Anda di halaman 1dari 2

Karena Menjadi Guru Adalah Panggilan, Maka Uang Bukanlah Akhir

Tujuan

Aku seorang guru. Kamu pun guru. Setiap orang menjadi guru bagi orang lainnya.
Percayakah kamu tentang hal itu? Aku percaya dan mempercayainya. Guru adalah sebuah
keajaiban yang ada di alam semesta. Bagaimana tidak? Ajaib bukan, setiap ilmu yang
ditularkan akan diikuti penemuan-penemuan lanjutan. Bukankah ajaib bahwa setiap kata
yang keluar dari mulut seorang guru sangatlah manjur. Diyakini kemanjurannya pada diri
seorang siswa jauh lebih hebat dari kata-kata orang tua.

Terselip bangga ketika jadi guru. Bukan tentang seragam yang kami sandang. Sebagian dari
kami hanyalah guru swasta, yang seragam pun apa adanya. Ada haru menyeruak, ketika kami
mendapat pelukan anak-anak. Ada bahagia menyelinap, ketika dahi berkerut mereka
tergantikan sorakan girang saat berhasil memecahkan suatu masalah.

Ini bukan tentang aku saja. Bukan hanya aku yang mengalami. Tapi kamu, kita, dan mereka
semua. Yang mengabdikan diri dengan ikhlas. Yang berkomitmen penuh untuk melayani
anak-anak. Yang menomorsatukan urusan siswa di atas segala kepentingan lainnya. Yang
rela menyisihkan gaji untuk fotokopi. Yang dengan tulus membagi bekal makan siang
padahal kami pun belum sarapan. Yang menghabiskan malam untuk koreksi lembar jawab.
Yang tak lupa menyebut anak-anak dalam setiap sujud.

Ya, inilah kami. Yang disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Adalah kami, yang memang tidak
perlu lencana. Memang kami, yang jarang berunjuk rasa walau upah kami jauh di bawah
standar buruh.

Masih ingatkah pada sosok guru yang menginspirasimu? Karena aku meyakini bahwa dalam
diri setiap orang, pasti ada satu sosok guru yang berkesan.

Mungkin itu tentang gurumu di taman kanak-kanak. Yang terlihat begitu baik bagai ibu peri.
Yang selalu memberimu peluk saat kau menangis sehabis jatuh. Atau tentang gurumu di
kelas 1 SD. Dia yang setiap hari mengajarimu membaca. Dari mengenal huruf sampai
memberimu PR untuk menyalin kalimat yang sama setiap hari. Atau tentang guru kelas 6-mu.
Yang tak bosan melatihmu soal-soal ujian. Yang bagimu sangat membosankan namun
terbukti menolongmu memahami pelajaran?

Di masa remaja, sosok guru sekolah dasar yang berkesan mulai tersamarkan. Saat memakai
seragam putih biru, tidak ada lagi guru kelas. Yang ada adalah wali kelas dan guru mata
pelajaran. Idola baru mulai berseliweran. Ada dia, sang guru bahasa inggris yang siap
memborbardir vocabulary.

Pula ada guru sejarah yang dongeng kepahlawanannya berhasil meninabobokkan seisi kelas.
Rasanya beliau patut diberi gelar pendongeng terhebat. Juga tentang guru matematika killer
yang menunjuk siswa maju dan mengerjakan di depan kelas. Oh, sungguh suatu malapetaka
jika nama kita yang dipanggil untuk mengerjakan soal-soal sulit. Dan yang menyenangkan
tentu guru olahraga dan kesenian. Yang membiarkan kita berlarian atau petak umpet saat
pelajaran olahraga. Yang membebaskan kita untuk menggambar apa saja yang kita mau.

Saat seragam berganti abu-abu, makin berwarnalah hidup kita. Di saat kita bisa memilih
jurusan kelas mana yang kita sukai. Yang memilih masuk kelas IPA karena merupakan kelas
keren. Terpaksa masuk kelas IPS karena kurangnya kemampuan sains. Atau justru melarikan
diri ke kelas bahasa akibat tak suka berhitung dan sains. Kita diberi pilihan, kita bisa
memilih, dan akan menjadi yang terpilih saat mampu memenuhi standar.

Aku pun demikian. Aku mempunyai beragam pilihan untuk menjalani hidupku. Aku memilih
menjadi guru. Karena aku bisa menjadi apa saja saat menjadi guru. Aku menjadi ibu dari
anak-anak yang membutuhkanku di sekolah. Aku menjadi kakak saat mereka mengajakku
main bersama. Aku menjadi pelawak yang memecahkan tawa mereka di sela pelajaran. Aku
menjadi nahkoda yang mengarahkan pembelajaran di kelasku akan menuju ke mana. Aku
menjadi manajer saat membagi tugas per kelompok diskusi kelas.

Aku menjadi event organizer saat salah seorang muridku merayakan ulang tahunnya di kelas.
Aku menjadi editor saat mengoreksi karya tulis siswaku. Aku menjadi seniman saat bersama
anak-anak melukis dan menghias tempat sampah. Aku menjadi penyanyi saat mencontohkan
lagu nasionalisme ketika pelajaran seni musik. Aku menjadi sutradara saat kelasku mendapat
jatah drama sekolah. Bahkan, aku menjadi ilmuwan saat mengajak anak-anak melakukan
percobaan ilmiah. Aku menjadi yang terpilih, saat seleksi alam menyaringku dari kandidat
yang ada.

Menjadi guru adalah panggilan. Yang membutuhkan tekad kuat supaya tidak menyerah di
tengah jalan. Yang harus melapangkan hati menghadapi harga kebutuhan yang merangkak
naik padahal gaji tak pernah naik.

Yang harus menjadi sekreatif mungkin memanfaatkan apa yang ada di alam supaya dapat
dijadikan sumber belajar. Yang merelakan malam-malamnya demi merancang rencana
pembelajaran esok hari. Yang wajib siap menghadapi keluhan dan makian orang tua yang
tidak puas. Yang mesti mau menawarkan rentangan peluk bagi semua anak tanpa terkecuali,
entah mereka sewangi bayi atau tidak.

Menjadi guru adalah panggilan hati. Karena kami tak pernah memikir untung rugi. Karena
uang bukanlah tujuan utama kami mengabdikan diri. Karena kami menomorsatukan
pendidikan di atas urusan pribadi kami sendiri.

Pada akhirnya semua ini kembali pada pilihan hidup. Bagimu yang seperjuangan denganku,
teruslah semangat menikmati hidupmu! Semangat kita akan menular pada semesta,
memotivasi sekitar menjadi lebih peduli pendidikan. Bagimu yang sejalan denganku, jangan
lelah memperbaiki dan meningkatkan kualitas dirimu. Karena cepat atau lambat, kau akan
menjadi sosok yang berkesan bagi anak-anak. Entah bagaimana mereka akan meniru
sebagian dari peringaimu.

Lalu, tanpa kau sadari mereka mendewasa dan menemukan sosok idola lain di dunianya.
Bagimu yang sudah puluhan tahun mendedikasikan hidupmu menjadi pendidik, terima kasih
sudah menginspirasiku. Terima kasih sudah meyakinkan kami bahwa kau tetaplah sejahtera
lahir batin, bahagia dunia akhirat, dan tetap tulus berbagi ilmu tanpa menjadikan uang
sebagai tujuan akhir.

Anda mungkin juga menyukai