Anda di halaman 1dari 6

BIOGRAFI RADEN SALEH SYARIF BOESTAMAN

PELUKIS INDONESIA

Saleh Sjarif Boestaman (ER, EYD: Saleh Syarif Bustaman; Mei 1807 – 23 Februari
1880) atau dikenal sebagai Raden Saleh adalah seorang pelukis Hindia Belanda beretnis Arab-
Jawa yang menjadi pionir seni modern Indonesia (saat itu Hindia Belanda). Lukisannya
merupakan perpaduan Romantisisme yang sedang populer di Eropa saat itu dengan elemen-
elemen yang menunjukkan latar belakang Jawa si pelukis.

MASA KECIL
Raden Saleh dilahirkan dalam sebuah keluarga Jawa ningrat. Dia adalah cucu dari Sayyid
Abdoellah Boestaman dari sisi ibunya. Ayahnya adalah Sayyid Hoesen bin Alwi bin Awal bin
Jahja, seorang keturunan Arab. Ibunya bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen, tinggal di daerah
Terboyo, Semarang. Sejak usia 10 tahun, ia diserahkan pamannya, Bupati Semarang, kepada
orang-orang Belanda atasannya di Batavia. Kegemaran menggambar mulai menonjol sewaktu
bersekolah di sekolah rakyat (Volks-School)
Keramahannya bergaul memudahkannya masuk ke lingkungan orang Belanda dan
lembaga-lembaga elite Hindia Belanda. Seorang kenalannya, Prof. Caspar Reinwardt, pendiri
Kebun Raya Bogor sekaligus Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan untuk Jawa
dan pulau sekitarnya, menilainya pantas mendapat ikatan dinas di departemennya. Kebetulan di
instansi itu ada pelukis keturunan Belgia, A.A.J. Payen yang didatangkan dari Belanda untuk
membuat lukisan pemandangan di Pulau Jawa untuk hiasan kantor Departemen van Kolonieen di
Belanda. Payen tertarik pada bakat Raden Saleh dan berinisiatif memberikan bimbingan.
Payen memang tidak menonjol di kalangan ahli seni lukis di Belanda, tetapi mantan
mahaguru Akademi Senirupa di Doornik, Belanda, ini cukup membantu Raden Saleh mendalami
seni lukis Barat dan belajar teknik pembuatannya, misalnya melukis dengan cat minyak. Payen
juga mengajak pemuda Saleh dalam perjalanan dinas keliling Jawa mencari model pemandangan
untuk lukisan. Ia pun menugaskan Raden Saleh menggambar tipe-tipe orang Indonesia di daerah
yang disinggahi.
Terkesan dengan bakat luar biasa anak didiknya, Payen mengusulkan agar Raden Saleh
bisa belajar ke Belanda. Usul ini didukung oleh Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen
yang memerintah waktu itu (1819-1826), setelah ia melihat karya Raden Saleh.
Tahun 1829, nyaris bersamaan dengan patahnya perlawanan Pangeran Diponegoro oleh
Jenderal Hendrik Merkus de Kock, Capellen membiayai Saleh belajar ke Belanda. Namun,
keberangkatannya itu menyandang misi lain. Dalam surat seorang pejabat tinggi Belanda untuk
Departemen van Kolonieen tertulis, selama perjalanan ke Belanda Raden Saleh bertugas
mengajari Inspektur Keuangan Belanda de Linge tentang adat-istiadat dan kebiasaan orang Jawa,
Bahasa Jawa, dan Bahasa Melayu. Ini menunjukkan kecakapan lain Raden Saleh.

BELAJAR KE EROPA
Dua tahun pertama di Eropa ia pakai untuk memperdalam bahasa Belanda dan belajar
teknik mencetak menggunakan batu. Sedangkan soal melukis, selama lima tahun pertama, ia
belajar melukis potret dari Cornelis Kruseman dan tema pemandangan dari Andreas Schelfhout
karena karya mereka memenuhi selera dan mutu rasa seni orang Belanda saat itu. Krusseman
adalah pelukis istana yang kerap menerima pesanan pemerintah Belanda dan keluarga kerajaan.
Raden Saleh makin mantap memilih seni lukis sebagai jalur hidup. Ia mulai dikenal,
malah berkesempatan berpameran di Den Haag dan Amsterdam. Melihat lukisan Raden Saleh,
masyarakat Belanda terperangah. Mereka tidak menyangka seorang pelukis muda dari Hindia
dapat menguasai teknik dan menangkap watak seni lukis Barat.
Saat masa belajar di Belanda usai, Raden Saleh mengajukan permohonan agar boleh
tinggal lebih lama untuk belajar "wis-, land-, meet- en werktuigkunde (ilmu pasti, ukur tanah,
dan pesawat), selain melukis. Dalam perundingan antara Menteri Jajahan, Raja Willem I (1772-
1843), dan pemerintah Hindia Belanda, ia boleh menangguhkan kepulangan ke Indonesia. Tapi
beasiswa dari kas pemerintah Belanda dihentikan.
Saat pemerintahan Raja Willem II (1792-1849) ia mendapat dukungan serupa. Beberapa
tahun kemudian ia dikirim ke luar negeri untuk menambah ilmu,[6] misalnya Dresden, Jerman.
Di sini ia tinggal selama lima tahun dengan status tamu kehormatan Kerajaan Jerman, dan
diteruskan ke Weimar, Jerman (1843). Ia kembali ke Belanda tahun 1844. Selanjutnya ia menjadi
pelukis istana kerajaan Belanda.
Wawasan seninya pun makin berkembang seiring kekaguman pada karya tokoh
romantisme Ferdinand Victor Eugene Delacroix (1798-1863), pelukis Prancis legendaris. Ia pun
terjun ke dunia pelukisan hewan yang dipertemukan dengan sifat agresif manusia. Mulailah
pengembaraannya ke banyak tempat, untuk menghayati unsur-unsur dramatika yang ia cari.
Saat di Eropa, ia menjadi saksi mata revolusi Februari 1848 di Paris, yang mau tak mau
memengaruhi dirinya. Dari Prancis ia bersama pelukis Prancis kenamaan, Horace Vernet, ke
Aljazair untuk tinggal selama beberapa bulan pada tahun 1846. Di kawasan inilah lahir ilham
untuk melukis kehidupan satwa di padang pasir. Pengamatannya itu membuahkan sejumlah
lukisan perkelahian satwa buas dalam bentuk pigura-pigura besar. Negeri lain yang ia kunjungi:
Austria dan Italia. Pengembaraan di Eropa berakhir tahun 1851 ketika ia pulang ke Hindia
bersama istrinya, wanita Belanda yang kaya raya.

KEMBALI KE HINDIA BELANDA


Saleh kembali ke Hindia Belanda pada 1852 setelah 20 tahun menetap di Eropa. Dia
bekerja sebagai konservator lukisan pemerintahan kolonial dan mengerjakan sejumlah portret
untuk keluarga kerajaan Jawa, sambil terus melukis pemandangan. Namun dari itu, ia
mengeluhkan akan ketidaknyamanannya di Jawa. "Di sini orang hanya bicara tentang gula dan
kopi, kopi dan gula" ujarnya di sebuah surat. Saleh membangun sebuah rumah di sekitar Cikini
yang didasarkan istana Callenberg, di mana ia pernah tinggal saat berada di Jerman. Dengan
taman yang luas, sebagian besarnya dihibahkan untuk kebun binatang dan taman umum pada
1862, yang tutup saat peralihan abad. Pada 1960, Taman Ismail Marzuki dibangun di bekas
taman tersebut, dan rumahnya sampai sekarang masih berdiri sebagai Rumah Sakit PGI Cikini.
Pada 1867, Raden Saleh menikahi gadis keluarga ningrat keturunan Kraton Yogyakarta
bernama Raden Ayu Danudirja dan pindah ke Bogor, dimana ia menyewa sebuah rumah dekat
Kebun Raya Bogor yang berpemandangan Gunung Salak. Di kemudian hari, Saleh membawa
istrinya berjalan-jalan ke Eropa, mengunjungi negeri-negeri seperti Belanda, Prancis, Jerman,
dan Italia. Namun istrinya jatuh sakit saat di Paris, sakitnya masih tidak diketahui hingga
sekarang, dan keduanya pun pulang ke Bogor. Istrinya kemudian meninggal pada 31 Juli 1880,
setelah kematian Saleh sendiri 3 bulan sebelumnya.

LUKISAN
Tokoh romantisme Delacroix dinilai memengaruhi karya-karya berikut Raden Saleh yang
jelas menampilkan keyakinan romantismenya. Saat romantisme berkembang di Eropa di awal
abad 19, Raden Saleh tinggal dan berkarya di Prancis (1844 - 1851).
Ciri romantisme muncul dalam lukisan-lukisan Raden Saleh yang mengandung paradoks.
Gambaran keagungan sekaligus kekejaman, cerminan harapan (religiusitas) sekaligus
ketidakpastian takdir (dalam realitas). Ekspresi yang dirintis pelukis Prancis Gerricault (1791-
1824) dan Delacroix ini diungkapkan dalam suasana dramatis yang mencekam, lukisan
kecoklatan yang membuang warna abu-abu, dan ketegangan kritis antara hidup dan mati.
Lukisan-lukisannya yang dengan jelas menampilkan ekspresi ini adalah bukti Raden
Saleh seorang romantisis. Konon, melalui karyanya ia menyindir nafsu manusia yang terus
mengusik makhluk lain. Misalnya dengan berburu singa, rusa, banteng, dll. Raden Saleh terkesan
tak hanya menyerap pendidikan Barat tetapi juga mencernanya untuk menyikapi realitas di
hadapannya. Kesan kuat lainnya adalah Raden Saleh percaya pada idealisme kebebasan dan
kemerdekaan, maka ia menentang penindasan.
PENANGKAPAN DIPONEGORO
Raden Saleh terutama dikenang karena lukisan historisnya, Penangkapan Pangeran
Diponegoro, yang menggambarkan peristiwa pengkhianatan pihak Belanda kepada Pangeran
Diponegoro yang mengakhiri Perang Jawa pada 1830. Sang Pangeran dibujuk untuk hadir di
Magelang untuk membicarakan kemungkinan gencatan senjata, tetapi pihak Belanda tidak
memenuhi jaminan keselamatannya, dan Diponegoro pun ditangkap.
Pada waktu Saleh, peristiwa tersebut telah dilukis oleh pelukis Belanda Nicolaas
Pieneman dan dikomisikan oleh Jenderal de Kock. Diduga Saleh melihat lukisan Pieneman
tersebut saat ia tinggal di Eropa. Seakan tidak setuju dengan gambaran Pieneman, Raden
memberikan sejumlah perubahan signifikan pada lukisan versinya; Pieneman menggambarkan
peristiwa tersebut dari sebelah kanan, Saleh dari kiri. Sementara Pieneman menggambarkan
Diponegoro dengan wajah lesu dan pasrah, Saleh menggambarkan Diponegoro dengan raut tegas
dan menahan amarah. Pieneman memberi judul lukisannya Penyerahan Diri Diponegoro, Saleh
memberi judul Penangkapan Diponegoro. Diketahui bahwa Saleh sengaja menggambar tokoh
Belanda di lukisannya dengan kepala yang sedikit terlalu besar agar tampak lebih mengerikan.
Perubahan-perubahan ini dipandang sebagai rasa nasionalisme pada diri Saleh akan tanah
kelahirannya di Jawa. Hal ini juga dapat terlihat pada busana pengikut Diponegoro. Pieneman
sendiri tidak pernah ke Hindia Belanda, dan karena itu ia menggambarkan pengikut Diponegoro
seperti orang Arab. Gambaran Saleh cenderung lebih akurat, dengan kain batik dan blangkon
yang terlihat pada beberapa figur. Saleh juga menambahkan detail menarik, ia tidak melukiskan
senjata apapun pada pengikut Diponegoro, bahkan keris Diponegoro pun tidak ada. Ini
menunjukkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena itu Pangeran dan
pengikutnya datang dengan niat baik.
Setelah selesai dilukis pada 1857, Saleh mempersembahkan lukisannya kepada Raja
Willem III di Den Haag. Penangkapan Pangeran Diponegoro baru pulang ke Indonesia pada
1978. Kepulangan lukisan tersebut merupakan perwujudan janji kebudayaan antara Indonesia-
Belanda pada 1969, tentang kategori pengembalian kebudayaan milik Indonesia yang diambil,
dipinjam, dan dipindahtangan ke Belanda pada masa lampau. Namun dari itu, lukisan
Penangkapan tidak termasuk ketiga kategori tersebut, karena sejak awal Saleh memberikannya
kepada Raja Belanda dan tidak pernah dimiliki Indonesia. Lukisan tersebut akhirnya diberikan
sebagai hadiah dari Istana Kerajaan Belanda dan sekarang dipajang di Istana Negara, Jakarta.

PERINGATAN DAN PENGHARGAAN


Selama hidupnya, banyak pejabat dan bangsawan Eropa yang mengagumi Raden Saleh.
Lukisannya dipesan oleh tokoh-tokoh seperti bangsawan Sachsen Coburg-Gotha, keluarga Ratu
Victoria, dan sejumlah gubernur jenderal seperti Johannes van den Bosch, Jean Chrétien Baud,
dan Herman Willem Daendels. Tak sedikit pula yang menganugerahinya tanda penghargaan, di
antaranya terdapat bintang Ridder der Orde van de Eikenkoon (R.E.K.), Commandeur met de
ster der Frans Joseph Orde (C.F.J.), Ksatria Orde Mahkota Prusia (R.K.P.), dan Ridder van de
Witte Valk (R.W.V.).
Pada tahun 1883, diadakan pameran lukisan Raden Saleh di Amsterdam untuk
memperingati tiga tahun wafatnya Saleh, atas prakarsa Raja Willem III dan Ernst dari Sachsen-
Coburg-Gotha. Di antaranya terdapat lukisan Hutan Terbakar, Berburu Kerbau di Jawa, dan
Penangkapan Pangeran Diponegoro
Sedangkan penghargaan dari pemerintah Indonesia diberikan pada tahun 1969 lewat
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan secara anumerta, berupa Piagam Anugerah Seni
sebagai Perintis Seni Lukis di Indonesia. Wujud perhatian lain adalah, pembangunan ulang
makamnya di Bogor yang dilakukan oleh Ir. Silaban atas perintah Presiden Soekarno, sejumlah
lukisannya dipakai untuk ilustrasi benda berharga negara, misalnya akhir tahun 1967, PTT
mengeluarkan prangko seri Raden Saleh dengan reproduksi dua lukisannya. Pada tahun 2008,
sebuah kawah di planet Merkurius dinamai darinya.

AKHIR HAYAT RADEN SALEH


Raden Saleh sempat kembali mengunjungi Eropa pada tahun 1875 bersama sang istri.
Beliau juga sempat mengunjungi Italia sebelum akhirnya kembali ke jawa pada tahun 1878.
Dua tahun setelah kembali ke Jawa, tepatnya pada 23 April 1880, Raden Saleh meninggal
dunia. Menurut pemeriksaan dokter, penyebab kematiannya adalah terhambatnya aliran darah
karena pengendapan yang terjadi di dekat jantungnya. Jasad Raden Saleh dikebumikan di TPI
Bondongan, Bogor, Jawa Barat. Di nisan makam, tertulis keterangan dirinya sebagai pelukis
kerajaan Belanda yang berbunyi:
“Raden Saleh. Djoeroegambar dari Sri Padoeka Kandjeng Radja Wollanda Ridder de Orde van
de Eiken Kroon, Kom Met De Ster Der Frans Joseph Orde, Ridder Der Kroon Orde van
Pruissen, Ridder van den Witten Valk.”
Dulu, beliah menghibahkan sebagian halaman rumahnya yang luas untuk dijadikan kebun
binatang. Kini, kebun binatang tersebut menjadi Taman Ismail Marzuki. Sedangkan kini
rumahnya masih bertahan dan menjadi Rumah Sakit PGI Cikini.

LUKISAN KARYA RADEN SALEH YANG MENDUNIA

Lukisan Perburuan Rusa (1846)


Lukisan Perburuan Banteng (1855)
Lukisan Penangkapan Pangeran
Diponegoro (1875)
Lukisan Perburuan Singa (1840 dan 1841)

Lukisan Singa Terluka (1838)


Lukisan Antara Hidup dan Mati (1870)

Anda mungkin juga menyukai