Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia adalah meningkatnya angka kematian
anak. Salah satu penyebabnya adalah kebutuhan gizi yang tidak terpenuhi. Keadaan gizi pada
anak akan mempengaruhi tingkat kesehatan dan harapan hidup yang merupakan salah satu
unsur utama dalam penentuan keberhasilan pembangunan negara yang dikenal dengan istilah
human development index (HDI).
Kasus gizi buruk umumnya menimpa anak dengan latar belakang ekonomi lemah.
Beragam masalah malnutrisi banyak ditemukan pada anak-anak dari kurang gizi hingga
busung lapar. Menurut UNICEF saat ini ada sekitar 40% anak Indonesia di bawah usia lima
tahun menderita gizi buruk. Betapa banyaknya bayi dan anak-anak yang sudah bergulat
dengan kelaparan dan penderitaan sejak mereka dilahirkan (Nurul Setyorini, 2013).
Proses metabolik anak pada dasarnya sama, akan tetapi relatif lebih aktif dibandingkan
dengan orang dewasa. Anak membutuhkan lebih banyak makanan untuk tiap kilogram berat
badannya, karena sebagian dari makanan tersebut harus disediakan untuk pertumbuhan dan
pertukaran enegsi yang lebih aktif. Anak yang sedang tumbuh memerlukan makanan
tambahan untuk pertumbuhan. Keperluan ini dapat dipenuhi dengan pemberian makanan yang
mengandung cukup kalori. Dalam makanan tersebut harus cukup tersedia protein,
karbohidrat, mineral, air, vitamin, dan beberapa macam asam lemak dalam jumlah tertentu.
Terjadinya gizi buruk itu merupakan permasalahan multi faktor. Pemahaman tentang
pentingnya gizi bagi tumbuh kembang anak rata-rata rendah di kalangan orang tua. Hal ini
merupakan akumulasi dari rendahnya tingkat pendidikan, keadaan sosial ekonomi serta
lingkungan masyarakat yang kurang kondusif terhadap kesehatan (Dinkes Surabaya, 2013).
Kurang energi dan Protein (KEP) pada anak masih menjadi masalah gizi dan kesehatan
masyarakat di Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, sebanyak 13,0%
berstatus gizi kurang, diantaranya 4,9% berstatus gizi buruk. Data yang sama menunjukkan
13,3% anak kurus, diantaranya 6,0% anak sangat kurus dan 17,1% anak memiliki kategori
sangat pendek (Depkes, 2012). Salah satu cara untuk menanggulangi masalah gizi kurang dan
gizi buruk adalah dengan menjadikan tatalaksana gizi buruk sebagai upaya menangani setiap
kasus yang ditemukan. Pada saat ini seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi
tatalaksana gizi buruk menunjukkan bahwa kasus ini dapat ditangani dengan dua pendekatan.
Gizi buruk dengan komplikasi (anoreksia, pneumonia berat, anemia berat, dehidrasi berat,

1
demam tinggi dan penurunan kesadaran) harus dirawat di rumah sakit, Puskesmas perawatan,
Pusat Pemulihan Gizi (PPG) atau Therapeutic Feeding Center (TFC), sedangkan gizi buruk
tanpa komplikasi dapat dilakukan secara rawat jalan (Depkes, 2012).

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian gizi buruk

Pengertian dari gizi buruk adalah sebuah keadaan tubuh yang merusak
beberapa bagian dalam tubuh akibat dari kurangnya gizi yang di konsumsi anak
tersebut. Gizi buruk ini terjadi ketika kondisi tubuh dalam keadaan kekurangan gizi
yang diakibatkan oleh kurangnya asupan makanan yang mengandung gizi dan juga
protein. Jadi dengan kata lain, gizi buruk terjadi ketika anak tidak mendapatkan
asupan energi dan protein yang cukup sehingga perkembangan organ tubuh sang anak
tidak bisa berkembang dengan maksimal (Helda sihombing, 2013).

Pengertian gizi buruk menurut Depkes RI, masalah gizi buruk adalah faktor
pembunuh utama bagi bayi dan balita. Gizi buruk pada balita tidak terjadi secara tiba –
tiba, tetapi diawali dengan tidak bertambahnya berat badan bayi sehingga tidak
mampu melewati batas minimal berat bayi yang sesuai dengan umurnya. Petunjuk
awal terjadinya gizi buruk adalah perubahan berat badan balita dari waktu kewaktu.
Dalam periode 6 bulan, bayi yang berat badannya tidak naik dua kali dari berat
awalnya berisiko mengalami gizi buruk 12,6 kali di bandingkan pada balita yang berat
badannya naik terus (Helda Sihombing, 2013).

Malnutrisi (gizi buruk) adalah suatu istilah umum yang merujuk pada kondisi
medis yang disebabkan oleh diet yang tak tepat atau tak cukup. Walaupun seringkali
disamakan dengan kurang gizi yang disebabkan oleh kurangnya konsumsi, buruknya
absorpsi, atau kehilangan besar nutrisi atau gizi, istilah ini sebenarnya juga mencakup
kelebihan gizi (overnutrition) yang disebabkan oleh makan berlebihan atau masuknya
nutrien spesifik secara berlebihan ke dalam tubuh. Seorang akan mengalami malnutrisi
jika tidak mengkonsumsi jumlah atau kualitas nutrien yang mencukupi untuk diet
sehat selama suatu jangka waktu yang cukup lama. Malnutrisi yang berlangsung lama
dapat mengakibatkan kelaparan, penyakit, dan infeksi (Dirga, 2012).

Defisiensi gizi dapat terjadi pada anak yang kurang mendapatkan masukan
makanan dalam waktu lama. Istilah dan klasifikasi gangguan kekurangan gizi amat
bervariasi dan masih merupakan masalah yang pelik. Walaupun demikian, secara
klinis digunakan istilah malnutrisi energi dan protein (MEP) sebagai nama umum.

3
Penentuan jenis MEP yang tepat harus dilakukan dengan pengukuran antropometri
yang lengkap (tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas dan tebal lipatan kulit),
dibantu dengan pemeriksaan laboratorium (Dirga, 2012)

Gizi buruk adalah keadaan kekurangan energi dan protein tingkat berat akibat

kurang mengkonsumsi makanan yang bergizi dan atau menderita sakit dalam waktu

lama. Itu ditandai dengan status gizi sangat kurus (menurut BB terhadap TB) dan atau

hasil pemeriksaan klinis menunjukkan gejala marasmus, kwashiorkor atau marasmik

kwashiorkor (Dirga, 2012).

2.2 Pengertian balita


Soetjiningsih, (2001) dalam Andy (2012) menyatakan balita adalah anak

dengan usia dibawah 5 tahun dengan karakteristik pertumbuhan yakni pertumbuhan

cepat pada usia 0-1 tahun dimana umur 5 bulan BB naik 2x BB lahir dan 3x BB lahir

pada umur 1 tahun dan menjadi 4x pada umur 2 tahun. Pertumbuhan mulai lambat

pada masa pra sekolah kenaikan BB kurang lebih 2 kg/ tahun, kemudian pertumbuhan

konstan mulai berakhir.

Balita merupakan istilah yang berasal dari kependekan kata bawah lima tahun.
Istilah ini cukup populer dalam program kesehatan. Balita merupakan kelompok usia
tersendiri yang menjadi sasaran program KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) di lingkup
Dinas Kesehatan. Balita merupakan masa pertumbuhan tubuh dan otak yang sangat
pesat dalam pencapaian keoptimalan fungsinya. Periode tumbuh kembang anak adalah
masa balita, karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan
menentukan perkembangan kemampuan berbahasa, kreatifitas, kesadaran sosial,
emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan
perkembangan berikutnya (supartini, 2004 dalam Suparyanto, 2011)

Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai balita, merupakan salah satu

periode usia manusia setelah bayi sebelum anak awal. Rentang usia balita dimulai dari

4
satu sampai dengan lima tahun, atau bisa digunakan perhitungan bulan yaitu usia 12-

60 bulan (Suparyanto, 2011).

Periode usia ini disebut juga sebagai usia prasekolah (Wikipedia, 2009 dalam
Suparyanto, 2011). sebagai berikut :

1. Perkembangan fisik

Di awal balita, pertambahan berat badan Balita merupakan singkatan bawah

lima tahun, satu periode usia manusia dengan rentang usia dua hingga lima tahun,

ada juga yang menyebut dengan periode usia prasekolah. Pada fase ini anak

berkembang dengan sangat pesat (Choirunisa, 2009 : 10 Suparyanto, 2011 ).

Pada periode ini, balita memiliki ciri khas perkembangan menurun disebabkan

banyaknya energi untuk bergerak (Suparyanto, 2011).

2. Perkembangan Psikologis

Dari sisi psikomotor, balita mulai terampil dalam pergerakanya (lokomotion),

seperti berlari, memanjat, melompat, berguling, berjinjit, menggenggam, melempar

yang berguna untuk mengelola keseimbangan tubuh dan mempertahankan rentang

atensi (Suparyanto, 2011).

Pada akhir periode balita kemampuan motorik halus anak juga mulai terlatih
seperti meronce, menulis, menggambar, menggunakan gerakan pincer yaitu
memegang benda dengan hanya menggunakan jari telunjuk dan ibu jari seperti
memegang alat tulis atau mencubit serta memegang sendok dan menyuapkan makanan
kemulutnya, mengikat tali sepatu. Dari sisi kognitif, pemahaman tehadap obyek telah
lebih ajeg. Kemampuan bahasa balita tumbuh dengan pesat. Pada periode awal balita
yaitu usia dua tahun kosa kata rata-rata balita adalah 50 kata, pada usia lima tahun
telah menjadi diatas 1000 kosa kata. Pada usia tiga tahun balita mulai berbicara

5
dengan kalimat sederhana berisi tiga kata dan mulai mempelajari tata bahasa dari
bahasa ibunya (Choirunisa, 2009 : 10 dalam Suparyanto, 2011).

BAB III

PEMBAHASAN

6
3.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi gizi buruk pada balita
Menurut Almatsier (2009), masalah gizi umumnya disebabkan oleh
kemiskinan, kurangnya ketersediaan pangan, kurang baiknya sanitasi, kurangnya
pengetahuan tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan. Sedangkan berdasarkan
tingkatan penyebab gizi buruk, dapat dibagi kedalam penyebab langsung, penyebab
tidak langsung dan penyebab mendasar.
Penyebab langsung merupakan faktor yang langsung berhubungan dengan
kejadian gizi buruk dan adanya penyakit. Interaksi antara asupan gizi dan infeksi akan
saling menguatkan untuk memperburuk keadaan. Sehingga akan berakibat fatal
penyebab kematian dini pada anak-anak.
Penyebab tidak langsung merupakan faktor yang mempengaruhi penyebab
langsung. Seperti akses mendapatkan makanan yang kurang, perawatan dan pola asuh
anak kurang dan pelayanan kesehatan serta lingkungan buruk atau tidak mendukung
kesehatan anak-anak. Faktor inilah yang akan mempengaruhi buruknya asupan
makanan atau gizi anak dan terjadinya infeksi pada anak-anak.
Penyebab mendasar terjadinya gizi buruk terdiri dari dua hal, yakni faktor
sumber daya potensial dan yang menyangkut sumber daya manusia. Pengelolaan
sumber daya potensial sangat erat kaitannya dengan politik dan idiologi, suprastruktur
dan struktur ekonomi. Sementara sumber daya berkaitan erat dengan kurangnya
pendidikan rakyat.

Menurut Bengoa (dikutip oleh Jullieffe, 1966 dalam Tri Eka Purwani, 2009)
masalah gizi buruk (malnutrition) merupakan hasil ekologi sebagai hasil yang saling
mempengaruhi (multiple overlapping) dan interaksi beberapa faktor fisik, biologi dan
lingkungan budaya. Jadi jumlah makanan dan zat-zat gizi tersedia bergantung pada
lingkungan iklim, tanah, irigasi dan penyimpanan, transportasi dan tingkat ekonomi
penduduk. Disamping itu budaya juga berpengaruh seperti kebiasaan memasak,
prioritas makanan dalam keluarga dan pantangan makan bagi golongan rawan gizi.
Menurutnya ada 6 faktor ekologi yang berhubungan dengan penyebab malnutrisi yaitu
:
1. Keadaan Infeksi
Scrimshaw et al (1959) menyatakan bahwa ada hubungan yang erat antara
infeksi (bakteri, virus, parasit) dengan malnutrisi. Mereka menekankan interaksi
yang sinergis antara malnutrisi dan penyakit infeksi, dan juga infeksi akan
mempengaruhi status gizi dan mempercepat malnutrisi. Mekanismenya
bermacam-macam baik sendiri-sendiri maupun bersamaan yaitu :

7
a. Penurunan asupan zat gizi akibat kurangnya nafsu makan, menurunnya
absorpsi dan kebiasaan mengurangi makanan pada saat sakit.
b. Peningkatan kehilangan cairan/zat gizi akibat penyakit diare, mual /muntah dan
perdarahan yang terus menerus.
c. Meningkatnya kebutuhan, baik dari peningkatan kebutuhan akibat sakit
(human host) dan parasit yang terdapat dalam tubuh
2. Konsumsi Makanan
Konsumsi makanan secara langsung berpengaruh pada tercukupinya
kebutuhan asupan gizi bagi tubuh.
3. Pengaruh Budaya
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengaruh budaya antara lain sikap
terhadap makanan, penyebab penyakit, kelahiran anak dan produksi pangan.
Dalam hal sikap terhadap makanan, masih banyak terdapat pantangan, tahayul,
tabu dalam masyarakat yang menyebabkan konsumsi makan menjadi rendah.
Konsumsi makanan yang rendah juga disebabkan oleh adanya penyakit terutama
penyakit infeksi saluran pencernaan. Disamping itu jarak kelahiran anak yang
terlalu dekat dan jumlah anak yang terlalu banyak akan berpengaruh pada asupan
zat gizi dalam keluarga. Konsumsi zat gizi keluarga yang rendah juga dipengaruhi
oleh produksi pangan. Rendahnya produksi pangan disebabkan karena petani
masih menggunakan teknologi pertanian yang bersifat sederhana.
4. Faktor Sosial Ekonomi
Meliputi pendidikan, keadaan keluarga (besarnya, hubungan, jarak kelahiran),
keadaan penduduk di suatu masyarakat (jumlah, umur, distribusi seks dan
geografis), pekerjaan, pendapatan keluarga, pengeluaran, harga makanan
tergantung pada pasar dan variasi musim.
5. Produksi Pangan
Meliputi penyediaan pangan bagi keluarga (produksi sendiri atau membeli),
sistem pertanian dalam memproduksi pangan.
6. Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan
Pelayanan kesehatan dan pendidikan walaupun tidak secara langsung
berpengaruh pada masalah gizi, namun merupakan faktor tidak langsung.

Dari berbagai penelitian epidemiologi masalah Kurang Energi Protein selalu


diawali dengan keadaan lapar yaitu Rasa “tidak enak” dan sakit akibat kurang /tidak
makan,baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja diluar kehendak dan terjadi
berulang-ulang, serta dalam jangka waktu tertentu menyebabkan penurunan berat
badan dan gangguan kesehatan. Selanjutnya keadaan ini didefiniskan dengan istilah
kelaparan (E. Kennedy, 2002 dalam Arsad, 2011)

8
Menurut Arsad (2011) penyebab dari kurang energy protein (KEP) adalah
makanan yang tidak adekuat maksudnya intake makanan yang sangat kurang dari
kebutuhan akan zat gizi tubuh. Walaupun pada dasarnya Kejadian Kurang Energi
Protein (KEP) sangat tergantung dari :
1. Karakteristik individu (umur, cadangan nutrient)
2. Waktu dan hebatnya berlangsung defisiensi
3. Jenis makanan yang tersedia /dikonsumsi
4. Lingkungan terutama sanitasi lingkungan
5. Kesehatan perorangan
6. Dan pada anak sangat tergantung dari pola asuh orang tua yang diberikan kepada
sang anak.

Tetapi tetap saja Kurang Energi Protein disebabkan intake makanan yang
sangat kurang dari kebutuhan akan zat gizi tubuh yang telah berlangsung lama
(kronis). Bentuk KEP tergantung dari zat gizi utama kurang edekuat, bila kurang
dalam hal protein dan tubuh diharuskan menggunakan protein tubuh maka gejala-
gejala klinis dari kekurangan protein akan muncul, keadaan ini biasa diistilahkan
dengan Kwashiorkor. Dan bila kekurangan Energi saja —–terutama energi yang
bersumber dari karbohidrat——-maka gejala klinis yang muncul adalah kekurangan
cadangan energy atau energy tubuh benar-benar habis bahkan sel-sel dan jaringan
tubuh dirombak untuk dipergunakan sebagai energi, tubuhnya akan terlihat sangat
buruk, keadaan ini biasa diistilahkan dengan Marasmus. Tidak jarang juga ditemukan
bentuk KEP sebagai akibat kurang adekuat makanan akan protein dan energy
(Marasmus-Kwashiorkor). Kesemua itu adalah bentuk-bentuk dari Malnutrisi (kurang
Energi Protein).

3.2 Tanda-tanda balita yang mengalami gizi buruk


Pengukuran antropometri, apabila berat badan menurut umur (BB/U)
dibandingkan dengan tabel Z-score, apabila berada kurang dari - 3 SD positif gizi
buruk kemudian dicocokkan dengan z-score (TB/PB terhadap BB) apabila juga
positif gizi buruk berarti termasuk gizi buruk kronis apabila dengan TB/BB tidak
positif maka termasuk gizi buruk akut, apabila tidak ada alat ukur TB dan PB bisa juga
dilanjutkan dengan pengukuran LILA bagian kiri balita, apabila LILAnya kurang dari
11,5 cm maka balita tersebut gizi buruk akut (Nurul Setyorini, 2013).

Menurut Arsad (2011) tanda-tanda klinis gizi buruk ada tiga bentuk, yaitu :

9
3.2.1 Gejala klinis dari marasmus

Gejala Klinis Kurang Energi Protein (KEP) dari marasmus adalah :

1. Wajah seperti orang tua.


2. Cengen dan Rewel.
3. Sering disertai: peny. infeksi (diare, umumnya kronis berulang, TBC).
4. Tampak sangat kurus (tulang terbungkus kulit).
5. Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada.
6. Perut cekung.
7. Iga gambang.

Gambar 3.2.1 Gejala Klinis dari Marasmus.

3.2.2 Gejala klinis dari kwarshiorkor

Gejala Klinis Kurang Energi Protein (KEP) dari kwashiorkor adalah :


1. Rambut tipis, merah spt warna
2. Edema (pd kedua punggung kaki, bisa seluruh tubuh)
3. rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit, rontok
4. Kelainan kulit (dermatosis)
5. Wajah membulat dan sembab
6. Pandangan mata sayu
7. Pembesaran hati
8. Sering disertai: peny. infeksi akut, diare, ISPA dll
9. Apatis & rewel
10. Otot mengecil (hipotrofi)

10
Gambar 3.2.2 Gejala Klinis dari Kwashiorkor.

3.2.3 Gejala Klinis dari Marasmus-Kwashiorkor

Gejala Klinis Kurang Energi Protein (KEP) dari Marasmus-kwashiorkor pada


dasarnya adalah campuran dari gejala marasmus dan kwashiorkor, ciri khas yang
dapat terlihat secara klinis yakni :

1. Beberapa gejala klinik marasmus, terlihat sangat buruk dalam hal Berat Badan
(BB/U) berada dibawah < -3 SD dan bila di konfirmasi dengan BB/TB
dikategorikan sangat kurus: BB/TB < – 3 SD).
2. Kwashiorkorm secara klinis terlihat disertai edema yang tidak mencolok pada
kedua punggung kaki

11
Gambar 3.2.3 Gejala Klinis dari Marasmus-Kwashiorkor.

3.3 Cara menanggulangi masalah gizi buruk pada balita


Penanganan gizi buruk pada balita, diantaranya adalah :
1. Beri makanan yang seimbang.
2. Beri ASI pada anak baru lahir sampai 2 tahun.
3. Minum obat cacing setiap 6 bulan sekali
4. Jaga kebersihan rumah dan lingkungan.
5. Beri makanan sedikit tapi sering.
6. Cuci tangan sebelum dan sesudah makan.
7. Ikuti program posyandu setempat, pemberian vitamin.
8. Makan makanan gizi seimbang secara teratur.
9. Perbanyak minum air putih.

Sedangkan upaya pencegahan dapat dilakukan dengan menimbang secara rutin


dan menjaga kondisi gizi balita dengan baik untuk pertumbuhan dan kecerdasannya,
maka sudah seharusnya para orang tua memperhatikan hal-hal yang dapat mencegah
terjadinya kondisi gizi buruk pada anak. Berikut adalah beberapa cara untuk
mencegah terjadinya gizi buruk pada anak:
1. Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan. Setelah
itu, anak mulai dikenalkan dengan makanan tambahan sebagai pendamping ASI
yang sesuai dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah berumur 2 tahun.
2. Anak diberikan makanan yang bervariasi, seimbang antara kandungan protein,
lemak, vitamin dan mineralnya. Perbandingan komposisinya: untuk lemak

12
minimal 10% dari total kalori yang dibutuhkan, sementara protein 12% dan
sisanya karbohidrat.
3. Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program
Posyandu. Cermati apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar di atas. Jika
tidak sesuai, segera konsultasikan hal itu ke dokter.
4. Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya buruk, bisa ditanyakan kepada
petugas pola dan jenis makanan yang harus diberikan setelah pulang dari rumah
sakit.
5. Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori
yang tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula. Sedangkan untuk
proteinnya bisa diberikan setelah sumber-sumber kalori lainnya sudah terlihat
mampu meningkatkan energi anak. Berikan pula suplemen mineral dan vitamin
penting lainnya. Penanganan dini sering kali membuahkan hasil yang baik. Pada
kondisi yang sudah berat, terapi bisa dilakukan dengan meningkatkan kondisi
kesehatan secara umum. Namun, biasanya akan meninggalkan sisa gejala
kelainan fisik yang permanen dan akan muncul masalah intelegensia di
kemudian hari (Arfi, 2012).

Menurut Arsad (2011) anak-anak gizi buruk dengan tanda-tanda klinis ini dapat
dideteksi kekurangan Energi Proteinnya melalui :
1. Penimbangan bulanan di Posyandu termasuk upaya-upaya kejar timbangnya
2. Surveilens gizi/KLB Gizi Buruk
3. Manajemen Terpadu Balita Sakit
4. Poliklinik KIA/Tumbuh Kembang

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Usia dibawah lima tahun atau balita merupakan usia penting dalam
pertumbuhan dan perkembangan fisik anak. Pada usia ini anak masih rawan dengan

13
gangguan kesehatan, baik jasmani maupun rohani. Salah satu faktor yang menentukan
daya tahan tubuh seorang anak adalah keadaan gizinya. Pertumbuhan anak pada masa
balita sangatlah pesat, sehingga membutuhkan zat gizi yang relatif lebih tinggi dari
pada orang dewasa. Untuk itu diperlukan perhatian dan pengetahuan yang baik dan
benar agar pertumbuhan dan perkembangannya juga optimal sebab tidak jarang hasil
deteksi gizi buruk pada anak dikarenakan telah terjadi gagal pertumbuhan yang
penyebabnya hanya karena kurang perhatian dan pedulinya orang tua terhadap
tumbuh-kembang sang anak.

4.2 Saran
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, dapat
diketahui bahwa balita merupakan masa emas dalam pertumbuhan dan perkembangan
anak. Akan tetapi kasus gizi buruk di Indonesia pada balita masih banyak terjadi. Oleh
karena itu, peran pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan guna menganggulangi
semakin luasnya permasalahan ini. Dengan melakukan tindakan preventif seperti
halnya sosialisasi di berbagai media dan konsultasi gizi kepada masyarakat khususnya
para orang tua sangat berguna untuk menambah pengetahuan tentang pemberian gizi
yang tepat pada balita.

Daftar Pustaka

Almatsier. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Ali, Arsad Rahim. 2011. Masalah Gizi Buruk dan Tanda-Tanda Klinisnya, (online),
(http://arali2008.wordpress.com/2011/07/16/masalah-gizi-buruk-dan-tanda-tanda-
klinisnya/), diakses 08 Januari 2014.

14
Arfi. 2012. Gizi Buruk pada Balita, (online), (http://rumahbidan-
ku.blogspot.com/2012/06/gizi-buruk-pada-balita.html), diakses 08 Januari 2014.

Departemen Kesehatan tentang Gizi. 2012. Pedoman Pelayanan Anak Gizi Buruk. (online),
(http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2012/05/Buku-Pedoman-pelayanan-
anakdfr.pdf), diakses 03 Januari 2014.

Dinas Kesehatan Surabaya. 2013. Upaya Penanganan Balita Kurang Gizi dengan Pendekatan
Battra di Puskesmas Gundih. (online),
(http://dinkes.surabaya.go.id/portal/index.php/berita/upaya-penanganan-balita-kurang-
gizi-dengan-pendekatan-battra-di-puskesmas-gundih/#sthash.Hs3tS8VJ.dpuf), diakses
03 Januari 2013.

Dirga. 2012. Makalah Gizi Buruk, (online),


(http://dirgaultra.wordpress.com/2012/12/23/makalah-gizi-buruk-2/), diakses 03 Januari
2014.

Mentor Health Care. 2007. Kebutuhan Gizi Anak (1-5) Tahun, (online),
(http://www.mentorhealthcare.com/news.php?action=detail&nID=223), diakses 03
Januari 2014.

Purwani, Tri Eka. 2009. Kasus Gizi Buruk Pada Kelompok Balita Dan Faktor-Faktor
Kesehatan Dan Sosial Yang Melatarbelakangi, (online),
(http://radensomad.blogspot.com/2009/02/kasus-gizi-buruk-pada-kelompok-
balita.html), diakses 03 Januari 2014.

Saputra, Andy. 2012. Pengertian Balita, (online),


(http://fourseasonnews.blogspot.com/2012/05/pengertian-balita.html), diakses 03
Januari 2014.

Setyorini, Nurul. 2013. Gizi Buruk, (online), (http://nurul-


setyorini.blogspot.com/2013/05/tugas-4-gizi-buruk.html), diakses 03 Januari 2014.

Sihombing, Helda. 2013. Pengertian Gizi Buruk Untuk Diketahui Penyebabnya, (online),
(http://www.prokesehatan.com/blog/pengertian-gizi-buruk-untuk-ketahui-
penyebabnya/), diakses 03 Januari 2014.

15
Suparyanto. 2011. Konsep Balita, (online), (http://dr-
suparyanto.blogspot.com/2011/03/konsep-balita.html), diakses 03 Januari 2014.

16

Anda mungkin juga menyukai