Raden Saleh Syarif Bustaman C. 1811-1880 PDF
Raden Saleh Syarif Bustaman C. 1811-1880 PDF
Saya bukan ahli sejarah seni lukis. Fokus utama saya adalah sejarah
sosioekonomi Pulau Jawa pada awal abad ke-19. Jadi, tulisan pendek
ini tidak akan membahas lukisan sang maestro, tetapi lingkup hidupnya
di Semarang pada dasawarsa kedua abad ke-19, waktu ia dibesarkan di
rumah pamannya di Terboyo. Saya akan mengisahkan sedikit mengenai
keluarga Raden Saleh yang luar biasa itu, sebab bagi saya degup jantung
sejarah Pulau Jawa sampai sekarang adalah sejarah kekeluargaan.
Namun, pada awalnya saya ingin membuat sedikit refleksi mengenai
transisi yang amat alot yang dialami Pulau Jawa waktu beralih dari
tatanan lama akhir abad ke-18 menuju dunia kolonial Hindia Belanda
awal abad ke-19. Memang, semua transisi sejarah bersifat rumit—
dalam hal ini, kita bisa ambil contoh transisi yang dialami negara saya,
Inggris, yakni dari orde lama agraris sebelum 1750 menuju sebuah
orde baru ekonomi industri medio abad ke-19. Namun dalam kasus
Inggris, transisi ini berlangsung satu abad lebih. Betapapun berbeda
pengalaman, transisi di Pulau Jawa bersifat sangat mendadak dan
xx Raden Saleh: Kehidupan dan Karyanya
Bukannya perang itu sendiri, tidak juga jumlah musuh kita yang
paling menimbulkan kecemasan pada saya tentang Jawa dan pe
merintahan kita di sana, ... Namun, semangat seluruh penduduk
Jawa dari ujung ke ujung dan saya anggap yang termasuk di
dalamnya yakni semangat [penduduk] daerah jajahan luar Jawa
kita di Borneo [Kalimantan], Makassar, dan segenap Sumatra. ...
Mereka sudah muak dengan kita. ... [Ada] perasaan gelisah luar
biasa parahnya di seluruh Jawa ... [dan] mengenai penyebab-[nya],
tidak ada kecuali bahwa pemerintah [Gubernemen] Belanda ... telah
membuat dirinya selama sepuluh tahun belakangan ini jadi sangat
jahat di mata orang Jawa.
Di Jawa Barat (Cianjur), yang jauh dari hiruk pikuk politik Jawa
Tengah bagian selatan, Raden Saleh yang berumur sembilan tahun
Pengantar Peter Carey xxi
1 Meskipun persahabatan seperti itu berdasarkan minat kesastraan dan kecendekiawanan, ter
kandung juga pamrih di dalamnya. Keahlian orang-orang seperti Notokusumo/Pakualam I,
Suroadimenggolo, dan Panembahan—pasca-1811, Sultan—Sumenep, Pakunataningrat atau
Sultan Abdurahman (bertakhta 1811–1854), memungkinkan pejabat cendekiawan seperti
Raffles dan Crawfurd untuk memanfaatkan sumber-sumber setempat bagi karya sejarah
mereka. Namun, sering sekali ucapan terima kasih yang mereka terima dalam naskah-naskah
yang diterbitkan tidak sebanding dengan sumbangan mereka.
Pengantar Peter Carey xxiii
2 Crawfurd (1820:49, 76) dalam De Haan (1935:640): "Adimenggolo adalah seorang yang
memiliki kecepatan tanggap, kecerdasan dan kebijaksanaan yang jauh melampaui semua
orang sebangsanya. Istrinya [Bendoro Raden Ayu Suroadimenggolo], lahir sebagai seorang
Raden Ayu [dari Istana Mangkunegaran], dididik oleh sang suami untuk menjadi pendamping
yang setara dalam pengetahuan dan berakal; baik sang Raden Ayu maupun ketiga anaknya
sampai mahir sastra Arab dan sastra negeri sendiri [Jawa]. ... Raden Mas Saleh, seorang
pemuda 15 tahun [pada 1816], bisa membaca dan menulis dalam bahasa Inggris dengan
sangat lancar dan tepat, dan, karena bakat untuk mendengarkan bahasa, ia bisa menguasai
bahasa Inggris dengan logat yang begitu tepat; bahwa bahasanya sulit dibedakan dengan
seorang priagung muda Inggris. Bahwa ini bukan hanya pengetahuan teknis yang bisa
dibuktikan secara jelas dari kejelian dan pendirian yang teguh berdasarkan pengamatannya."
xxiv Raden Saleh: Kehidupan dan Karyanya
3 Kepergian Sukur secara rahasia dari rumah ayahnya di Semarang pada 1822–1823 untuk
berziarah dan bermeditasi di Gunung Prau di Lembah Dieng antara Kedu dan Semarang
mungkin berkaitan dengan laporan tentang pemiskinan petani dan pengetahuannya
mengenai situasi penduduk petani di daerah Kedu. Residen Yogyakarta AH Smissaert
(1823–1825), dalam Carey (2008:466 catatan kaki 82), melaporkan bahwa pemerintah
Hindia Belanda sampai melacak tempat persumbunyian Sukur di Gunung Prau, tetapi
kasusnya tidak memicu tindakan yang serius dari pemerintah. Menurut Smissaert,
ini sebuah kesalahan besar, sebab Sukur adalah "seorang yang sangat membahayakan
(keamanan)", lagi-lagi sebab dididik di Bengal (1812–1814) dan sangat fasih bahasa Inggris.
4 Suroadimenggolo meninggal pada 1827 dan dikebumikan di pemakaman Keraton Sumenep
di Asta Tinggi (kunjungan pribadi ke Sumenep, 24 Oktober 2014). Prasasti yang ditulis
Sultan Sumenep, Pakunataningrat (bertakhta 1811–1854) di depan pemakaman keluarga
Suroadimenggolo di Asta Tinggi berbunyi: "Justru Kangjeng Kiai mertua saya dikubur
pada depan kubah saya agar anak cucu keturunan saya, masyarakat (Sumenep) dan
rakyat Jawa pada umumnya, menziarahi beliau terlebih sebelum sesepuh raja-raja ...
di Sumenep." Sebelum meninggal di Sumenep pada 1860-an, Raden Mas Saleh pernah
menjabat sebagai Patih Keraton Sumenep dengan gelar Raden Adipati Pringgoloyo, p.c.
Annie Soedasmo, 18 Maret 2018.
Pengantar Peter Carey xxv
(Scalliet, 2005:162 catatan kaki 32). Inilah saat yang amat gawat untuk
keluarga Suroadimenggolo sebab anak bungsunya, Raden Mas Sukur,
sudah tercium memiliki sikap subversif oleh pemerintah Hindia Belanda
akibat laporan rahasia yang telah ia susun, yakni tentang keadaaan
kaum petani di Lembah Dieng setelah kegagalan panen beras akibat
serangan tikus dan hama wereng (1819 dan 1821) dan panen tembakau
dilanda kemarau panjang pada 1823.5
Pada bulan-bulan paceklik itu, menurut Sukur, penduduk desa ter
paksa makan rerumputan dan dedaunan, situasi yang diperparah oleh
kebijakan "gubernemen" dengan memaksa "orang Jawa ... menebang
dan menghela kayu serta menanam kopi tepat saat ia harus mengerjakan
sawahnya guna memberi nafkah bagi keluarga; sehingga orang bisa saja
sebentar lagi akan memberontak" (Soekanto, 1951:29). Raden Saleh
pasti juga sempat menyaksikan tragedi itu dengan matanya sendiri,
yakni "tsunami" yang melanda keluarga setelah Sukur bergabung
dengan pasukan Diponegoro di Demak pada awal September 1825.
Penangkapan dan pengasingan ayah angkatnya, Suroadimenggolo, dan
sepupunya, Raden Mas Saleh (Raden Ario Notodiningrat), dilakukan
oleh pemerintah Belanda. Tindakan Gubernemen yang tak manusiawi
itu seperti pisau belati yang menancap di hati Saleh sang pelukis muda.
Kita bisa ambil kesimpulan bahwa seumur hidup Saleh
mengandung luka yang dalam dari sesuatu yang ia saksikan pada bulan-
bulan menjelang Perang Jawa dan setelah perang mulai berkobar.
Perasaan dendam Saleh mengenai sistem kolonial Belanda yang keji
itu bisa dilihat di gambar mahakarya seperti "Penangkapan Pangeran
Diponegoro" (1857) dan "Watersnood op Midden-Java (Banjir di Jawa
Tengah)" (1862) (Kraus dan Vogelsang, 2012:75–79, 99–106). Dengan
5 Soekanto (1951:29) mengungkapkan bahwa laporan Sukur, yang tampaknya merujuk pada
keadaan di Kedu saat pecahnya pemberontakan Pangeran Diposono pada Februari 1822,
berbunyi sebagai berikut (rupanya, Soekanto menerjemahkan bahasa Belanda awal abad
ke-19 yang digunakan Sukur ke dalam bahasa Belanda modern): "De beklagenswaardige
toestand van den gemeenen Javaan, die thans zoo arm en ellendig was, dat hij zijnen
honger met bladeren en onkruid moet stillen. ... Den Javaan [die men] hout [liet] kappen
en slepen en koffij planten op het tydstip dat hij zijn rijstvelden moest bewerken om
voor het bestaan van hem en zijn huisgezin te zorgen; dat men gevoeglijk ook eerlang al
om oproer zoude uitbreken." Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, berbunyi:
"Keadaan menyedihkan yang menimpa orang Jawa kebanyakan, yang kini begitu miskin
dan malang sehingga ia harus meringankan laparnya dengan dedaunan dan rerumputan.
Orang Jawa diharapkan menebang dan menghela kayu serta menanam kopi tepat saat ia
harus mengerjakan sawahnya guna memberi nafkah bagi keluarga; sehingga orang bisa saja
sebentar lagi akan memberontak."
xxviii Raden Saleh: Kehidupan dan Karyanya
Daftar Pustaka
Haan, F. de. 1935. "Personalia der periode van het Engelsch Bestuur over Java,
1811–1816", Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 92:477–681.
Hageman, J. Jcz. 1856. Geschiedenis van den oorlog op Java, van 1825 tot
1830. Batavia: Lange.
Hogendorp, H. graaf van (peny.). 1913. Willem van Hogendorp in Nederlandsch-
Indië, 1825–1830. 's-Gravenhage: Nijhoff.
Kraus, Werner. 2005. "Raden Saleh's Interpretation of the Arrest of Diponegoro:
An Example of Indonesian 'Proto-nationalist' Modernism", Archipel,
69:259–294.
Kraus, Werner dan Irina Vogelsang. 2012. Raden Saleh: The Beginning of
Modern Indonesian Painting. Jakarta: Goethe Institute.
Meinsma, J. 1876. "Een anachronisme", Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-
en Volkenkunde, 23:126–133.
Payen, AAJ. 1988. Journal de mon voyage à Jocja Karta en 1825: The Outbreak
of the Java War (1825–1830) as Seen by a Painter, disunting oleh Peter
Carey. Paris: Association Archipel.
Pearce Carey, S. 1993. William Carey: The Father of Modern Missions. London:
Wakeman Trust.
Raffles, Lady Sophia. 1830. Memoir of the Life and Public Services of Sir
Thomas Stamford Raffles. London: Murray.
Raffles, Thomas Stamford. 1817. The History of Java, dua jilid. London: Black,
Parbury & Allen.
Scalliet, Marie-Odette. 2005. "Raden Saleh et les Hollandais: artiste protégé ou
otage politique?", Archipel, 69:151–258.
Soekanto. 1951. Dua Raden Saleh: Dua Nasionalis dalam Abad ke-19; Suatu
Halaman dari Sejarah Nasional Indonesia. Djakarta: Poesaka Aseli.