Ritme atau irama dalam iringan tari merupakan pengulangan bunyi menurut pola tertentu
dalam sebuah lagu. Misalnya lagu Sirih Kuning yang dijadikan tari Tapak Tangan pada Tari
Betawi terdapat gerak yang mengikuti pengulangan pola irama. Biasanya irama keluar dari
perasaan seseorang sehubungan dengan apa yang dirasakan dan diekspresikan ke dalam gerak
tari.
Jenis musik iringan tari yang dapat digunakan terbagi menjadi: 1) musik internal, 2)
musik eksternal. Musik internal adalah musik yang dihasilkan dari penarinya itu sendiri,
contohnya dengan bersiul, bertepuk tangan, bernyanyi, petikan jari, hentakan kaki, dan
sebagainya. Tari dengan musik internal dapat dilihat pada tari Kecak, tari Rampai Aceh, tari
Saman, dan sebagainya. Musik eksternal yaitu musik yang digunakan sebagai pengiring tari
dengan sumber bunyi yang berasal dari instrumen atau alat bunyi lainnya.
Musik eksternal digunakan sebgai pedoman ritme penari untuk bergerak sehingga iringan
pada tarian dapat difungsikan sebagai ilustrasi pendukung suasana (karakter tari) dan juga
difungsikan sebagai patokan bagi penari untuk bergerak. Sebagai contoh musik eksternal
yang biasa digunakan pada tari yaitu gamelan, alat musik tradisional (rebana, tifa, kecapi,
angklung, dan sebagainya), sedangkan alat musik lain dapat pula digunakan dari sumber
bunyi yang ada di sekitar, misalnya pukulan kayu atau kentongan, botol plastik yang diisi
biji-bijian, atau alat-alat perkusi lainnya.
Musik sebagai pengiring tari dapat dibedakan berdasarkan warna suara atau tangga
nadanya. Ada tangga nada pentatonis yang dikenal dengan musik tradisi, dan diatonis berupa
musik non tradisi. Pentatonik itu berasal dari kata penta(5) dan tonic(nada). Tangga nada
pentatonik ini dibentuk dengan mengurangkan nada ke-4 dan ke-7 dari struktur oktaf 8 nada.
Pentatonik sebenarnya digunakan untuk musik modern maupun tradisional di berbagai negara
di dunia ini, seperti Cina, Jepang, dan Indonesia. Di Indonesia, tangga nada pentatonik
biasanya terdapat pada alat musik gamelan Jawa, kolintang, dan khusus pada musik gamelan
(Jawa) terdapat dua macam tangga nada pentatonik dinamakan titi laras slendro dan titi laras
pelog. Untuk itu musik pentatonik adalah musik yang menggunakan 5 nada dalam satu
oktafnya. Contohnya adalah gamelan Jawa, mempergunakan nada 1, 2, 3, 5, 6 (ji, ro, lu, ma,
nem) untuk laras slendro dan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 (ji, ro, lu, pat, ma, nem, pi) untuk laras pelog.
Sedangkan diatonik berasal dari di(2) dan tonic(nada). Jadi dalam satu oktaf terdapat 5+2
nada, = 7 nada. jadi musik modern atau bahkan postmodern sering menggunakan tangga nada
diatonik ini. musik diatonik menggunakan 7 nada dalam setiap oktaf. yaitu nada putih,
ataupun 1,2,3,4,5,6,7 (do,re,mi,fa,sol,la,si).
Pada tari musik yang digunakan sebagai pengiring atau pendukung dapat menggunakan
musik pentatonis maupun diatonis tergantung dari sumber gerak yang digunakan dan ide
tarinya itu sendiri, bahkan mungkin jenis musik ini digunakan dalam satu tarian. Hal ini
apabila musik berfungsi sebagai pendudkung atau ilustrasi tari, sehingga diperlukan musik
yang bervariasi warna suarannya.
Sangatlah mudah membedakan warna suara pentatonis dan diatonis, karena perbedaan
tersebut dapat didengarkan dengan jelas berdasarkan instrumen yang digunakan. Tariannya
pun pada umumnya mengikuti warna suara yang dihasilkan, jika pentatonis biasanya tari-tari
tradisional, sedangkan jika menggunakan musik diatonis maka tari-tari kreasi.
Gambar 1.9. Keterangan gambar cara membuat pola lantai pada naskah tari.
Level dan pola lantai dalam tari sangat penting untuk diperhatikan, gabungan beberapa
level dan pola lantai yang digunakan dalam tari akan menghasilkan gerak yang dinamis dan
estetis. Pada tarian tertentu memiliki level dan pola lantai yang tidak bisa diubah-ubah,
seperti pada tari klasik Bedhoyo. Level dan pola lantai pada tari tersbut memiliki makna dan
filosofi yang tinggi. Hal ini terkait dengan tujuan tari itu sendiri.
Selain permainan level dan pola lantai, tari tidak terlepas dari iringan atau musik
pengiringnya.
2) Busana Tari
T Tata busana tari merupakan unsur pendukung yang menentukan keindahan,
pemaknaan pada tari itu sendiri serta dapat menentukan karakter tari yang dibwakan penari.
Pada prinsipnya, busana tari harus enak dipakai, enak dipandang, dan tidak mengganggu
gerak penari. Unsur pendukung dalam bentuk kostum atau busana tari ini biasanya memiliki
filosofi dan menggambarkan isi dari tari. Hal ini dapat dilihat dari warna kostum yang
digunakan, karena warna memiliki arti tersendiri seperti warna kuning yang berarti
keagungan, warna putih kesucian, dan seterus. Pada tari tradisi kerakyatan biasanya warna-
warna menyolok sering digunakan, dan pada tari klasik lebih banyak menggunakan warna
keemasn, perak, dan merah.
Warna pada kostum memiliki simbol-simbol tersendiri, begitu juga ornamen yang
terdapat dalam kostum, dan kekhasan atau ciri daerah yang sering dijumpai pada tari-tari
rakyat. Kostum tidak semata-mata digunakan hanya untuk keindahan tetapi juga memiliki
fungsi yang mendukung terhadap karakter tari.
Fungsi Tata Busana
1. Memperjelas tema tari. Busana tari berfungsi untuk mendukung tema atau isi tari dan
untuk memperjelas peranan-peranan dalam suatu sajian tari. Busana tari secara umum
terdiri atas baju, celana, kain, selendang, ikat kepala, mahkota, dan lain-lain. Tata
busana untuk keperluan pementasan tari biasanya dirancang khusus sesuai dengan
tema tarinya.
2. Membantu menghidupkan karakter dan peran penari. Artinya busana yang dikenakan
penari sudah menunjukkan siapa dia sesungguhnya, umurnya, kebangsaannya, status
sosialnya, kepribadiannya. Bahkan tata busana dapat menunjukkan hubungan
psikologisnya penari dengan tarianya.
3. Membantu ekspresi penari dalam melakukan gerak tari. Artinya penari harus dapat
membawakan tari tanpa terganggu oleh busananya. Busana tidak harus dapat memberi
bantuan kepada penari tetapi busana harus sanggup menambah efek visual gerak,
menambah indah dan menyenangkan dilihat disetiap posisi yang diambil penari.
4. Memberikan nilai tambah pada segi estetika dan etika. Tarian yang dibawakan dengan
tata busana yang baik tentunya akan lebih indah dan menarik untuk disaksikan
(Sumber: http://www.mikirbae.com/2016/03/unsur-unsur-pendukung-dalam-tari.html)
Pada penyajian tari akan lebih menarik untuk disaksikan apabila didukung oleh tata
busana yang baik. Oleh karena itu di dalam penataan dan penggunaan busana tari hendaknya
senantiasa mempertimbangkan hal hal sebagai berikut:
1. Busana tari hendaknya enak dipakai dan sedap dilihat oleh penonton
2. Penggunaan busana selalu mempertimbangkan isi/tema sehingga dapat menghadirkan
suatu kesatuan antara tari dan tata busana
3. Penataan busana hendaknya dapat merangsang imajinasi penonton
4. Desain busana harus memperhatikan gerak tari, agar tidak mengganggu penari saat
bergerak.
5. Busana sebaiknya dapat memberi gamabaran atau karaktertari kepada penarinya.
6. Keharmonisan dalam pemilihan atau perpaduan warna busana harus diperhatikan.
Gambar 1.11. Contoh Busana Tari
e. Tata Pentas
Apapun bentuknya, suatu pertunjukan selalu memerlukan ruangan guna
menyelenggarakan. Ruangan tempat pertunjukan dengan sebutan pentas, dapat berupa
lapangan, pendapa, halaman pura atau gedung pertunjukan yang sering disebut dengan stage,
yang disebut dengan pentas tertutup.
Pertunjukan tari tradisional di lingkungan rakyat biasanya dipentaskan di lapangan terbuka,
seperti bentuk pertunjukan reog Ponorogo, Jathilan, tari-tarian di daerah pedalaman
Kalimantan, Sulawesi, Papua dan sebagainya. Sedangkan di kalangan istana di jawa biasanya
tari dipertunjukkan di pendapa yaitu suatu bangunan yang berbentuk joglo yang mempunyai
4 tiang penyangga atau saka guru. Pada tempat pertunjukan seperti ini biasanya penonton
dapat menyksikan pertunjukan dari berbagai arah. Sedangkan tari yang dipentaskan di
gedung pertunjukan hanya dapat dilihat dari satu arah penonton saja, misalnya di aula
sekolah, dan sebagainya.