Anda di halaman 1dari 7

TUGAS SBK

Nama : Evira Elsa Abiyya


Kelas : XI busana 5

No. absen : 11

Karya seni lukis yang disenangi adalah karya pelukis terkenal Indonesia Raden Saleh
Judul Lukisan : “Badai” (The Storm)
Pelukis : Raden Saleh
Aliran Lukisan : Romantisme
Keterangan Lukisan
Lukisan ini dibuat pada tahun 1851 dengan media cat minyak di atas kanvas dengan
ukuran 97 x 74 cm. Lukisan Raden Saleh yang berjudul “Badai” ini merupakan
ungkapan khas karya yang beraliran Romatisme. Dalam aliran ini seniman sebenarnya
ingin mengungkapkan gejolak jiwanya yang terombang-ambing antara keinginan
menghayati dan menyatakan dunia (imajinasi) ideal dan dunia nyata yang rumit dan
terpecah-pecah.
Dalam lukisan “Badai” ini, dapat dilihat bagaimana Raden Saleh mengungkapkan
perjuangan yang dramatis dua buah kapal dalam hempasan badai dahsyat di tengah
lautan. Suasana tampak lebih menekan oleh kegelapan awan tebal dan terkaman
ombak-ombak tinggi yang menghancurkan salah satu kapal. Dari sudut atas secercah
sinar matahari yang memantul ke gulungan ombak, lebih memberikan tekanan suasana
yang dramatis.

Biografi Raden Saleh

Raden Saleh lahir dengan nama lengkap Raden Saleh Sjarif Bestaman di tahun 1807,
tanpa diketahui tanggal dan bulannya. Ibundanya bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen
dan tinggal di daerah Terboyo, dekat Semarang, Jawa Tengah. Saat baru berusia 10
tahun,
Raden Saleh diserahkan pamannya yang juga menjabat sebagai Bupati Semarang,
kepada orang-orang Belanda atasannya di Batavia.
Bakatnya di bidang menggambar mulai menonjol saat Saleh kecil bersekolah di sekolah
rakyat (Volks-School). Anak sopan itu menonjol dengan talentanya di salah satu bidang
seni rupa tersebut. Tak jarang saat gurunya mengajar, ia malah asyik menggambar.
Meski begitu, sang guru tak marah, karena ia kagum melihat karya muridnya.
Selain memiliki kepekaan terhadap seni yang tinggi, Saleh juga dikenal sebagai sosok
yang ramah dan mudah bergaul. Karena sifatnya yang hangat itulah, Saleh tak
menemui kesulitan saat harus menyesuaikan diri dalam lingkungan orang Belanda atau
lembaga-lembaga elite Hindia-Belanda.
Saking supelnya, seorang kenalannya, yang merupakan pendiri Kebun Raya Bogor
sekaligus
Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan untuk Jawa dan pulau sekitarnya,
Prof. Caspar Reinwardt, menilai
Raden Saleh pantas mendapat ikatan dinas di departemennya. Awalnya Saleh
memang dipersiapkan oleh pemerintah Hindia-Belanda menjadi calon pegawai di
lembaga tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, Raden Saleh justru tumbuh
sebagai seorang seniman besar.
Kebetulan di instansi tersebut ada seorang pelukis keturunan Belgia bernama A.A.J.
Payen yang didatangkan dari Belanda untuk membuat lukisan pemandangan di Pulau
Jawa untuk hiasan kantor Departemen van Kolonieen di Belanda. Payen kemudian
tertarik pada bakat Raden Saleh dan berinisiatif memberikan bimbingan.
Meski reputasi Payen sebenarnya tidak terlalu menonjol di kalangan ahli seni lukis di
Belanda, peran mantan mahaguru Akademi Senirupa di Doornik, Belanda, ini nyatanya
cukup membantu Raden Saleh mendalami seni lukis Barat dan belajar teknik
pembuatannya, misalnya melukis dengan cat minyak. Payen pula yang mengajak Saleh
muda dalam perjalanan dinas keliling Jawa mencari model pemandangan untuk lukisan.
Ia pun pernah menugaskan Raden Saleh menggambar tipe-tipe orang Indonesia di
daerah yang disinggahi.
Semakin hari, Payen semakin kagum dengan bakat luar biasa yang dimiliki Raden
Saleh. Payen kemudian mengusulkan agar anak didiknya itu bisa mendapatkan
pendidikan yang lebih baik di Belanda. Usulan ini kemudian turut mendapat dukungan
dari G.A.G.Ph. van der Capellen, setelah Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang
berkuasa sejak tahun 1819 hingga 1826 itu melihat karya Raden Saleh.
Pada tahun 1829, nyaris bersamaan dengan patahnya perlawanan Pangeran
Diponegoro oleh Jenderal Hendrik Merkus de Kock, Capellen membiayai Raden Saleh
belajar ke Belanda. Namun, keberangkatannya itu bukan semata untuk belajar seni
lukis melainkan juga untuk mengajari Inspektur Keuangan Belanda de Linge tentang
adat-istiadat dan kebiasaan orang Jawa, Bahasa Jawa, dan Bahasa Melayu. Hal ini
tertulis dalam surat seorang pejabat tinggi Belanda untuk Departemen van Kolonieen.
Di Belanda, Raden Saleh mulai belajar di bawah bimbingan Cornelius Kruseman dan
Andries Schelfhout. Semasa menimba ilmu di sana, kemampuan melukisnya kian
berkembang pesat. Tak heran jika di kalangan sesama pelukis muda Belanda yang
sedang belajar, ia kerap dianggap sebagai saingan berat. Suatu ketika, para pelukis
muda itu melukis bunga yang sangat mirip dengan aslinya. Lukisan itu kemudian
diperlihatkan ke Raden Saleh. Saking miripnya, beberapa kumbang serta kupu-kupu
terkecoh untuk hinggap di atasnya. Seakan merasa lebih hebat dan merasa jumawa,
mereka kemudian mengejek dan mencemooh Raden Saleh. Meski merasa terhina,
Saleh tak mau secara langsung membalas hinaan tersebut, ia lebih memilih untuk
menyingkir.
Selama berhari-hari lamanya, Saleh ‘menghilang’. Hal itu membuat teman-temannya
cemas, mereka menduga, pelukis Indonesia itu putus asa kemudian berbuat nekad.
Para pelukis muda itu lalu mendatangi Saleh ke rumahnya. Pintu rumah Raden Saleh
terkunci dari dalam, karena penasaran, pintu pun dibuka paksa dengan didobrak.
Namun begitu pintu dibuka, mereka mendapati pemandangan yang mengerikan, “Mayat
Raden Saleh” terkapar di lantai berlumuran darah. Dalam suasana panik tiba-tiba
Raden Saleh muncul dari balik pintu lain seraya berkata, “Lukisan kalian hanya
mengelabui kumbang dan kupu-kupu, tetapi gambar saya bisa menipu manusia,”
ujarnya tersenyum. Para pelukis muda Belanda itu pun kemudian pergi sambil
menanggung malu.
Kesempatan untuk belajar di luar negeri benar-benar dimanfaatkan Raden Saleh. Dua
tahun pertama ia gunakan untuk memperdalam bahasa Belanda dan belajar teknik
mencetak menggunakan batu. Sedangkan di bidang lukis melukis, selama lima tahun
pertama, ia belajar melukis potret dari Cornelis Kruseman dan tema pemandangan dari
Andries Schelfhout karena karya mereka memenuhi selera dan mutu rasa seni orang
Belanda saat itu. Krusseman adalah pelukis istana yang kerap menerima pesanan
pemerintah Belanda dan keluarga kerajaan.
Setelah bertahun-tahun menetap di Negeri Kincir Angin, Raden Saleh makin mantap
memilih seni lukis sebagai jalur hidupnya. Perlahan tapi pasti, namanya mulai dikenal,
ia bahkan sempat menggelar pameran di Den Haag dan Amsterdam. Masyarakat
Belanda yang menyaksikan hasil karyanya sering dibuat terperangah. Mereka tidak
menyangka seorang pelukis muda pribumi dapat menguasai teknik dan menangkap
watak seni lukis Barat dengan begitu sempurna.
Begitu studinya di Belanda rampung, Raden Saleh tak langsung pulang ke Tanah Air
melainkan mengajukan permohonan agar boleh tinggal lebih lama untuk mempelajari
ilmu lain di luar melukis, yakni wis-, land-, meet- en werktuigkunde (ilmu pasti, ukur
tanah, dan pesawat). Dalam perundingan antara
Menteri Jajahan, Raja Willem I (1772-1843), dan pemerintah Hindia Belanda, Raden
Saleh diperbolehkan menangguhkan kepulangannya ke Indonesia. Namun ia tak lagi
mendapat beasiswa dari kas pemerintah Belanda.
Walau menjadi pelukis kerajaan Belanda, ia tak sungkan mengkritik politik represif
pemerintah Hindia Belanda. Kendati mendapat didikan ala Barat, Raden Saleh
merupakan sosok yang menjunjung tinggi idealisme kebebasan dan kemerdekaan
sehingga ia amat menentang penindasan. Pemikirannya itu digambarkannya dalam
lukisan Penangkapan Pangeran
Diponegoro oleh pemerintah kolonial Belanda.
Saat pemerintahan Raja Willem II (1792-1849), Raden Saleh mendapat dukungan
serupa. Beberapa tahun kemudian ia dikirim ke Dresden, Jerman untuk menambah
wawasannya. Di sana ia tinggal selama lima tahun dengan statusnya sebagai tamu
kehormatan Kerajaan Jerman. Tahun 1843, Raden Saleh meneruskan petualangannya
menuntut ilmu ke Weimar. Setahun kemudian ia kembali ke Belanda dan menjadi
pelukis istana kerajaan Belanda.
Walau menjadi pelukis kerajaan Belanda, ia tak sungkan mengkritik politik represif
pemerintah Hindia Belanda. Kendati mendapat didikan ala Barat, Raden Saleh
merupakan sosok yang menjunjung tinggi idealisme kebebasan dan kemerdekaan
sehingga ia amat menentang penindasan. Pemikirannya itu digambarkannya dalam
lukisan Penangkapan Pangeran
Diponegoro oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada saat penangkapan yang terjadi
tahun 1830 itu, Raden Saleh tengah berada di Belanda. Puluhan tahun kemudian ia
kembali ke Indonesia dan mencari informasi mengenai peristiwa tersebut dari kerabat
Pangeran Diponegoro.
Meski serupa dengan karya J.W. Pieneman, Raden Saleh memberi interpretasi yang
berbeda pada lukisannya. Pada karya Pieneman lebih menekankan peristiwa
menyerahnya Pangeran Diponegoro yang berdiri dengan wajah letih dan dua tangan
terbentang. Hamparan senjata berupa sekumpulan tombak adalah tanda kalah perang.
Di latar belakang, Jenderal De Kock berdiri berkacak pinggang menunjuk kereta
tahanan seolah memerintahkan penahanan Diponegoro.
Sedangkan pada lukisan Pangeran Diponegoro yang selesai dibuat Raden Saleh tahun
1857 itu, pengikutnya tak membawa senjata. Keris di pinggang, ciri khas Diponegoro,
pun tak ada. Ini menunjukkan, peristiwa itu terjadi di bulan Ramadhan. Maknanya,
Pangeran dan pengikutnya datang dengan niat baik namun perundingan gagal.
Diponegoro ditangkap dengan mudah karena jenderal De Kock tahu musuhnya tak siap
berperang di bulan Ramadhan. Di lukisan itu, Pangeran Diponegoro tetap digambarkan
berdiri dalam pose siaga yang tegang. Wajahnya yang bergaris keras tampak menahan
marah, tangan kirinya mengepal menggenggam tasbih.
Dalam lukisan itu tampak Raden Saleh menggambarkan dirinya sendiri dengan sikap
empati menyaksikan suasana tragis tersebut bersama-sama pengikut Pangeran
Diponegoro yang lain. Jenderal De Kock pun kelihatan sangat segan dan menaruh
hormat saat mengantarkan Pangeran Diponegoro menuju kereta yang akan membawa
beliau ke tempat pembuangan.
Meski telah banyak melahirkan banyak lukisan bernilai seni tinggi, dahaga dan rasa
keingintahuannya pada seni belum juga terpuaskan. Oleh karena itu, ia terus menggali
kemampuannya dengan mempelajari seni lukis dari daerah lain di luar Belanda.
Tercatat selama kurun waktu tahun 1844-1851, Raden Saleh tinggal dan berkarya di
Prancis. Saat itu aliran romantisme tengah berkembang di Eropa sejak awal abad 19.
Wawasan seninya pun kian bertambah seiring kekagumannya pada karya pelukis
Perancis legendaris yang juga dikenal sebagai tokoh romantisme bernama Ferdinand
Victor Eugene Delacroix (1798-1863).
Sejak itu, ciri romantisme juga muncul dalam lukisan-lukisan Raden Saleh yang
mengandung paradoks. Dari situ, ia lalu memutuskan untuk terjun ke dunia pelukisan
hewan yang dipertemukan dengan sifat agresif manusia. Konon, melalui karyanya, ia
menyindir nafsu manusia yang terus mengusik makhluk lain. Misalnya dengan berburu
singa, rusa, banteng, dan sebagainya. Agar dapat menghayati unsur-unsur dramatika
yang ia cari, Saleh tak segan-segan mengembara ke berbagai tempat.
Ketika berada di Eropa, ia menjadi saksi mata revolusi Februari 1848 di Paris, yang
mau tak mau mempengaruhi dirinya. Tahun 1846, dari Perancis, ia bersama pelukis
Prancis kenamaan, Horace Vernet, pergi ke Aljazair dan tinggal selama beberapa
bulan. Di tempat inilah, Raden Saleh mendapat inspirasi untuk melukis kehidupan
satwa di padang pasir. Pengamatannya itu kemudian membuahkan sejumlah lukisan
perkelahian satwa buas dalam bentuk pigura-pigura besar.
Selain Belanda dan Perancis, negara Eropa lain yang pernah ia singgahi adalah Austria
dan Italia. Petualangannya di benua Eropa berakhir pada tahun 1851 ketika ia pulang
ke Indonesia bersama istrinya, seorang
wanita Belanda yang kaya raya.
Begitu kembali menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, Raden Saleh pernah ditunjuk
menjadi konservator pada “Lembaga Kumpulan Koleksi Benda-benda Seni”. Di sela-
sela kesibukannya menjalani profesi tersebut, ia masih giat menelurkan karya berupa
beberapa lukisan potret keluarga keraton dan pemandangan.
Di saat kiprahnya sebagai pelukis di Tanah Air semakin diperhitungkan, Raden Saleh
harus menghadapi kenyataan pahit setelah pernikahan pertamanya berakhir dengan
perceraian. Setelah menduda, ia kembali membangun rumah tangga dengan seorang
gadis keluarga ningrat keturunan Keraton Solo.
Setelah menikah, Raden Saleh tinggal di Jakarta di kawasan Cikini. Rumahnya
dibangun sendiri menurut teknik sesuai dengan tugasnya sebagai seorang pelukis.
Sebagai tanda cinta terhadap alam dan isinya, ia menyerahkan sebagian dari
halamannya yang sangat luas pada pengurus kebun binatang. Kini kebun binatang itu
menjadi Taman
Ismail Marzuki. Sedangkan rumahnya dialihfungsikan menjadi Rumah Sakit Cikini,
Jakarta.
Pada tahun 1875, bersama istri tercinta, Raden Saleh berangkat lagi ke Eropa dan baru
kembali ke Jawa tiga tahun kemudian. Setelah itu, ia menetap di Bogor sampai akhir
hayatnya pada 23 April 1880. Sempat beredar cerita, kematian pelukis legendaris itu
akibat diracun sang pembantu yang dituduh mencuri lukisannya. Namun dugaan
tersebut dipatahkan dengan hasil pemeriksaan dokter yang menyebutkan Raden Saleh
meninggal karena trombosis atau pembekuan darah.
Jenazahnya kemudian dikebumikan di TPU Bondongan, Bogor, Jawa Barat. Di nisan
makamnya tertulis “Raden Saleh Djoeroegambar dari Sri Padoeka Kandjeng Radja
Wolanda”, kalimat itulah yang sering melahirkan banyak tafsir yang memancing
perdebatan berkepanjangan tentang visi kebangsaan Raden Saleh. Terlepas dari hal
tersebut, sosok Raden Saleh mampu memberikan warna tersendiri di dunia seni lukis
Indonesia. Meski lebih banyak berkiprah di luar negeri, Raden Saleh sebenarnya tidak
menanggalkan identitasnya sebagai seorang pribumi, hal itu setidaknya bisa dilihat dari
gaya berpakaian adat ningrat Jawa lengkap dengan blangkon yang menjadi ciri
khasnya.
Pada tahun 1883, untuk memperingati tiga tahun kepergiannya, lukisan-lukisannya
dipamerkan di Amsterdam, di antaranya berjudul Hutan Terbakar, Berburu Kerbau di
Jawa, dan Penangkapan Pangeran Diponegoro. Lukisan-lukisan itu dikirimkan antara
lain oleh Radja Willem III dan Pangeran Van Saksen Coburg-Gotha.
Perjalanan hidupnya pun pernah diangkat oleh penulis Lev Dyomin, Zagadocny Princ,
dalam sebuah buku yang dicetak oleh penerbit Rusia berjudul Raden Saleh I Ego
Wremya (Pangeran Ajaib, Raden Saleh dan Zamannya). Di masa itu, pertengahan
abad 19, dunia seni lukis atau seni gambar para bumiputera masih mengacu pada gaya
tradisional yang berkembang di daerah-daerah dimana sebagian terbesar menyimpan
potensi dekoratif. Misalnya lukisan Bali, Jawa, ornamen di Toraja atau Kalimantan.
Namun, Raden Saleh berkibar sendiri dengan gaya lukis fotografis, yang oleh
masyarakat Barat dinilai berunsur “religius-kontemplatif-abstrak”, bersifat keagamaan,
bersamadi, lepas dari kebendaan. Raden Saleh memang piawai melukis objek alam
dan kehidupan hewan, khususnya kuda dan binatang buas. Ia juga dianggap mumpuni
dalam mencoretkan garis wajah dalam lukisan potret.
Kehebatan Raden Saleh sebagai pelukis banyak dikagumi para bangsawan dan
pejabat Belanda, Belgia, serta Jerman, antara lain Saksen Coburg-Gotha, keluarga
Ratu Victoria, dan sejumlah gubernur jenderal seperti van den Bosch, Baud, dan
Daendels. Tak sedikit pula yang menganugerahinya tanda penghargaan, yang
kemudian selalu ia sematkan di dada. Di antaranya, bintang Ridder der Orde van de
Eikenkoon (R.E.K.), Commandeur met de ster der Frans Joseph Orde (C.F.J.), Ridder
der Kroonorde van Pruisen (R.K.P.), Ridder van de Witte Valk (R.W.V.), dan masih
banyak lagi.
Sedangkan penghargaan dari pemerintah Indonesia sendiri baru diberikan pada tahun
1969 lewat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, secara anumerta berupa Piagam
Anugerah Seni sebagai Perintis Seni Lukis di Indonesia. Wujud penghormatan lain
untuk sang maestro lukis ini adalah pembangunan ulang makamnya di Bogor yang
dilakukan oleh Ir. Silaban atas perintah
Presiden Soekarno. Sejumlah lukisannya pun pernah dipakai untuk ilustrasi benda
berharga negara, misalnya akhir tahun 1967, PTT (Pos Telepon dan Telegram)
mengeluarkan prangko seri Raden Saleh dengan reproduksi dua lukisannya bergambar
binatang buas yang sedang berkelahi.
Lebih dari 50 tahun setelah kematiannya, sejumlah karyanya musnah dilalap api dalam
kebakaran di Paviliun Kolonial Belanda di Paris pada tahun 1931. Dari beberapa yang
masih ada, salah satunya lukisan kepala seekor singa hingga kini masih tersimpan
dengan baik di Istana Mangkunegaran, Solo. Kabarnya, lukisan ini dulu dibeli seharga
1.500 gulden. Berapa nilainya sekarang mungkin susah-susah gampang
menghitungnya. Sekadar perbandingan, salah satu lukisannya yang berukuran besar,
Berburu Rusa, tahun 1996 terjual di Balai Lelang Christie’s Singapura seharga Rp 5,5
miliar.

Anda mungkin juga menyukai