Anda di halaman 1dari 7

1.

Obat antipsikosis
Antipsikotik dikelompokan sebagai golongan pertama dan kedua
berdasarkan mekanisme utamanya sebagai antagonis reseptor dopamin (D2).
Efek antipsikotik juga memiliki efek pada reseptor lain, namun tidak
mempengaruhi efek antipsikotik, yaitu reseptor histamine, reseptor kolinergik dan
reseptop alfa 1. Akibat dari efeknya terhadap reseptor – reseptor tersebut
antipsikotik juga memiliki efek samping, seperti sedasi, mulut kering, konstipasi
dan lainnya (Parker, 2009)
a. Antipsikotik golongan pertama biasa dibagi berdasarkan struktur kimia
menjadi golongan fenotiazin dan non fenotizine (thioxanthenes,
butyrophenones, dibenzoxapines, dihydroindoles, diphenyl butyl piperidines).
Selain itu ada digolongkan menjadi berpotensi rendah (golongan
fenotiazine) dan berpotensi tinggi (golongan nonfetiazine), karena hanya
membutuhkan dosis kecil untuk memperoleh efek yang setara dengan
golongan rendah (chlorpromazine 100mg). Penggolongan yang kedua lebih
banyak digunakan terutama pada praktek sehari-hari untuk kepentingan
klinis. Antipsikotik golongan pertama bekerja sebagai antagonis reseptor
dopamine di otak, terutama pada sistem nigrostriatal, mesolimbokortikal dan
tuberoinfundibuler. (Kammen DP, 2009).
Antipsikotik tipikal lebih dikenal dengan obat antipsikotik generasi lama.
Diperkirakan bekerja dengan menggunakan efek yang secara prinsip berada
pada sistem neurotransmiter dopamin. Antipsikotik tradisional dikenal luas
sebagai neuroleptik berdasarkan pada efek pergerakannya yang sangat
lambat. Beberapa obat yang termasuk dalam golongan antipsikotik tipikal:
Chlorpromazine, Flupenthixol, Fluphenazine, Haloperidol,
Trifluoperazine, Zuclopenthixol

b. Antipsikotik golongan kedua Obat antipsikotik golongan kedua berkerja


dengan berikatan pada reseptor serotonin 2A (5-HT2A) dan dopamine (D2).
Mekanisme kerja di jalur dopamine mesolimbic dan nigrostriatal yang
cenderung lemah membuat efek samping pyramidal yang ditimbulkan
lebih rendah dibanding antipsikotik golongan pertama. (Bridler, 2003).
Namun penelitian yang dilakukan menemukan bahwa tidak terdapat
perbedaan efektifitas antara antipsikotik golongan pertam dan kedua,
kecuali klozapine sehingga dijadikan pilihan pada kasus skizofrenia yang
resisten. (Bruijnzeel D, 2014). Antipsikotik atipikal lebih dikenal dengan obat
antipsikotik generasi baru. Obat generasi baru ini dirancang dalam
laboratorium untuk menyediakan perbaikan gejala psikotik tanpa
masalah pergerakan, mempengaruhi sistem neurotransmiter lain dan
memperlihatkan perhatian potensial yang lain. Beberapa obat yang termasuk
golongan antipsikotik atipikal: Amisulpride, Aripiprazole, Clozapine,
Olanzapine, Paliperidone, Quetiapine, Risperdone, Ziprasidone.

Tabel 1. Obat antipsikotik golongan kedua

Penggunaan antipsikotik pada skizofrenia mengikuti perjalanan dari


gangguan skizofrenia, yang terdiri dari : (Kane JM, 2009)

a. Fase akut
Pada fase ini penggunaan obat antipsikotik perlu ditetapkan
tujuannya, seperti untuk mengurangi gejala positif, negatif, ide atau perilaku
bunuh diri, perilaku kekerasan atau agitasi. Sebelum pemberian antipsikotik
sebaiknya dilakukan pemeriksaan laboratorium. Obat yang biasa diberikan
berupa injeksi, yang tersedia baik dari golongan antipsikotik pertama
atau kedua. Obat injeksi antipsikotik pertama yang sering tersedia yaitu
haloperidol dan chlorpromazine. Pemberian antipsikotik golongan pertama
sering digunakan untuk mengatasi agitasi akut dengan kerja obat yang
cepat. Namun penggunaan obat golongan pertama sering timbul efek
samping, misalnya dystonia akut dan pemanjangan QTc. Pada obat injeksi
antipsikotik golongan kedua efek samping akut yang mungkin timbul lebih
ringan dibanding golongan pertama. Obat injeksi antipsikotik kedua yang
tersedia adalah sediaan olanzapine dan aripriprazole. Pemberian injeksi
yang dilakukan umumnya diberikan secara intra muscular.Untuk penggunaan
obat antipsikotik oral dapat diberikan baik golongan pertama maupun
kedua. Pemberian dosis dimulai dengan dosis rendah yang kemudian
ditingkatkan untuk mendapat dosis terapetik yang sesuai. Pemantauan efek
samping obat juga perlu diperhatikan, evaluasi sekitar 2-4 minggu, agar
tidak menimbulkan efek tidak nyaman
b. Fase Stabilisasi
Pada fase ini bertujuan untuk mempertahankan remisi gejala,
meminimalisasi resiko atau konsekuensi kekambuhan dan
mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan (recovery). Pemberian
obat antipsikotik, baik golongan pertama atau kedua, diberikan dengan
dosis efektif minimal. Hal ini ditujukan untuk tetap dapat mengendalikan
gejala namun tidak menimbulkan efek samping sehingga kepatuhan pasien
untuk minum obat dapat dipertahankan. Untuk kasus yang pertama
konsensus menyatakan obat antipsikotik pada fase stabilisasi sebaiknya
diberikan selama 2 tahun. Sedangkan pada kasus yang berulang diberikan
hingga 5 tahun.
Obat antipsikotik juga terdapat dalam sediaan injeksi jangka panjang
(long acting). Pemberian obat dalam sediaan ini membantu untuk
memastikan bahwa kepatuhan untuk berobat lebih dapat diawasi dibanding
dengan sediaan oral. Saat ini tersedia dari golongan pertama (fluphenazin
dan haloperidol) dan golongan kedua (risperidone dan paliperidone).
(Dharmono, 2011)

2. Obat antidepresan
Antidepresan adalah obat yang digunakan untuk mengobati kondisi serius
yang dikarenakan depresi berat. Kadar NT (nontransmiter) terutama NE
(norepinefrin) dan serotonin dalam otak sangat berpengaruh terhadap depresi dan
gangguan SSP. Rendahnya kadar NE dan serotonin didalam otak inilah yang 3
menyebabkan gangguan depresi, dan apabila kadarnya terlalu tinggi menyebabkan
mania. Oleh karena itu antideresan adalah obat yang mampu meningkatkan kadar
NE dan serotonin didalam otak.Antidepresan adalah obat yang dikonsumsi pasien
depresi untuk meningkatkan suasana jiwa (mood), dengan meringankan atau
menghilangkan gejala keadaan murung. Antidepresan tidak bekerja pada orang
sehat ( Prayitno,2008 ).

Antidepresan diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama, yaitu


heterosiklik dan monoamine inhibitor oksidase (MAOI). Heterosiklik merupakan
antidepresan yang paling sering digunakan. Heterosiklik dikelompokkan lagi
menjadi beberapa jenis obat, yaitu trisiklik (terbagi atas amin tersier dan amin
sekunder) dan antidepresan generasi kedua. Trisiklik amin tersier terdiri dari
imipramin, klomipramin, dan amitripilin. Trisiklik amin sekunder terdiri dari
desipramin, nortriptilin, dan protriptilin. Sedangkan antidepresan generasi kedua
terdiri dari fluoxetin, sertralin, citalopram, fluvoxamine, mianserin, mirtazapin, dan
venlafaxine.4 Antidepresan kelompok MAOI merupakan suatu sistem enzim
kompleks yang terdistribusi luas di dalam tubuh. MAOI diberikan jika pasien
depresi tidak memberikan respon pada antidepresan kelompok heterosiklik (
Prayitno,2008 ).

a. Jenis trisiklik
1) Imipramin. Dosis lazim 25-50 mg sebanyak tiga kali sehari.
2) Klomipramin. Dosis lazim 10 mg dapat ditingkatkan sampai dengan
maksimum 250 mg sehari
3) Amitripilin. Dosis lazim 25 mg dapat dinaikkan secara bertahap sampai
dosis maksimum 150-300 mg sehari.
b. Jenis generasi ke 2
1) Fluoxetin. Dosis lazim 20 mg sehari pada pagi hari, maksimum 80 mg/hari.
2) Sertralin. Dosis lazim 50 mg/hari bila perlu dinaikkan maksimum 200
mg/hari.
3) Citalopram. Dosis lazim 20 mg/hari, maksimum 60 mg/hari.
4) Fluvoxamine. Dosis lazim 50 mg dapat diberikan satu kali sehari dan
sebaiknya pada malam hari, maksimum dosis 300 mg.
5) Mianserin. Dosis lazim 30-40 mg/hari menjelang tidur.
6) Mirtazapin. Dosis lazim 15-45 mg/hari menjelang tidur.
7) Venlafaxine. Dosis lazim 75 mg/hari bila perlu dapat ditingkatkan menjadi
150-250 mg dan dapat diberikan satu kali sehari.
c. Golongan antidepresan MAOI
1) Moclobemid. Dosis lazim 300 mg/hari dan dapat dinaikkan sampai dengan
600 mg/hari.

3. Obat antianxietas
Rekomendasi pengobatan anxietas antara lain: ( Bystritsky, et al., 2013).
a. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)
Berdasarkan beberapa guideline mengenai rekomendasi pengobatan
untuk gangguan anxietas, SSRIs direkomendasikan sebagai first-line terapi
untuk sebagian besar gangguan anxietas. Kelompok obat ini diantaranya
fluoxetine, sertraline, citalopram, escitalopram, fluvoxamine, paroxetine dan
vilazodone. Mekanisme penting dari kelompok obat-obatan tersebut yaitu
menghambat transporter serotonin dan menyebabkan desensitisasi reseptor
serotonin postsinaptik, sehingga menormalkan aktivitas jalur serotonergik.
b. Serotonin-Norepinephrine Reuptake Inhibitors (SNRIs)
SNRI yang menghambat transporter serotonin dan norepinefrin,
termasuk venlafaxine, desvenlafaxine, dan duloxetine. SNRI biasanya
digunakan apabila terjadi kegagalan atau respon yang tidak adekuat terhadap
SSRI. Tanggapan pasien terhadap SNRI sangat bervariasi, beberapa pasien
mungkin mengalami eksaserbasi gejala fisiologis anxietas sebagai akibat dari
peningkatan sinyal mediasi norepinefrin yang disebabkan oleh penghambatan
transporter norepinefrin. Untuk pasien yang tidak mengalami efek ini,
peningkatan tonus noradrenergik dapat berkontribusi terhadap efikasi
ansiolitik dari obat-obatan ini .
c. Benzodiazepines
Meskipun benzodiazepin banyak digunakan pada zaman dahulu untuk
mengobati kondisi anxietas, tetapi tidak lagi dianggap sebagai terapi lini
pertama karena menimbulkan efek samping yang merugikan, jika digunakan
dalam waktu yang lama dan dosis yang tinggi. Oleh karena itu, penggunaan
benzodiazepine hanya terbatas untuk pengobatan jangka pendek anxietas
akut .
d. Tricyclic Antidepressants
Semua tricyclic antidepressants (TCAs) berfungsi sebagai inhibitor
reuptake norepinefrin, dan beberapa sebagai penghambat reuptake serotonin.
Meskipun beberapa golongan dari obat ini efikasinya sebanding dengan SSRI
atau SNRI untuk mengobati anxietas, TCA menimbulkan lebih banyak efek
samping dan berpotensi mematikan jika overdosis. Untuk alasan ini, TCA
jarang digunakan dalam pengobatan gangguan anxietas. Kecuali
clomipramine yang mungkin lebih berkhasiat daripada SSRI atau SNRI pada
pasien dengan OCD .
DAFTAR PUSTAKA

Bridler R, Umbricht D. 2003. Atypical antipsychotics in the treatment of schizophrenia.


Swiss Med Wkly;133(5/6):63–76.

Bruijnzeel D, Suryadevara U, Tandon R. 2014. Antipsychotic treatment of schizophrenia: An


update. Asian J Psychiatry.;11:3–7.

Bystritsky, A., Sahib, S. K., Michael, E.C., et al. 2013. Current Diagnosis and Treatment of
Anxiety Disorders.Pharmacy and Therapeutics, 38(1):41-44.

Dharmono S. 2011.Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia. Jakarta: Perhimpunan


Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia.

Kammen DP, Hurford I, Marder SR. 2009. First Generation Antipsychotic. Kaplan
and Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. nine edition. Lippincott Williams
and Wilkins.

Kane JM, Marder SR. 2009. Schizophrenia : Pharmacological Treatment. Kaplan and Sadock’s
Comprehensive Textbook of Psychiatry. nine edition. Lippincott Williams and Wilkins;.
p. 1548–56.

Parker C. 2009. Antipsychotics in the treatment of schizophrenia. Prog Neurol


Psychiatry.;13(2):22–9.

Prayitno. 2008. Farmakologi Dasar, Lilian Batubara. Penerbit Lenskopi: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai