Docslide. - Laporan Kasus Hemotoraks
Docslide. - Laporan Kasus Hemotoraks
PENDAHULUAN
Paru-paru adalah organ yang terletak di bawah tulang rusuk di dalam dada
yang terdiri dari banyak kantung kecil berisi udara yang disebut alveoli. Fungsi
utama dari paru-paru adalah membawa oksigen masuk ke dalam darah dan karbon
dioksida keluar dari darah. Pertukaran oksigen dan karbon ini terjadi dalam alveoli.
Tulang rusuk membantu melindungi paru-paru ketika paru mengembang dan
mengempis saat bernafas.8
Luka orthopedic dan kepala merupakan hal yang sering terjadi, terutama
pada kecelakaan lalu lintas ataupun kecelakaan kerja. Luka dapat secara umum
dibagi atas 2, yaitu yang disebabkan oleh karena trauma tumpul atau trauma
tembus. Trauma toraks mencakup 10% kasus trauma dan dapat berhubungan
dengan luka pada organ-organ yang lain. Angka mortalitas pada trauma toraks
mencapai 10%, sedangkan kematian akibat trauma toraks merupakan 1/4 jumlah
kematian total akibat kasus-kasus trauma.4
Hemotoraks adalah perdarahan ke dalam rongga dada antara paru dan
dinding dada internal (rongga pleura). Hemotoraks diklasifikasikan menurut jumlah
darah yang ada: minimal, sedang, atau besar. Hemotoraks dapat disebabkan oleh
trauma tumpul atau tembus pada dada. Pada cedera dada, tulang rusuk bisa
mencabik jaringan paru-paru atau arteri, menyebabkan darah mengumpul di rongga
pleura. Syok pada korban trauma sering terkait dengan hemotoraks besar.
Hemotoraks juga mungkin berhubungan dengan paru-paru kolaps (pneumotoraks).
Pada pasien hemotoraks dapat terjadi penurunan kesadaran yang disebabkan oleh
terganggunya fungsi pernapasan dan selanjutnya juga dapat disebabkan oleh
disfungsi kardiak.8
Penyebab paling umum dari hemotoraks adalah trauma toraks. Hal ini juga
dapat terjadi pada pasien yang memiliki kelainan sebagai berikut :8
Defek pada faktor pembekuan.
Jaringan paru mati (Pulmonary Infarction).
Kanker paru / Kanker pleural.
Pemasangan kateter vena sentral.
Operasi Thoraks atau operasi jantung.
Tuberkulosis.
Adapun terkait dengan topik laporan kasus ini. Maka, terdapat beberapa
rumusan masalah yang diajukan yakni sebagai berikut :
1
1.2.1 Bagaimana anatomi dan fisiologi dari toraks?
1.3 TUJUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.1 (a) Anterior view dinding toraks. (b). Posterior view dari dinding
toraks
Pleura adalah membran aktif yang disertai dengan pembuluh darah dan
limfatik. Disana terdapat pergerakan cairan, fagositosis debris, menambal kebocoran
udara dan kapiler. Pleura visceralis menutupi paru dan sifatnya sensitif, pleura ini
berlanjut sampai ke hilus dan mediastinum bersama ± sama dengan pleura
parietalis, yang melapisi dinding dalam thorax dan diafragma. Pleura sedikit melebihi
tepi paru pada setiap arah dan sepenuhnya terisi dengan ekspansi paru ± paru
normal, hanya ruang potensial yang ada.16
Diafragma bagian muskular perifer berasal dari bagian bawah iga keenam
kartilago kosta, dari vertebra lumbalis, dan dari lengkung lumbokostal, bagian
muskuler melengkung membentuk tendo sentral. Nervus frenikus mempersarafi
3
motorik dari interkostal bawah mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik setinggi
putting susu, turut berperan dalam ventilasi paru ± paru selama respirasi biasa /
tenang sekitar 75%.16
Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan
yang terdapat antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Seperti
yang telah diketahui, dinding toraks berfungsi sebagai penembus. Selama inspirasi,
volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat
kontraksi beberapa otot yaitu sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas
dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga.19
4
lebih rendah menyebabkan karbondioksida berdifusi kedalam alveolus.
Karbondioksida ini kemudian dikeluarkan ke atmosfir.19
5
2.3 Trauma Toraks
Trauma thoraks adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thoraks
yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thoraks ataupun isi dari cavum
thoraks yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat
menyebabkan keadaan gawat thoraks akut. Trauma thoraks atau cedera dada dapat
menyebabkan kerusakan dinding dada, paru, jantung, pembuluh darah besar serta
organ disekitarnya termasuk viscera (berbagai organ dalam besar di dalam rongga
dada).8
Trauma toraks dapat berupa trauma tumpul dinding toraks ataupun trauma
tajam. Pada trauma tumpul tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks, biasanya
terjadi akibat kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, olahraga, crush atau blast injuries.
Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio paru dan hanya
sekitar <10% yang memerlukan operasi torakotomi. Sedangkan trauma tajam toraks
terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung akibat penyebab trauma.
Terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, dsb) atau peluru, sekitar 10-30%
memerlukan operasi torakotomi.11
Trauma toraks atau dada yang terjadi, menyebabkan gagal ventilasi (keluar
masuknya udara), kegagalan pertukaran gas pada tingkat alveolar (organ kecil pada
paru yang mirip kantong), kegagalan sirkulasi karena perubahan hemodinamik
(sirkulasi darah). Ketiga faktor ini dapat menyebabkan hipoksia (kekurangan suplai
O2) seluler yang berkelanjutan pada hipoksia jaringan. Hipoksia pada tingkat
jaringan dapat menyebabkan ransangan terhadap cytokines yang dapat memacu
terjadinya Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS), Systemic Inflamation
Response Syndrome (SIRS), dan sepsis. Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering
disebabkan oleh trauma toraks. Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak
adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipovolemia (kehilangan
darah), pulmonary ventilation/perfusion mismatch (contoh kontusio, hematoma,
kolaps alveolus) dan perubahan dalam tekanan intratoraks (contoh : tension
pneumothorax, pneumothorax terbuka). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh
tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intratoraks atau penurunan
tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan
(syok).17
6
Kelainan yang terjadi akibat trauma toraks secara garis besar terbagi menjadi
dua, berdasarkan pada letak anatominya. Yaitu trauma dinding torak dan paru serta
jantung dan aorta yang akan dijelaskan sebagai berikut.
Pada kelainan yang terjadi pada trauma dinding toraks dan paru dapat
ditemukan kelainan sebagai berikut, antara lain :
Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan
keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada
dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya segmen flail
chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding
dada. Jika kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan
pada tulang maka akan menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada
kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio
paru). Walaupun ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal
dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan
menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama
disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan
trauma jaringan parunya.22
7
Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat)
dengan dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak
secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal
dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosis. Dengan foto toraks
akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi
terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah
yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam
diagnosis Flail Chest. Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian ventilasi
adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok
maka pemberian cairan kristoloid intravena harus lebih berhati-hati untuk mencegah
kelebihan pemberian cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru pada Flail Chest,
maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun kelebihan resusitasi cairan.
Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar
optimal.22
Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan
potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan
berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian, sehingga
rencana penanganan definitif dapat berubah berdasarkan perubahan waktu.
Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan evaluasi penderita yang
berulang-ulang. Penderita dengan hipoksia bermakna (PaO2 < 65 mmHg atau 8,6
kPa dalam udara ruangan, SaO2 < 90 %) harus dilakukan intubasi dan diberikan
bantuan ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma.16
Kondisi medik yang berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit paru
kronis dan gagal ginjal menambah indikasi untuk melakukan intubasi lebih awal dan
ventilasi mekanik. Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani secara
selektif tanpa intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik. Monitoring dengan pulse
oximeter, pemeriksaan analisis gas darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat
bantu pernafasan diperlukan untuk penanganan yang optimal. Jika kondisi penderita
memburuk dan perlu ditransfer maka harus dilakukan intubasi dan ventilasi terlebih
dahulu.16
2.4.1.4 Pneumothoraks
8
ditemukan bersama dengan pneumotoraks. Laserasi paru merupakan penyebab
tersering dari pnerumotoraks akibat trauma tumpul. Dalam keadaan normal rongga
toraks dipenuhi oleh paru-paru yang pengembangannya sampai dinding dada oleh
karena adanya tegangan permukaan antara kedua permukaan pleura. Adanya udara
di dalam rongga pleura akan menyebabkan kolapsnya jaringan paru. Gangguan
ventilasi-perfusi terjadi karena darah menuju paru yang kolaps tidak mengalami
ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi.8
Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang terkena
dan pada perkusi hipesonor. Foto toraks pada saat ekspirasi membantu
menegakkan diagnosis. Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan
pemasangan chest tube pada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis mid-
aksilaris. Bila pneumotoraks hanya dilakukan observasi atau aspirasi saja, maka
akan mengandung resiko. Sebuah selang dada dipasang dan dihubungkan dengan
WSD dengan atau tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi
pengembangan kembali paru-paru. Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan
positif tidak boleh diberikan pada penderita dengan pneumotoraks traumatik atau
pada penderita yang mempunyai resiko terjadinya pneumotoraks intraoperatif yang
tidak terduga sebelumnya, sampai dipasang chest tube. Pneumotoraks sederhana
dapat menjadi life thereatening tension pneumothorax, terutama jika awalnya tidak
diketahui dan ventilasi dengan tekananpositif diberikan. Toraks penderita harus
dikompresi sebelum penderita ditransportasi/rujuk.8
Pneumothorax terbuka (Sucking chest wound ) defek atau luka yang besar
pada dinding dada yang terbuka menyebabkan pneumotoraks terbuka. Tekanan di
dalam rongga pleura akan segera menjadi sama dengan tekanan atmosfir. Jika
defek pada dinding dada mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara akan
cenderung mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau
lebih kecil dibandingkan dengan trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga
menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.6
Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa stril yang diplester hanya
pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek
flutter Type Valve dimana saat inspirasi kasa penutup akan menutup luka, mencegah
kebocoran udara dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk
menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang selang
dada yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan
menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang akan menyebabkan
tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah terpasang. Kasa penutup
sementara yang dapat dipergunakan adalah Plastic Wrap atau Petrolotum Gauze,
sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan dilanjutkan dengan
penjahitan luka.6
9
Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi
penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada
penderita dengan kerusakan pada pleura viseral. Tension pneumothorax dapat
timbul sebagai komplikasi dari penumotoraks sederhana akibat trauma toraks
tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau setelah
salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vena jugularis interna.
Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan
tension pneumothorax, jika salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan
pembalut (occhusive dressings) yang kemudian akan menimbulkan mekanisme flap-
valve. Tension pneumothorax juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks
yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures).4
2.4.1.5 Hemotoraks
10
Hemotoraks Kecil : yang tampak sebagian bayangan kurang dari 15 % pada
foto rontgen, perkusi pekak sampai iga IX. Jumlah darah sampai 300 ml.
Penyebab dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh
darah intercostal atau arteri mammaria internal yang disebabkan oleh cedera tajam
11
atau cedera tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebrata torakal juga dapat
menyebabkan hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak
memerlukan intervensi operasi. Hematothorax dapat juga terjadi pada pasien yang
memiliki15:
- Menusuk dada ( ketika senjata seperti pisau atau memotong peluru paru-
paru )
- Operasi jantung
- Tuberkulosis
12
Gambar 2.4 Skema Patofisiologi Trauma Toraks
Efek pendesakan dari akumulasi besar darah dalam rongga pleura dapat
menghambat gerakan pernapasan normal. Dalam kasus trauma, kelainan ventilasi
dan oksigenasi bisa terjadi, terutama jika berhubungan dengan luka pada dinding
dada. Sebuah kumpulan yang cukup besar darah menyebabkan pasien mengalami
dyspnea dan dapat menghasilkan temuan klinis takipnea. Volume darah yang
diperlukan untuk memproduksi gejala pada individu tertentu bervariasi tergantung
pada sejumlah faktor, termasuk organ cedera, tingkat keparahan cedera, dan
cadangan paru dan jantung yang mendasari.16
13
menghasilkan respon hemodinamik terlihat, dan dispnea sering menjadi keluhan
utama.17
Tanda-tanda shok seperti hipotensi, dan nadi cepat, pucat, akral dingin
Tachycardia
Dyspnea
Hypoxemia
Anxiety (gelisah)
Cyanosis
Anemia
14
Penurunan suara napas atau menghilang pada sisi yang terkena
15
USG : USG yang digunakan adalah jenis FAST dan diindikasikan untuk
pasien yang tidak stabil dengan hemothoraks minimal.
16
Memposisikan pasien pada posisi trandelenberg
17
Gambar prodsedur torakotomi
Ateletaksis
Shok
Pneumothorax
Pneumonia
Septisemia
18
Cedera ini jarang tetapi mungkin disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma
tembus, manifestasi klinisnya yaitu yang biasanya timbul dramatis, dengan
hemoptisis bermakna, hemopneumothorax, krepitasi subkutan dan gawat nafas.
Emfisema mediastinal dan servical dalam atau pneumothorax dengan kebocoran
udara masif. Penatalaksanaan yaitu dengan pemasangan pipa endotrakea (melalui
kontrol endoskopi) di luar cedera untuk kemungkinan ventilasi dan mencegah
aspirasi darah, pada torakostomi diperlukan untuk hemothorax atau pneumothorax.
Selain trauma dinding toraks dan paru, pada trauma toraks dapat juga terjadi
trauma jantung dan aorta. Terbagi menjadi beberapa kelainan sebagai berikut :
19
Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila penderita dengan
syok hemoragik tidak memberikan respon pada resusitasi cairan dan mungkin ada
tamponade jantung. Tindakan ini menyelamatkan nyawa dan tidak boleh diperlambat
untuk mengadakan pemeriksaan diagnostik tambahan.12
Terjadi karena ada pukulan langsung pada sternum dengan diikuti memar
jantung dikenal sebagai kontusio miocard. Manifestasi klinis cedera jantung mungkin
bervariasi dari petekie epikardial superfisialis sampai kerusakan transmural.
Disritmia merupakan temuan yang sering timbul. Pemeriksaan Jantung yaitu dengan
Isoenzim CPK merupakan uji diagnosa yang spesifik, EKG mungkin memperlihatkan
perubahan gelombang T ± ST yang non spesifik atau disritmia.18
20
akibat kontusio jantung. Juga penting untuk diingat bahwa kecelakaannya sendiri
mungkin dapat disebabkan adanya serangan infak miokard akut. Penderita kontusio
miokar dyang terdiagnosis karena adanya kondusksi yang abnormal mempunyai
resiko terjadinya disrtimia akut, dan harus dimonitor 24 jam pertama, karena setelah
interval tersebut resiko disritmia kaan menurun secara bermakna.18
Seringkali gejala ataupun tanda spesifik ruptur aorta tidak ada, namun
adanya kecurigaan yang besar atas riwayat trauma, adanya gaya deselerasi dan
temuan radiologis yang khas diikuti arteriografi merupakan dasar dalam penetapan
diagnosis. Angiografi harus dilakukan secara agresif karena penemuan foto thorax,
terutama pada posisi berbaring, hasilnya tidak dapat dipercaya. Apabila ditemukan
pelebaran mediastinum pada foto thorax dan diberlakukan kriteria indikasi agresif
untuk pemeriksaan angiografi maka hasil positif untuk rupture aorta adalah sekitar
3%. Angiografi merupakan pemeriksaan gold standard tetapi Transesofageal
Echokardiografi (TEE) merupakan pemeriksaan minimal invasive yang dapat
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis. CT helical dengan kontras saat
ini merupakan cara terbaik untuk skrining cedera aorta.26
Manifestasi yang dapat muncul selain yang telah dijelaskan diatas juga dapat
terjadi. Antara lain :
21
Tergencetnya thorax akan menimbulkan kompresi tiba-tiba dan sementara
terhadap vena cava superior dan menimbulkan plethora serta petechiae yang
meliputi badan bagian atas, wajah dan lengan. Dapat terjadi edema berat, bahkan
edema otak. Yang harus diterapi adalah cedera penyerta.29
– Portable x-ray
– Portable bronchoscope
• Penanganan pasien trauma toraks sebaiknya dilakukan oleh Tim yang telah
memiliki sertifikasi pelatihan ATLS (Advance Trauma Life Support).
Krikotiroidotomi
Trakheostomi
Tube Torakostomi
Torakotomi
Eksplorasi vaskular
22
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : Tn. W
Usia : 44 th
Alamat : Trenggalek
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : SD
Suku : Jawa
Agama : Islam
3.2 Anamnesis
Pasien mengeluh nyeri dada sebalah kanan disertai dengan sesak, setelah
terjatuh dari pohon cengkeh dengan ketinggian ± 5 meter. Nyeri dada dirasa
terutama saat bernafas. Pasien mengaku terjatuh dengan posisi dada terlebih
dahulu. Riwayat pingsan (-), pusing (-), muntah (-). Pasien sempat dirawat
sebelumnya di RS Soedomo Trenggalek dan kemudian di rujuk di RSUD dr.Iskak
Tulungagung.
Primary Survey
Airway : Paten.
Breathing :
Sirkulasi : Nadi 98 x/menit, kuat regular, akral hangat ( Tax: 36,3o C), kering,
CRT< 2 detik, TD : 120/70 mmHg.
23
Disability : Kompos Mentis, GCS 456, pupil bulat isokor 3mm, reflek cahaya
+/+. Terdapat luka babras pada dada kanan dengan ukuran 1x 10 cm.
Event : Pasien jatuh dari pohon cengkeh dengan ketinggian 5 meter. Dengan
posisi jatuh bagian dada terlebih dahulu.
2. Secondary survey :
Mata : konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3mm), reflek
cahaya (+/+).
Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), jejas (-/-),
Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), darah (-/-)
Leher :
Inspeksi : deformitas (-), kontusio (-), luka babras (-), luka penetrasi (-),
luka bakar (-), luka robek (-), distensi vena jugularis (-).
Thoraks :
Inspeksi : deformitas (+), kontusio (-), luka babras (+) pada dada sebelah
kanan ukuran ± 1x 10 cm, paradoksal movement (-), luka bakar (-), luka
robek (-), memar (-).
Perkusi : Redup pada dada Dextra dan sonor pada dada sinistra.
Abdomen :
Inspeksi : deformitas (-), kontusio (-), luka babras (-), luka penetrasi (-),
luka bakar (-), luka robek (-), luka memar (-).
Perkusi: Timpani.
Pelvis :
24
Inspeksi : deformitas (-), kontusio (-), luka babras (-), luka penetrasi (-),
luka bakar (-), luka robek (-), luka memar (-).
Femur :
Inspeksi : deformitas (-), kontusio (-), luka babras (-), luka penetrasi (-),
luka bakar (-), luka robek (-), luka memar (-).
Status Lokalis :
DL; Ot/PT; Ur/Cr; SE; BGA; Chest xray; cervical AP/lat; EKG.
Hasil Laboratorium :
25
P-LCR: 21.2 [%]
Cr : 0.76 mg/dl
Na : 137 mmol/l
SO2 : 99.6
EKG (16/7/2013) :
Radiologi (16/7/2013) :
26
3.5 Diagnosis Kerja :
3.6 Penatalaksanaan :
A:-
Observasi
Follow Up Pasien :
27
Tanggal Subjective Objective Assesment Planning
Abdomen :
Soeftl, BU(+)N.
Hasil Lab :
DL :
Hb : 8.8 [g/dL]
BGA :
Ph : 7.4
28
Po2 : 212.2
Pco2 : 43.1
So2 : 99. 7
BE : 7.5
HCO3 : 31.7
TCO2 : 33.0
29
Thorax : urin+WSD.
Abdomen :
Soeftl, BU(+) N.
Hasil Lab :
DL : Hb 11. 2 [g/dl]
30
(+) WSD : ± 50cc Breathing
C/ ictus invisible,
palpable at ICS V mcl
S.
Abdomen :
Soeftl, BU(+)N.
Hasil Lab :
Dl : HB 12 [g/dl]
Aff. WSD
31
CRT < 2 detik.
Thorax :
Simetris
C/ ictus invisible,
palpable at ICS V mcl
S.
Abdomen :
Soeftl, BU(+)N.
Thorax :
Simetris
C/ ictus invisible,
palpable at ICS V mcl
S.
Abdomen :
32
Soeftl, BU(+)N.
33
BAB IV
PEMBAHASAN
Gejala subyektif pada kasus hemotoraks meliputi nyeri dada yang berkaitan
dengan trauma dinding dada dan gejala obyektif yang meliputi gerakan serta
pengembangan rongga dada yang tidak sama, penurunan suara nafas atau
menghilang pada sisi yang trauma, dullness saat perkusi, krepitasi saat dilakukan
palpasi, cyanosis, anemia, hypoxemia, anxiety, tanda-tanda syok seperti hipotensi,
nadi cepat dan akral dingin. Pada pasien ini gejala yang timbul berupa nyeri dada
sebelah kanan terutama saat menarik nafas yang disertai dengan sesak, sedangkan
dari pemeriksaan fisik didapatkan jejas pada dada kanan, krepitasi, perkusi redup,
pergerakan dinding dada yang tertinggal, auskultasi didapatkan suara nafas yang
menjauh pada dinding dada sebelah kanan. Pada pasien ini hemodinamik stabil
setelah diresusitasi pada Rsud. Trenggalek sebelum akhirnya dirujuk ke Rsud. Dr
iskak Tulungagung.
34
dr iskak. Sehingga, stabilisasi dilanjutkan dengan pemberian oksigenasi via NRBM
10 lpm, rehidrasi cairan RL ~ 30 tpm, transfuse darah PRC 2 labu, pemberian
analgesik berupa ketorolac dan petidin serta pemberian antibiotic ceftriaxone 1 mg.
35
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
36
DAFTAR PUSTAKA
4. Bruce J.Simon. The Journal of Trauma_ Injury, Infection, and Critical CareJ
Trauma. 2005;59:1256–1267. Available from:
http://www.jtrauma.com/pt/re/jtrauma/pdfhandler.
7. Guyton & Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC :
Jakarta.
12. Kleinman PK, Schlesinger AE. Mechanical factors associated with posterior
rib fractures: laboratory and case studies. Pediatr Radiol 1997;27:87– 91.
37
15. Mary C Mancini.2011.Hemothorax.
http://emedicine.medscape.com/article/2047916-overview#a0156
18. S. Wanek, J.C. Mayberry. Blunt thoracic trauma: f lail chest, pulmonary
contusion, and blast injury Crit Care Clin 20 (2004). Pg. 71–81.
19. Setiawan, I., Tengadi K.A, Santoso, A. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Edisi 9. EGC. Jakarta.
20. Sjamsuhidajat, Jong W D. (2005). Buku Ajar ilmu bedah, Edisi 2, penerbit
buku kedokteran EGC. Jakarta.
22. Syamsu Hidayat,R Dan Wim De Jong, Buku Ajar Bedah, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC, Jakarta,tahun 1995
24. Soepardi E A, Iskandar N. (2006). Buku ajar ilmu kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala Leher. Bab VII, hal 132-156. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Indonesia. Jakarta
26. Viano D, Lau I, Asbury C. Biomechanics of the human chest, abdomen and
pelvis in lateral impact. Accid Anal Prev 1989;21:553– 74.
27. Wanek, J.C. Mayberry. Blunt thoracic trauma: f lail chest, pulmonary
contusion, and blast injury Crit Care Clin 20 (2004). Pg. 71–81.
28. Wightman JM, Gladish SL. Explosions and blast injuries. Ann Emerg Med
2001;37:664– 78.
38