang terdapat pada perdagangan online tersebut tentu
masyarakat akan semakin tertarik untuk masuk ke dalam perdagangan online dan membeli barang
yang ditawarkan. Semakain banyak masyarakat yang tertarik untuk menjadi konsumen, maka
pendapatan negara akan sedikit demi sedikit bertambah, juga para produsen akan lebih tertantang
dan menjadi kreatif unuk bersaing memasarkan barang secara online karena ramainya konsumen.

Jadi perdagangan On-Line disini tidak merusak tataniaga konvensional melainkan memajukan
kegiatan perdagangan di era modern seperti sekarang ini.

Ada 2 Jenis yang Dipungut dari Bisnis Online

Dalam bisnis online, ada dua jenis pajak yang diberlakukan, yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
pajak penghasilan (PPh). PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak. Penghasilan ini dapat berupa
keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan sebagainya. Sedangkan, PPN adalah pajak yang
dikenakan atas konsumsi barang kena pajak atau jasa kena pajak di Indonesia. Tarif PPN bersifat
tunggal, yakni sebesar 10% yang dibebankan kepada konsumen.
Sebenarnya, selama ini para pengusaha bisnis online sudah membayar pajak. Pasalnya, jika menurut
aturan yang berlaku, orang yang memiliki kegiatan usaha pasti ada objek pajaknya. Namun, sampai
saat ini, para pengusaha bisnis online masih melakukan pembayaran pajak dengan skema self-
assessment, yakni sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak
(WP) untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Jadi, selama ini, pengusaha bisnis online melaporkan jumlah labanya melalui Surat Pemberitahuan
(SPT) Tahunan PPh. Masalahnya, dengan sistem self-assessment ini, masih banyak pengusaha bisnis
online yang tidak mau melapor. Maka dari itu, pemerintah pun menggodok aturan baru terkait pajak
bisnis online ini.

Bukti bahwa penurunan konsumsi di perdagangan konvensional tidak disebabkan akibat pola
belanja online :

Riset AC Nielsen menunjukkan penurunan konsumsi tak disebabkan akibat pola belanja online.
Sebab pangsa pasar perdagangan digital hanya 1%.

(ANTARA FOTO/R. Rekotomo) Ilustrasi gerai retail.

Tak cuma pedagang dan toko retail yang sedang terpukul saat ini. Produsen barang konsumsi atau
kebutuhan konsumen (Fast Moving Consumer Goods / FMCG) juga menderita perlambatan
pertumbuhan penjualan selama sembilan bulan pertama tahun ini. Hal tersebut semakin
mempertegas indikasi melemahnya daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah-bawah,
ketimbang pengaruh tren penjualan secara elektronik (e-commerce).

Berdasarkan data lembaga survei Nielsen, penjualan barang konsumsi selama periode Januari-
September 2017 hanya tumbuh 2,7%. Angka ini melanjutkan tren perlambatan penjualan FMCG
yang tahun lalu tumbuh 7,7%, atau di bawah rata-rata pertumbuhan tahunan penjualannya seSalah
satu indikator yang mencolok adalah momen Hari Raya Idul Fitri, yang lazimnya menjadi masa panen
penjualan barang-barang konsumsi. Namun, pada Lebaran tahun ini, pertumbuhan penjualannya
hanya 5%, atau jauh di bawah pertumbuhan selama periode 2014-2016 yang secara berturut-turut
sebesar 20,6%; 16,3%; 13,4%.

Fenomena lesunya penjualan barang konsumsi juga terlihat merata di seluruh daerah. Di DKI Jakarta,
penjualan FMCG turun 2,3%. Begitu pula di Jawa Timur yang turun 0,1%. Sedangkan penjualan
barang konsumsi di Jawa Barat dan Jawa Tengah masih naik tipis masing-masing 6,1% dan 1,7%.
Padahal, empat provinsi di Pulau Jawa ini menguasai 68% total pasar penjualan barang konsumsi di
seluruh Indonesia.

Pertumbuhan signifikan penjualan barang konsumsi hanya terjadi di tiga wilayah, yang sejalan
dengan menggeliatnya bisnis di tiap wilayah tersebut. Pertama, di Sumatera Selatan tumbuh 8%
karena merupakan daerah penghasil minyak kelapa sawit (CPO).

Kedua, di Kalimantan tumbuh 14,3% karena merupakan daerah penghasil batubara. Ketiga, di Bali
dan Nusa Tenggara tumbuh 7,4% karena sektor pariwisata. (Baca: Debenhams Pergi, Pengelola Ubah
Konsep Senayan City)

Nielsen menyimpulkan, perlambatan penjualan barang konsumsi itu tidak dipengaruhi oleh tren
belanja secara online. Alasannya, penjualan FMCG melalui lapak e-commerce tahun lalu sebesar Rp
1,5 triliun atau 0,3% dari total nilai penjualan barang konsumsi.
Nilai tersebut tidak sebanding dengan penurunan penjualan FMCG yang mencapai Rp 37 triliun,
berdasarkan selisih antara rata-rata pertumbuhan tahunan penjualan FMCG sebesar 11% atau
senilai Rp 49 triliun sedangkan realisasi selama Januari-September 2017 hanya tumbuh 2,7% atau
senilai Rp 12 triliun.

Daya beli masyarakat menengah ke bawah tertekan

Nielsen menjelaskan penyebab penurunan konsumsi barang rumah tangga karena pelemahan daya
beli pada masyarakat menengah ke bawah. Pelemahan daya beli disebabkan turunnya take home
pay dan sebaliknya biaya kebutuhan hidup meningkat.

Penghasilan masyarakat turun karena tak ada kenaikan gaji atau kenaikan yang tak signifikan, juga
berkurangnya tambahan pemasukan dari lembur, ketiadaan komisi atau sumber lainnya. Sementara
biaya hidup dan pengeluaran meningkat seperti tarif listrik, biaya makanan, dan belanja sekolah.

Masyarakat pun berhemat dengan mengerem belanja yang membuat konsumsi mi intan turun 2,7%
dan kopi instan turun 1,5%. Sebaliknya, masyarakat memilih membawa bekal makanan dan
membuat snack sendiri yang terlihat dari peningkatan belanja tepung terigu 28,1%, minyak goreng
(13,4%) dan susu cair (13,8%). Mereka juga memilih produk dalam kemasan kecil (sachet) untuk
mengontrol penggunaannya.

Pengamat Faisal Basri dalam tulisan Transformasi Struktural dan Daya Beli juga memaparkan terjadi
penurunan daya beli pada kelompok 40% termiskin. Nilai tukar petani sejak November 2014 hingga
Agustus 2017 turun dari 102,87 menjadi 101,60. Khusus untuk NTP pangan penurunannya lebih
tajam, dari 102,0 menjadi 98,3. Dia menggaris bawahi, NTP di bawah 100 perlu diwaspadai.

Sementara itu upah riil buruh tani juga merosot 2,49% selama kurun waktu November 2014 hingga
Agustus 2017. Pada kurun waktu yang sama, upah riil buruh bangunan di perkotaan pun mengalami
penurunan sebesar 2,12%.

Di samping itu, Faisal mengatakan ada beberapa indikasi penurunan daya beli telah merembet ke
kelompok 40% berpendapatan menengah, khususnya menengah-bawah dan menengah-tengah. Dia
antaranya akibat pencabutan subsidi listrik untuk pelanggar 900 VA. Jumlah mereka sekitar 19 juta.

"Akibat pencabutan subsidi itu, pengeluaran rerata kelompok ini untuk listrik naik tajam dari Rp
80.000 per bulan menjadi Rp 170.000 per bulan," tutur Faisal.

Pemerintah pun menyadari mengenai pelemahan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah.
Pemerintah akan kembali menyalurkan dana desa pada 2018 sebesar Rp 60 triliun yang akan
dikucurkan ke sekitar 74 ribu desa. Angka ini terus meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya,
yaitu sebesar Rp 47 triliun (2016) dan Rp 21 triliun (2015).

Berbeda dengan penyaluran sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana mengkaitkan
penyaluran dana desa 2018 dengan kewajiban penyerapan tenaga kerja setempat.

Tren konsumsi kelas menengah atas

Berbeda dengan kelompok menengah ke bawah, riset Nielsen menunjukkan masih terjadi
pertumbuhan konsumsi di kelas masyarakat atas sekitar 34%. Masyarakat kelas atas ini
masih mengeluarkan pendapatannya untuk biaya lifestyle seperti biaya makanan di restoran, namun
tetap wait and see.
Penjelasan mengenai kondisi masyarakat kelas menengah atas ini, sinkron dengan analisis Dekan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ari Kuncoro beberapa waktu lalu. Ari menyebut
ada pergeseran konsumsi pada masyarakat kelas menengah atas. Sebagian besar golongan kelas
ekonomi ini cenderung menunda konsumsi barang tahan lama untuk sekadar menikmati waktu
luang.

(Baca: Pemasok Pasar Modern Genjot Distribusi ke Toko Online)

Salah satu indikasi yang dijadikan acuan oleh Ari adalah keingingan masyarakat untuk rekreasi atau
menikmati waktu senggang ke luar kota. Kemacetan yang sering terjadi di sepanjang ruas tol
Jagorawi arah Puncak, Bogor dan tiket kereta api yang terjual habis saat akhir pekan yang panjang
menjadi salah satu parameternya.

“Sekarang bukan zamannya lagi pamer barang baru seperti handphone atau baju baru tetapi orang
lebih suka pamer foto liburan yang langsung bisa di-upload di media sosial mereka,” kata Ari,
beberapa waktu lalu.

Sebenarnya, lanjut Ari, nilai pendapatan bulanan masyarakat kelas menengah tidak mengalami
peningkatan yang berarti. Tapi, untuk menunjukkan aktualisasi kelasnya, masyarakat golongan
menengah ini harus membuat pilihan antara membeli barang elektornik atau melakukan hal lain.
“Dan mereka memilih jalan-jalan,” kata Ari.

Faisal Basri menyatakan masyarakat kelas menengah atas melakukan pengalihan (switching) dari
porsi pendapatan untuk belanja ke tabungan. Pada triwulan II-2016 porsi pendapatan masyarakat
yang ditabung sebesar 18,6%, pada triwulan II-2017 naik menjadi 21,1%.

"Survei Kepercayaan Konsumen oleh Bank Mandiri juga menunjukkan kecenderungan serupa dan
berlanjut. Berdasarkan survei itu, porsi pendapatan masyarakat yang ditabung naik dari 20,6% pada
Juli 2017 menjadi 21,1% pada Agustus 2017," kata Faisal.

Pengalihan ke tabungan tampak pula dari akselerasi kenaikan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan
sejak Oktober 2016. Pada September 2016 pertumbuhan DPK hanya 3,5%. Sebulan kemudian naik
menjadi 6,5%, lalu naik lagi menjadi 8,4% pada November dan 9,6% pada Desember.

Sejak Januari 2017 hingga Juni 2017 pertumbuhan DPK hampir selalu dua digit. Sebaliknya, kredit
yang disalurkan perbankan melemah dan hanya tumbuh satu digit selama 19 bulan terakhir. "Jadi,
dana masyarakat yang mengendap di perbankan mengalami peningkatan," kata dia.

Faisal menyarankan agar pemerintah menyasar kelas menengah atas dengan menggenjot sektor
pariwisata. Dia menyebut, terdapat potensi 78 Juta WNI yang siap untuk berwisata. "Tantangan
pemerintah yang utama bagaimana mengajak warga negara Indonesia sendiri bisa berkunjung dan
berwisata ke wilayah Indonesia sendiri," kata dia.

Reporter: Asep Wijaya

besar 11% selama lebih 10 tahun ini.

Pro :
Kami menyetujui pernyataan bahwa perdagangan On-Line merusak tataniga konvensional karena
pergadangan On-Line yang memiliki dampak buruk bagi tataniaga konvensional.

Dampak tersebut antara lain :

 Ancam pasar tradisional


Adanya perdagangan On-Line dapat mengancam

Anda mungkin juga menyukai