Anda di halaman 1dari 32

ANALISIS IMPLEMENTASI KARTU INDONESIA

PINTAR

A. Latar Belakang

Kartu Indonesia Pintar adalah kartu sakti yang dikeluarkan di era

pemerintahan Presiden Jokowi. Tujuan adanya KIP ini untuk membantu

anak-anak yang kesulitan sekolah. Kartu Indonesia Pintar selain

memberikan bantuan kepada anak-anak sekolah, namun dirasa kurang

mampu dalam hal pembiayaan, dengan adanya KIP ini pemerintah akan

membantu pula anak-anak yang masih berada di luar sistem sekolah yaitu

anak-anak yang belum menduduki bangku sekolah, namun seharusnya

sudah menduduki bangku sekolah karena usianya yang telah cukup untuk

menduduki bangku sekolah, hal itu disebabkan terkendala akan biaya.

Perbedaan antara Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan KIP, jika BOS

berupa bantuan ke arah infrastruktur termasuk sarana dan prasana,

sedangkan KIP adalah uang tunai yang langsung diberikan kepada

siswanya langsung. KIP ini termasuk salah satu dari Bantuan Siswa

Miskin (BSM) hanya saja KIP menggunakan bukti fisik yaituKartu

Indonesia Pintar.

Terkait KIP ini, belum jelas dasar hukumnya. Inpres tersebut

menjadi dokumen tertulis pertama dari Presiden yang mencantumkan tiga

program perlindungan sosial atau yang disebut media sebagai program

kartu sakti Jokowi. Publikasi Inpres No. 7/2014 seakan menjawab


perdebatan di media dan kritik yang mempertanyakan dasar hukum

distribusi Kartu Indonesia Pintar.

Kartu Indonesia Pintar (KIP) menjamin dan memastikan seluruh

anak usia sekolah dari keluarga kurang mampu terdaftar sebagai penerima

bantuan tunai pendidikan sampai lulus SMA/SMK/MA.

 Kartu Indonesia Pintar (KIP) diberikan sebagai penanda dan digunakan

untuk menjamin serta memastikan seluruh anak usia sekolah (6-21

tahun) dari keluarga pemegang KKS untuk mendapatkan manfaat

Program Indonesia Pintar bila terdaftar di Sekolah, Madrasah, Pondok

Pesantren, Kelompok Belajar (Kejar Paket A/B/C) atau Lembaga

Pelatihan maupun Kursus.

 Untuk tahap awal di 2014, KIP telah dicetak untuk sekitar 160 ribu

siswa di sekolah umum dan juga madrasah di 19 Kabupaten/Kota.

Untuk 2015, diharapkan KIP dapat diberikan kepada 20,3 juga anak

usia sekolah baik dari keluarga penerima Kartu Keluarga Sejahtera

(KKS) atau memenuhi kriteria yang ditetapkan (seperti anak dari

keluarga peserta PKH).

 KIP juga mencakup anak usia sekolah yang tidak berada di sekolah

seperti Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) seperti

anak-anak di Panti Asuhan/Sosial, anak jalanan, dan pekerja anak dan

difabel. KIP juga berlaku di Pondok Pesantren, Pusat Kegiatan Belajar


Masyarakat dan Lembaga Kursus dan Pelatihan yang ditentukan oleh

Pemerintah.

 KIP mendorong pengikut-sertaan anak usia sekolah yang tidak lagi

terdaftar di satuan pendidikan untuk kembali bersekolah.

 KIP menjamin keberlanjutan bantuan antar jenjang pendidikan sampai

tingkat SMA/SMK/MA.

Prioritas Penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP)

 Penerima BSM dari Pemegang KPS yang telah ditetapkan dalam SP2D

2014

 Anak usia sekolah (6-21 tahun) dari keluarga pemegang KPS/KKS

yang belum ditetapkan sebagai Penerima manfaat BSM

 Anak usia sekolah (6-21 tahun) dari keluarga peserta PKH

 Anak usia sekolah (6-21 tahun) yang tinggal di Panti Asuhan/Sosial

 Siswa/santri (6-21 tahun) dari Pondok Pesantren yang memiliki

KPS/KKS (khusus untuk BSM Mandrasah)

 Anak usia sekolah (6-21 tahun) yang terancam putus sekolah karena

kesulitan ekonomi dan/atau korban musibah berkepanjangan/bencana

alam melalui jalur FUS/FUM;

 Anak usia sekolah yang belum atau tidak lagi bersekolah yang datanya

telah dapat direkapitulasi pada Semester 2 (TA) 2014/2015.

Bantuan Tunai melalui KIP bisa digunakan untuk:


 Pembelian buku dan alat tulis sekolah

 Pembelian pakaian/seragam dan alat perlengkapan sekolah (tas, sepatu,

dll)

 Biaya transportasi ke sekolah

 Uang saku siswa/ iuran bulanan siswa

 Biaya kursus/les tambahan

 Keperluan lain yang berkaitan dengan kebutuhan pendidikan di

sekolah/madrasah

Dalam survei nasional yang dilakukan Indo Barometer di 34

provinsi pada 14-22 September 2015, dari 1.200 responden, sebanyak

5,1% memersepsikan keberhasilan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla

pada pemberian Kartu Indonesia Pintar.

B. Model Analisis Kebijakan

Suatu implementasi dari kebijakan merupakan suatu hal yang harus

dilaksanakan jika kebijakan tersebut telah memiliki ketentuan ataupun

aturan untuk dijalankan. Menurut Anderson dalam Purwanto (2012:22)

menyebutkan bahwa: Implementasi dilihat sebagai “administrastion of the

law in which various actors, organizations, procedures, and techniques

work together to put adopted policies into effect in an effort to attain

policy or program goals” (Anderson,1990:172). Dalam pemahaman ini,

implementasi dimaknai sebagai pengelolaan hukum (karena kebijakan

telah disyahkan dalam bentuk hukum) dengan mengerahkan semua


sumberdaya yang ada agar kebijakan tersebut mampu mencapai atau

mewujudkan tujuannya.

Salah satu Program yang telah dijalankan oleh Negara Indonesia

adalah Program Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat Dan Kartu

Keluarga Sejahtra Dalam Rangka Terwujudnya Nawa Cita Joko Widodo-

Jusuf Kala. Berdasarkan judul Analisis Implementasi Program Kartu

Indonesia Pintar, maka penulis memilih untuk menggunakan teori

Implementasi Kebijakan/program model Edwards III. Edwards III dalam

Syafri (2008:34-35) menyatakan bahwa: Keberhasilan implementasi

kebijakan sangat ditentukan oleh beberapa faktor penting yaitu (a)

komunikasi; (b) sumber daya atau sumber-sumber; (c) sikap implementor

(disposisions) atau kecenderungan-kecenderungan; dan (d) struktur

birokrasi pelaksana. Faktor-faktor komunikasi, sumberdaya, sikap

implementor, dan struktur birokrasi dapat secara langsung mempengaruhi

implementasi kebijakan. Di samping itu secara tidak langsung faktor-

faktor tersebut mempengaruhi implementasi melalui dampak dari masing-

masing faktor. Dengan kata lain, masing-masing faktor tersebut saling

mempengaruhi, kemudian secara bersama-sama mempengaruhi

implementasi kebijakan.

1. Komunikasi

Menurut Edwards III, persyaratan pertama bagi efektivitas

implementasi kebijakan adalah para pelaksana harus mengetahui apa

yang seharusnya mereka lakukan, sebab hanya dengan cara demikian


proses komunikasi antar sesamanya akan dapat berjalan dengan baik.

Proses komunikasi yang dimaksud oleh Edwards III terkandung di

dalamnya transmisi, konsisitensi dan kejelasan (clarity).

a. Transmisi, menyangkut penyaluran atau penyampaian informasi

diantara sesama implementor menyangkut pemahaman mereka

(pelaksana) atas keterkaitan antara keputusan yang dibuat dengan

aturan pelaksanaan yang dikeluarkan, sehingga tidak terjadi

kesalahpahaman tentang keputusan yang dikeluarkan. Dalam

praktek sering timbul hambatan dalam mentransmisikan

(menyalurkan) perintah implementasi disebabkan: Pertama,

perbedaan pendapat antara pelaksana dengan perintah yang

dikeluarkan pengambil kebijakan. Kedua, struktur birokrasi yang

ketat dan hierarkis cenderung mendistorsikan informasi. Ketiga,

persepsi yang selektif dan ketidakpatuhan para pelaksana

memenuhi berbagai persyaratan kebijakan.

b. Kejelasan, menyangkut kejelasan petunjuk pelaksanaan maupun

kejelasan pesan komunikasi yang disampaikan. Hal ini penting

agar kebijakan-kebijakan yang diimplementasikan dapat mencapai

sasaran yang dikehendaki. Ketidakjelasan petunjuk pelaksana

maupun pesan komunikasi yang disampaikan akan menimbulkan

interpretasi yang keliru bahkan mungkin bertentangan dengan

makna sesungguhnya dari petunjuk dan pesan komunikasi yang


pada gilirannya menimbulkan penyimpangan yang fatal dalam

implementasi di lapangan.

c. Konsistensi, menyangkut kepastian dan kejelasan perintah yang

harus dilaksanakan oleh para pelaksana. Artinya bahwa perintah-

perintah yang diterima oleh pelaksana tidak boleh bertentangan

satu sama lain, sehingga tidak membingungkan pelaksana (perintah

yang diberikan tidak boleh berubah-ubah). Tidak konsistennya

perintah dapat mendorong para pelaksana mengambil tindakan

yang bertentangan dengan maksud sesungguhnya dari suatu

implementasi kebijakan.

2. Sumber Daya

Sumber daya yang akan mendukung implementasi kebijakan yang

efektif disini menyangkut: (a) staf yang memadai dengan berbagai

keahliannya, (b) wewenang, (c) informasi, dan (d) fasilitas yang

diperlukan.

a. Staf, merupakan unsur paling penting dalam melaksanakan

kebijakan. Besaran jumlah staf (staf yang banyak) tidak selamanya

berdampak positif bagi implementasi kebijakan. Agar suatu

kebijakan dapat diimplementasikan dengan baik maka perlu

didukung oleh sejumlah staf yang memiliki kompetensi, keahlian

maupun keterampilan sesuai kebutuhan.

b. Wewenang, menyangkut besaran jangkauan tugas yang dapat

dilakukan oleh pejabat pembuat kebijakan maupun para pelaksana.


Oleh karena itu wewenang ini akan berbeda-beda dari satu program

ke program lainnya. Seseorang dapat saja memiliki wewenang

yang luas tetapi tidak cukup efektif dalam mengimplementasikan

suatu kebijakan.

c. Informasi, adalah hal penting lain dalam implementasi suatu

kebijakan. Informasi mempunyai dua bentuk. Pertama, informasi

tentang bagaimana melaksanakan suatu kebijakan, artinya para

pelaksana perlu mengetahui apa yang harus dilakukan dan

bagaimana mereka harus melakukannya. Kedua, data tentang

ketaatan para pelaksana terhadap peraturan pemerintah. Kedua

bentuk informasi tersebut penting bagi efisiensi dan kesungguhan

para pelaksana dalam melaksananakan tugas masing-masing.

d. Fasilitas-fasilitas, dimaksudkan di sini menyangkut ketersediaan

sarana fisik, misalnya ketersediaan ruang belajar (kelas), ruang

guru/dosen, ruang administrasi untuk penyelenggaraan pendidikan.

3. Sikap Pelaksana (Disposisi)

Kecenderungan-kecenderungan merupakan praduga-praduga dari

para pelaksana terhadap suatu kebijakan. Jika para pelaksana bersikap

baik karena menerima suatu kebijakan, kemungkinan besar mereka

akan melaksanakan kebijakan tersebut secara bersungguh-sungguh

seperti yang diharapkan pembuat kebijaksanaan. Sebaliknya jika

perspektif dan tingkah laku para pelaksana berbeda dengan para


pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan akan

mengalami kesulitan.

Disposisi juga menyangkut persepsi, kewenangan, pemahaman dan

komitmen para pelaksana (implementor) untuk menerapkan suatu

kebijakan. Terdapat tiga kemungkinan sikap dari disposisi yaitu

menerima, menolak atau bersikap netral. Agar implementasi kebijakan

dapat efektif, maka segenap upaya harus dilakukan oleh pembuat

kebijakan agar isi dan tujuan kebijakan dapat berkesesuaian dengan

keinginan para implementor melalui pemahaman setiap individu akan

arah kebijakan yang mereka kerjakan/implementasikan. Disamping itu

para pelaksana harus memahami/mengetahui apa yang harus

dikerjakan, mereka juga harus memiliki kemampuan untuk

melaksanakannya. Untuk itu ada dua hal penting yang harus

diperhatikan dalam disposisi yaitu:

a. Pengangkatan birokrat haruslah orang-orang yang memiliki

kompetensi, integritas dan loyalitas terhadap kebijakan yang

dijalankan.

b. Insentif. Oleh karena umumnya orang bertindak menurut

kepentingan mereka sendiri, maka diperlukan manipulasi insentif

agar orang dapat bertindak sesuai harapan pembuat kebijakan yaitu

dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu sehingga

mendorong para pelaksana melaksanakan perintah dengan baik.


4. Struktur Birokrasi

Secara umum birokrasi merupakan suatu badan yang paling sering

terlibat dalam implementasi kebijakan secara keseluruhan. Bentuk

organisasi dipilih sebagai suatu kesepakatan kolektif untuk

memecahkan berbagai masalah sosial. Struktur organisasi-organisasi

pelaksana kebijakan mempunyai pengaruh penting pada implementasi

kebijakan. Para pelaksana kebijakan dapat saja mengetahui apa yang

harus dilakukan, memiliki keinginan serta dukungan fasilitas untuk

melakukannya, tetapi pada akhirnya tidak dapat berbuat apa-apa

terhalang oleh struktur organisasi tempat mereka bekerja. Terdapat dua

hal penting dalam struktur organisasi yaitu :

a. Pertama, prosedur-prosedur dan ukuran dasar kerja atau Standar

Operating Procedures (SOP) yang berasal dalam (internal)

organisasi. SOP berisi standar-standar baku dalam melaksanakan

suatu pekerjaan, yang cocok untuk organisasi yang relatif tidak

menghadapi perubahan drastis, namun akan sulit menyesuaikan

diri terhadap organisasi yang menghendaki perubahan cara-cara

lazim dilakukan. Dengan kata lain, semakin besar kebijakan

membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang lazim dari suatu

organisasi, semakin besar pula probabilitas SOP menghambat

implementasi.

b. Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam

pelaksanaan kebijakan adalah fragmentasi yang berasal dari luar


(eksternal) organisasi. Tanggung jawab atas suatu bidang kebijakan

tidak semata-mata menyatu pada satu instansi melainkan menyebar

pada berbagai organisasi. Untuk kesuksesan suatu kebijakan

memerlukan koordinasi diantara organisasi yang terlibat.

C. Pembahasan

Implementasi suatu kebijakan atau program dapat kita lihat dan

dapat kita ukur dengan menggunakan suatu teori yang telah dikeluarkan

oleh para ahli. Penulis memilih menggunakan teori Implementasi

Kebijakan George C. Edwards III untuk mengukur bagaimana

Terwujudnya Nawa Cita Joko Widodo-Jusuf Kala. Seperti yang telah

dikemukakan sebelumnya, Edwards III dalam Syafri (2008:34-35)

menyatakan bahwa: Keberhasilan implementasi kebijakan sangat

ditentukan oleh beberapa faktor penting yaitu (a) komunikasi; (b) sumber

daya atau sumber-sumber; (c) sikap implementor (disposisions) atau

kecenderungan-kecenderungan; dan (d) struktur birokrasi pelaksana.

Faktor-faktor komunikasi, sumberdaya, sikap implementor, dan struktur

birokrasi dapat secara langsung mempengaruhi implementasi kebijakan.

Di samping itu secara tidak langsung faktor-faktor tersebut mempengaruhi

implementasi melalui dampak dari masing-masing faktor. Dengan kata

lain, masing-masing faktor tersebut saling mempengaruhi, kemudian

secara bersama-sama mempengaruhi implementasi kebijakan.

Komunikasi diartikan sebagai proses penyampaian informasi

komunikator kepada komunikan. Informasi kebijakan perlu disampaikan


agar pelaku kebijakan dapat mengetahui, memahami apa yang menjadi isu,

tujuan, arah, kelompok sasaran kebijakan, agar para pelaku kebijakan

dapat mempersiapkan dengan benar apa yang harus dipersiapkan dan

dilakukan untuk melaksanakan kebijakan. Agar apa yang menjadi tujuan

dan sasaran kebijakan dapat dicapai sesuai dengan apa yang diharapkan.

Sumberdaya juga merupakan faktor yang penting mempengaruhi

implementasi kebijakan. Sumber daya yang dimaksud adalah sumber daya

manusia, keuangan, alat (gedung, peralatan, tanah, dan suku cadang lain),

dan informasi dan kewenangan. Sedangkan disposisi (sikap) merupakan

kemauan, keinginan dan kecenderungan serta kepatuhan para pelaku

kebijakan untuk melaksanakan kebijakan secara sungguh-sungguh,

sehingga tujuannya dapat terwujud.

Faktor yang terakhir yang mempengaruhi implementasi kebijakan

adalah struktur birokrasi, yang mencakup unsur-unsur struktur organisasi,

pembagian kewenangan, hubungan antar instansi dan hubungan organisasi

dengan organisasi luar. Faktor tujuan dan sasaran komunikasi, sumber

daya, disposisi, dan struktur birokrasi sebagaimana telah disebutkan akan

mempengaruhi tingkat keberhasilan dan kegagalan implementasi

kebijakan dan dalam hal ini keempat faktor tesebut akan penulis gunakan

untuk mengukur apakah Implementasi Program Kartu Indonesia Pintar,

berhasil atau gagal.


1. Komunikasi

Keberadaan komunikasi merupakan suatu faktor yang sangat

penting dalam keberhasilan suatu Implementasi Kebijakan. Menurut

Edwards III dalam Syafri (2008:36) menyatakan bahwa Persyaratan

pertama bagi efektivitas implementasi kebijakan adalah para pelaksana

harus mengetahui apa yang seharusnya mereka lakukan, sebab hanya

dengan cara demikian proses komunikasi antar sesamanya akan dapat

berjalan dengan baik. Proses komunikasi yang dimaksud oleh Edwards

terkandung di dalamnya transmisi, konsisitensi dan kejelasan (clarity).

Sosialisasi berkaitan dengan pemberian atau penyebaran informasi

yang berkenaan dengan kebijakan publik itu sendiri. Sedangkan

kejelasan berhubungan dengan sejauhmana proses sosialisasi terjadi

secara akurat. Sementara konsistensi adalah sejauhmana informasi

yang disampaikan tidak berubah-ubah atau tetap konsisten.

Komunikasi menjadi penting dalam proses Implementasi

Kebijakan karena merupakan alat dan mekanisme bagi aktor-aktor

kebijakan (birokrasi dan masyarakat) yang terlibat untuk menjalin

interaksi (saling tukar informasi/pesan) dalam proses Implementasi

Kebijakan. Disaat yang sama, peran komunikasi selain untuk

menyatukan persepsi antar aktor tetapi juga sebagai alat melakukan

koordinasi sehingga aktivitas masing-masing aktor saling sinergis.

Akan sulit tercapai keberhasilan implementasi suatu kebijakan apabila

komunikasi yang terjadi antar aktor kurang berjalan secara baik atau
bahkan tidak terjadi sama sekali. Dimensi komunikasi ini dapat terjadi

antar birokrasi selaku aparat pelaksana dengan masyarakat sebagai

target group kebijakan atau internal birokrasi itu sendiri.

Komunikasi antara birokrasi dengan masyarakat berupa derajat

kontak tatap muka secara langsung berupa dialog (saling bertukar

saran/pikiran) yang bentuknya dapat berupa kegiatan sosialisasi dan

pembinaan dari aparat birokrasi kepada masyarakat. Sosialisasi

berkenaan dengan proses penyebaran informasi tentang keberadaan

program kebijakan yang akan dilakukan sehingga lahir pemahaman

yang benar bagi target group. Sedangkan pembinaan merupakan

kegiatan yang diarahkan untuk membentuk sikap dan perilaku target

group yang sesuai tujuan kebijakan. Sudut pandang yang berbeda

bahwa komunikasi internal birokrasi berupa proses pemberian perintah

dan petunjuk dari atasan kepada bawahan guna memperlancar

operasionalisasi kegiatan dari kebijakan tersebut.

Implementasi Program Kartu Indonesia Pintar, memiliki tugas

untuk melakukan pembangunan keluarga produktif seperti yang

tercantum pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2014

tentang Pelaksanaan Program Indonesia Pintar yang berbunyi: Menteri

Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah diinstruksikan

untuk menyediakan Kartu Indonesia Pintar dan menyalurkan

manfaatnya kepada penerima Program Indonesia Pintar untuk siswa


Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah

Atas/Sekolah Menengah Kejuruan.

Sedangkan Menteri Agama melayani menyediakan Kartu

Indonesia Pintar dan menyalurkan manfaatnya untuk siswa Madrasah

Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah. Kedua

kementerian diminta meningkatkan koordinasi dengan Menteri Sosial,

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, dan

Pemerintah Provinsi serta Pemerintah Kabupaten/Kota dalam

penetapan sasaran Program Indonesia Pintar.

Setiap Kementerian melaporkan pelaksanaan Program Indonesia

Pintar, Program Indonesia Sehat dan Kartu Simpanan Keluarga

Sejahtera sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali atau sewaktu-waktu

bila diperlukan kepada Menteri Koordinator Pembangunan Manusia

dan Kebudayaan (Menko PMK).

Sedangkan kepada Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, dan

Kepala BPKP, Presiden menginstruksikan untuk meningkatkan

kegiatan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat, mempercepat

penanganan dan penyelesaian proses hukum bagi pelaku

penyimpangan dan penyelewengan pelaksanaan program tersebut,

mengambil langkah-langkah pengawasan, serta dukungan dan bantuan

pengamanan.

Dalam Inpres ini ditegaskan, pembiayaan pelaksanaan Program

Program Indonesia Pintar dibebankan kepada Anggaran Pendapatan


dan Belanja Negara (APBN) dan Belanja Daerah, serta sumber lain

yang tidak mengikat yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan.

Berkaitan dengan komunikasi dari kebijakan Program Kartu

Indonesia Pintar telah dilakukan sosialisasi kepada masyarakat.

Berdasarkan hasil kutipan dari pernyataan Menteri Sosial (Mensos)

Khofifah Indar Parawansa mengemukakan “upaya yang dilaksanakan

Pemerintah dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat hanya

dengan mensosialisasikan secara langsung turun ke lapangan serta

melalui media masa, cetak maupun elektronik serta mendistribusikan

Kartu Indonesia Pintar langsung dari pusat ke daerah yang di tuju”.

Namun dalam pernyataannya Sosialisasi kartu sakti ala Presiden

Joko Widodo ternyata belum sepenuhnya didengar dan diketahui

masyarakat,

Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Desa Kwadungan

Kecamatan Ngasem Abdul Khamid mengatakan “Kartu sakti yang

dikeluarkan oleh Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK)

membuat banyak warga dan kepala desa kebingungan. Bahkan,

sejumlah kepala desa tidak tahu menahu tentang kartu tersebut, karena

belum mendapatkan sosialisasi. Sejumlah kartu sakti program Jokowi-

JK dinilai masyarakat masih simpang siur. Kartu sakti yang hingga

kini belum pernah disosialisasikan ke masyarakat. Informasi seputar


Kartu tersebut masih simpang siur dan hanya ramai di pemberitaan

media saja

Terbukti sampai saat ini masyaratnya memenuhi undangan di

kantor pos besar 10 persen dari mereka yang berhak menerima,

harapannya pemerintah mau melibatkan pemerintah daerah paling

tidak pihak desa, karena mereka merupakan garda depan pemerintah.

Sebab mereka yang paling dekat dengan masyarakat. Paling tidak,

pemerintah desa dilibatkan dalam pemutakhiran data. “Selama ini

pemerintah pusat hanya menunjuk kantor pos sebagai operator tunggal

sekaligus juru bayar dalam program KIP, KIS dan KKS. Padahal

cakupan masyarakat yang berhak menerima program itu sangat luas.

Karena itu sudah saatnya pemerintah daerah ikut dilibatkan, minimal

pihak desa

Memperhatikan uraian diatas, faktor komunikasi yang ditinjau dari

sosialisasi, dapat diketahui bahwa faktor komunikasi dari

Implementasi Program Kartu Indonesia Pintar, dapat dikatakan kurang

baik. Ini ditunjukkan dengan sosialisasi yang telah dilakukan kepada

masyarakat kurang mendapat pemahaman yang lebih dari masyarakat.

2. Sumber Daya

Persyaratan kedua bagi keberhasilan suatu kebijakan atau program

menurut Edward III adalah faktor sumber daya. Sumber daya dalam

Implementasi Program Kartu Indonesia Pintar, dapat berupa sumber

daya yang bersifat mendukung seperti anggaran, data dan dasar hukum
kebujakan. Ketersediaan sumber daya yang jelas menjadi salah satu

syarat bagi keberhasilan implementasi kebijakan.

Sumber daya menjadi mesin penggerak bagi bekerjanya sebuah

program. Sumber daya menjadi energi bagi terlaksananya suatu

program. Tanpa sumber daya yang mencukupi, mustahil suatu program

dapat dilaksanakan dengan baik karena sumber daya seperti anggaran,

data dan dasar hukum yang ada harus sesuai sehingga pelaksanaan

kebijakan bisa efektif.

Implementasi Program Kartu Indonesia Pintar dilengkapi dengan

penyediaan sumber daya. Pemerintah mempersiapkan segala sesuatu

dengan matang untuk mengimplementasikan kebijakan atau program

tersebut. Pemerintah memiliki keseriusan untuk melaksanakan

kebijakan atau program tersebut dimana keseriusan itu dapat dilihat

dari dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2014

Selain itu mengutip pernyataan Deputi I Staf Kepresidenan

Darmawan Prasodjo menyatakan, “data yang menjadi acuan

pemerintah sekarang masih menggunakan data pemutakhiran

penduduk 2011. Perubahan situasi yang terjadi antara data terakhir dan

situasi masa kini belum tercatat oleh pemerintah, hal tersebut

memengaruhi ketepatan penyebaran Kartu Indonesia Pintar (KIP) tentu

saja ada kendala dimana yang digunakan data pemutakhiran 2011.

Dan, tentu saja ada yang salah sasaran," ujar Darmawan dalam sebuah
diskusi Habibie Center di Hotel Le Meridien Jakarta, ditulis Rabu (25

/11/2015).

Dapat disimpulkan dari pernyataan di atas bahwa data yang

digunakan sebagai acuan dalam pembagian Kartu masih menggunakan

data lama sehingga terjadi salah sasaran dalam pendistribusiannya.

Dari segi pendanaannya Program Kartu Indonesia Pintar mengutip

pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebutkan, “bahwa sumber

pendanaan itu berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Perubahan (APBN-P) 2015. "Semua dari APBN, itu kan ada BPJS.

Kartu Indonesia Pintar kan, dari wajib belajar dibiayai oleh negara,

Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) memang ada anggarannya tahun ini

Rp 5 triliun,"

Dapat disimpulkan dari pernyataan tersebut bahwa pendanaan

Program Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat Dan Kartu

Keluarga Sejahtra berasal dari APBN-P 2015.

3. Sikap Implementor (Ddisposisi)

Sikap Implementor tentunya juga sangat berpengaruh terhadap

keberhasilan suatu kebijakan. Karena percuma suatu kebijakan

dikeluarkan tetapi para pelaksana kebijakan tersebut memiliki sikap

ataupun watak yang tidak sejalan dengan kebijakan yang telah

dikeluarkan. Mengutip pernyataan Menteri Sekretaris Negara Pratikno,

beliau mengemukakan “sumber dana pencetakan ketiga kartu itu bukan

dari APBN, melainkan dari dana CSR BUMN”. Namun hal yang
berlawanan diutarakan oleh Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa

mengatakan “bahwa sumber pendanaan ketiga kartu berasal dari dana

bantuan sosial yang masuk dalam APBN. Nilainya mencapai Rp 6,4

Dari pernyatan di atas dapat di simpulkan bahwa dalam pemberian

informasi oleh para penyelenggara tidak satu suara sehingga

mengakibatkan timbulnya pro-kontra dikalangan masyarakat dan

menciptakan kebingungan.

4. Struktur Birokrasi

Kedudukan birokrasi sangat penting dalam proses implementasi

kebijakan publik. Karena setelah sebuah kebijakan dirumuskan dan

ditetapkan maka dibutuhkan adanya suatu sistem untuk

mengimplementasikannya. Sistem inilah dikenal dengan nama

birokrasi, melalui birokrasi berbagai variasi tindakan yang luas,

membicarakan dan menyelenggarakan petunjuk, menyelenggarakan

pendanaan, menjabarkan informasi, menganalisis permasalahan,

membantu dan mempermudah personil, membuat unit-unit

operasional, mengusulkan berbagai alternatif, merencanakan,

mengorganisasikan dan lain-lain dapat diselenggarakan.

Berharap pemerintah mau melibatkan pemerintah daerah paling

tidak pihak desa, karena mereka merupakan garda depan pemerintah.

Sebab mereka yang paling dekat dengan masyarakat. Paling tidak,

pemerintah desa dilibatkan dalam pemutakhiran data, selama ini

pemerintah pusat hanya menunjuk kantor pos sebagai operator tunggal


sekaligus juru bayar dalam program KIP. Padahal cakupan masyarakat

yang berhak menerima program itu sangat luas. Karena itu sudah

saatnya pemerintah daerah ikut dilibatkan, minimal pihak

desa.Pernyataan di atas menunjukan kurangnya kererlibatan

pemerintah daerah terutama desa dalam validasi data. menunjukan

tidak semua daerah mendapatkan kesempatan dalam keterlibatannya

untuk melakukan validasi data terutama desa.

Program Kartu Indonesia Pintar (KIP) merupakan pemberian

bantuan tunai penddikan kepada anak usia sekolah yang berasal dari

keluarga kurang mampu, yang merupakan bagian dari penyempurnaan

Program Bantuan Siswa Miskin (BSM). Program bantuan pendidikan

melalui Perogram Indonesia Pintar ditandai dengan pemberian Kartu

Indonesia Pintar (KIP) kepada siswa/anak usia sekolah yang berasal dari

keluarga kurang mampu. Kartu Indonesia Pintar (KIP) diberikan sebagai

penanda/identitas untuk menjamin dan memastikan seluruh anak usia

sekolah dari keluarga kurang mampu terdaftar sebagai penerima bantuan,

melalui jalur pendidikan formal mulai SD/MI hingga lulusan SMA/MA.

Program Indonesia Pintar adalah salah satu program nasional yang

penyelenggaraannya dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag) yang

tercantum dalam (RPJMN 2015-2019) yang bertujuan untuk:

1. Meningkatkan angka partisipasi pendidikan dasar dan menengah.


2. Meningkatan angka keberlanjutan pendidikan yang ditandai dengan

menurunnya angka putus sekolah dan angka melanjutkan.

3. Menurunnya kesenjangan partisipasi pendidikan antar kelompok

masyarakat, terutama antara penduduk kaya dan penduduk miskin,

antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan, antara wilayah

perkotaan dan perdesaan, dan antar daerah.

4. Meningkatkan kesiapan siswa pendidikan menengah untuk memasuki

pasar kerja atau melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.

Tujuan dari Program Indonesia Pintar Melalui KIP

1. Menghilangkan hambatan siswa secara ekonomi untuk berpartisipasi

di sekolah sehingga mereka memperoleh akses pelayanan pendidikan

yang lebih baik di tingkat dasar dan menengah.

2. Mencegah anak/siswa mengalami putus sekolah akibat kesulitan

ekonomi.

3. Menarik anak/siswa yang putus sekolah agar kembali bersekolah.

4. Membantu anak/siswa kurang mampu dalam memenuhi kebutuhan

kegiatan pembelajaran.

5. Mendukung penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan

Tahun (9) dan Pendidikan Menengah Universal (Wajib Belajar 12

tahun).

KIP diberikan kepada anak usia sekolah (6-21 tahun) sebanyak

20,3 juta anak yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
1. Penerima BSM dari keluarga pemegang KPS yang telah ditetapkan

dalam SP2D 2014.

2. Anak usia sekolah (6-21 tahun) dari keluarga pemegang KPS/KKS

yang belum ditetapkan sebagai Penerima bantuan BSM.

3. Anak usia sekolah (6-21 tahun) dari Peserta Program Keluarga

Harapan (PKH).

4. Anak usia sekolah (6-21 tahun) yang tinggal di Panti Asuhan/Sosial.

5. Anak/santri usia 6-21 tahun dari Pondok Pesantren yang memiliki

KPS/KKS (khusus untuk BSM Madrasah) melalui jalur usulan

Madrasah.

6. Siswa Anak usia sekolah (6-21 tahun) yang terancam putus sekolah

karena kesulitan ekonomi dan/atau korban musibah berkepanjangan/

bencana alam.

7. Anak usia sekolah (6-21 tahun) yang belum atau tidak lagi bersekolah

yang datanya telah direkapitulasi pada Semester 2 (TA) 2014/2015.

Berbagai Kabupaten/Kota telah mengeluarkan program dampingan

Bantuan Siswa Miskin (BSM), diantaranya:

1. Jambi

Terkait program pemberian beasiswa untuk masyarakat miskin,

pada tahun 2015 pemerintah daerah bekerja sama dengan Dinas

Pendidikan melalui Program Kartu Indonesia Pintar telah memberikan

pelayanan pendidikan secara geratis di sekolah SMP dan SMA.

Sekolah suasta yang telah memberikan pendidikan geratis adalah


sekolah di bawah yayasan Pertiwi Jambi. Program tersebut sangat

membantu bagi siswa-siswi yang tidak diterima di sekolah negeri

karena tetap mendapatkan pendidikan geratis meskipun diterima di

sekolah swasta.

2. Bangka Belitung

Sektor pendidikan mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah

Bangka Belitung melalui Program Beasiswa Miskin, SD sebanyak

1535 orang, total anggaran Rp. 736.800.00, SMP sebanyak 300 orang,

dengan total anggaran Rp. 195.000.000, SMA/SMK sebanyak 175

orang dengan anggaran sebesar Rp. 157.500.00.

3. Jawa Barat

Provinsi Jawa Barat memiliki program dibidang pendidikan

melalui BAWAKU, berupa pemberian beasiswa bagi mereka yang

mau menempuh sekolah tinggi.

4. Bali

Provinsi Bali memiliki program daerah di sektor pendidikan berupa

Bantuan Sosial Paket Peralatan Sekolah bagi Anak Keluarga Miskin.

5. Sulawesi Tenggara

Memiliki program beasiswa bagi masyarakat miskin.

Jumlah Bantuan per semester/6 bulan

1. SD/MI/Diniyah Formal Ula/SDTK

Pondok Pesantren (santri hanya mengaji usia 7-12 thn) Kejar Paket

A/PPS Wajar Dikdas Ula Rp. 225.000,-


2. SMP/MTS/Diniyah Formal Wustha/SMPTK

Pondok Pesantren (Santri hanya mengaji usia 13-15 thn) Kejar

Paket B/PPS Wajar Dikdas Wustha Rp.375.000,-

3. SMA/SMK/MA/Diniyah Formal

Ulya/Muadalah/SMTK/SMAK Pondok Pesantren (santri hanya

mengaji usia 16-18 thn) Kejar Paket C/PMU Ulya/Lembaga

pelatihan/kursus Rp. 500.000,-

Kartu sakti Presiden Joko Widodo ini terlampir dalam Visi Misi

beliau saat mecalonkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia dengan

wakilnya Muhammad Jusuf Kalla. Maka tidak heran dalam jangka waktu

dua minggu setelah pelantikan, Presiden Joko Widodo langsung

merealisasi kartu-kartu sakti tersebut, dan ini sejalan yang dikemukakan

Wasistiono (2002: 48) “Salah satu tugas pokok pemerintahan yang

terpenting adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat, oleh karena

itu organisasi sering pula disebut sebagai pelayan masyarakat”.

Dalam menjalankan tugas pokoknya pemerintah

menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat dalam hal ini pelayanan

atas Program Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat dan Kartu

Keluarga Sejahtra, meskipun tentunya menuai kontrofersi diberbagai

kalangan. Seperti yang dikemukakan oleh Pengamat Kebijakan

Perlindungan Sosial UGM, Mulyadi Sumarto, Ph.D., mengatakan “ketiga

program kartu sakti yang diluncurkan pemerintahan Joko Widodo dan


Jusuf Kalla sebenarnya memiliki esensi program yang sama dengan

sejumlah program dalam pemerintahan sebelumnya”.

Pemerintah secara serentak membagikan dana bantuan sosial ini

dalam 2 tahap, yakni pada tanggal 18 November hingga 20 November dan

tahap 2 pada tanggal 2 Desember 2014. Meski begitu ternya peluncuran

kartu ini bukannya tanpa kendala. Kartu ini baru diluncurkan, tapi program

itu sudah mengundang pro-kontra. Antara lain, mengenai payung

hukumnya. Mengingat, peluncurannya terkesan mendadak dan terburu-

buru.

Faktor yang mempengaruhi pendistribusian Kartu Indonesia Pintar

Pemerintah adalah unsur dinamis yang dapat mengatur masyarakat secara

terarah. Pemerintah melingkupi Pemerintah Pusat hingga lingkup Rukun

Tetangga yang langsung berhadapan dengan masyarakat untuk mengatur

masyarakat sesuai tujuan pemerintah. Pemerintah harus mengatur

masyarakat dengan pendekatan kemasyarakatan melalui eliminasi faktor-

faktor penghambat sistem pemerintahan, dalam ini melalui faktor – faktor

yang mempengaruhi pendistribusian Kartu Indonesia Pintar.

Keterlibatan Pemerintah Daerah yang Dirasakan Kurang,

pemerintah mau melibatkan pemerintah daerah paling tidak pihak desa,

karena mereka merupakan garda depan pemerintah. Sebab mereka yang

paling dekat dengan masyarakat. Paling tidak, pemerintah desa dilibatkan

dalam pemutakhiran data.


“Selama ini pemerintah pusat hanya menunjuk kantor pos sebagai operator

tunggal sekaligus juru bayar dalam program KIP. Padahal cakupan

masyarakat yang berhak menerima program itu sangat luas. Karena itu

sudah saatnya pemerintah daerah ikut dilibatkan, minimal pihak desa.

Dapat disimpulkan kurang pendistribusian Kartu Indonesia Pintar

kepada masyarakat bisa disebapkan karena Pemerintah Pusat tidak

melibatkan Pemerintah Daerah dalam hal ini pemerintah Desa dalam

pemutahiran data.

Ketidak jelasan Data Yang Digunakan Dalam Pendistribusian

penyaluran masih bermasalah. Penyelesaian masalah itu terhambat karena

pemutakhiran data yang belum selesai. Data yang menjadi acuan

pemerintah sekarang masih menggunakan data pemutakhiran penduduk

2011. Perubahan situasi yang terjadi antara data terakhir dan situasi masa

kini belum tercatat oleh pemerintah, hal tersebut memengaruhi ketepatan

Kartu Indonesia Pintar (KIP) tentu saja ada kendala ketiga kartu itu

dimana yang digunakan data pemutakhiran 2011. Dan, tentu saja ada yang

salah sasaran.

D. Kesimpulan dan Saran

a. Kesimpulan

Setelah mengadakan pembahasan terhadap permasalahan yang ada

dan mengadakan analisis terhadap Impelementasi Program Kartu

Indonesia Pintar, maka kesimpulan yang dapat dirumuskan adalah:


1. Impelementasi Program Kartu Indonesia Pintar dirasakan belum baik

hal ini tampak dari sosialisasi yang dilakukan masih dirasakan

kurang, data penerima perogram masih menggunakan data 2011

sehingga kurang tepat sasaran dan pernyataan yang berbeda dari

penyelenggara kebijakan yang membuat Pro-Kontra di kalangan

masyarakat serta menimbulkan kebingungan. Namun melihat sempel

daerah yang sudah menjalankan program pendamping terhadap

kebijakan Program Indonesia Pintar yang dilakukan oleh pemerintah

daerah seperti daerah Sulawesi Utara, NTT, Bangka Belitung, Jawa

Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Tenggara menunjukan arah

pelayanan yang membaik.

2. Faktor yang mempengaruhi pendistribusian Kartu Indonesia Pintar

adalah:

a) Pemerintah Daerah yang Dirasakan Kurang keterlibatnya,

terutama pihak desa dalam pemutakhiran data selain itu

selama ini pemerintah pusat hanya menunjuk kantor pos

sebagai operator tunggal sekaligus juru bayar dalam program

KIP. Padahal cakupan masyarakat yang berhak menerima

program itu sangat luas.

b) Ketidak jelasan Data Yang Digunakan Dalam Pendistribusian

seperti data yang menjadi acuan pemerintah sekarang masih

menggunakan data pemutakhiran penduduk 2011. Perubahan

situasi yang terjadi antara data terakhir dan situasi masa kini
belum tercatat oleh pemerintah, hal tersebut mempengaruhi

ketepatan penyebaran Kartu Indonesia Pintar (KIP).

c) Sosialisasi Yang Pelaksanaannya Tidak Berorientasi Pada

Kepahaman Masyarakat, dan sosialisasi yang diterapkan tidak

dirasakan masyarakat, karena sosialisasi yang dilaksanakan

tidak maksimal. Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah

pun merasa tak bisa berbuat apa-apa dalam

mensosialisasikannya akibat terhalang hirarki pemerintahan

sehingga mengakibatkan kebingungan di kalangan masyarakat

maupun pemerintah Daerah itu sendiri.

b. Saran

Mengacu pada permasalahan diatas diharapakan pemerintah

kedepannya agar lebih serius menangani masalah pendistribusian KIP

yang kurang tepat sasaran, misalnya diperlukan langkah langkah

subjektif sebagai berikut:

1. Perlunya pemutahiran data ( Update data) baik bekerjasama BPS,

Kemsos, dan lainnya guna tepat sasaran terhadap penerima Kartu

Indonesia Pintar(KIP);

2. Perbaikan sosialisasi terhadap masyarakat, melakukan peningkatan

anggaran dan peningkatan kualitas sumber daya manusia serta

kelembagaan yang terkait.


3. Pemerintah lebih mengedepankan pihak sekolah ,pemerintahan

desa ,pihak kecamatan untuk bekerjasama berperan aktif dalam

pendistribusian dan juga dalam bentuk pendataan;

4. Pemerintah sebaiknya mengganti mekanisme dalam pendataan

ataupun pendistibusian Program Indonesia Pintar sebagaimana

yang disampaikan oleh Kemendikbud yang pelaksanaanya

dilakukan oleh pihak sekolah berdasarkan data pokok pendidikan

(DAPODIK) pihak sekolah nanti meng-entry data siswa yang

termasuk keluarga miskin (layak penerima KIP) sehingga

penyaluran KIP dipastikan tepat sasaran dan tidak memakan waktu

yang lama dan juga menghindari penggunaan data yang lama.


Daftar Pustaka

BP2PKS Yogyakarta, 2016: Laporan Hasil Penelitian Pengkajian Konsep


dan Indikator Kemiskinan, Yogyakarta:BP2PKS

Subarsono, AG. 2008. Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori dan


Aplikasi). Cetakan Ketiga. Pustaka Pelajar : Yogyakarta.

Syafri, Wirman dan Israwan Setyoko. 2010. Implementasi Kebijakan


Publik dan Etika Profesi Pamong Praja. Sumedang : ALQAPRINT
JATINANGOR.

Wasistiono, Sadu. 2002. Evaluasi Pelaksanaan Otonomi Daerah


Sebagai Upaya Awal Merevisi UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999.
Bandung: Alqaprint

Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan


Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar,
dan Program Indonesia Sehat
ANALISIS IMPLEMENTASI KARTU INDONESIA
PINTAR

MATA KULIAH : IMPLEMENTASI KEBIJAKAN


PUBLIK
NAMA : DWIVA PRASTICA SEMPRONG
NIM : E. 207 216 1076

PROGRAM MAGISTER ILMU SOSIAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL & POLITIK
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
TAHUN 2017

Anda mungkin juga menyukai