Hukum Jabat Tangan
Hukum Jabat Tangan
Hal lain yang boleh dilakukan antara pria dan perempuan yang
mahram adalah memandang anggota tubuh wanita selain antara pusar dan
lutut, bepergian bersama, dan khalwat (berduaan dalam kamar tertutup).
Wanita yang bukan mahram ada dua macam. Perempuan tua dan
perempuan muda. Kedunya memiliki konsekuensi hukum yang berbeda
dalam berjabatan tangan.
Bersalaman dengan wanita tua renta hukumnya boleh dengan syarat (a)
perempuan itu sudah tidak menarik dan tidak tertarik lawan jenis; (b) kedua
belah pihak terbebas syahwat (nafsu). Berjabat tangan dengan anak (gadis)
kecil hukumnya sama dengan perempuan tua. Abu Bakar--khalifah pertama--
biasa bersalaman dengan perempuan tua.
Haram berjabatan tangan dengan wanita bukan mahram yang masih muda,
walaupun memakai kain penghalang (ha'il). Berdasarkan sebuh hadits sahih
riwayat Tabrani dan Baihaqi Nabi bersabda: "Memasukkan tangan ke besi
yang panas itu lebih baik daripada menyentuh perempuan yang tidak halal
(bukan mahram atau istri)"[2] Bersalaman merupakan bagian dari
bersentuhan.
Sebuah hadits dari Aisyah menyatakan bahwa telapak tangan Nabi tidak
pernah menyentuh tangan perempuan lain sama sekali. Nabi berkata pada
para perempuan apabila hendak membaiat mereka, "Aku akan membaiat
kalian dengan kata-kata."[3]
Imam Nawawi berkata: perempuan yang haram dilihat, maka haram disentuh.
Boleh memandang perempuan hanya apabila hendak melamarnya. Tapi
tetap tidak boleh menyentuhnya.[4]
Ada hadits riwayat Ummu Athiyah yang terkesan seakan-akan Nabi pernah
memegang tangan perempuan saat membaiat mereka. Anggapan itu tidak
betul. Hadits riwayat Ummu Athiyah tersebut menceritakan bahwa Nabi
mengutus Umar bin Khatab membaiat sekelompok perempuan Anshar. Umar
kemudian membaiat mereka dari luar pintu atau luar rumah sedang
perempuan itu berada dalam rumah.[5] Di situ tidak disebut secara jelas
apakah tangan Umar menyentuh atau tidak. Di samping itu, Ibnu Hajar
pensyarah Sahih Bukhari menyatakan bahwa kesaksian Ummu Athiyah
tersebut tertolak dengan hadits Aisyah.[6]
Sebagian ulama menafsiri hadits Ummu Athiyah itu dengan sahnya baiat
dengan bersalaman yang memakai penghalang.
Dr. Yusuf Qaradawi mempunyai pandangan yang agak berbeda dalam soal
jabat tangan dengan perempuan bukan mahram. Menurut Qardhawi, hukum
bersalaman dengan perempuan non-mahram adalah makruh alias tidak
haram dengan syarat:
(b) aman dari atau tidak ada fitnah. Apabila dikuatirkan terjadi fitnah dari
salah satu pihak atau bangkitnya syahwat, maka hukumnya haram. Bahkan,
bersalaman dengan perelpuan mahram pun, kalau membangkitkan syahwat,
hukumnya haram. Seperti bersalaman dengan ibu mertua, bibi, istri ayah, dan
lain-lain yang termasuk dari perempuan mahram.
Artinya: Laki-laki tidak boleh menyentuh wajah dan telapak tangan wanita
walaupun aman dari syahwat karena itu diharamkan dan tidak adanya hal
yang mendesak (darurat)