oleh:
Kelompok D/F-2016
Ula Hovi Roseifa NIM 162310101104
Afif Laily Salsabilla NIM 162310101206
Anggara Hikmayani NIM 162310101215
Indah Listiyawati NIM 162310101223
Mariatul Rochmawati Nuris Wahyuni NIM 162310101224
Alfin Nadlirotul Fatmalia NIM 162310101225
Grysha Viofananda A.K.A NIM 162310101292
2. Persiapan Pasien
1. Pasien diatur agar bed rest atau posisi semi fowler, cukur rambut regio inguinal
dan radial, Rehidrasi dengan NaCL 0,9% 1-2 cc/kg/jam selama 6 jam
sebelum dan sesudah PCI. Pastikan telah mendapatkan dosis clopidogrel atau
ticagleror optimal. Pada kondisi akut dapat diberikan Clopidogrel dosis 600
mg atau Ticagleror 180 mg tablet. Kondisi kadar gula darah terkontrol dengan
target GD 140-180 mg/dl. Kendali GD dapat dikendalikan dengan drip
insulin kontinu pada tindakan PCI risiko tinggi. Pasien harus diberi
penjelasan tentang prosedur yang akan dilakukan. Perhiasan yang dapat
mengganggu hasil angiogram, sebaiknya dibuka sebelum prosedur
2. Perawatan pasien sebelum prosedur kateterisasi jantung perlu dilakukan untuk
mempersiapkan pasien baik secara fisik maupun psikologis agar pasien siap
menjalani prosedur ini. Persiapan fisik yang dilakukan meliputi puasa selama
4-6 jam, membersihkan area puncture (penusukan), mengkaji allent tes jika
menggunakan arteri radialis, meminum obat-oabatan sebelum prosedur, serta
membuka segala jenis perhiasan yang menggangu hasil angiogram.
3. Pemeriksaan laboratorium dan diagnostik. Pemeriksaan darah lengkap,
elektrolit, Blood Urea Nitrogen, ureum, kreatinin. Sedangkan pemeriksaan
diagnostik yang perlu dilakukan adalah treadmill, echocardiogram, ECG, dan
X-ray. Kalium apabila kadarnya rendah akan mengakibatkan peningkatan
sensitifitas dan eksitabilitas miokard sehingga dapat meningkatkan disritmia
ventrikel yang mengancam pasien. Pemeriksaan EKG 12 lead. Penyadapan
EKG bertujuan untuk mengetahui adanya kelainan-kelainan irama jantung
(aritmia), infark/iskemia pada otot jantung, pengaruh atau efek obat-obat
jantung serta mengetahui adanya gangguan elektrolit.
4. Pasien yang menjalani kateterisasi diinstruksikan untuk puasa 4-6 jam sebelum
prosedur dilakukan bertujuan untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung
ke saluran pernafasan bila pasien mengalami mual dan muntah selama
prosedur berlangsung.
5. Pasien akan mendapatkan anestesi lokal sebelum prosedur dimulai. Obat
anestesi lokal bekerja dengan emblok saraf perifer tanpa menimbulkan efek
kehilangan kesadaran. Ada sejumlah abat anastesi lokal yaitu novocain,
lidocaine, propoxycaine, tetracaine, prilocaine and etidocaine. Efek
sampingnya adalah rasa gatal, bengkak dan kemerahan pada kulit. Anastesi
lokal pada prosedur kateterisasi jantung berfungsi untuk menghilangkan
perasaan tidak nyaman pada area insersi pada saat kateter dimasukkan.
6. Premedikasi sedatif ringan biasanya diberikan. Lorazepam adalah obat-obatan
benzodiazepine yang bekerja dalam waktu singkat. Adapun efek instrinsik
benzodiazepine yaitu anxiolytic, sedatif/hipnotik, anticonvulsant dan muscle
relaxation. Lorazepam telah digunakan sejak tahun 1971 untuk mengatasi
gejala kecemasan dalam waktu jangka pendek. Lorazepam secara intravena
diberikan selambat lambatnya 10 menit sebelum prosedur.
7. Pasien dengan insufisiensi ginjal harus dilakukan hidrasi dengan baik sebelum
dan selama prosedur, karena zat kontras bersifat nefrotoksik. Hidrasi yang
baik dapat dicapai dengan memasang terapi intravena pada pasien, sehingga
setelah prosedur zat kontras dapat segera dikeluarkan dari dalam tubuh.
Kontras maksimal yang dapat digunakan untuk mencegah CIN = (4 x BB) /
kadar serum creatinin (Levine dkk, 2011; Ahlsson, 2018)
3. Prosedur
Stent koroner digunakan lebih dari 90% prosedur IKP seluruh dunia. Stent
koroner berperan sebagai perancah untuk diseksi arteri koroner, sehingga
menurunkan insiden penutupan pembuluh darah dan operasi pintas koroner,
menurunkan frekuensi restenosis dengen mencegah recoil arteri. Generasi kedua
stent memiliki tingkat fleksiilitas yang tinggi, kemudahan penghantaran dan
kemudahan akses cabang koroner.
4. Perawatan Lanjutan
Setelah prosedur kateterisasi jantung, pasien di transfer ke unit observasi,
telemetry unit, atau ke intensive care unit, tergantung pada kondisi pasien dan tipe
prosedur yang dilakukan. Biasanya pasien ditransfer ke unit observasi selama 6
jam, setelah itu bila kondisi stabil, pasien boleh pulang. Pasien yang menjalani
percutaneus coronary intervention (PCI), biasanya di rawat inap selama semalam
di telemetry unit atau interventional cardiology unit, karena akan dirawat dan
diawasi oleh perawat yang punya keahlian dan telah berpengalaman dalam
perawatan pasien postprocedural serta mempunyai pengetahuan tentang obat-obat
jantung, interpretasi aritmia, ACLS skills, serta manajemen area kateterisasi
jantung. Pasien akan di observasi secara terus menerus atau di transfer ke ruang
ICU jika mengalami status hemodinamik yang tidak stabil atau terjadi komplikasi
setelah prosedur seperti miocardial infark, tamponade jantung, distres sistem
pernafasan serta aritmia yang tidak stabil (Sodiqur, R. 2012).
Pengujian Latihan
1. Pada pasien memasuki program rehabilitasi jantung resmi setelah PCI,
pengujian latihan treadmill adalah wajar.
2. Stress testing secara berkala rutin dari pasien tanpa gejala setelah PCI tanpa
indikasi klinis spesifik tidak boleh dilakukan
3. Program latihan medis diawasi (cardiac rehabilitasi) harus dianjurkan untuk
pasien setelah PCI, terutama untuk moderat untuk pasien berisiko tinggi untuk
siapa diawasi pelatihan olahraga dibenarkan. Perawatan setelah menjalani
prosedur kateterisasi jantung bertujuan untuk mengidentifikasi adanya iskemia
atau infark pasca prosedur, mengidentifikasi efek dari zat kontras, adanya
edema dan perdarahan pada area puncture serta mengidentifikasi adanya
gangguan sirkulasi perifer. Semua tindakan ini diharapkan dapat
mengidentifikasi masalah yang dialami pasien sesegera mungkin, mencegah
terjadi infeksi serta mempercepat penyembuhan kondisi pasien. Oleh karena itu
perawatan pasien secara komprehensif diperlukan baik sebelum, selama dan
setelah prosedur kateterisasi jantung (Elliout dkk., 2012).
5. Setting
1. PCI primer harus dilakukan pada pasien dalam waktu 12 jam dari onset
STEMI.
2. PCI primer harus dilakukan pada pasien dengan STEMI yang datang ke rumah
sakit dengan kemampuan PCI dalam waktu 90 menit dari kontak medis
pertama sebagai tujuan sistem.
3. PCI primer harus dilakukan pada pasien dengan STEMI yang datang ke rumah
sakit tanpa kemampuan PCI dalam waktu 120 menit dari fi kontak medis
pertama sebagai tujuan sistem.
4. PCI primer harus dilakukan pada pasien dengan STEMI yang mengembangkan
gagal jantung berat atau syok kardiogenik dan kandidat yang cocok untuk
revaskularisasi sesegera mungkin, terlepas dari waktu tunda.
5. Primer PCI harus dilakukan sesegera mungkin pada pasien dengan STEMI dan
kontraindikasi untuk terapi fibrinolytic dengan gejala iskemik kurang dari 12
jam (Levine dkk, 2011; Ahlsson, 2018).
6. Indikasi
1. STEMI akut onset < 12 jam (disebut PCI primer)
2. Non STEMI akut highrisk (disebut early PCI)
3. Penyakit jantung koroner (stenosis arteri koroner bermakna)
4. 80% Pasien dengan elevasi segmen ST kurang dari 12 jam dilakukan reperfusi
primer (PCI/ Fibrinolitik)
5. Nyeri dada stabil dengan perubahan iskemik bermakna pada tes latihan
6. Pasien dengan nyeri dada tanpa etiologi yang jelas
7. Sindrom koroner tidak stabil (peningkatan Troponin T atau I).
8. Pasca infark miokard non gelombang Q g. Pasca infark miokard gelombang Q
pada pasien risiko tinggi (ditentukan dengan tes latihan atau pemindaian
perfusi miokard).
9. Pasien dengan aritmia berlanjut atau berulang
10. Gejala berulang pasca coronary artery bypass Graft (CABG) atau percutaneus
coronary intervention (PCI)
11. Pasien yang menjalani pembedahan katup jantung
12. Pasien gagal jantung dengan etiologi yang tidak jelas
.l3. Menentukan penyebab nyeri dada pada kardiomiopati hipertropi
7. Kontra Indikasi
1. Perdarahan
2. Stroke
3. Anafilaktik
4. Thrombosis
5. Pericard efusi
(Levine dkk, 2011; Ahlsson, 2018)
8. Komplikasi
Komplikasi mayor lain termasuk kejadian yang jarang, tetapi bisa
mengakibatkan kematian (0,2% dalam kasus berisiko tinggi), MI akut (1%) yang
mungkin memerlukan CABG darurat, stroke (0,5%), termponade jantung (0,5%)
dan perdarahan sistemik (0,5%). Kematian terjadi saat proses di rumah sakit.
Stroke terjadi saat otak kehilangan fungsi neurologis yang disebabkan oleh
iskemik 24 jam setelah onset (Elliout dkk., 2012; Levine dkk, 2011; Ahlsson,
2018).
Komplikasi minornya adalah alergi terhadap medium kontras, nefropati
dan komplikasi pada bagian yang dimasuki, seperti perdarahan dan hematoma.
Gagal ginjal meliputi terjadinya peningkatan serum kreatinin lebih 2 mg/dl
(Elliout dkk., 2012; Levine dkk, 2011; Ahlsson, 2018).
Pada pengklasifikasian lesi dikenal istilah deskripsi lesi risiko tinggi atau lesi C yaitu
sebagai berikut :
1. Adanya difusi lebih dari 2 cm
2. Excessive tortuosity dari segmen proksimal
3. Segmen terakumulasi lebih dari 900
4. Oklusi total lebih dari 3 bulan dan atau adanya bridging collateral
5. Ketidakmampuan untuk melindungi cabang yang lebih besar
6. Vena yang terdegenerasi
Oklusi total lebih dari 3 bulan dan atau adanya bridging collateral dan vena yang
terdegenerasi adalah untuk kegagalan teknik dan peningkatan restenosis dan tidak
untuk komplikasi akut (AHA, 2005 dalam Ahlsson, 2018). Adapun klasifikasi lesi
berdasarkan SCAI, lesi dibagi menjadi 4 tipe lesi sebagai berikut :
Derajat penyempitan
Derajat penyempitan pembuluh darah coroner dapat dilihat secara visual oleh
operator yang berpengalaman atau dapat digunakan angiografi kuantitatif untuk
mendapatkan penilaian computer mengenai derajat keparahan ( Ahlsson, 2018).
Penyempitan koroner dinterpretasikan bermakna jika persentasi stenosis ≥ 50 % pada
LMCA atau ≥ 75% pada arteri coroner lainnya. Sintha et al pada tahun 1997 dalam
Gani Manurung tahun 2008 dikatakan bahwa derajat penyempitan dibagi menjadi :
- Grade 0 : penyempitan < 25%
- Grade 1 : penyempitan 25-49 %
- Grade 2 : penyempitan 50-74%
- Grade 3 : penyempitan 75-94 %
- Grade 4 : penyempitan ≥ 95%
Sumber: (Ahlsson, 2018)
11. Monitoring
13. Rekomendasi
Pasien yang akan menjalani prosedur kateterisasi jantung perlu diberikan
tindakan mengurangi kecemasannya seperti pemberian pendidikan kesehatan serta
teknik relaksasi. Selain itu perlu dipersiapkan EKG 12 lead, pemeriksaan
laboratorium dan diagnostik, puasa 4-6 jam, memberikan premedikasi sedatif,
diberikan antihistamin (dipenhidramin), penjelasan tentang prosedur yang akan
dilakukan, membuka perhiasan yang dapat mengganggu hasil angiogram. Selama
prosedur kateterisasi berlangsung, perawat memonitor vital sign dan perubahan
hemodinamik, perubahan status emosiona pasien, kesadaran, respon vokal, dan
ekspresi wajah yang menunjukkan ketidaknyamanan. Perawat harus waspada
terhadap adanya tanda-tanda yang membahayakan pasien dengan memberikan
intervensi yang tepat untuk mencegah terjadi kondisi yang lebih serius seperti
reaksi vasovagal dan spasme arteri koronaria (Elbaz, 2018).
Setelah prosedur pasien perlu dipantau mengenai keluhan yang dirasakan
pasien, mengidentifikasi adanya nyeri dada, memonitor tanda-tanda vital, adanya
perdarahan, hematoma disekitar area penusuka, monitor adanya tanda-tanda dari
efek samping zat kontras, monitor tanda tanda gangguan sirkulasi ke perifer,
monitor adanya tanda-tanda infeksi. Diharapkan kepada perawat dan tim medis
lain untuk melakukan perawatan pasien mulai dari persiapan pasien sebelum,
selama serta setelah menjalani prosedur kateterisasi jantung dengan baik untuk
mencegah terjadi komplikasi selama dan setelah prosedur dilakukan.