Anda di halaman 1dari 13

GUIDELINES PCI (PERCUTANEOUS CORONARRY INTERVENTION)

TUGAS KEPERAWATAN KRITIS

oleh:

Kelompok D/F-2016
Ula Hovi Roseifa NIM 162310101104
Afif Laily Salsabilla NIM 162310101206
Anggara Hikmayani NIM 162310101215
Indah Listiyawati NIM 162310101223
Mariatul Rochmawati Nuris Wahyuni NIM 162310101224
Alfin Nadlirotul Fatmalia NIM 162310101225
Grysha Viofananda A.K.A NIM 162310101292

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
1. Deskripsi Tindakan
PCI adalah prosedur non bedah menggunakan kateter untuk melebarkan
atau membuka pembuluh koroner yang menyempit dengan balon atau stent yang
disebabkan proses aterosklerosis atau trombosis. Pasien dengan gagal jantung
berat atau syok kardiogenik cocok untuk revaskularisasi. Sebuah strategi dari
angiografi koroner segera (primary PCI) dengan maksud untuk melakukan
reperfusi segera pada klien STEMI, dan terbukti gagal jantung disertai fibrinolysis
PCI adalah sebuah strategi angiografi koroner (atau transfer untuk angiografi
koroner) 3 sampai 24 jam setelah memulai terapi fibrinolytic dengan maksud
untuk menstabilkan hemodinamik dengan STEMI dan memberikan akses untuk
fibrinolysis saat angiografi dan revaskularisasi yang dilakukan dengan cepat. PCI
dilakukan oleh: 1 Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah (SpJP) Intervensi, 1
orang scrub, 1 orang instrumen, 1 orang radiografer atau Sikor (Levine dkk,
2011).
PCI / Kateterisasi jantung merupakan tindakan untuk memasukkan kateter
melalui femoral (Judkins) atau brachialis (Sones) menuju ke aorta assendens dan
arteri oronaria yang dituju dengan bantuan fluoroskopi. Pada saat ini kateter
femoral lebih banyak digunakan kateter ukuran 6 atau bahkan 5 French. Setelah
diposisikan dalam ostium arteri koroner, media kontras dimasukkan untuk
mengopasifikasi arteri koroner sehingga gambar arteri koroner dapat diperoleh
dengan manuver kamera radiografi disekitar pasien untuk mendapatkan gambar
dari sudut yang berbeda (Levine dkk, 2011; Ahlsson, 2018).

2. Persiapan Pasien
1. Pasien diatur agar bed rest atau posisi semi fowler, cukur rambut regio inguinal
dan radial, Rehidrasi dengan NaCL 0,9% 1-2 cc/kg/jam selama 6 jam
sebelum dan sesudah PCI. Pastikan telah mendapatkan dosis clopidogrel atau
ticagleror optimal. Pada kondisi akut dapat diberikan Clopidogrel dosis 600
mg atau Ticagleror 180 mg tablet. Kondisi kadar gula darah terkontrol dengan
target GD 140-180 mg/dl. Kendali GD dapat dikendalikan dengan drip
insulin kontinu pada tindakan PCI risiko tinggi. Pasien harus diberi
penjelasan tentang prosedur yang akan dilakukan. Perhiasan yang dapat
mengganggu hasil angiogram, sebaiknya dibuka sebelum prosedur
2. Perawatan pasien sebelum prosedur kateterisasi jantung perlu dilakukan untuk
mempersiapkan pasien baik secara fisik maupun psikologis agar pasien siap
menjalani prosedur ini. Persiapan fisik yang dilakukan meliputi puasa selama
4-6 jam, membersihkan area puncture (penusukan), mengkaji allent tes jika
menggunakan arteri radialis, meminum obat-oabatan sebelum prosedur, serta
membuka segala jenis perhiasan yang menggangu hasil angiogram.
3. Pemeriksaan laboratorium dan diagnostik. Pemeriksaan darah lengkap,
elektrolit, Blood Urea Nitrogen, ureum, kreatinin. Sedangkan pemeriksaan
diagnostik yang perlu dilakukan adalah treadmill, echocardiogram, ECG, dan
X-ray. Kalium apabila kadarnya rendah akan mengakibatkan peningkatan
sensitifitas dan eksitabilitas miokard sehingga dapat meningkatkan disritmia
ventrikel yang mengancam pasien. Pemeriksaan EKG 12 lead. Penyadapan
EKG bertujuan untuk mengetahui adanya kelainan-kelainan irama jantung
(aritmia), infark/iskemia pada otot jantung, pengaruh atau efek obat-obat
jantung serta mengetahui adanya gangguan elektrolit.
4. Pasien yang menjalani kateterisasi diinstruksikan untuk puasa 4-6 jam sebelum
prosedur dilakukan bertujuan untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung
ke saluran pernafasan bila pasien mengalami mual dan muntah selama
prosedur berlangsung.
5. Pasien akan mendapatkan anestesi lokal sebelum prosedur dimulai. Obat
anestesi lokal bekerja dengan emblok saraf perifer tanpa menimbulkan efek
kehilangan kesadaran. Ada sejumlah abat anastesi lokal yaitu novocain,
lidocaine, propoxycaine, tetracaine, prilocaine and etidocaine. Efek
sampingnya adalah rasa gatal, bengkak dan kemerahan pada kulit. Anastesi
lokal pada prosedur kateterisasi jantung berfungsi untuk menghilangkan
perasaan tidak nyaman pada area insersi pada saat kateter dimasukkan.
6. Premedikasi sedatif ringan biasanya diberikan. Lorazepam adalah obat-obatan
benzodiazepine yang bekerja dalam waktu singkat. Adapun efek instrinsik
benzodiazepine yaitu anxiolytic, sedatif/hipnotik, anticonvulsant dan muscle
relaxation. Lorazepam telah digunakan sejak tahun 1971 untuk mengatasi
gejala kecemasan dalam waktu jangka pendek. Lorazepam secara intravena
diberikan selambat lambatnya 10 menit sebelum prosedur.
7. Pasien dengan insufisiensi ginjal harus dilakukan hidrasi dengan baik sebelum
dan selama prosedur, karena zat kontras bersifat nefrotoksik. Hidrasi yang
baik dapat dicapai dengan memasang terapi intravena pada pasien, sehingga
setelah prosedur zat kontras dapat segera dikeluarkan dari dalam tubuh.
Kontras maksimal yang dapat digunakan untuk mencegah CIN = (4 x BB) /
kadar serum creatinin (Levine dkk, 2011; Ahlsson, 2018)

3. Prosedur
Stent koroner digunakan lebih dari 90% prosedur IKP seluruh dunia. Stent
koroner berperan sebagai perancah untuk diseksi arteri koroner, sehingga
menurunkan insiden penutupan pembuluh darah dan operasi pintas koroner,
menurunkan frekuensi restenosis dengen mencegah recoil arteri. Generasi kedua
stent memiliki tingkat fleksiilitas yang tinggi, kemudahan penghantaran dan
kemudahan akses cabang koroner.

Idealnya perawat di ruang kateterisasi jantung telah mempunyai latar


belakang di ruang perawatan intensif/jantung dan mempunyai pengetahuan
mengenai obat obat jantung, aritmia, prinsip-prinsip pemberian sedatif secara
intravena, teknik steril, anatomi dan fisiologi jantung, pacemaker, dan konsep-
konsep manajemen kateter pada kateterisasi jantung. Perawat selalu memonitor
vital sign dan perubahan hemodinamik pasien selama prosedur berlangsung.
Perubahan status emosional pasien, kesadaran pasien, respon vokal, dan ekspresi
wajah penting diperhatikan karena mencerminkan toleransi pasien tehadap
prosedur yang dilakukan. Perawat harus waspada terhadap adanya tanda-tanda
yang membahayakan pasien dengan memberikan intervensi yang tepat untuk
mencegah terjadi kondisi yang lebih serius seperti reaksi vasovagal dan spasme
arteri koronaria (PERKI, 2012; Levine dkk, 2011; Ahlsson, 2018).
Adapun prosedur dari PTCI yaitu:
1. Dilakukan sepsis dan asepsis regio femoralis atau radialis dextra
2. Femoral akses: Anestesi lokal dengan injeksi Lidokain 2% 10cc di area pungsi,
dilanjutkan dengan pungsi arteri femoralis komunis dengan jarum 12 G dengan
metode seldinger teknik, selanjutnya dimasukkan sheath 6-8F menuju arteri
femoralis komunis.
3. Radial akses: Anestesi lokal dengan Setelah injeksi Lidokain 2% 2cc di area
pungsi, dilakukan pungsi arteri radialis kanan dengan dengan metode
seldinger/modified teknik, selanjutnya dimasukkan sheath 6F menuju arteri
radialis kanan.
4. Dilakukan kanulasi guiding kateter ke koroner kanan atau kiri (sesuai lesi
target) dengan bantuan wire 0,32”-0,38”, dilanjutkan wiring menembus atau
melewati lesi sasaran ke distal.
5. Injeksi kontras membantu visualisasi koroner
6. Visualisasi koroner :
- LAO 20- CRA 15-20 Visualisasi diagonal LAD dan RCA
- CRA 15-20 frontal Visualisasi LAD dan distal, RCA
- RAO 30-CRA 30 Visualisasi septal LAD
- RAO 20 – CAU 20 Visualisasi pangkal LAD, LCx
- LAO 20-40- CAU 20-30 Visualisasi LM dan bifurkasio
7. Dilakukan preparasi lesi melalui predilatasi dengan balon compliance yang
dikembangkan dengan tekanan bertahap.
8. Pada kondisi thrombus aktif dapat dilakukan aspirasi trombus dengan
menggunakan kateter aspirasi 6F hingga terlihat berkurang atau menghilangnya
bekuan thrombus atau terdapat perbaikan flow (perbaikan TIMI).
9. Implantasi stenting sesuai ukuran lesi
10. Evaluasi kontras akhir
11. Tindakan selesai, pasien dirawat di Intermediate atau ICVCU.
12. Tindakan elektif dengan hemodinamik stabil dapat dirawat di ruang biasa.
13. Off sheath arteri femoralis di lakukan 6 jam pasca tindakan dengan
mempertimbangkan target ACT < 120 sec.

4. Perawatan Lanjutan
Setelah prosedur kateterisasi jantung, pasien di transfer ke unit observasi,
telemetry unit, atau ke intensive care unit, tergantung pada kondisi pasien dan tipe
prosedur yang dilakukan. Biasanya pasien ditransfer ke unit observasi selama 6
jam, setelah itu bila kondisi stabil, pasien boleh pulang. Pasien yang menjalani
percutaneus coronary intervention (PCI), biasanya di rawat inap selama semalam
di telemetry unit atau interventional cardiology unit, karena akan dirawat dan
diawasi oleh perawat yang punya keahlian dan telah berpengalaman dalam
perawatan pasien postprocedural serta mempunyai pengetahuan tentang obat-obat
jantung, interpretasi aritmia, ACLS skills, serta manajemen area kateterisasi
jantung. Pasien akan di observasi secara terus menerus atau di transfer ke ruang
ICU jika mengalami status hemodinamik yang tidak stabil atau terjadi komplikasi
setelah prosedur seperti miocardial infark, tamponade jantung, distres sistem
pernafasan serta aritmia yang tidak stabil (Sodiqur, R. 2012).

Pengujian Latihan
1. Pada pasien memasuki program rehabilitasi jantung resmi setelah PCI,
pengujian latihan treadmill adalah wajar.
2. Stress testing secara berkala rutin dari pasien tanpa gejala setelah PCI tanpa
indikasi klinis spesifik tidak boleh dilakukan
3. Program latihan medis diawasi (cardiac rehabilitasi) harus dianjurkan untuk
pasien setelah PCI, terutama untuk moderat untuk pasien berisiko tinggi untuk
siapa diawasi pelatihan olahraga dibenarkan. Perawatan setelah menjalani
prosedur kateterisasi jantung bertujuan untuk mengidentifikasi adanya iskemia
atau infark pasca prosedur, mengidentifikasi efek dari zat kontras, adanya
edema dan perdarahan pada area puncture serta mengidentifikasi adanya
gangguan sirkulasi perifer. Semua tindakan ini diharapkan dapat
mengidentifikasi masalah yang dialami pasien sesegera mungkin, mencegah
terjadi infeksi serta mempercepat penyembuhan kondisi pasien. Oleh karena itu
perawatan pasien secara komprehensif diperlukan baik sebelum, selama dan
setelah prosedur kateterisasi jantung (Elliout dkk., 2012).

5. Setting
1. PCI primer harus dilakukan pada pasien dalam waktu 12 jam dari onset
STEMI.
2. PCI primer harus dilakukan pada pasien dengan STEMI yang datang ke rumah
sakit dengan kemampuan PCI dalam waktu 90 menit dari kontak medis
pertama sebagai tujuan sistem.
3. PCI primer harus dilakukan pada pasien dengan STEMI yang datang ke rumah
sakit tanpa kemampuan PCI dalam waktu 120 menit dari fi kontak medis
pertama sebagai tujuan sistem.
4. PCI primer harus dilakukan pada pasien dengan STEMI yang mengembangkan
gagal jantung berat atau syok kardiogenik dan kandidat yang cocok untuk
revaskularisasi sesegera mungkin, terlepas dari waktu tunda.
5. Primer PCI harus dilakukan sesegera mungkin pada pasien dengan STEMI dan
kontraindikasi untuk terapi fibrinolytic dengan gejala iskemik kurang dari 12
jam (Levine dkk, 2011; Ahlsson, 2018).

6. Indikasi
1. STEMI akut onset < 12 jam (disebut PCI primer)
2. Non STEMI akut highrisk (disebut early PCI)
3. Penyakit jantung koroner (stenosis arteri koroner bermakna)
4. 80% Pasien dengan elevasi segmen ST kurang dari 12 jam dilakukan reperfusi
primer (PCI/ Fibrinolitik)
5. Nyeri dada stabil dengan perubahan iskemik bermakna pada tes latihan
6. Pasien dengan nyeri dada tanpa etiologi yang jelas
7. Sindrom koroner tidak stabil (peningkatan Troponin T atau I).
8. Pasca infark miokard non gelombang Q g. Pasca infark miokard gelombang Q
pada pasien risiko tinggi (ditentukan dengan tes latihan atau pemindaian
perfusi miokard).
9. Pasien dengan aritmia berlanjut atau berulang
10. Gejala berulang pasca coronary artery bypass Graft (CABG) atau percutaneus
coronary intervention (PCI)
11. Pasien yang menjalani pembedahan katup jantung
12. Pasien gagal jantung dengan etiologi yang tidak jelas
.l3. Menentukan penyebab nyeri dada pada kardiomiopati hipertropi

ACC/AHA mengklasifikasikan indikasi untuk dilakukannya tindakan PCI sebagai


berikut:
Kelas I : kondisi dimana terdapat bukti dan atau kesepakatan yang mengatakan bahwa
tindakan tersebut bermanfaat dan efektif dilakukan.
Kelas II : kondisi dimana terdapat perbedaan pendapat tentang kegunaan dan efikasi
tindakan tersebut.
Kelas IIa: bukti atau pendapat mengatakan bahwa penelitian ini bermanfaat
Kelas IIb: manfaat tersebut kurang didukung oleh bukti ataupun pendapat.
Kelas III: kondisi dimana terdapat bukti dan atau kesepakatan yang mengatakan
bahwa prosedur tersebut tidak bermanfaat dan tidak efektif, serta pada
beberapa kasus bias menjadi sangat berbahaya (AHA, 2011).

7. Kontra Indikasi
1. Perdarahan
2. Stroke
3. Anafilaktik
4. Thrombosis
5. Pericard efusi
(Levine dkk, 2011; Ahlsson, 2018)

8. Komplikasi
Komplikasi mayor lain termasuk kejadian yang jarang, tetapi bisa
mengakibatkan kematian (0,2% dalam kasus berisiko tinggi), MI akut (1%) yang
mungkin memerlukan CABG darurat, stroke (0,5%), termponade jantung (0,5%)
dan perdarahan sistemik (0,5%). Kematian terjadi saat proses di rumah sakit.
Stroke terjadi saat otak kehilangan fungsi neurologis yang disebabkan oleh
iskemik 24 jam setelah onset (Elliout dkk., 2012; Levine dkk, 2011; Ahlsson,
2018).
Komplikasi minornya adalah alergi terhadap medium kontras, nefropati
dan komplikasi pada bagian yang dimasuki, seperti perdarahan dan hematoma.
Gagal ginjal meliputi terjadinya peningkatan serum kreatinin lebih 2 mg/dl
(Elliout dkk., 2012; Levine dkk, 2011; Ahlsson, 2018).

9. Pengkajian untuk Melihat Outcome


Prosedur intervensi koroner diukur dari keberhasilan dan komplikasi yang
dihubungkan dengan mekanisme alat-alat yang digunakan dan juga memperhatikan
klinis dan faktor anatomi pasien (AHA, 2011). Adapun prosedur melakukan tindakan
IKP terdiri dari beberapa langkah. Pertama melakukan akses perkutan. Dalam proses
ini arteri femoralis harus diidentifikasi lebih dahulu (atau yang lebih jarang bisa
menggunakan arteri radialis atau arteri brachialis pada lengan) dengan menggunakan
suatu alat yang disebut jarum pembuka (Elbaz, 2018).
Setelah jarum sudah masuk, sheath introducer diletakkan pada jalan pembuka
untuk mempertahankan arteri tetap terbuka dan mengontrol perdarahan. Melalui
sheath introducer ini, guiding catheter dimasukkan. Ujung guiding catheter
ditempatkan pada ujung arteri koroner. Dengan guiding catheter, penanda radiopak
diinjeksikan ke arteri koroner, hingga kondisi dan lokasi kelainan dapat diketahui.
Selama visualisasi sinar X, ahli jantung memperkirakan ukuran arteri koroner dan
memilih ukuran balon kateter serta guide wire coronary yang sesuai. Guiding wire
coronary adalah sebuah selang yang sangat tipis dengan ujung radio opak yang
fleksibel yang kemudian dimasukkan melalui guiding cathether mencapai arteri
koroner. Dengan visualisasi langsung, ahli jantung memandu kabel mencapai tempat
terjadinya blokade . Ujung kabel kemudian dilewatkan menembus blokade. Setelah
kabel berhasil melewati stenosis, balon kateter dilekatkan dibelakang kabel.
Angioplasti kateter kemudian didorong kedepan sampai balon berada di dalam
blokade. Kemudian baru balon balon dikembangkan dan balon akan mengkompresi
atheromatous plak dan menekan arteri sehingga mengembang. Jika stent ada pada
balon, maka stent diimplantkan atau ditinggalkan pada tubuh untuk mendukung arteri
dari dalam agar tetap mengembang (Elliout dkk., 2012).
Derajat keparahan lesi koroner dideskripsikan sebagai persentase stenosis
dan bila stenosis lebih dari 50% biasanya dikatakan sebagai stenosis bermakna.
Penyakit jantung koroner sering diklasifikasikan sebagai penyakit 1 pembuluh, 2
pembuluh, atau 3 pembuluh tergantung pada distribusi lesi bermakna pada 3
pembuluh darah koroner utama. Rekomendasi terapi pada pasien berdasarkan
pada luas dan tingkat keparahan penyakit jantung koroner (Elbaz, 2018)

Pada pengklasifikasian lesi dikenal istilah deskripsi lesi risiko tinggi atau lesi C yaitu
sebagai berikut :
1. Adanya difusi lebih dari 2 cm
2. Excessive tortuosity dari segmen proksimal
3. Segmen terakumulasi lebih dari 900
4. Oklusi total lebih dari 3 bulan dan atau adanya bridging collateral
5. Ketidakmampuan untuk melindungi cabang yang lebih besar
6. Vena yang terdegenerasi
Oklusi total lebih dari 3 bulan dan atau adanya bridging collateral dan vena yang
terdegenerasi adalah untuk kegagalan teknik dan peningkatan restenosis dan tidak
untuk komplikasi akut (AHA, 2005 dalam Ahlsson, 2018). Adapun klasifikasi lesi
berdasarkan SCAI, lesi dibagi menjadi 4 tipe lesi sebagai berikut :

Tipe I (angka keberhasilan tertinggi, risiko terendah)


1. Tidak ditemuinya kriteria untuk lesi C
2. Patent
Tipe II
1. Ada beberapa kriteria lesi C
Difusi ( lebih dari 2 cm)
Excessive Turtuosity dari segmen proksimal
Segmen terakumulasi >900
Ketidakmampuan melindungi cabang yang lebih besar
Vena yang terdegenerasi
2. Patent
Tipe III
1. Tidak ditemuinya kriteria untuk lesi C
2. Oklusi
Tipe IV
1. Ada kriteria lesi C
Difusi lebih dari 2 cm
Excessive tortuosity dari segmen proksimal.
Segmen terangulasi >900
Ketidakmampuan melindungi cabang yang lebih besar
Vena yang terdegenerasi
Oklusi lebih dari 3 bulan
2. Oklusi
(AHA, 2005 dalam Ahlsson, 2018)

Derajat penyempitan
Derajat penyempitan pembuluh darah coroner dapat dilihat secara visual oleh
operator yang berpengalaman atau dapat digunakan angiografi kuantitatif untuk
mendapatkan penilaian computer mengenai derajat keparahan ( Ahlsson, 2018).
Penyempitan koroner dinterpretasikan bermakna jika persentasi stenosis ≥ 50 % pada
LMCA atau ≥ 75% pada arteri coroner lainnya. Sintha et al pada tahun 1997 dalam
Gani Manurung tahun 2008 dikatakan bahwa derajat penyempitan dibagi menjadi :
- Grade 0 : penyempitan < 25%
- Grade 1 : penyempitan 25-49 %
- Grade 2 : penyempitan 50-74%
- Grade 3 : penyempitan 75-94 %
- Grade 4 : penyempitan ≥ 95%
Sumber: (Ahlsson, 2018)

10. Alat dan Bahan


Persiapan Mesin:
1. Mesin Cathlab monoplane atau bi plane
2. Alat DC shock disamping meja cathlab
Persiapan obat:
Heparin IV pre tindakan 70-100 IU/kgbb (target ACT >200 sec) tanpa GP IIb IIIa
atau 50-70 IU/kgbb dengan GP IIb IIIa. NTG diberikan 300-400 mcg intra arterial
pada akses radial.
Persiapan alat dan bahan steril:
1 set linen steril, 3 baju steril, 1 set minor surgery, antiseptik, alkohol, kasa steril,
1 buah spuit 2,5 cc, 2 buah spuit 5 cc, 2 buah spuit 10cc, 1 buah spuit 20 cc, 2
buah blood set, manifold, Y connector, 2 selang extension, zat kontras, Ringer
Lactat 500cc 2 botol.
Persiapan set PCI:
Sheath Femoral/radial 6-8 F, J wire 0,32-0,38, Guiding Cath 6-7 F
(JL/JR/AL/XB/BL/IL), introducer, wire 0.014”, trokar, thrombuster 6F, ballon,
Stent, indeflator
Pecahan Arus Cadangan
Pecahan arus cadangan flow adalah wajar untuk menilai lesi koroner menengah
angiografi (50% sampai 70% diameter stenosis) dan dapat berguna untuk
membimbing keputusan revaskularisasi pada pasien dengan SIHD
Intravaskular USG
IVUS dan angiografi koroner wajar 4 sampai 6 minggu dan 1 tahun setelah
transplantasi jantung untuk mengecualikan CAD donor, mendeteksi progresif
cepat jantung allograft vasculopathy, dan memberikan informasi prognostik
Atherectomy koroner
Atherectomy Rotasi adalah wajar untuk fi brotic atau lesi ed fi berat Calci yang
mungkin tidak dilintasi kateter balon atau cukup melebar sebelum implantasi stent
Thrombectomy
Aspirasi thrombectomy adalah wajar untuk pasien yang menjalani PCI primer
Laser Angioplasty
Angioplasty Laser mungkin dipertimbangkan untuk fibrotic atau lesi cukup Calci
yang tidak dapat menyeberang atau melebar dengan angioplasti balon
konvensional.
(Levine dkk, 2011; Ahlsson, 2018)

11. Monitoring

a. Mengkaji keluhan yang dirasakan pasien. Adanya nyeri dada memerlukan


tindakan segera karena hal tersebut dapat merupakan indikasi adanya
vasospasme atau penyumbatan secara tiba-tiba. Pasien dapat menggambarkan
angina seperti perasaan terbakar, tertekan benda berat atau rasa nyeri seperti di
tusuk-tusuk pada daerah midsternal. Jika perubahan itu merupakan episode
vasospasme sementara, maka akan segera membaik dengan pemberian terapi
vasodilatasi.
b. Monitor tanda-tanda vital 1 jam pertama selama 15 menit, 1 jam kedua
selama 30 menit sampai keadaan umum baik
c. Monitor adanya perdarahan, hematoma dan bengkak disekitar area
penusukan dengan cara:
1) Penekanan dengan bantal pasir dan imobilisasi pada daerah penusukan
selama 6 jam
2) Jelaskan pentingnya mempertahankan tungkai tetap lurus dengan posisi
kepala tidak lebih dari 45°C.
3) Bila perlu bekerjasama dengan keluarga pasien untuk mengamati
perdarahan
d. Monitor adanya tanda-tanda dari efek samping zat kontras. Perawat perlu
mengenali tanda dan gejala hipersensitifitas terhadap zat kontras seperti:
adanya urtikaria, menggigil, mual, muntah, ansietas dan spasme laring.
e. Observasi volume cairan yang masuk dan keluar. Hidrasi yang baik dengan
terapi intravena sangat penting pasca prosedur kateterisasi jantung. Selain itu,
pasien juga dianjurkan untuk minum yang banyak, hal ini bertujuan untuk
mengeliminasi zat kontras yang terdapat dalam tubuh pasien.
f. Monitor adanya tanda infeksi. Melakukan observasi terhadap adanya
perubahan warna, suhu pada area sekitar puncture. Selalu mengganti balutan
dengan memperhatikan prinsip septik dan antiseptik.
g. Monitor tanda-tanda gangguan sirkulasi ke perifer. Melakukan palpasi pada
arteri poplitea, dorsalis pedis kanan dan kiri setiap 15 menit sekali bila nadi
lemah konfirmasi dokter untuk pemberian obat anti koagulan (Jelinek, 2013)

12. Kontrol Infeksi (Apabila Berkaitan Dengan Tindakan Invasif)


Setelah tindakan IKP dilakukan, pasien diberi obat antitrombolisis. Semua
pasien harus mengambil aspirin tanpa batas waktu (sebagai pencegahan sekunder
dari CVD). Dual terapi antitrombosis diperlukan untuk pasien dengan stent
koroner untuk mengurangi risiko trombosis stent: Hal ini biasanya terjadi aspirin
dan clopidogrel. Lamanya pengobatan clopidogrel tergantung pada penetapan
klinik (Darliana, 2004).
Jika operasi diperlukan, maka harus dipertimbangkan apakah
antitrombolisis boleh diteruskan. Setelah itu diperlukan konsul dengan ahli
kardiologi berhubungan dengan risiko penghentian obat-obatan dan segala yang
diperlukan. Penggunaan proton-pump inhibitor bersamaan dengan clopidogrel
(untuk mencegah pendarahan gastrik) adalah kontroversial, setelah bukti-bukti
menunjukkan bahwa PPI dapat memperburuk hasil dan bahwa dua obat dapat
berinteraksi.
Dalam melakukan tindakan IKP dapat dilakukan pemasangan stent
bersalut obat atau sering disebut Drug-Eluting Stent (DES). Pada prinsipnya DES
merupakan stent bersalut obat. Obat yang dipakai harus mempunyai efek
antiploriferatif dan antiinflamasi sehingga dapat menekan hiperflasia neointima.
Dengan demikian secara teoritis, obat yang potensial toksik bila diberikan secara
sistemik dapat diberi secara lokal dalam konsentrasi yang amat kecil, tetapi efektif
dan lebih aman. Supaya obat dapat menempel pada stent diperlukan polimer.
Polimer berfungsi sebagai pengangkut obat dan setelah stent dipasang obat akan
mengalami difusi secara perlahan masuk ke dinding pembuluh (Sudoyo, 2007
dalam Basid, 2018).

13. Rekomendasi
Pasien yang akan menjalani prosedur kateterisasi jantung perlu diberikan
tindakan mengurangi kecemasannya seperti pemberian pendidikan kesehatan serta
teknik relaksasi. Selain itu perlu dipersiapkan EKG 12 lead, pemeriksaan
laboratorium dan diagnostik, puasa 4-6 jam, memberikan premedikasi sedatif,
diberikan antihistamin (dipenhidramin), penjelasan tentang prosedur yang akan
dilakukan, membuka perhiasan yang dapat mengganggu hasil angiogram. Selama
prosedur kateterisasi berlangsung, perawat memonitor vital sign dan perubahan
hemodinamik, perubahan status emosiona pasien, kesadaran, respon vokal, dan
ekspresi wajah yang menunjukkan ketidaknyamanan. Perawat harus waspada
terhadap adanya tanda-tanda yang membahayakan pasien dengan memberikan
intervensi yang tepat untuk mencegah terjadi kondisi yang lebih serius seperti
reaksi vasovagal dan spasme arteri koronaria (Elbaz, 2018).
Setelah prosedur pasien perlu dipantau mengenai keluhan yang dirasakan
pasien, mengidentifikasi adanya nyeri dada, memonitor tanda-tanda vital, adanya
perdarahan, hematoma disekitar area penusuka, monitor adanya tanda-tanda dari
efek samping zat kontras, monitor tanda tanda gangguan sirkulasi ke perifer,
monitor adanya tanda-tanda infeksi. Diharapkan kepada perawat dan tim medis
lain untuk melakukan perawatan pasien mulai dari persiapan pasien sebelum,
selama serta setelah menjalani prosedur kateterisasi jantung dengan baik untuk
mencegah terjadi komplikasi selama dan setelah prosedur dilakukan.

14. Daftar Pustaka

A. Ahlsson, A. P. B. Uk, U. Benedetto, R. J. C. Falk, S. J. Head, P. Ju, P. M.


Seferovi, D, S. Windecker, R. Y. A. B. Brophy. 2018. 2018 ESC / EACTS
guidelines on myocardial revascularization the task force on myocardial
revascularization of the European Society of Cardiology (ESC) and
European Association For Cardiology Task Society. European Heart
Journal. 00 (August):1–96.
Basid, A. 2018. Studi Fenomenologi Respon Pertama Kali Pasien di Intervensi
PCI (Percutaneous Coronary Intervention) di Poli Jantung Rsud Ulin
Banjarmasin Tahun 2017 (phenomenological study of the first response of
patients in PCI (Percutaneous Coronary Intervention) in the heart patient of
ulin banjarmasin hospital in 2017). 2(1):30–36.
Darliana, D. 2004. Kateterisasi Jantung Treatment Of Patients Undergoing
Cardiac Catheterization Procedures. Idea Nursing Journal. III(3):285–292.
Elbaz-greener, G. dan B. H. Strauss. 2018. Coronary Intervention For Chronic
Total Occlusions : What Should The Guidelines Say ? New England Journal
of Medicine. 1(35):3–6.
Elliout, D., Aitken, L., Chaboyer, W. 2012. ACCN’s Critical Care Nursing. Edisi
2. Australia: Elsavier Pub. ISBN: 9780729540681
Guideline, A. H. A. P. 2011. Management Of Patients Undergoing Coronary
Artery Revascularization. AHA. 12(35):177–198.
Jelinek, H. F. 2013. Cardiac rehabilitation outcomes following a 6-week program
of pci and cabg patients. International Journal of Cardiology.
12(October):155.
Levine, G. N., E. R. Bates, J. C. Blankenship, S. R. Bailey, J. A. Bittl, B. Cercek,
C. E. Chambers, S. G. Ellis, R. A. Guyton, S. M. Hollenberg, U. N. Khot, R.
A. Lange, L. Mauri, C. Ms, R. Mehran, I. D. Moussa, A. K. Jacobs, J. L.
Anderson, N. Albert, M. A. Creager, S. M. Ettinger, R. A. Guyton, J. L.
Halperin, J. S. Hochman, dan W. Stevenson. 2011. 2011 ACCF / AHA /
SCAI Guideline For Percutaneous Coronary Intervention : Executive
Summary. JAC. 58(24):2550–2583.
Persatuan Dokter Spesialis Kardiologi. 2016. Panduan Praktik Klinis (PPK) Dan
Clinical Pathway (CP) Penyakit Jantung Dan Pembuluh Darah. Edisi 1.
Jakarta: PERKI.
Sodiqur, R. 2012. Primery PCI Senjata Baru Untuk Melawan SKA. Medica
Hospitalia. 1(2):139–142.

Anda mungkin juga menyukai