Anda di halaman 1dari 11

Pengantar Peter Carey

Raden Saleh Syarif Bustaman (sekitar 1811–1880)


dan Perang Jawa (1825–1830)—Sisi Lain Keluarga yang
"Membangkang"

Saya bukan ahli sejarah seni lukis. Fokus utama saya adalah sejarah
sosioekonomi Pulau Jawa pada awal abad ke-19. Jadi, tulisan pendek
ini tidak akan membahas lukisan sang maestro, tetapi lingkup hidupnya
di Semarang pada dasawarsa kedua abad ke-19, waktu ia di­be­sarkan di
rumah pamannya di Terboyo. Saya akan mengisahkan sedikit me­ngenai
keluarga Raden Saleh yang luar biasa itu, sebab bagi saya degup jantung
sejarah Pulau Jawa sampai sekarang adalah sejarah ke­ke­luargaan.
Namun, pada awalnya saya ingin membuat sedikit refleksi mengenai
tran­sisi yang amat alot yang dialami Pulau Jawa waktu beralih dari
tatanan lama akhir abad ke-18 menuju dunia kolonial Hindia Belanda
awal abad ke-19. Memang, semua transisi sejarah bersifat rumit—
dalam hal ini, kita bisa ambil contoh transisi yang dialami negara saya,
Inggris, yakni dari orde lama agraris sebelum 1750 menuju sebuah
orde baru ekonomi industri medio abad ke-19. Namun dalam kasus
Inggris, transisi ini berlangsung satu abad lebih. Betapapun berbeda
pengalaman, transisi di Pulau Jawa bersifat sangat mendadak dan
xx Raden Saleh: Kehidupan dan Karyanya

radikal: dalam kurun waktu empat setengah tahun saja, perubahan


fundamental terjadi. Ini dimulai dengan reformasi radikal yang dibuat
Marsekal Daendels (1808–1811) terhadap sistem Perserikatan Dagang
Hindia Timur (Vereenigde Oostindische Compagnie; VOC) yang korup
dan berakhir dengan invasi pa­sukan Inggris India (4 Agustus 1811) dan
penaklukan total Keraton Yogyakarta (20 Juni 1812).
Dalam kurun waktu setengah windu, masyarakat Jawa dijungkir-
balikan dan kompas politik tergeser 180 derajat. Terjepit di tengah
kemelut Perang Napoléon, sebuah tsunami seolah telah melanda Pulau
Jawa. Saat itu, habislah VOC di mana hubungan antara Pemerintah
Tinggi (Hoge Regeering) Belanda di Batavia (Jakarta) dan kekuasaan
pribumi bersifat setara, sehingga lahirlah zaman kolonial Hindia
Belanda (1818–1942) di mana orang Eropa memandang rendah
kaum pribumi (Carey, 2013:11–18). Seperti dikatakan Mahatma
Gandhi (1869–1948), sifat "ke­ang­kuhan moral" dan rasialisme orang
Eropa abad ke-19 membuat me­reka me­m andang semua bangsa
non-Eropa sebagai semacam orang dengan per­adaban rendah atau
"Untermensch" (Gandhi, 2000, V.22:158).
Pengacara lulusan Leiden bernama Willem van Hogendorp (1795–
1838), pe­na­sihat hukum Komisaris Jenderal LPJ du Bus de Gisignies
(menjabat 1826–1830), telah membuat kesimpulan yang tajam dalam
surat-me­ nyurat dengan ayahnya yang merupakan salah seorang
pendiri negara baru Kerajaan Belanda setelah 1813, Gijsbert Karel van
Hogendorp (1762–1834) (Hogendorp, 1913:142, 170).

Bukannya perang itu sendiri, tidak juga jumlah musuh kita yang
paling menimbulkan kecemasan pada saya tentang Jawa dan pe­
merintahan kita di sana, ... Namun, semangat seluruh penduduk
Jawa dari ujung ke ujung dan saya anggap yang termasuk di
dalamnya yakni semangat [pen­duduk] daerah jajahan luar Jawa
kita di Borneo [Kalimantan], Makassar, dan segenap Sumatra. ...
Mereka sudah muak dengan kita. ... [Ada] perasaan gelisah luar
biasa parahnya di seluruh Jawa ... [dan] mengenai penyebab-[nya],
tidak ada kecuali bahwa pemerintah [Gubernemen] Belanda ... telah
membuat dirinya selama sepuluh ta­hun belakangan ini jadi sangat
jahat di mata orang Jawa.

Di Jawa Barat (Cianjur), yang jauh dari hiruk pikuk po­litik Jawa
Tengah bagian selatan, Raden Saleh yang berumur sembilan tahun
Pengantar Peter Carey xxi

(1820) dan mulai memagang sebagai pelukis di bawah arahan seniman


kawakan Belgia, Antoine Auguste Joseph Payen (1792–1853), pasti
terkena dampak transisi brutal yang melanda negerinya.
Dalam kasus Jawa, ada sebuah alternatif: keluarga elite politik
ke­tu­runan Belanda–Portugis–pribumi yang memegang kendali pada
akhir zaman VOC. Keluarga kreol lapisan atas dengan nama Alting, Van
Braam, Van Riemsdijk, De Wilde, dan Wiese, kalau tetap memegang
peran politik, mungkin bisa menjembatani transisi antara tatanan lama
abad ke-18 dan era modern zaman 'kebangkitan nasional' pa­da awal
abad ke-20. Dalam hal ini, kita teringat peran kunci pemimpin elite
kreol di Amerika Selatan seperti Simón Bolívar (1783–1830), pendiri
Republik Gran Colombia (1819–1831), dan jenderal kelahiran Argentina
bernama Don José de San Martin (1778–1850), yang mewujudkan
Republik Peru (1822). Kehadiran elite kreol itu bisa membuat jalan
terjal menuju abad ke-20 lebih lunak dan transisi Pulau Jawa menuju
dunia modern lebih se­im­bang dengan adat istiadat, budaya, dan agama
Islam Jawa. Namun, ter­nyata tidak demikian. Tentu, elite kreol tidak
akan bisa menahan dan me­lawan arus elite baru nasionalis yang
dipelopori pribumi terdidik dari bangku School tot Opleiding van
Inlandsche Artsen (STOVIA) atau Sekolah Dokter Pribumi (1898–
1927; pasca-1927, Geneeskundige Hoogeschool atau Sekolah Tinggi
Kedokteran) dan organisasi protonasionalis me­reka, Boedi Oetomo
(20 Mei 1908). Namun, jika elite kreol itu tetap ber­tahan, mereka bisa
memberi ruang lebih leluasa kepada orang Jawa untuk me­nye­suaikan
diri terhadap tatanan baru. Sebaliknya, suatu arus pen­datang baru
Eropa—pada awalnya Inggris (1811–1816) dan akhirnya Belanda pasca-
Agustus 1816 di mana 75 persen dari personel mereka total baru di bumi
Nusantara—justru melanda koloni Hindia Belanda dengan membawa
nilai-nilai Eropa pasca-Revolusi. Salah satu akibat dari goncangan
sosial ada­lah Perang Jawa (1825–1830) yang dipicu reaksi elite
pribumi priayi dan santri Jawa terhadap tantangan imperialisme baru
Eropa. Pada saat Pe­rang Jawa itu, Pangeran Diponegoro (1785–1855)
menjadi protagonis yang paling tersohor dan tragis. Semacam sosok
Hamlet versi Jawa, sang pangeran seolah meratap dalam babad yang
ditulis da­lam pengasingan di Manado (1830–1833). Bagaikan Hamlet
dalam seni dra­ma Shakespeare (Hamlet, Babak I, Adegan V), ia seolah
meracau, "Zaman edan, terkutuklah nasibku, karena aku lahir untuk
meluruskanmu!"
xxii Raden Saleh: Kehidupan dan Karyanya

Seperti dalam kasus Diponegoro, keluarga Raden Saleh di Semarang


(Terboyo) menjadi korban transisi mendadak antara ta­tanan lama
dan zaman modern. Dua bulan setelah Perang Jawa meletus pa­da 20
Juli 1825, mereka langsung dicurigai akibat keputusan putra bung­su
paman Raden Saleh, Kiai Adipati Suroadimenggolo V (1765–1827), Bu­
pati Terboyo (menjabat 1809–1822), yang bergabung dengan pasukan
Diponegoro di Demak yang dikomandoi Pangeran Serang II (sekitar
1794–1852). Memang, sejak Belanda kembali pada 19 Agustus 1816,
ke­luarga Raden Saleh dicap sebagai keluarga "membangkang" oleh
pe­merintah Hindia Belanda. Pertama, sebab mereka adalah keluarga
ter­didik dan tak sabar menderita perlakuan yang tolol. Kedua, sebab
me­reka sangat dekat dengan Inggris, musuh bebuyutan Belanda.
Suroadimenggolo, yang juga menjadi ayah angkat sang maestro setelah
orangtuanya meninggal beberapa bulan setelah ia lahir di Semarang
pada awal Mei 1811, adalah seorang penasihat dan teman karib Raffles.
Sumbangan Suroadimenggolo kepada mahakarya Raffles—The History
of Java (1817)—besar sekali, khususnya di bidang sastra (terjemahan
Baratayuda), sejarah (ikhtisar Babad Tanah Jawi dan babad-babad
lain), hukum Islam Jawa, dan pengetahuan tentang mata uang kuno
(De Haan, 1935a:637, 638 catatan 1; Raffles, 1817, II:64, 82; Raffles,
1830:235, 293; Syafruddin Azhar, 2008:x).1
Menariknya, bahwa sepasang perintis seni lukis modern Indonesia
yang paling berbobot—Affandi (1907–1990) dan Raden Saleh (1811–
1880)—dua-duanya adalah peranakan; yang pertama per­ anakan
Tionghoa dan yang kedua peranakan Arab. Dalam kasus Saleh, keluarga
Jawa–Arab-nya, al Alwi, agak unik sebab berasal dari Surat (India Barat),
bukan langsung dari Yemen Selatan (Hadramaut) se­per­ti kebanyakan
keturunan Arab lain di Jawa. Keluarga Saleh juga mem­punyai pertalian
darah yang erat dengan keluarga bangsawan di Jawa. Kerabat Saleh, Kiai
Tumenggung Danuningrat alias Sayyid Alwi, Bupati Kedu (1813–1825),
adalah cicit Sultan Cirebon (eyang putrinya adalah anak sultan). Ibu dan
istrinya berasal dari keluarga Danurejan yang didirikan Patih Danurejo

1 Meskipun persahabatan seperti itu berdasarkan minat kesastraan dan kecendekiawanan, ter­
kandung juga pamrih di dalamnya. Keahlian orang-orang seperti Notokusumo/Pakualam I,
Suroadimenggolo, dan Panembahan—pasca-1811, Sultan—Sumenep, Pakunataningrat atau
Sultan Abdurahman (bertakhta 1811–1854), memungkinkan pejabat cendekiawan seperti
Raffles dan Crawfurd un­tuk memanfaatkan sumber-sumber setempat bagi karya sejarah
mereka. Namun, sering se­kali ucapan terima kasih yang mereka terima dalam naskah-naskah
yang diterbitkan tidak se­ban­ding dengan sumbangan mereka.
Pengantar Peter Carey xxiii

I dari Yogyakarta (menjabat 1755–1798) (Carey, 1992:439–440). Jadi,


lingkup hidup dan budaya keluarga Raden Saleh agak berbeda dengan
keluarga Arab–Jawa pada umumnya yang da­tang ke Nusantara langsung
dari Hadramaut. Memang bukan hanya lelaki dari keluarga tersohor al
Alwi yang berjasa, perempuan juga berperan. Istri Suroadimenggolo V,
putri bungsu Raden Mas Said (Mangkunegoro I, 1757–1759), terkenal
sangat terdidik (Crawfurd, 1820, I:48–49).2 Waktu awal perang, sang
Raden Ayu rupanya memiliki peran yang menentukan dalam membujuk
anak bungsunya, Raden Mas Sukur (lahir di Semarang pada 1802,
meninggal di Ternate sebelum Maret 1856), untuk bergabung dengan
Diponegoro dengan menjadi anggota pasukan Pangeran Serang II di
Demak pada akhir Agustus 1825 (Carey, 2012:725).
Tiga belas tahun sebelum perang, pada awal Juli 1812, Raffles
berhasil membujuk temannya, Suroadimenggolo V, untuk mengizinkan
dua putranya yang belia, Raden Mas Saleh (lahir pada 1801) yang kelak
bergelar Raden Ario Notodiningrat, Bupati Lasem (1817–1819) dan
Kudus (1819–1820), dan Raden Mas Sukur, untuk pergi ke Kolkata
guna belajar di sebuah Akademi Inggris tingkat atas, Mr. Drummond's
Academy, di Jalan Dhurromtollah (Carey, 1992:438 ca­tatan 201; Pearce
Carey, 1993:264). Mereka berlayar pada 16 Juli 1812 dari Semarang ke
Kolkata dengan fregat HMS Modeste di bawah ko­mando putra kedua
Lord Minto, Yang Mulia George Elliot (1784–1863). Saat itu, kedua­
nya mewakili masa depan Jawa yang tak menentu. Sebagai ang­gota
kelompok seusia dari kalangan atas Jawa abad ke-19 yang pertama me­
nerima pendidikan Eropa, masa depan mereka tampak cerah.
Raden Mas Saleh khususnya, yang memenangkan hadiah dalam
pelajaran ilmu ukur, aljabar, menggambar, dan kembali ke Jawa
sebagai seorang "a complete English gentleman", dijadikan asisten
Bupati Semarang ketika usianya masih 15 tahun dan menduduki

2 Crawfurd (1820:49, 76) dalam De Haan (1935:640): "Adimenggolo adalah se­orang yang
memiliki kecepatan tanggap, kecerdasan dan kebijaksanaan yang jauh me­lampaui semua
orang sebangsanya. Istrinya [Bendoro Raden Ayu Suroadimenggolo], la­hir seba­gai seorang
Raden Ayu [dari Istana Mangkunegaran], dididik oleh sang suami un­tuk menjadi pendamping
yang setara dalam pengetahuan dan berakal; baik sang Raden Ayu mau­pun ketiga anaknya
sampai mahir sastra Arab dan sastra negeri sendiri [Jawa]. ... Raden Mas Saleh, seorang
pemuda 15 tahun [pada 1816], bisa membaca dan menulis dalam bahasa Inggris dengan
sangat lancar dan tepat, dan, karena bakat untuk men­dengarkan bahasa, ia bisa menguasai
bahasa Inggris dengan logat yang begitu tepat; bah­wa bahasanya sulit dibedakan dengan
seorang priagung muda Inggris. Bahwa ini bukan hanya pengetahuan teknis yang bisa
dibuktikan secara jelas dari kejelian dan pendirian yang teguh berdasarkan pengamatannya."
xxiv Raden Saleh: Kehidupan dan Karyanya

jabatan ayahnya untuk masa Mei–Agustus 1816 selama ber­lang­sung


perselisihan antara Suroadimenggolo dan Residen Inggris, William
Boggie (menjabat 7 Mei–17 Agustus 1816). Namun, baik kariernya
maupun karier adiknya berakhir karena Perang Jawa dan sosok mereka
sebagai muslim Jawa. Laporan tajam Sukur tentang pe­mis­kinan
petani Jawa di perbatasan Semarang dan Kedu menjelang perang3,
keputusannya mendukung Diponegoro pada awal perang tersebut,
akhir Agustus 1825, dan penggunaan nama muslim—Raden Hasan
Mahmud—telah melibatkan seluruh keluarga dekatnya yang menderita
pe­nurunan derajat, pemenjaraan, dan pengasingan (De Haan, 1935:641;
Payen, 1988:139 catatan 239).
Baik Suroadimenggolo maupun putra sulungnya, Raden Mas Saleh
(Raden Ario Notodiningrat), ditahan oleh pemerintah Hindia Belanda
pada September 1825 dan dikurung berbulan-bulan di bilik kecil di atas
fregat Maria Reigersbergen; pada awalnya di pangkalan laut Semarang
(Tanjung Mas) lantas di Surabaya (Tanjung Perak). Pada Desember
1825, mereka diasingkan seumur hidupnya ke Nusantara Timur: Pada
awalnya, Raden Mas Saleh dan ayahnya dikirim ke Manado, tetapi
diperbolehkan pindah ke Sumenep, di mana mereka diberi suaka
politik oleh putra menantu Suroadimenggolo, Sultan Pakunataningrat
(bertakhta 1811–1854), yang menjamin bahwa dua-duanya tidak akan
lagi terlibat dalam urusan politik.4
Lalu, bagaimana dengan Raden Mas Sukur, yang bergelar Raden
Mas Hasan Mahmud? Nasibnya malang seperti kakaknya: setelah empat

3 Kepergian Sukur secara rahasia dari rumah ayahnya di Semarang pada 1822–1823 untuk
berziarah dan bermeditasi di Gunung Prau di Lembah Dieng antara Kedu dan Semarang
mungkin berkaitan dengan laporan tentang pemiskinan petani dan pengetahuannya
mengenai situasi penduduk petani di daerah Kedu. Residen Yogyakarta AH Smissaert
(1823–1825), dalam Carey (2008:466 catatan kaki 82), melaporkan bahwa pemerintah
Hindia Belanda sam­pai melacak tempat persumbunyian Sukur di Gunung Prau, tetapi
kasusnya tidak memicu tin­dakan yang serius dari pemerintah. Menurut Smissaert,
ini sebuah kesalahan besar, sebab Sukur adalah "seorang yang sangat membahayakan
(keamanan)", lagi-lagi sebab dididik di Bengal (1812–1814) dan sangat fasih bahasa Inggris.
4 Suroadimenggolo meninggal pada 1827 dan dikebumikan di pemakaman Keraton Sumenep
di Asta Tinggi (kunjungan pribadi ke Sumenep, 24 Oktober 2014). Prasasti yang di­tulis
Sultan Sumenep, Pakunataningrat (bertakhta 1811–1854) di depan pemakaman ke­luarga
Suroadimenggolo di Asta Tinggi berbunyi: "Justru Kangjeng Kiai mertua saya di­ku­bur
pada depan kubah saya agar anak cucu keturunan saya, masyarakat (Sumenep) dan
rakyat Jawa pada umumnya, menziarahi beliau terlebih sebelum sesepuh raja-raja ...
di Sumenep." Sebelum meninggal di Sumenep pada 1860-an, Raden Mas Saleh pernah
menjabat sebagai Patih Keraton Sumenep dengan gelar Raden Adipati Pringgoloyo, p.c.
Annie Soedasmo, 18 Maret 2018.
Pengantar Peter Carey xxv

tahun berjuang di bawah komando Pangeran Serang II dan panglima


lainnya di Demak dan Mataram, ia menyerah kepada Belanda pada
29 Juli 1829 dengan putra kedua Diponegoro, Pangeran Diponingrat
(sekitar 1807–1860), di Tangkisan dekat Kali Progo (Hageman,
1856:355). Setelah dibawa ke Batavia, ia diasingkan ke Ternate dan
meninggal sebelum Maret 1856. Memang, bertahan hidup di dua
dunia radikal ber­beda seperti halnya bumi dan langit—Islam Jawa dan
Eropa—tidaklah mudah. Dalam hal ini, kita ingat keputusan Pangeran
Prangwedono (Mangkunegoro II), yang dengan keras melarang anak-
anaknya belajar ke Kolkata atau Eropa meskipun didorong oleh Raffles
dan pemerintah Belanda pasca-1816. Ia takut anak-anaknya akan
pulang tidak sebagai orang Eropa maupun se­bagai orang Jawa (Büchler,
1888, II:15; Scalliet, 2005:157).
Hal yang sama juga tecermin dari sepupu mereka, pelukis masyhur
Raden Saleh Syarif Bustaman (sekitar 1811–1880)—yang akhir­nya
mengalami sebuah karier yang kandas akibat kepicikan dan sifat rasial
masyarakat kolonial Hindia Belanda. Boleh dikatakan bahwa kehidupan
pribadi dan kiprah artistik Raden Saleh mempunyai per­sen­tuhan yang
menarik dengan kiprah sang pemimpin Perang Jawa (Kraus, 2005:278–
288). Dalam hal ini, pepatah cerdik yang dibuat orang Yogyakarta
mengenai Kapitan Cina di Yogyakarta, Tan Jin Sing (menjabat 1803–
1813), yang diangkat Raffles sebagai Bupati Keraton Yogyakarta dengan
gelar Raden Tumenggung Secodiningrat pada 6 Desember 1813: "Cina
wurung, Londo durung, Jawa tanggung." Secodiningrat tidak lagi
seorang Tionghoa, belum sampai setara dengan orang Belanda, dan
dianggap "setengah matang" sebagai orang Jawa (Meinsma, 1876:132).
Dalam konteks yang secara mendasar berbeda, pada medio abad ke-19,
Raden Saleh juga mengalami situasi yang mirip dengan Secodiningrat
di Yogyakarta sebelum Perang Jawa. Sekembalinya ke tanah air (1852)
sesudah 22 tahun di Eropa, Raden Saleh me­ne­mu­kan suatu masyarakat
yang dibolak-balik menjadi sebuah rezim per­bu­dak­an oleh adanya
Sistem Tanam Paksa (1830–1870). Tatanan lama Jawa sudah hancur
dan sebuah Beambtenstaat (negara birokrasi) Belanda telah didirikan
di atas puing-puing masyarakat prakolonial.
Menghadapi keadaan yang begitu runyam, Raden Saleh mengalami
sebuah trauma yang mendalam. Ia yang merupakan seorang inlander
terdidik—pelukis resmi Raja Belanda Willem III (bertakhta 1849–
1892)—bisa menempatkan diri di negara kolonial Hindia Belanda yang
xxvi Raden Saleh: Kehidupan dan Karyanya

be­gitu peka warna kulit, tempat ia dianggap sebagai seorang liplap. Ia


tidak lagi pribumi Arab–Jawa, tetapi belum juga bisa disebut sebagai
seorang tuan kolonial tulen! Proses gelijkstelling—proses memperoleh
status hu­kum setara dengan tuan-tuan kolonial—masih jauh di muka.
Mereka yang memperoleh status setara dengan Belanda dalam mata
hukum pada medio abad ke-19— segelintir orang keturunan (Tionghoa)
dan tokoh elite pribumi—masih mengalami banyak tantangan. Sama
sekali be­lum ada jaminan bahwa mereka, yang memperoleh status
setara, akan diterima di tubuh masyarakat kolonial yang masih
menjalankan sebuah sistem "apartheid"; berbagai etnis dipisahkan
berdasarkan warna kulit.
Pakar sejarah seni lukis modern Indonesia dari Prancis, Marie-
Odette Scalliet, pernah menulis secara jeli tentang tahun-tahun awal
Raden Saleh sebagai pelukis magang di Bogor, Bandung, dan Priangan
di Jawa Barat antara September 1820 dan Februari 1824 di bawah
pengarahan Payen (Scalliet, 2005:152–162). Setahu saya, hanya ada
satu rujukan mengenai "tsunami" politik yang kelak akan menimpa
keluarga Raden Saleh di Semarang pada September 1825, waktu
sepupunya, Raden Mas Sukur, bergabung de­ngan pasukan Diponegoro
di Demak. Inilah kalimat pendek di buku harian Payen yang ditulis
menjelang akhir pengepungan Yogyakarta (Agustus–September 1825)
pada awal Perang Jawa. Saat Payen, yang dikepung oleh pasukan
Diponegoro selama berminggu-minggu di ibu kota kesultanan, diberi
tahu bahwa Sukur telah "membelot" kepada "pem­berontak" pada awal
September, ia menulis dalam buku hariannya, "ça me fait beaucoup de
soucis a cause de mon élève, Saleh." Hal itu membuat Payen khawatir
terhadap nasib muridnya, Raden Saleh (Payen, 1988:139 catatan 239:
Scalliet, 2005:162).
Sebenarnya, pada waktu Perang Jawa meletus (20 Juli 1825), sang
maestro sedang tinggal dengan keluarga ayah angkatnya, Kiai Adipati
Suroadimenggolo, di Terboyo. Rupanya, Payen sampai mewanti-wanti
saat Raden Saleh berkunjung ke sana sejak Februari 1824. Saat itu,
Payen akan berangkat dengan Gubernur Jenderal Godert Alexander
Gerard Philip van der Capellen (menjabat 1816–1826) untuk melakukan
misi pelayaran keliling ke perairan Sulawesi dan Maluku selama
setengah tahun (Februari–Oktober 1824). Baru pada akhir September
1825, setelah pengepungan Yogyakarta diakhiri pasukan Belanda, Payen
bisa menjumput Raden Saleh lagi untuk diantar pulang ke Bandung
Pengantar Peter Carey xxvii

(Scalliet, 2005:162 catatan kaki 32). Inilah saat yang amat gawat untuk
keluarga Suroadimenggolo sebab anak bungsunya, Raden Mas Sukur,
sudah tercium memiliki sikap subversif oleh pemerintah Hindia Belanda
akibat laporan rahasia yang telah ia susun, yakni tentang keadaaan
kaum petani di Lembah Dieng setelah kegagalan panen beras akibat
serangan tikus dan hama wereng (1819 dan 1821) dan panen tembakau
dilanda kemarau panjang pada 1823.5
Pada bulan-bulan paceklik itu, menurut Sukur, penduduk desa ter­
paksa makan rerumputan dan dedaunan, situasi yang diperparah oleh
kebijakan "gubernemen" dengan memaksa "orang Jawa ... menebang
dan menghela kayu serta menanam kopi tepat saat ia harus mengerjakan
sawahnya guna memberi nafkah bagi keluarga; sehingga orang bisa saja
sebentar lagi akan memberontak" (Soekanto, 1951:29). Raden Saleh
pasti juga sempat menyaksikan tragedi itu dengan matanya sendiri,
yakni "tsunami" yang melanda keluarga setelah Sukur bergabung
dengan pasukan Diponegoro di Demak pada awal September 1825.
Penangkapan dan pengasingan ayah angkatnya, Suroadimenggolo, dan
sepupunya, Raden Mas Saleh (Raden Ario Notodiningrat), dilakukan
oleh pemerintah Belanda. Tindakan Gubernemen yang tak manusiawi
itu seperti pisau belati yang menancap di hati Saleh sang pelukis muda.
Kita bisa ambil kesimpulan bahwa seumur hidup Saleh
mengandung luka yang dalam dari sesuatu yang ia saksikan pada bulan-
bulan menjelang Pe­rang Jawa dan setelah perang mulai berkobar.
Perasaan dendam Saleh mengenai sistem kolonial Belanda yang keji
itu bisa dilihat di gambar mahakarya seperti "Penangkapan Pangeran
Diponegoro" (1857) dan "Watersnood op Midden-Java (Banjir di Jawa
Tengah)" (1862) (Kraus dan Vogelsang, 2012:75–79, 99–106). Dengan

5 Soekanto (1951:29) mengungkapkan bahwa laporan Sukur, yang tampaknya merujuk pada
keadaan di Kedu saat pecahnya pem­be­ron­takan Pangeran Diposono pada Februari 1822,
berbunyi sebagai berikut (rupanya, Soekanto me­ner­­jemahkan bahasa Belanda awal abad
ke-19 yang digunakan Sukur ke dalam bahasa Belanda modern): "De beklagenswaardige
toestand van den gemeenen Javaan, die thans zoo arm en ellendig was, dat hij zijnen
honger met bladeren en onkruid moet stillen. ... Den Javaan [die men] hout [liet] kappen
en slepen en koffij planten op het tydstip dat hij zijn rijstvelden moest bewerken om
voor het bestaan van hem en zijn huisgezin te zorgen; dat men gevoeglijk ook eerlang al
om oproer zoude uitbreken." Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, berbunyi:
"Keadaan menyedihkan yang menimpa orang Jawa kebanyakan, yang kini begitu miskin
dan malang sehingga ia harus meringankan laparnya dengan dedaunan dan rerumputan.
Orang Jawa di­harapkan menebang dan menghela kayu serta menanam kopi tepat saat ia
harus me­nger­jakan sawahnya guna memberi nafkah bagi keluarga; sehingga orang bisa saja
sebentar lagi akan memberontak."
xxviii Raden Saleh: Kehidupan dan Karyanya

Sistem Tanam Paksa dan kesombongan tuan-tuan kolonial di Jawa,


sifat Eropa pasca-Revolusi Prancis menunjukkan wajah yang paling
suram kepada dunia non-Eropa. Termakan oleh racun antisemitisme,
diskriminasi ras, dan arogansi terhadap budaya non-Eropa, maka ter­
kuak sudah sifat yang akan membuahkan malapetaka Holocaust pada
abad ke-20 dengan kamar gas di Auschwitz dan pusat pembasmian
Nazi Jerman lainnya di Treblinka dan Sobibór di Polandia. Namun,
ada juga sisi lain dari budaya Eropa—Jerman pada khususnya—yang
anggun dan luhur, yang diwarnai keindahan dan keagungan seni yang
akan memberi kesempatan bagi Raden Saleh muda untuk berkembang
menjadi seorang maestro seni lukis yang unik, suatu artistic genius
yang akan jauh melampaui cita-cita seniman asal Belanda dan Belgia
yang menjadi mentornya saat ia menjalani masa memagang di Jawa
pada tahun-tahun sengit sebelum Perang Jawa.

Serpong, Tahun Baru 2018


—Peter Carey, YAD Adjunct Profesor, FIB-UI, dan Fellow
Emeritus, Trinity College, Oxford, UK

Daftar Pustaka

Azhar, Syafruddin. 2008. "Thomas Stamford Raffles (1781–1826): Hatinya


Tertambat di Tanah Jawa", pengantar dalam The History of Java
terjemahan bahasa Indonesia. Yogyakarta: Narasi.
Büchler, AP. 1888. "Soerakarta vóór 63 jaren", Tijdschrift van Nederlandsch-Indië,
17.1:401–431, 17.2:1–38.
Carey, Peter. 1992. The British in Java, 1811–1816: A Javanese Account. Oxford:
Oxford University Press.
--------. 2008. The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old
Order in Java, 1785–1855, edisi kedua. Leiden: KITLV Press.
--------. 2012. Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di
Jawa, 1785–1855, tiga jilid. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Crawfurd, John. 1820. History of the Indian Archipelago, dua jilid. Edinburgh:
Constable.
Gandhi, Mahatma. 2000. The Collected Works of Mahatma Gandhi, Jilid V.
New Delhi: Publications Division of the Ministry of Information and
Broadcasting, Government of India.
Pengantar Peter Carey xxix

Haan, F. de. 1935. "Personalia der periode van het Engelsch Bestuur over Java,
1811–1816", Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 92:477–681.
Hageman, J. Jcz. 1856. Geschiedenis van den oorlog op Java, van 1825 tot
1830. Batavia: Lange.
Hogendorp, H. graaf van (peny.). 1913. Willem van Hogendorp in Nederlandsch-
Indië, 1825–1830. 's-Gravenhage: Nijhoff.
Kraus, Werner. 2005. "Raden Saleh's Interpretation of the Arrest of Diponegoro:
An Example of Indonesian 'Proto-nationalist' Modernism", Archipel,
69:259–294.
Kraus, Werner dan Irina Vogelsang. 2012. Raden Saleh: The Beginning of
Modern Indonesian Painting. Jakarta: Goethe Institute.
Meinsma, J. 1876. "Een anachronisme", Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-
en Volkenkunde, 23:126–133.
Payen, AAJ. 1988. Journal de mon voyage à Jocja Karta en 1825: The Outbreak
of the Java War (1825–1830) as Seen by a Painter, disunting oleh Peter
Carey. Paris: Association Archipel.
Pearce Carey, S. 1993. William Carey: The Father of Modern Missions. London:
Wakeman Trust.
Raffles, Lady Sophia. 1830. Memoir of the Life and Public Services of Sir
Thomas Stamford Raffles. London: Murray.
Raffles, Thomas Stamford. 1817. The History of Java, dua jilid. London: Black,
Parbury & Allen.
Scalliet, Marie-Odette. 2005. "Raden Saleh et les Hollandais: artiste protégé ou
otage politique?", Archipel, 69:151–258.
Soekanto. 1951. Dua Raden Saleh: Dua Nasionalis dalam Abad ke-19; Suatu
Halaman dari Sejarah Nasional Indonesia. Djakarta: Poesaka Aseli.

Anda mungkin juga menyukai