Anda di halaman 1dari 16

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi saluran kemih


2.1.1. Definisi
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah berkembangbiaknya mikroorganisme
didalam saluran kemih, yang dalam keadaan normal tidak mengandung bakteri,
virus, atau mikroorganisme lain. Tanpa terbukti adanya mikroorganisme, tidak
mungkin diagnosa dapat ditegakkan, karena gejala dan tanda klinis bukan
merupakan hal yang mutlak. (Wapadji, Sarwono, Soeparman, 1990)
ISK adalah istilah umum yang menunjukkan keberadaan mikroorganisme
(MO) dalam urin. Dalam keadaan normal urin mengandung mikroorganisme,
umumnya sekitar 102 hingga 104 baakteri/ml urin. Pasien didiagnosis infeksi
saluran kemih bila urinnya mengandung lebih dari 105 bakteri/ml. (Coyle et al.,
2015)
Bakteriuria yang merupakan dasar diagnosis ISK harus dibuktikan adanya
dengan biakan urin, dan harus dapat disingkirkan adanya kontaminasi. Bakteriuria
bermakna (significant bacteriuria): Bakteriuria bermakna menunjukkan
pertumbuhan mikroorganisme (MO) murni lebih dari 105 colony forming units
(cfu/ml) pada biakan urin. Bakteriuria bermakna mungkin tanpa disertai presentasi
klinis ISK dinamakan bakteriuria asimtomatik (covert bacteriuria). Sebaliknya
bakteriuria bermakna disertai presentasi klinis ISK dinamakan bakteriuria
bermakna simtomatik. Pada beberapa keadaan pasien dengan presentasi klinis ISK
tanpa bakteriuria bermakna. Banyak faktor yang menyebabkan negatif palsu pada
pasien dengan presentasi klinis ISK. (Aru W Sudoyo et al, 2014)

• Pasien telah mendapat terapi anti mikroba


• Terapi diuretika
• Minum Banyak
• Waktu pengambilan sampel tidak tepat
• Peranan bakteriofag

Tabel 1. Faktor Penyebab Negatif Palsu pada Pasien ISK


4

2.1.2. Epidemiologi
ISK tergantung banyak faktor, seperti usia, gender dan prevalensi bakteriuria,
dan faktor predisposisi yang menyebabkan perubahan struktur saluran kemih
termasuk ginjal. Selama periode usia beberapa bulan dan lebih dari 65 tahun
perempuan cenderung menderita ISK dibandingkan laki-laki. ISK berulang pada
laki-laki jarang dilaporkan, kecuali disertai faktor predisposisi (pencetus). (Aru W
Sudoyo et al, 2014)
Prevalensi bakteriuria asimtomatik lebih sering ditemukan pada perempuan.
Prevalensi selama periode sekolah (school girls) 1% meningkat menjadi 5%
selama periode aktif secara seksual. Prevalensi infeksi asimtomatik meningkat
mencapai 30%, baik laki-laki maupun perempuan bila disertai faktor predisposisi
seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Faktor Predisposisi (Pencetus) ISK


•Litiasis
•Obstruksi saluran kemih
•Penyakit ginjal polikistik
•Nekrosis papilar
•Diabetes melitus pasca transplantasi ginjal
•Nefropati analgetik
•Penyakit Sikle-cell
•Senggama
•Kehamilan dan peserta KB dengan tablet progesteron
•Kateterisasi

2.1.3 Klasifikasi
1. Infeksi Saluran Kemih (ISK) Bawah
a. Sistitis
Sistitis adalah presentasi klinis infeksi kandung kemih disertai bakteriuria
bermakna. Sistitis akut adalah inflamasi akut pada mukosa buli-buli yang sering
disebabkan oleh infeksi oleh bakteria. Mikroorganisme penyebab infeksi ini
terutama adalah E.coli, Enterococcus, Proteus, dan Staphylococcus aureus yang
masuk ke buli-buli terutama melalui uretra. Sistitis akut mudah terjadi jika
pertahanan lokal tubuh menurun, yaitu pada diabetes mellitus atau trauma lokal
minor seperti pada saat senggama. (Purnomo BB, 2011)
5

Wanita lebih sering mengalami serangan sistitis daripada pria karena uretra
wanita lebih pendek daripada pria. Disamping itu getah cairan prostat pada pria
mempunyai sifat bakterisidal sehingga relatif tahan terhadap infeksi saluran
kemih. Diperkirakan bahwa paling sedikit 10-20% wanita pernah mengalami
serangan sistitis selama hidupnya dan kurang lebih 5% dalam satu tahun pernah
mengalami serangan ini. Inflamasi pada buli-buli juga dapat disebabkan oleh
bahan kimia, seperti pada detergent yang dicampurkan ke dalam air untuk rendam
duduk, deodorant yang disemprotkan pada vulva, atau obat-obatan yang
dimasukkan intravesika untuk terapi kanker buli-buli (siklofosfamid). (Purnomo
BB, 2011)
b. Sindrom uretra akut (SUA)
Sindrom uretra akut adalah presentasi klinis sistitis tanpa ditemukan
mikroorganisme (steril), sering dinamakan sistitis bakterialis. Penelitian terkini
SUA disebabkan MO anaerobic. (Purnomo BB, 2011)
c. Prostatitis
Prostatitis adalah reaksi inflamasi pada kelenjar prostat yang dapat
disebabkan oleh bakteri maupun non-bakteri. Untuk menentukan penyebab satu
prostatitis, diambil sample (contoh) urine dan getah kelenjar prostat melaui uji 4
tabung sesuai yang dilalukan Meares. National Institute of Health
mengklasifikasikan prostatitis menjadi:
 Prostatitis Bakterial Akut (Kategori I)
Bakteri masuk ke dalam kelenjar prostat diduga melalui beberapa cara, antara
lain:
- Ascending dari uretra
- Refluks urine yang terinfeksi ke dalam duktus protatikus
- Langsung atau secara limfogen dari organ yang berada di sekitarnya (rektum)
yang mengalami infeksi
- Penyebaran secara hematogen
 Prostatitis Bakterial Kronis (Kategori II)
Prostatitis antibiotik kronis terjadi karena adanya infeksi saluran kemih yang
sering kambuh. Gejala yang sering dikeluhkan pasien adalah disuri, urgensi,
frekuensi, nyeri perineal, dan kadang-kadang nyeri pada saat ejakulasi atau
6

hematospermia. Pada pemeriksaan colok dubur mungkin teraba krepitasi yang


merupakan tanda sari suatu kalkulosa prostat. Uji 4 tabung tampak pada EPS dan
VB3 didapatkan kuman yang lebih banyak daripada VB1 dan VB2, disamping itu
pada pemeriksaan mikroskopik pada EPS tampak oval fat body. (Purnomo BB,
2011)
 Prostatitis Non-Bakterial (Kategori III)
Prostatitis non baKterial adalah reaksi inflamasi kelenjar prostat yang belum
diketahui penyebabnya. Sesuai dengan klasifikasi dari NIH, kategori III dibagi
menjadi 2 sub kategori, yaitu sub kategori IIIA dan IIIB. Pada sub kategori IIIA
tidak tampak adanya kelainan pemeriksaan fisis dan pada uji 4 tabung tidak
didapatkan pertumbuhan kuman; hanya saja pada EPS terlihat banyak leukosit dan
bentukan oval fat body. Beberapa penulis menduga bahwa inflamasi ini
disebabkan karena infeksi dari Ureaplasma urealyticum atau Chlamydia
trachomatis sehingga mereka memberikan antibiotika yang sensitive terhadap
kuman itu, antara lain minosiklin, doksisiklin, atau eritromisin selama 2-4
minggu. (Purnomo BB, 2011)
Pada sub kategori IIIB yang dulu dikenal dengan nama prostatodinia terdapat
nyeri pada pelvis yang tidak berhubungan dengan keluhan miksi dan sering terjadi
pada usia 2-45 tahun. Pada uji 4 tabung tidak didapatkan adanya bakteri penyebab
infeksi maupun sel-sel penanda proses inflamasi. Diduga kelainan ini ada
hubungannya dengan faktor stress. Pemerian obat-obatan simtomatik berupa obat
penghambat adrenergik alfa dapat mengurangi keluhan miksi. (Purnomo BB,
2011)
 Prostatitis Inflamasi Asimtomatik (Kategori IV)
Secara klinis pasien tidak menunjukkan adanya keluhan maupun tanda dari
suatu prostatitis. Adanya proses inflamasi pada prostat diketahui dari specimen
yang kemungkinan didapat dari cairan semen pada saat analisis semen dan
jaringan prostat yang didapatkan pada biopsy maupun pada saat operasi prostat.
Sebagian besar prostatitis yang tanpa menunjukkan gejala seperti pada kategori ini
tidak memerlukan terapi, tetapi didapatkan sel-sel inflamasi pada analisis semen
seorang proa yang mandul perlu mendapatkan terapi antibiotika. (Purnomo BB,
2011)
7

d. Epididimitis
Epididimitis adalah reaksi inflamasi yang terjadi pada epididymis. Reaksi
inflamasi ini dapat terjadi secara akut atau kronis. Dengan pengobatan yang tepat
penyakit ini dapat sembuh sempurna, tetapi jika tidak ditangani dengan baik dapat
menular ke testis sehingga menimbulkan orkistis, abses pada testis, nyeri kronis
pada skrotum yang berkepanjangan dan infertilitas. (Purnomo BB, 2011)
e. Tuberkulosis Urogenitalia
Traktus urogenitalia adalah tempat yang sering terserang tuberkulosis (TBC).
Infeksi TBC sering mengenai ginjal selama paparan primer terhadap infeksi,
meskipun tidak menunjukkan penampakan klinis. Penyebaran ke ginjal dari fokus
paru, tulang, atau saluran cerna biasanya terjadi secara hematogen. Insiden TBC
ginjal yang diketemukan secara klinis mungkin lebih dari yang sebernarnya,
karena seringkali tidak terdeteksi pada pencitraan, padahal diagnosis didasarkan
pada kultus urine bakteri tahan asam. (Purnomo BB, 2011)
WHO memperkirakan bahwa 1⁄3 penduduk dunia terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis, dan didapatkan 8-10 juta kasus aktif baru setiap
tahun. Saat ini di Negara industry, insidennya setiap tahun menurun. Lebih kurang
95% pasien tuberculosis berada di Negara berkembang dan setiap tahun
insidennya meningkat sejalan dengan meningkatnya insidens infeksi virus HIV.
Tingginya kejadian TBC berhubungan dengan adanya krisis sosio-ekonomi,
kelemahan sistem layanan kesehatan, muncul dan berkembangannya infeksi HIV,
timbulnya resistensi terhadap berbagai obat (multidrug resistant/MDR) TBC, dan
jeleknya control terhadap TBC pada pupolasi yang rentan infeksi.
Penyebaran ke ginjal sangat lambat, dibutuhkan periode laten >20 tahun
setelah terjadi infeksi primer untuk menimbulkan gejala hematuria. Pada pasien
TBC ginjal, terapi meliputi pemberian obat anti TBC atau mungkin diperlukan
pembedahan. Perempuan yang menderita TBC genitalia, biasanya datang dengan
infertilitas, gangguan menstruasi, dan nyeri. Jarang bisa sampai terjadi kehamilan,
namun jika terjadi kehamilan, seringkali mengalami keguguran atau kehamilan
ektopik. Oleh karena tidak ada tanda yang spesifik, diagnosis TBC seringkali sulit
ditegakkan. (Purnomo BB, 2011)
8

2. Infeksi Saluran Kemih (ISK) Atas


a. Pielonefritis akut (PNA)
Pielonefritis akut adalah proses inflamasi parenkim ginjal yang disebabkan
infeksi bakteri. Pada umumnya kuman yang menyebabkan infeksi ini berasal dari
saluran kemih bagian bawah yang naik ke ginjal melalui ureter. Kumannya adalah
Escherechia coli, Proteus, Klebsiella spp, dan kokus gram positif, yaitu
Streptococcus faecalis dan enterokokus. Kuman Staphylococcusaureus dapat
menyebabkan pielonefritis melalui penularan secaara hematogen, meskipun hal itu
sekarang jarang dijumpai. (Purnomo BB, 2011)
b. Pielonefritis Kronis (PNK)
Pielonefritis kronis mungkin akibat lanjut dari infeksi bakteri berkepanjangan
atau infeksi sejak masa kecil. Obstruksi saluran kemih dan refluks vesikoureter
dengan atau tanpa bakteriuria kronik sering diikuti pembentukan jaringan ikat
parenkim ginjal yang ditandai pielonefritis kronik yang spesifik. Bakteriuria
asimtomatik kronik pada orang dewasa tanpa faktor predisposisi tidak pernah
menyebabkan pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal. (Purnomo BB, 2011)

2.1.4. Faktor Risiko


Faktor risiko adalah hal-hal yang secara jelas mempermudah terjadinya suatu
kejadian. Faktor risiko yang berpengaruh terhadap timbulnya ISK yaitu :
1. Usia
Prevalensi ISK meningkat secara signifikan pada manula. Bakteriuria
meningkat dari 5-10% pada usia 70 tahun menjadi 20% pada usia 80 tahun. Pada
usia tua, seseorang akan mengalami penurunan sistem imun, hal ini akan
memudahkan timbulnya ISK. Wanita yang telah menopause akan mengalami
perubahan lapisan vagina dan penurunan estrogen, hal ini akan mempermudah
timbulnya ISK. Pada usia tua, seseorang mudah terpapar infeksi. Faktor lain yang
dapat menyebabkan ISK adalah menderita diabetes lebih dari 20 tahun, retinopati,
neuropati, penyakit jantung, dan penyakit pembuluh darah perifer. (Fellicia, 2013)
2. Kateter
Sebagian besar ISK terjadi setelah pemasangan kateter atau instrumentasi urin
lainnya. Pada pasien yang terpasang kateter, bakteri dapat memasuki vesica
9

urinaria melalui 4 tempat : the meatus-cathether junction, the cathether-drainage


tubing junction, the drainage tubing-bag junction, dan pintu drainase pada kantung
urin. Pada kateterisasi dengan waktu singkat, bakteri yang paling banyak
ditemukan adalah E. coli. Bakteri lain yang ditemukan adalah P. aeruginosa, K.
pneumonia, Staphylococcus epidermidis, dan enterococcus. Pada kateterisasi
jangka panjang, bakteri yang banyak ditemukan adalah E. coli, bakteri ini
menempel pada uroepitelium. (Fellicia, 2013)
3. Antibiotik
Penggunaan antibiotik yang terlalu banyak dan tidak rasional dapat
menimbulkan resistensi. Hal ini terjadi terutama pada pasien yang mendapat terapi
antibiotik dalam 90 hari sebelumnya. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional
mengurangi jumlah bakteri lactobacillus yang melindungi. Hal ini menimbulkan
jumlah pertumbuhan E. coli yang tinggi di vagina. (Fellicia, 2013)
4. Perawatan di Intensive Care Unit (ICU)
National Nosocomial Infections Surveillance System dilakukan pada pasien
ICU, dari studi tersebut didapatkan kesimpulan bahwa ISK merupakan infeksi
terbanyak pada pasien kritis di ICU. Disebutkan bahwa penyebabnya adalah
penggunaan antibiotik yang tinggi multipel pada satu pasien sehingga
menimbulkan peningkatan resistensi terhadap antimikroba. (Fellicia, 2013)
5. Keganasan hematologi
Pasien dengan keganasan hematologi misalnya leukemia akut dan neutropenia
mempunyai risiko tinggi untuk terkena infeksi. Bakteri yang menyebabkan infeksi
pada pasien neutropenia dan kanker bisa merupakan bakteri gram negatif (E. coli,
P. aeruginosa, Klebsiella) atau bakteri gram positif (S. Aureus dan Enterococcus).
Neutrofil memegang peranan penting sebagai agen pertahanan tubuh manusia
dalam melawan berbagai bakteri, oleh karena itu penurunan jumlah neutrofil yang
ekstrim menyebabkan peningkatan resistensi bakteri. (Fellicia, 2013)
6. Pasien hemodialisa
Pasien yang menjalani hemodialisa akan lebih rentan terpapar MDRO, maka
meningkatkan risiko terjadinya ISK. Peningkatan kerentanan itu disebabkan oleh
dialisat yang terkontaminasi, transient bakteremia yang disebabkan karena
terdapat akses ke pembuluh darah yang menjadikannya sebagai port d’entree
10

bakteri MDRO, dan kelebihan Fe. Kateter dialisis melukai lapisan kulit normal
sehingga membentuk jalan masuk bakteri ke pembuluh darah (Fellicia, 2013).
7. Ulkus diabetes mellitus (Ulkus DM)
Infeksi ada ulkus DM sangat lazim ditemukan, hal ini berhubungan dengan
kontrol level glukosa yang inadekuat. Bakteri gram negatif yang sering ditemukan
adalah Proteus dan bakteri gram positif yang sering ditemukan adalah
Staphylococcus. Penderita diabetes yang mengalami ulkus pada kaki sangat rentan
terhadap infeksi, dan akan menyebar secara cepat sehingga menimbulkan
kerusakan jaringan yang luar biasa. (Fellicia, 2013)

2.1.5. Patofisiologi
Pada individu normal, biasanya laki-laki maupun perempuan urin selalu steril
karena dipertahankan jumlah dan frekuensi kencing. Uretro distal merupakan
tempat kolonisasi mikroorganisme nonpathogenic fastidious Gram-positive dan
gram negatif. Infeksi saluran kemih terjadi ketika mikroorganisme masuk ke
dalam saluran kemih dan berkembang biak. Saluran kemih terdiri dari kandung
kemih, uretra dan dua ureter dan ginjal (Purnomo, 2014). Bakteri biasanya masuk
kedalam saluran kemih melalui uretra, kateter, perjalanan sampai ke kandung
kemih dan dan dapat berjalan naik ke ginjal dan menyebabkan infeksi yang
disebut piolenefritis (National Kidney Foundation, 2012).
Mikroorganisme penyebab ISK umumnya berasal dari flora usus dan hidup
secara komensal dalam introitus vagina, preposium, penis, kulit, perineum, dan
sakitar anus. Kuman yang berasal dari feses atau dubur, masuk ke dalam saluran
kemih dan dapat sampai ke ginjal. (Fitriani, 2013)
Mikroorganisme tersebut dapat memasuki saluran kemih melalui 3 cara yaitu
ascending, hematogen, limfogen dan langsung dari organ sekitarnya yang
sebelumnya telah menginfeksi (Purnomo, 2014). Hampir semua ISK disebabkan
invasi mikroorganisme asending dari uretra ke dalam kandung kemih. Pada
beberapa pasien tertentu invasi mikroorganisme dapat mencapai ginjal. (Purnomo
BB, 2011)
11

Proses invasi mikroorganisme hematogen terjadi pada orang dengan daya


tahan tubuh rendah karena menderita suatu penyakit kronik, atau pada pasien yang
sementara mendapatkan pengobatan immunosupresif. (Purnomo BB, 2011)

2.1.6. Gejala dan Tanda


Gejala dan tanda ISK tidak selalu lengkap, dan bahkan tidak selalu ada.
Gejala yang lazim ditemukan adalah polakisuria, yang semuanya sering terdapat
bersamaan. Rasa nyeri biasa didapatkan di daerah supra pubik atau pelvis berupa
rasa nyeri atau seperti terbakar di uretra atau muara uretra luar sewaktu kencing
atau dapat juga diluar waktu kencing. Polakisuria terjadi akibat kandung kemih
tidak dapat menampung air seni lebih dari 500 ml akibat rangsangan mukosa yang
meradang sehingga sering buang air kecil (Wapadji, Sarwono, Soeparman, 1990).
Gejala lain yang didapatkan pada ISK adalah stranguria yaitu kencing yang
susah dan disertai kejang otot pinggang yang sering pada sistitis akut, selain itu
juga didapatkan tenesmus, tenesmus, dan nokturia. (Wapadji, Sarwono,
Soeparman, 1990)
Gejala yang kurang sering didapatkan pada ISK antara lain enuresis nocturnal
sekunder yaitu ngompol pada dewasa, prostatismus yang bisa disebabkan oleh
hipertrofi prostat. Nyeri uretra atau mulut uretra luar dan kandung kemih yang
dirasakan di daerah suprapubik juga dapat timbul akibat ISK. (Wapadji, Sarwono,
Soeparman, 1990)

2.1.7. Komplikasi
Komplikasi ISK tergantung dari tipe yaitu ISK tipe sederhana
(uncomplicated) dan tipe berkomplikasi (complicated) (Purnomo BB, 2011).
1. ISK sederhana (uncomplicated)
ISK akut tipe sederhana (sistitis) yaitu non-obstruksi dan bukan perempuan
hamil merupakan penyakit ringan (self limitied disease) dan tidak menyebabkan
akibat lanjut jangka lama.
2. ISK tipe berkomplikasi (complicated)
3. ISK selama kehamilan
ISK selama kehamilan dari umur kehamilan
a. ISK pada diabetes mellitus
12

Penelitian epidemiologi klinik melaporkan bakteriuria dan ISK lebih sering


ditemukan pada DM dibandingkan perempuan tanpa DM.

2.1.8. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis


Analisa urin rutein, pemeriksaan mikroskopi urin segar tanpa putar, kultur
urin, serta jumlah kuman/mL urin merupakan protocol standar untuk pendekatan
diagnosis ISK. Pengambilan dan koleksi urin, suhu, dan teknik transportasi
sampel urin harus sesuai dengan protocol yang dianjurkan (Purnomo BB, 2011).
Investigasi lanjutan terutama renal imaging procedures tidak boleh rutin,
harus berdasarkan indikasi klinis yang kuat. Renal imaging procedures untuk
investigasi faktor predisposisi ISK (Purnomo BB, 2011) :
 Ultrasonogram (USG)
 Radiografi
 Foto polos perut
 Pielografi IV
 Micturating cystogram
 Isotop scanning

2.1.9. Manajemen
1. Infeksi Saluran Kemih (ISK) Bawah
Prinsip manajemen ISK bawah meliputi intake cairan yang banyak,
antibiotika yang adekuat, dan kalau perlu terapi simtomatik untuk alkalinisasi
urin:
 Hampir 80% pasien akan memberikan respon setelah 48 jam dengan
antibiotika tunggal; seperti ampisilin 3 gram, trimetropin 200 mg.
 Bila infeksi menetap disertai kelainan urinalisis (leukosuri) diperlukan terapi
konvensional selama 5-10 hari.
 Pemeriksaan mikroskopik urin dan biakan urin tidak diperlukan bila semua
gejala hilang dan tanpa lekosuria.
 Reinfeksi berulang (frequent re-infection).
 Disertai faktor predisposisi. Terapi antimikroba yang intensif diikuti koreksi
faktor resiko.
13

 Tanpa faktor predisposisi


 Cuci setelah melakukan senggama diikuti terapi antimikroba takaran tunggal
(misal trimetropin 200 mg)
 Terapi antimikroba jangka lama sampai 6 bulan
Sindrom uretra akut (SUA), pasien dengan sindrom uretra akut dengan hitung
kuman 103-105 memerlukan antibiotika yang adekuat. Infeksi klamidia
memberikan hasil yang baik dengan tetrasiklin. Infeksi disebabkan MO anaerobic
diperlukan antimikroba yang serasi, misal golongan kuinolon (Aru W Sudoyo et
al, 2014).
2. Infeksi Saluran Kemih (ISK) Atas
Pielonefritis akut, pada umumnya pasien dengan pielonefritis akut
memerlukan rawat inap untuk memelihara satus dehidrasi dan terapi antibiotika
parenteral paling sedikit 48 jam. Indikasi rawat inap pielonefritis akut seperti pada
tabel. The Infectious Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga
alternative terapi antibiotik IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam sebelum
diketahui MO sebagai penyebabnya:
 Fluorokuinolon
 Amiglikosida dengan atau tanpa ampisilin
 Sefalosporin dengan spectrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida

2.1.10. Pencegahan
Data epidemiologi klinik mengungkapkan uji saring bakteriuria asimtomatik
bersifat selektif dengan tujuan utama untuk mencegah menjadi bakteriuria disertai
presentasi klinik ISK. Uji saring bakteriuria asimtomatik harus rutin dengan
jadwal tertentu untuk pasien perempuan yang sedang hamil, pasien perempuan
penderita DM, dan pasca transplantasi ginjal perempuan dan laki-laki, dan
kateterisasi laki-laki dan perempuan.
a. Bakteriuria asimtomatik pada kehamilan
Penelitian epidemiologi klinik melaporkan prevalensi bakteriuria asimtomatik
pada kehamilan bervariasi antara 2-10%; dan tergantung dari status sosio-
ekonomi. Bila mikroorganisme lain seperti Ureaplasma urealyticium dan
Gardnella vaginalis berhasil diisolasi, prevalensi bakteriuria asimtomatik
meningkat lebih dari 25%. Tetapi peranan kedua MO tersebut masih belum jelas.
14

Pada kelompok perempuan tidak hamil ditemukan basiluria asimtomatik dua


kali berturut-turut MO yang sama mempunyai sensitivitas 95% dan spesivitas
95% untuk cenderung mengalami episode presentasi klinik ISK. Pada kelompok
perempuan ini tidak diperlukan terapi antimikroba, cukup irigasi MO dengan
asupan cairan yang banyak.

Setiap perempuan hamil degnan basiluri asimtomatik harus mendapat terapi


antimikroba untuk mencegah presentasi klinis pielonefritis dan komplikasi
kehamilannya.
b. Bakteriuria Asimtomatik pada Diabetes Melitus
Prevalensi bakteriuri asimtomatik pada perempuan disertai diabetes mellitus
lebih banyak dibandingkan dengan perempuan tanpa diabetes mellitus.
Pathogenesis kepekaan terhadap ISK diantara pasien diabetes mellitus yang tidak
diketahui pasti. Penelitian epidemiologi klinik gagal mencari hubungan antara
prevalensi bakteriurua asimtomatik dengan kualitas pengendalian hiperglikemia
(dengan parameter gula darah puasa dan HbA1C dan faal ginjal). Peneliti lain
Balasoiu D menemukan hubungan faktor resiko gangguan faal kandung kemih
(Bladder dysfunction) dengan peningkatan kepekaan terhadap ISK pada diabetes
mellitus. Disfungsi kandung kemih ini diduga akibat disfungsi saraf autonomy
dan gangguan fungsi leukosit PMN (opsonisasi, kemoktasis dan fagositosis).
Tamm-Horsfaal diduga mempengaruhi perubahan bacterial adhesion terhadap sel
epitel yang dapat mencetuskan infeksi saluran kemih (ISK).
Menurut beberapa peneliti basiluri asimtomatik pada diabetes mellitus
merupakan faktor predisposisi pielonefritis akut disertai mikrosis papiler dan
insufiensi renal. Basiluri asimtomatik dengan mikroorganisme pembentukan;
E.coli, Candida spp dan klostridium dapat menyebabkan pielonefritis
emfisematosa disertai syok septik dan vasomotor akut nefropati. Beberapa peneliti
lebih cenderung memberikan terapi antimikroba pada basiluri asimtomatik pada
pasien dengan diabetes mellitus (Purnomo BB, 2011).
c. Resipien Transplantasi Ginjal
Prevalensi bakteriuria asimtomatik cukup tinggi mencapai 35-79% diantara
resipien pada 3-4 bulan pertama pasca transplantasi ginjal; diduga terkait dengan
indwelling chateter sebagai faktor resiko. Bakteriuria asimtomatik pada resipien
15

ini merupakan resiko pielonefritis akut (graft infection), septikemia diikuti


penurunan laju filtrasi glomerulus. Bakteriuria simtomatik dengan presentasi
klinis yang muncul 6 bulan pertama (late infection) pasca transplantasi ginjal
dengan presentasi klinik ringan. (Purnomo BB, 2011)

d. ISK Berhubungan dengan Kateter


Pada umumnya bakteriuri terkait kateter bersifat polimikroba. Sebagian besar
peneliti tidak menganjurkan antibiotika sebagai pencegahan infeksi saluran kemih
terkait kateter. Negara maju seperti USA menganjurkan penggunaan kateter urin
berselaput campuran perak atau kateter oksida perak untuk mencegah infeksi
saluran kemih terkait kateter.

2.1.11. Penatalaksanaan
Pengobatan ISK bertujuan untuk membebaskan saluran kemih dari bakteri
dan mencegah atau mengendalikan infeksi berulang, sehingga morbiditasnya
dihindarkan atau dikurangi. Dalam pendekatan pengobatan ISK ini pemilihan
antibiotik penting, untuk mendapatkan hasil yangt optimal dengan Berdasarkan
(Wapadji, Sarwono, Soeparman, 1990) :
1. Jenis ISK, misalnya ISK atas atau bawah, sederhana atau berkomplikasi,
infeksi RS atau luar RS, penyakit penyerta, dsb.
2. Pola resistensi kuman penyebab ISK, oleh karena diperlukan waktu dan terapi
menjelang diagnosis tepat etiologi ISK sesuai hasil biakan.
3. Keadaan fungsi ginjal yang akan menentukan ekskresi efek obat dan
kemungkinan terjadinya akumulasi atau efek samping /toksik obat.
Penyakit-penyakit ISK dengan pengobatannya:
1. Pielonefritis Akut
Terapi ditujukan untuk mencegah terjadinya kerusakan ginjal lebih yang lebih
parah dan memperbaiki kondisi pasien, yaitu berupa terapi suportif dan pemberian
antibiotik. Antibiotika yang dipergunakan pada keadaan ini adalah yang bersifat
bakterisidal, dan berspektrum luas, yang secara farmakologis mampu mengadakan
penetrasi ke jaringan ginjal dan kadanya di dalam urine cukup tinggi. Golongan
obat-obatan itu adalah:
16

a. Aminoglikosida yang dikombinasikan dengan aminopenisilin (ampisilin atau


amoksisilin)
b. Aminopenisilin dikombinasi dengan asam klavulanat atau sulbaktam
c. Karboksipenisilin
d. Sefalosporin atau fluoroquinolone
Jika dengan pemberian antibiotika itu keadaan klinis membaik, pemberian
parenteral diteruskan sampai 1 minggu dan kemudian dilanjutkan dengan
pemberian per oral selama 2 (dua) minggu berikutnya. Akan tetapi jika dalam
waktu 48-72 jam setelah pemberian antibiotika keadaan klinis tidak menunjukkan
perbaikan, mungkin kuman tidak sensitif terhadap antibiotik yang diberikan. (Aru
W Sudoyo et al, 2014)
2. Sistitis Akut
Pada uncomplicated sistitis cukup diberikan dengan antimikroba dosis
tunggal atau jangka pendek (13 hari). Tetapi jika hal ini tidak memungkinkan
dipilih antimikroba yang masih cukup sensitive terhadap kuman E. coli, antara
lain:
a. Nitrofuranoin
b. Trimetroprim-sulfametoksazol atau ampisilin
Kadang-kadang diperlukan obat-obatan gollongan antikolinergik
(propantheline bromide) untuk mencegah hiperiritabilitas buli-buli dan
fenazopiridin hidroklorida sebagai antiseptic pada saluran kemih (Aru W Sudoyo
et al, 2014).
3. Prostatitis
a. Prostatitis Bakterial Akut (Kategori I)
Antibiotik yang dipilih adalah antibiotik yang sensitif terhadap kuman
penyebab infeksi dan kalau perlu pasien harus mennjalani rawat inap guna
pemberian obat secara parenteral. Antibiotika yang dipilih adalah dari golongan
fluoroquinolone, trimetroprim-sulfametoksazol, dan golongan aminoglikosida.
Setelah keadaan membaik antibiotika per oral diteruskan hingga 30 hari.
Jika terjadi gangguan miksi sehingga menimbulkan retensi urine sebaiknya
dilakukan pemasangan kateter suprapubik karena dalam keadaan ini tindakan
17

pemasangan kateter transuretra kadang-kadang sulit dan akan menambah rasa


nyeri. (Aru W Sudoyo et al, 2014)
b. Prostatitis Bakterial Kronis (Kategori II)
Pada prostatitis bakterial akut, hampir semua antibiotika dapat menembus
barriers plasma-epitelium dan masuk ke dalam sel-sel kelenjar prostat, tetapi pada
infeksi kronis tidak banyak jenis antibiotik yang dapat menembus barrier itu.
Jenis antimikroba yang dapat menembusnya adalah Trimetropim-sulfametoksasol,
doksisiklin, aminosiklin, karbenisilin, dan fluoroquinolone. Antimikroba
diberikan dalam jangka lama hingga pemeriksaan kultur ulangan tidak
menunjukkan adanya kuman. (Aru W Sudoyo et al, 2014)
4. Epididimitis
Pemilihan antibiotika tergantung pada kuman penyebab infeksi. Pada pasien
yang berusia dibawah 35 tahun dengan perkiraan kuman penyebabnya adalah
Chlamydia trachomatis atau Neisseria gonorrhoeae, antibiotik yang dipilih adalah
amoksisilin dengan disertai probenesid, atau ceftriaxone yang diberikan secara
intravena. Selanjutnya diteruskan dengan pemberian doksisiklin atau eritromisin
per oral selama 10 hari. Tidak kalah pentingnya adalah pengobatan terhadap
pasangannya. Sebagai terapi simtomatis untuk menghilangkan nyeri dianjurkan
memakai celana ketat agar testis terangkat (terletak lebih tinggi), mengurangi
aktivitas, atau pemberian anastesi lokal/topical. Untuk mengurangi pembengkakan
dapat di kompres dengan es.
Pemberian terapi di atas akan menghilangkan keluhan nyeri dalam beberapa
hari, akan tetapi pembengkakan baru sembuh setelah 4-6 minggu, dan indurasi
pada epididymis akan bertahan sampai beberapa bulan. (Aru W Sudoyo et al,
2014)
5. Tuberculosis Urogenitalia
Pada TBC UG, terapi medikamentosa merupakan pilihan pertama (first line)
terapi. Selama 40 tahun pengalaman pengobatan TBC, lama pengobatan berhasil
diperpendek dari 24 bulan menjadi 6 bulan. Hanya pada kasus yang rumit (TBC
kambuhan, imunsupresif, atau HIV) diperlukan waktu 9 bahkan 12 bulan.
Masalah serius pada masa kini adalah tingginya resistensi terhadap obat primer
18

anti TBC. Bahkan sudah banyak didapatkan resisten terhadap banyak obat atau
multidrug resistance (MDR), sehingga membutuhkan penatalaksanaan khusus.
Harus diperhatikan pada pasien insufiensi ginjal. Firampisin, isoniazid,
pirazinamid, protionamid, dan etionamid dapat diberikan dengan dosis normal.
Obat tersebut dieliminasi di empedu dan dipecah menjadi metabolit yang tidak
diekskresikan melalui ginjal. Namun streptomisin, golongan aminoglikosida yang
lain, dan etambutol harus diberikan dengan hati-hati karena obat tersebut
semuanya disekresikan melalui ginjal. Pada pasien HIV, terapi anti-retrovirus
berinteraksi negatif dengan rimfapisin. Jika diberikan firabutin sebagai pengganti
rifampisin, lama terapi diperpanjang hingga 9-12 bulan. (Aru W Sudoyo et al,
2014)

Anda mungkin juga menyukai