Anda di halaman 1dari 10

INDUKSI PERSALINAN

Pendahuluan

Induksi persalinan adalah upaya untuk melahirkan pervaginam dengan merangsang


timbulnya his. Menurut National Center for Death Statistics, dari 3,9 juta persalinan di Amerika
Serikat pada tahun 1995, 34 % melibatkan induksi atau augmentasi persalinan. Indikasi umum
untuk induksi antara lain adalah pecahnya selaput ketuban tanpa awitan persalinan spontan,
hipertensi ibu, status janin tidak meyakinkan dan kehamilan post matur, juga ada beberapa indikasi
lainnya. Selain itu harus diperhatikan juga kontraindikasi dan syarat-syarat dalam melakukan
induksi persalinan, karena dapat menyebabkan bebagai komplikasi.1

Definisi

Induksi persalinan adalah usaha agar persalinan mulai berlangsung sebelum atau sesudah
kehamilan cukup bulan dengan jalan merangsang timbulnya his atau suatu tindakan untuk memulai
persalinan, baik secara mekanik ataupun secara kimiawi (farmakologik).3

Tujuan Induksi
Tujuan melakukan induksi antara lain:
• Mengantisipasi hasil yang berlainan sehubungan dengan kelanjutan kehamilan
• Untuk menimbulkan aktifitas uterus yang cukup untuk perubahan serviks dan penurunan
janin tanpa meyebabkan hiperstimulasi uterus atau komplikasi janin
• Agar terjadi pengalaman melahirkan yang alami dan seaman mungkin dan memaksimalkan
kepuasan ibu.2

Indikasi
Induksi diindikasikan apabila manfaat bagi ibu atau janin melebihi manfaat apabila
persalinan dibiarkan berlanjut. Spektrum indikasi mutlak untuk induksi antara lain keadaan-
keadaan darurat, misalnya pecah ketuban disertai korioamnionitis atau preeklamsia berat. Juga
terdapat beberapa indikasi relative yang mungkin mirip induksi elektif.1
Keadaan-keadaan yang di indikasikan untuk induksi persalinan antara lain:
1. Ibu hamil tidak merasakan adanya kontraksi atau his. Padahal kehamilannya sudah
memasuki tanggal perkiraan lahir bahkan lebih (sembilan bulan lewat).
2. Induksi juga dapat dilakukan dengan alasan kesehatan ibu, misalnya ibu menderita tekanan
darah tinggi, terkena infeksi serius, atau mengidap diabetes.
3. Ukuran janin terlalu kecil, bila dibiarkan terlalu lama dalam kandungan diduga akan
beresiko atau membahayakan hidup janin.
4. Membran ketuban pecah sebelum ada tanda-tanda awal persalinan.
5. Plasenta keluar lebih dahulu sebelum bayi.
Untuk dapat melakukan induksi persalinan perlu dipenuhi beberapa kondisi dibawah ini, yaitu:
1. Sebaiknya serviks uteri sudah matang, yakni serviks sudah mendatar dan menipis dan
sudah dapat dilalui oleh sedikitnya 1 jari, serta sumbu serviks mengarah ke depan.
2. Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD).
3. Tidak terdapat kelainan letak janin yang tidak dapat dibetulkan.
4. Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun ke dalam rongga panggul.
Apabila kondisi-kondisi di atas tidak terpenuhi maka induksi persalinan mungkin tidak
memberikan hasil yang diharapkan. Untuk menilai keadaan serviks dapat dipakai skor bishop. Bila
nilai lebih dari 9 induksi persalinan kemungkinan akan berhasil.2

Kontra Indikasi
Sejumlah kondisi di uerus, janin, atau ibu merupakan kontraindikasi induksi persalinan. Sebagian
besar kondisi ini serupa dengan meniadakan kemungkinan persalinan spontan. Kontraindikasi
pada uterus terutama berkaitan dengan riwayat cedera uterus misalnya insisi seksio sesarea klasik
atau bedah uterus. Plasenta previa juga tidak memungkinkan terjadinya persalinan. Kontraindikasi
pada janin antara lain makrosemia yang cukup besar, beberapa anomali janin misalnya
hidrosefalus, malpresentasi, atau status janin yang kurang meyakinkan. Kontraindikasi pada ibu
berkaitan dengan ukuran ibu, anatomi panggul, dan beberapa penyakit medis misalnya herpes
genitalis aktif.1
Pematangan Serviks Prainduksi
Kondisi atau kelayakan (favorability) serviks sangat penting bagi induksi persalinan. Pada banyak
kasus, teknik induksi yang dipilih bergantung pada perkiraan kemungkinan persalinan.
Karakteristik serviks dan segmen bawah uterus merupakan factor yang sangat penting. Ketinggian
bagian terbawah janin, atau station, juga penting. Salah satu metode yang yang dapat dikuantifikasi
dan bersifat prediktif terhadap keberhasilan induksi persalinan adalah metode yang dijelaskan oleh
Bishop. Parameter skor Bishop adalah pembukaan, pendataran, station, konsistensi, dan posisi
serviks. Induksi ke persalinan aktif biasanya berhasil pada skor 9 atau lebih dan kurang berhasil
pada skor di bawahnya.1

Skor
Faktor
0 1 2 3
Pembukaan
0 1-2 3-4 ≥5
serviks (cm)
Pendataran
0-30 40-50 60-70 ≥ 80
serviks (%)
Penurunan Kepala -3 -2 -1 atau 0 +1 atau +2
Konsistensi
Keras Medium Lunak -
serviks
Posisi/arah
Posterior Medial Anterior -
serviks

1. Tehnik Farmakologis
1.1. Prostaglandin E2
Aplikasi local gel prostaglandin E2 (dinoproston) banyak digunakan untuk
mematangkan serviks. Perubahan histologis yang terjadi mencakup pelarutan serabut
kolagen dan peningkatan kandungan air submukosa. Perubahan-perubahan pada jaringan
ikat serviks aterm ini serupa dengan yang ditemukan pada awal persalinan.
Prostaglandin adalah senyawa yang mengandung 20 atom karbon yang dibentuk
oleh kerja enzim sintase prostaglandin yang yang terdapat pada kebanyakan sel.
Prostaglandin E1, E2, dan F2a dikeluarkan dari sel-sel desidua dan miometrium.
Prostaglandin bekerja pada reseptor khusus untuk mengganggu atau menghambat
pekerjaan adenil siklase selanjutnya menghambat pembentukan cAMP (adenosine 3’5’
siklik monofosfat) sampai menimbulkan perubahan pada tonus otot polos dan pengaturan
kerja hormon
Proses pematangan serviks yang dipicu oleh prostaglandin sering mencakup inisiasi
persalinan. Pemakaian prostaglandin E2 dosis rendah meningkatkan kemungkinan
keberhasilan induksi, mengurangi insidensi persalinan yang berkepanjangan, dan
mengurangi dosis oksitosin maksimal dan total.
Prostaglandin E2 tersedia dalam bentuk intraservikal dengan dosis 0,3-0,5 mg dan
intravaginal 3-5 mg. Rute intraservikal memiliki keunggulan berupa tidak banyak
meningkatkan aktivitas uterus dan efektivitasnya lebih besar pada wanita yang serviksnya
sangat tidak matang. Sedangkan keunggulan preparat sisip vagina yaitu obat sisipan ini
dapat dikeluarkan apabila terjadi hiperstimulasi.
Skor bishop 4 atau kurang dianggap menunjukkan serviks yang tidak layak
sehingga merupakan indikasi pemberian prostaglandin E2 untuk pematangan serviks.
Persyaratan lain untuk pasien yang akan menggunakan prostaglandin E2 antara lain pasien
tidak boleh dalam keadaan demam atau mengalami perdarahan pervaginam, denyut jantung
janin yang baik, belum ada his yang regular (tiap 5 menit atau kurang). Pemberian
dianjurkan dekat atau di kamar bersalin, tempat dimana dapat dilakukan pemantauan
kontinu atas aktifitas uterus dan frekuensi denyut jantung janin. Pasien diharapkan tetap
dalam posisi terlentang sekurang-kurangnya selama 30 menit dan kemudian boleh
dipindahkan bila tidak ada his.
Permulaan timbulnya his biasanya tidak teratur dan jarang, serupa dengan
persalinan spontan. Variasi yang berbeda dari his dapat diterangkan atas dasar perbedaan
respon individual, paritas, dosis, absorbsi, ukuran serviks semula dan keadaan selaput
ketuban. His biasanya jelas dalam 1 jam pertama, mencapai aktivitas puncak dalam 4 jam
pertama, dan memulai partus pada lebih kurang separuh jumlah kasus (berkisar 25-76 %).
Bilamana ada his yang teratur, monitoring elektronik diteruskan dan tanda-tanda vital ibu
harus direkam sekurangnya setiap jam selama 4 jam pertama.
Interval waktu antara pemberian jeli prostaglandin dengan memulai oksitosin velum
dapat ditentukan. Pengaruh prostaglandin E2 bisa berlebihan dengan oksitosin, jadi harus
ada waktu observasi sekurangnya 4-6 jam setelah pemberian jeli prostaglandin. Bila terjadi
perubahan serviks atau his yang tidak memadai, pilihan lain bisa diberikan prostaglandin
E2 dosis kedua. Bila setelah seri kedua tidak terjadi kontraksi yang tidak memadai untuk
persalinan, atau tidak tercapai skor Bishop >5 maka induksi dianggap gagal. Langkah yang
dilakukan adalah sesar berencana/ elektif (bila tidak ada kegawatan ibu atau janin) atau
sesar segera (bila ada kegawatan). Efek samping dari pemberian prostaglandin E2 adalah
hiperstimulasi (6 atau lebih kontraksi dalam 10 menit untuk total 20 menit) pada 1 % untuk
gel intraservikal dan 5 % untuk gel intravaginal.1

1.2. Prostaglandin E1

Misoprostol (cytotec) adalah prostaglandin E1 sintetik dan saat ini tersedia dalam
sediaan tablet 100 µg untuk mencegah ulkus peptikum. Obat ini digunakan ‘off label’
(tidak diindikasikan secara resmi) sebagai pematangan serviks prainduksi dan induksi
persalinan.

Penggunaan misoprostol tidak direkomendasikan pada pematangan serviks atau


induksi persalinan pada wanita yang pernah mengalami persalinan dengan seksio sesaria
atau operasi uterus mayor karena kemungkinan terjadinya ruptur uteri. Wanita yang
diterapi dengan misoprostol untuk pematangan serviks atau induksi persalinan harus
dimonitor denyut jantung janin dan aktivitas uterusnya di rumah sakit sampai penelitian
lebih lanjut mampu mengevaluasi dan membuktikan keamanan terapi pada pasien. Uji
klinis menunjukkan bahwa dosis optimal dan pemberian interval dosis 25 mcg intravagina
setiap empat sampai enam jam. Dosis yang lebih tinggi atau interval dosis yang lebih
pendek dihubungkan dengan insidensi efek samping yang lebih tinggi, khususnya
sindroma hiperstimulasi, yang didefinisikan sebagai kontraksi yang berakhir lebih dari 90
detik atau lebih dari lima kontraksi dalam 10 menit selama dua periode .10 menit berurutan,
dan hipersistole, suatu kontraksi tunggal selama minimal dua menit.1
2. Tehnik Mekanis
2.1. Dilator Serviks Higroskopis
Inisiasi pembukaan serviks dengan dilator serviks osmotic higroskopik telah lama
diterima sebagai metode yang efektif sebelum dilakukan terminasi kehamilan. Pada
induksi persalinan dengan janin hidup, masih sedikit informasi yang ada mengenai dilator
higroskopik untuk memperbaiki serviks yang belum matang.
Dilator higroskopik secara cepat memperbaiki status serviks. Namun, yang penting
adalah tidak ada efek menguntungkan terhadap angka seksio sesarea atau interval
pemberian sampai pelahiran.1

Gambar 1. Dilator Serviks Higroskopis

2.2. Pelucutan Selaput Ketuban (Stripping of the membranes)


Induksi persalinan dengan melucuti atau menyisir selaput ketuban merupakan
praktik relative yang sering dilakukan. Pelucutan dilakukan dengan memasukkan telunjuk
sejauh mungkin melalui os internal dan membuat putaran dua kali sebesar 360 derajat
untuk memisahkan selaput ketuban dari segmen bawah uterus.

Stripping of the membranes dapat meningkatkan aktivitas fosfolipase A2 dan


prostaglandin F2α (PGF2 α) dan menyebabkan dilatasi serviks secara mekanis yang
melepaskan prostaglandin. Stripping pada selaput ketuban dilakukan dengan memasukkan
jari melalui ostium uteri internum dan menggerakkannya pada arah sirkuler untuk
melepaskan kutub inferior selaput ketuban dari segmen bawah rahim. Risiko dari teknik
ini meliputi infeksi, perdarahan, dan pecah ketuban spontan serta ketidaknyamanan pasien.
Telaah Cochrane menyimpulkan bahwa stripping of the membrane saja tidak menghasilkan
manfaat klinis yang penting, tapi apabila digunakan sebagai pelengkap, tampaknya
berhubungan dengan kebutuhan dosis oksitosin rata-rata yang lebih rendah dan
peningkatan rasio persalinan normal pervaginam.1

Gambar 2. Stripping of the membranes

2.3. Insersi Kateter Foley


Insersi Foley Chateter intrauterine, yakni dengan memasukan Foley catheter no 24
atau no 26 ke dalam kavum uteri (sebelah bawah) kemudian balon diisi sebanyak 40-50cc
lalu dibiarkan selama 12-24 jam. Setelah itu jika skor Bishop > 5 dapat dilanjutkan dengan
drip Oksitosin. Teknik ini banyak digunakan untuk mengakhiri kehamilan yang mengalami
komplikasi seperti preeklamsia berat atau eklamsi.1

Gambar 3. Insersi Kateter Foley


Amniotomi

Amniotomi adalah pemecahan selaput ketuban secara artificial. Amniotomi sering digunakan
untuk induksi atau augmentasi persalinan, indikasi lainnya adalah untuk pemantauan internal
frekuensi denyut jantung janin secara elektronik apabila persalinan kurang memuaskan.
Amniotomi elektif untuk mempercepat persalinan spontan atau mendeteksi mekonium juga dapat
diterima dan sering dipraktekkan. Kerugian utama amniotomi apabila digunakan secara tunggal
untuk induksi persalinan adalah interval yang tidak dapat diperkirakan dan kadang berkepanjangan
sampai timbulnya kontraksi. Amniotomi dini menyebabkan durasi persalinan yang secara
bermakna lebih singkat , tetapi terjadi insidensi korioamnionitis dan pola pemantauan penekanan
tali pusat.1

Gambar 4. Amniotomi

Induksi Persalinan dengan Oksitosin


Oksitosin adalah sebuah oktipeptida dengan waktu paruh 3-4 menit dan durasi kerja kurang
lebih 20 menit. Mekanisme kerja bahan ini dalam memudahkan kontraksi otot polos tidak
sepenuhnya diketahui, tetapi diperkirakan obat ini mengikat reseptor-reseptor pada selaput sel-sel
miometrium tempat cAMP akhirnya terbentuk untuk kenaikan yang bergantung kepada dosis
dalam amplitude dan frekuensi kontraksi rahim.
Target pencepatan atau induksi partus adalah terjadinya kontraksi rahim setiap 2-3 menit
yang berlangsung kurang lebih selama 45-60 detik. Oksitosin diberikan secara titrasi larutan 5 IU
dalam larutan kristaloid intravena, dengan kecepatan tetesan dimulai 8 tetes/menit dan
ditingkatkan setiap 15 menit dengan 4 tetes/menit, sampai maksimal 40 tetes/menit.
Selama proses pemacuan maupun induksi ini, semua proses pemantauan dilakukan dengan
baik. Bila his sudah memadai untuk tahap persalinan tertentu, maka tetesan dipertahankan dan
tidak perlu ditingkatkan lagi. Bila tidak terjadi kontraksi yang berarti setelah pemberian 2 botol
larutan oksitosin maka induksi dianggap gagal dan pasien disiapkan untuk sesar. Demikian juga
jika 2 jam his baik,tetapi tidak ada kemajuan persalinan, dilakukan tindakan sesar.
Penilaian kemajuan persalinan didasarkan pada 3 kriteria (namun cukup 1 unsur saja yang
perlu untuk menilai kemajuan persalinan), yakni :
-
Pembukaan serviks
-
Penurunan kepala janin
-
Perputaran kepala janin. 3

Skema Dasar Tatalaksana Induksi Persalinan.3


DAFTAR PUSTAKA

Cuningham,F Gary. Obstetri Williams edisi 21.USA : McGRAW-HILL. 2001


Prawiroharjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan edisi ketiga cetakan ke delapan. Jakarta : Yayasan
Bina Pustaka. 2006
Achadiat, Crisdiono. Prosedur Tetap Osbtetri dan Ginekologi. Jakarta : EGC. 2003

Anda mungkin juga menyukai