Anda di halaman 1dari 30

PEDOMAN

KOMUNIKASI EFEKTIF
RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK
GRAND FAMILY
TAHUN 2018

1
KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK GRAND FAMILY
NOMOR : 096/SK/DIR/RSIAGF/V/2018

TENTANG

PEDOMAN KOMUNIKASI EFEKTIF


DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK GRAND FAMILY

DIREKTUR RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK FAMILY

Menimbang : a. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan yang aman,


berfokus kepada keselamatan pasien serta kepuasan pelanggan
(patient centeredness) di Rumah Sakit Ibu dan Anak Grand Family,
maka diperlukan komunikasi yang efektif dalam pemberian
informasi dan edukasi kepada setiap pasien dan keluarganya di
Rumah Sakit Ibu dan Anak Grand Family;
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
butir a, perlu ditetapkan dengan Keputusan Direktur Rumah Sakit Ibu
dan Anak Grand Family.

Mengingat : 1. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009


Tentang Rumah Sakit;
2. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan;
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 04 Tahun
2017 Tentang Keselamatan Pasien;
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 04 Tahun
2012 Tentang Petunjuk Teknis Promosi Kesehatan Rumah Sakit;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK


GRAND FAMILY TENTANG PEDOMAN KOMUNIKASI
EFEKTIF DALAM PEMBERIAN INFORMASI DAN EDUKASI
DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK GRAND FAMILY.

KESATU : Pedoman Komunikasi Efektif di Rumah Sakit Ibu dan Anak Grand
Family sebagaimana terlampir dalam Lampiran Keputusan ini.

KEDUA : Pedoman ini menjadi acuan bagi rumah sakit untuk melaksanakan
program pelayanan komunikasi efektif dalam pemberian informasi
dan edukasi kepada pasien dan keluarganya di Rumah Sakit Ibu dan
Anak Grand Family.

KETIGA : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan apabila


dikemudian hari terdapat kekeliruan, akan diadakan perbaikan
sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 02 Mei 2018

Direktur

dr. Sari Dewi Rosady, M.Gizi., MM


DAFTAR ISI

KEPUTUSAN DIREKTUR
DAFTAR ISI i
KATA PENGANTAR ii
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 2
B. Tujuan
BAB II. KOMUNIKASI EFEKTIF
A. Klasifikasi Komunikasi 3
B. Jenis Komunikasi 4
C. Model Komunikasi
8
BAB. III. TATA LAKSANA
11
BAB. IV. KOMUNIKASI EFEKTIF ASUHAN DAN EDUKASI
24

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan kuasa-Nya sehingga kami selaku
penyusun mampu menyelesaikan pedoman komunikasi efektif dalam pemberian edukasi dan
informasi di lingkungan Rumah Sakit Ibu dan Anak Grand Family selama dalam rumah sakit
sebagai bentuk kepedulian rumah sakit yang diterapkan untuk memberikan hak – hak asasi
pasien atas mutu pelayanan dilingkungan Rumah Sakit Ibu dan Anak Grand Family dan
memenuhi persyaratan akreditasi.
Buku pedoman ini tentang Pedoman Komunikasi Efektif yang terkait dalam pemberian
edukasi dan informasi bagi pelanggan rawat inap dan rawat jalan. Pedoman Komunikasi
efektif dalam pemberian edukasi dan informasi adalah sebuah proses penyampaian pikiran –
pikiran atau informasi dari seseorang kepada orang lain melalui suatu cara tertentu sehingga
orang lain dapat mengerti betul apa yang dimaksud untuk meningkatkan mutu pelayanan
rumah sakit. Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis untuk membuat suatu pedoman
komunikasi efektif dalam pemberian edukasi dan informasi.
Tak lupa penyusun mengucapkan terimakasih kepada banyak pihak yang membantu dalam
penyusunan pedoman Komunikasi efektif dalam pemberian edukasi dan informasi sehingga
pedoman ini dapat selesai dan dan diaplikasikan dalam kegiatan di Rumah Sakit Ibu dan Anak
Grand Family.
Semoga pedoman ini dapat meningkatkan komunikasi efektif dalam pemberian edukasi dan
informasi selama dalam perawatan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Grand Family. Penyusun
sadar bahwa pedoman ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan pembuatan pedoman ini.

Jakarta, Mei 2018

Penyusun

ii
LAMPIRAN
KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK GRAND FAMILY
TANGGAL : 02 Mei 2018
NOMOR : 096/SK/DIR/RSIAGF/V/2018

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kegiatan komunikasi sudah menjadi sebagian besar kegiatan kita sehari – hari, mulai
antar teman/ pribadi, kelompok, organisasi atau massa. Kegiatan komunikasi pada
prinsipnya adalah aktivitas pertukaran ide atau gagasan. Secara sederhana, kegiatan
komunikasi dipahami sebagai kegiatan penyampaian dan penerimaan pesan atau ide dari
satu pihak ke pihak lain, dengan tujuan untuk mencapai kesamaan pandangan atas ide
yang dipertukarkan tersebut.
Begitu pula dengan pelayanan rumah sakit, keberhasilan misi sebuah rumah sakit sangat
ditentukan oleh keluwesan berkomunikasi setiap petugas, perawat dan dokter. Pelayanan
rumah sakit selalu berhubungan dengan berbagai karakter dan perilaku pasien yang
berkepentingan dengan jasa perawatan sehingga petugas, perawat dan dokter harus
memahami dan mengerti bagaimana cara komunikasi yang bisa diterapkan di segala
situasi.
Dalam profesi kedokteran, komunikasi dokter dengan pasien merupakan salah satu
kompetensi yang harus dikuasai dokter. Kompetensi komunikasi menentukan
keberhasilan dalam membantu penyelesaian masalah kesehatan pasien. Di Indonesia,
sebagian dokter merasa tidak mempunyai waktu yang cukup untuk berbincang – bincang
dengan pasiennya, sehingga hanya bertanya seperlunya. Akibatnya, dokter bisa saja tidak
mendapatkan keterangan yang cukup untuk menegakkan diagnosis dan menentukan
perencanaan dan tindakan lebih lanjut. Dari sisi pasien, umumnya pasien merasa berada
dalam posisi lebih rendah di hadapan dokter sehingga takut bertanya dan bercerita atau
mengungkapkan diri. Hasilnya, pasien menerima saja apa yang dikatakan dokter.
Paradigma inilah yang harus kita perbaiki. Pasien dan dokter harus berada dalam
kedudukan setara sehingga pasien tidak merasa rendah diri dan malu untuk bisa
menceritakan sakit/ keluhan yang dialaminya secara jujur dan jelas. Komunikasi yang
efektif mampu mempengaruhi emosi pasien dalam pengambilan keputusan tentang
rencana tindakan selanjutnya.
Kurtz (1998) menyatakan bahwa komunikasi efektif justru tidak memerlukan waktu yang
lama. Komunikasi efektif terbukti memerlukan waktu yang lebih sedikit karena petugas,
perawat dasn dokter terampil mengenali kebutuhan pasien. Atas dasar kebutuhan pasien,
perawat dan dokter melakukan manajemen pengelolaan masalah kesehatan bersama
pasien. Untuk itu dirasakan perlunya memberikan pedoman komunikasi efektif untuk
petugas, perawat dan dokter di Rumah Sakit Ibu dan Anak Grand Family untuk
memudahkan berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya.

1
B. Tujuan
Secara umum tujuan penyusunan pedoman komunikasi efektif ini adalah:
1. Memberikan pengetahuan dan pedoman bagi petugas, perawat dan dokter mengenai
cara berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya;
2. Agar petugas, perawat dan dokter dapat melakukan komunikasi yang efektif dengan
pasien dan keluarganya;
3. Menghindarkan kesalahpahaman yang bisa menimbulkan dugaan mal praktik.

2
BAB II
KOMUNIKASI EFEKTIF

Komunikasi berasal dari bahasa Latin “communis” yang artinya bersama. Secara
terminologis, komunikasi diartikan sebagai suatu proses penyampaian pikiran atau informasi
(pesan) dari satu pihak ke pihak lain dengan menggunakan suatu media. Menurut ahli kamus
bahasa, komunikasi adalah upaya yang bertujuan berbagi untuk mencapai kebersamaan. Jika
dua orang berkomunikasi maka pemahaman yang sama terhadap pesan yang saling
dipertukarkan adalah tujuan yang diinginkan oleh keduanya. Webster’s New Collegiate
Dictionary edisi tahun 1977 antara lain menjelaskan bahwa komunikasi adalah suatu proses
pertukaran informasi diantara individu melalui sistem lambing-lambang, tanda-tanda atau
tingkah laku.
A. Klasifikasi Komunikasi
Berdasarkan kepada penerima pesan atau komunikan, komunikasi dapat diklasifikasikan
menjadi:
1. Komunikasi Intra Personal
Penggunaan bahasa atau pikiran yang terjadi di dalam diri komunikator sendiri antara
individu dengan Tuhannya. Komunikasi intra personal merupakan keterlibatan
internal secara aktif dari individu dalam pemrosesan simbolik dari pesan – pesan.
Seorang individu menjadi pengirim sekaligus penerima pesan, meberikan umpan
balik bagi dirinya sendiri dalam proses internal yang berkelanjutan.
2. Komunikasi Inter Personal
Komunikasi inter personal berlangsung dengan dua arah, antara komunikator dan
komunikan, antara seorang tenaga medis dengan teman sejawat, atau antara
seorang tenaga medis dengan pasien.
3. Komunikasi Kelompok
Salah satu bentuk komunikasi yang terjadi di dalam sebuah kelompok. Komunikasi
tidak hanya terjadi antara seseorang dengan seseorang yang lainnya, komunikasi juga
dilakukan dengan sekelompok orang yang disebut dengan komunikasi kelompok.
Menurut Michael Burgoon, komunikasi kelompok adalah interaksi secara tatap muka
antara tiga orang atau lebih dengan tujuan yang telah diketahui, seperti berbagi
informasi, menjaga diri, pemecahan masalah, dimana anggota – anggotanya dapat
mengingat karakteristik pribadi anggota – anggota yang lain secara tepat, misalnya
organisasi profesi, kelompok remaja dan kelompok – kelompok sejenisnya.
Komunikasi dapat dalam bentuk diskusi, rapat dan sebagainya.
4. Komunikasi Publik
Komunikasi yang dilakukan secara aktif maupun pasif yang dilakukan di depan
umum. Dalam komunikasi publik, pesan yang disampaikan dapat berupa suatu
informasi, ajakan, gagasan. Komunikasi ini memerlukan ketrampilan komunikasi
lisan dan tulisan agar pesan dapat disampaikan secara efektif dan efisien.
5. Komunikasi Organisasi
Merupakan komunikasi yang dilakukan dalam suatu organisasi atau antar organisasi
baik secara formal maupun informal.
Komunikasi organisasi pada umumnya membahas tentang struktur dan fungsi

3
organisasi serta hubungan antar manusia.
6. Komunikasi Massa
Komunikasi ini melibatkan sejumlah besar komunikan heterogen yang tersebar di
suatu wilayah geografis yang luas dan berkepentingan pada pesan komunikan yang
sama.
B. Jenis Komunikasi
Komunikasi dapat dibedakan dalam lima jenis, yaitu komunikasi tertulis, komunikasi
verbal, komunikasi non – verbal, komunikasi satu arah dan komunikasi dua arah.
1. Komunikasi Tertulis
a. Komunikasi tertulis merupakan komunikasi yang penyampaian pesan secara
tertulis baik manual maupun melalui media seperti email, surat, media cetak.
lainnya. Prinsip – prinsip komunikasi tertulis, yaitu:
1) Lengkap;
2) Ringkas;
3) Pertimbangan;
4) Konkrit;
5) Jelas;
6) Sopan;
7) Benar.
b. Dalam Rumah Sakit, komunikasi tertulis dapat berupa catatan perkembangan
pasien, catatan medis, laporan perawat dan catatan lainnya yang memiliki fungsi
sebagai berikut:
1) Sebagai tanda bukti tertulis otentik, misalnya persetujuan operasi;
2) Alat pengingat/ berpikir bilamana diperlukan, misalnya: surat yang telah
diarsipkan;
3) Dokumentasi historis, misalnya rekam medis pasien;
4) Jaminan keamanan, misalnya surat keterangan jalan;
5) Pedoman atau dasar bertindak, misalnya surat keputusan, surat perintah,
surat pengangkatan, SPO.
c. Keuntungan komunikasi tertulis:
1) Adanya dokumen tertulis;
2) Sebagai bukti penerimaan dan pengiriman;
3) Dapat menyampaikan ide yang rumit;
4) Memberikan analisa, evaluasi dan ringkasan;
5) Menyebarkan informasi kepada khalayak ramai;
6) Dapat menegaskan, menafsirkan dan menjelaskan komunikasi lisan;
7) Membentuk dasar kontrak atau perjanjian;
8) Untuk penelitian dan bukti di pengadilan.

2. Komunikasi Verbal

4
a. Komunikasi verbal merupakan komunikasi yang disampaikan secara lisan.
Komunikasi dapat dilakukan secara langsung atau melalui sarana komunikasi
seperti telepon.
Kelebihan dari komunikasi ini terletak pada keberlangsungannya, yakni
dilakukan secara tatap muka sehingga umpan balik dapat diperoleh secara
langsung dalam bentuk respon dari pihak komunikan.
Komunikasi verbal ini harus memperhatikan arti denotative dan konotatif, kosa
kata, tempo bicara, intonasi, kejelasan dan keringkasan serta waktu dan
kesesuaian.
Jenis komunikasi ini sering digunakan dalam pelayanan di rumah sakit dalam hal
pertukaran informasi secara verbal terutama pembicaraan dengan tatap muka.
Komunikasi ini biasanya lebih akurat dan tepat waktu. Kelebihan dari
komunikasi ini adalah memungkinkan setiap individu untuk merespon secara
langsung.
b. Hal – hal yang harus diperhatikan dalam komunikasi verbal:
1) Memahami arti denotatif dan konotatif meliputi arti denotatif merupakan
memberikan pengertian yang sama dengan kata yang digunakan, sedangkan
arti konotatif merupakan pikiran, perasaan atau ide yang terdapat dalam
suatu kata. Misalnya kata “kritis”.Secara denotatif, kritis berarti cerdas,
tetapi perawat menggunakan kata kritis untuk menjelaskan keadaan yang
mendekati kematian. Ketika berkomunikasi dengan pasien, tenaga
medis harus berhati – hati memilih kata – kata sehingga tidak mudah untuk
disalah artikan terutama saat menjelaskan pasien mengenai kondisi
kesehatannya dan saat terapi.
2) Kosa kata mudah dipahami
Komunikasi tidak akan berhasil jika pengirim pesan tidak mampu
menerjemahkan kata dan ucapan. Kemampuan dalam pengetahuan kosa
kata, khususnya yang berhubungan dengan dunia medis, berperan penting
dalam komunikasi verbal. Banyak istilah teknis yang digunakan oleh tenaga
medis di rumah sakit, misalnya istilah “auskultasi”, akan lebih mudah
dipahami oleh pasien bila diucapkan dengan menggunakan kosa kata
“mendengarkan”.
3) Intonasi
Pembicaraan seseorang dapat diartikan berdasarkan pada intonasi atau nada.
Seseorang yang berbicara dengan nada yang tinggi menunjukkan bahwa
orang tersebut sedang marah. Sebaliknya seseorang yang berbicara dengan
nada riang menunjukkan bahwa orang tersebut sedang bergembira. Petugas
dan tenagaan medis rumah sakit hendaknya menjaga intonasi yang
menunjukkan perhatian dan ketulusan kepada pasien.

4) Jelas dan ringkas


Komunikasi yang efektif harus sederhana, ringkas dan maksudnya dapat

5
diterima dengan jelas. Semakin sedikit kata – kata yang digunakan semakin
kecil kemungkinan terjadinya kerancuan.
Komunikasi dapat diterima dengan jelas apabila penyampaiannya dengan
berbicara secara lambat dan pengucapan vokalnya dengan jelas. Selain itu,
komunikator harus tetap memperhatikan tingkat pengetahuan komunikan.
5) Selaan dan tempo bicara
Kecepatan atau tempo bicara yang tepat dapat menentukan keberhasilan
komunikasi verbal. Selaan yang lama dan pengalihan yang cepat pada
pokok pembicaraan lain mungkin akan menimbulkan kesan bahwa
komunikator sedang menyembunyikan sesuatu. Hal ini harus diperhatikan
oleh petugas dan tenaga medis di rumah sakit, jangan sampai pasien
menjadi curiga karena selaan yang lama dan pengalihan yang cepat. Selaan
dapat dilakukan untuk menekankan pada hal tertentu, misalnya memberi
waktu kepada pendengar untuk mendengarkan dan memahami arti kata.
Selaan yang tepat dapat dilakukan dengan memikirkan apa yang akan
dikatakan sebelum mengucapkannya.
6) Ketepatan waktu dan relevansi
Komunikasi yang dilakukan pada waktu yang tepat akan membawa hasil
sesuai dengan yang diharapkan. Misalnya, bila pasien sedang menangis
kesakitan, bukan waktunya untuk tenaga medis menjelaskan resiko operasi.
Oleh karena itu, petugas dan tenaga medis harus peka terhadap ketepatan
waktu untuk berkomunikasi. Relevansi atau kesesuaian materi komunikasi
juga merupakan factor penting untuk diperhatikan. Komunikasi akan efektif
apabila topik pembicaraan berkenaan dengan masalah yang dihadapi oleh
komunikan. Komunikasi verbal akan lebih bermanfaat jika pesan yang
disampaikan berkaitan dengan minat dan kebutuhan klien.
7) Humor
Dugan (1989) dalam Purba (2003) mengatakan bahwa tertawa dapat
mengurangi ketegangan dan rasa sakit yang disebabkan oleh stress dan
dapat meningkatkan keberhasilan tenaga medis dalam memberikan
dukungan emosional terhadap pasien. Sullivan dan Deane (1988) dalam
Purba (2006) melaporkan bahwa humor merangsang produksi
catecholamines dan hormon yang menimbulkan perasaan sehat,
meningkatkan toleransi terhadap rasa sakit, mengurangi ansietas,
memfasilitasi relaksasi pernafasan dan humor dapat digunakan untuk
menutupi rasa takut dan tidak enak atau ketidakmampuannya untuk
berkomunikasi dengan pasien.

8) Dalam menyebutkan kata yang sulit maka pemberi pesan harus mengeja
hurufnya dengan menggunakan kode alfabet Internasional, yaitu:

6
Karakter Kode Karakter Kode
Alfabet Alfabet
A Alfa N November
B Bravo O Oscar
C Charlie P Papa
D Delta Q Quebec
E Echo R Romeo
F Foxtrot S Sierra
G Golf T Tango
H Hotel U Uniform
I India V Victor
J Juliet W Whiskey
K Kilo X Xray
L Lima Y Yankee
M Mike Z Zulu
Sumber : Wikipedia

3. Komunikasi Non Verbal


a. Komunikasi non verbal merupakan proses komunikasi dimana pesan
disampaikan tidak menggunakan kata – kata. Komunikasi ini adalah cara yang
paling meyakinkan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Tenaga medis
perlu menyadari pesan verbal dan non verbal yang disampaikan oleh pasien
mulai dan saat pengkajian sampai evaluasi asuhan keperawatan karena pesan
non verbal dapat memperkuat pesan yang disampaikan secara verbal, misalnya,
menggunakan gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, simbol
– simbol serta cara berbicara seperti intonasi, penekanan, kualitas suara, gaya
emosi dan gaya berbicara.
b. Komunikasi non verbal meliputi beberapa hal sebagai berikut:
1) Metakomunikasi merupakan suatu komentar terhadap isi pembicaraan dan
sifat hubungan antara komunikator dan komunikan disebut metakomunikasi
misalnya, tersenyum meskipun hati kecewa atau marah.
2) Metakomunikasi dapat dilihat dari:
a) Penampilan fisik
Penampilan seseorang merupakan faktor yang menarik perhatian dalam
komunikasi antar pribadi. Penampilan fisik, cara berpakaian dan cara
berhias akan menunjukkan kepribadian seseorang. Tenaga medis yang
memperhatikan penampilan diri dapat menampilkan citra profesionalisme
yang positif.

7
b) Nada suara atau intonasi bicara
Intonasi bicara berpengaruh terhadap arti pesan yang disampaikan oleh
seseorang kepada pihak lain. Oleh sebab itu, pengendalian emosi
merupakan faktor yang sangat penting dalam berkomunikasi.
c) Ekspresi wajah
Kondisi perasaan seseorang dapat diketahui melalui ekspresi wajar.
Sakit, susah, senang, takut, ngeri, jijik dan sebagainya dapat diketahui
dari ekspresi wajah. Ekspresi wajah sering digunakan sebagai dasar
dalam menentukan pendapat seseorang ketika berkomunikasi tatap
muka.

C. MODEL KOMUNIKASI
Model komunikasi adalah ilustrasi alur komunikasi yang menunjukkan unsur – unsur
penting di dalamnya. Menurut beberapa pakar komunikasi model adalah penyederhanaan
teori yang disajikan dalam bentuk gambar.
1. Model Komunikasi SMCR/ BERLO
Merupakan salah satu model komunikasi. Model ini mensyaratkan adanya empat
unsur komunikasi (sumber informasi, pesan, saluran dan penerima pesan) untuk
dapat terjadinya komunikasi.

2. Unsur komunikasi
a. Sumber Informasi (Source)
Sumber (pengirim pesan) adalah orang yang menyampaikan pemikiran atau
informasi yang dimilikinya kepada orang lain (penerima pesan). Pengirim pesan
bertanggung jawab dalam menerjemahkan pemikiran atau informasinya menjadi
sesuatu yang berarti, dapat berupa pesan verbal, non verbal dan tulisan atau
kombinasi dari ketiganya.
Pengirim pesan (komunikator) yang baik adalah komunikator yang menguasai
materi, pengetahuannya luas tentang informasi yang disampaikan, cara
berbicaranya jelas dan menjadi pendengar yang baik saat dikonfirmasi oleh si
penerima pesan (komunikan).
b. Pesan atau informasi (Message)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pesan komunikasi adalah:
1) Tingkat kepentingan informasi;
2) Sifat pesan;
3) Kemungkinan pelaksanaannya;
4) Tingkat kepastian dan kebenaran pesan;
5) Kondisi pada saat pesan diterima;
6) Penerima pesan.

c. Cara penyampaian pesan


1) Saluran (Channel)
Saluran komunikasi adalah media yang dilalui pesan. Jarang sekali
komunikasi berlangsung melalui hanya satu saluran, biasanya menggunakan
dua, tiga atau empat saluran yang berbeda secara simultan.
Contoh :
Dalam interaksi tatap muka, kita berbicara dan mendengarkan (saluran
suara), tetapi kita juga memberikan isyarat tubuh dan menerima isyarat ini
secara visual (saluran visual). Kita juga memancarkan dan mencium bau –
bauan (saluran olfaktori) dan seringkali kita saling menyentuh (saluran
taktil). Media fisik yang sering digunakan di rumah sakit adalah telepon,
brosur, surat edaran, memo, internet , dll.
2) Penerima pesan (Receiver)
Penerima pesan adalah orang yang menerima pesan dari sumber informasi
(komunikator). Penerima pesan akan menerjemahkan pesan (decoding)
berdasarkan pada batasan pengertian yang dimilikinya. Dengan demikian
dapat saja terjadi kesenjangan antara yang dimaksud oleh pengirim pesan
dengan yang dimengerti oleh penerima pesan yang disebabkan oleh adanya
kemungkinan hadirnya ganguan/ hambatan. Hambatan ini bisa karena
perbedaan sudut pandang, pengetahuan atau pengalaman, perbedaan
budaya, masalah bahasa dan lainnya. Pada saat menyampaikan pesan,
pengirim pesan (komunikator) harus memastikan apakah pesan telah
diterima dengan baik atau tidak. Sementara penerima pesan perlu
berkonsentrasi agar pesan diterima dengan baik dan memberikan umpan
balik (feedback) kepada pengirim pesan.
3) Umpan balik
Umpan balik merupakan tanggapan komunikan terhadap pesan yang
diberikan oleh komunikator. Umpan balik dapat berupa tanggapan verbal
atau non verbal dan sangat penting sekali sebagai proses klarifikasi untuk
memastikan tidak terjadi kesalahan dalam menginterpretasikan pesan. Pada
saat penerima pesan melakukan proses umpan balik, pengirim pesan
(komunikator) yang baik harus memiliki kemampuan sebagai berikut:
a) Cara berbicara
Komunikator harus menguasai cara berbicara termasuk cara bertanya
(mengerti waktu penggunaan pertanyaan tertutup dan terbuka),
menjelaskan, klarifikasi, paraphrase, intonasi.
b) Mendengar
Komunikator harus mendengarkan dengan baik umpan balik dari
penerima pesan tanpa memotong pembicaraannya.
c) Cara mengamati
Komunikator harus bisa mengamati cara berbicara komunikan,
misalnya bahasa non verbal yang digunakan di balik ungkapan kata atau
kalimatnya, gerakan tubuhnya.
d) Menjaga sikap
Komunikator harus menjaga sikap selama berkomunikasi dengan
komunikan (bahasa tubuh) agar tidak mengganggu komunikasi dan
untuk menghindari kesalahpahaman dalam mengartikan gerak tubuh
yang dilakukan oleh komunikator.
e) Gangguan
Gangguan adalah segala sesuatu yang menghambat atau mengurangi
kemampuan kita untuk mengirim dan menerima pesan. Gangguan
komunikasi ini meliputi :
(1) Pengacau indra, misalnya suara terlalu keras atau lemah, bau
menyengat, udara panas dan lain – lain;
(2) Faktor – faktor pribadi, antara lain prasangka, lamunan, dan lain –
lain.
BAB III
TATA LAKSANA

A. Komunikasi Antar Pemberi Layanan, sebagai berikut:


Dalam memberikan pelayanan di Rumah Sakit Ibu Dan Anak Grand Family, antar
pemberi layanan melakukan komunikasi dengan teknik SBAR. SBAR merupakan suatu
teknik komunikasi yang dipergunakan dalam melakukan identifikasi terhadap pasien
sehingga mampu meningkatkan kemampuan komunikasi antara perawat dengan dokter.
Dengan komunikasi SBAR ini maka perawat dapat memberikan laporan mengenai
kondisi pasien lebih informatif dan terstruktur.
SBAR merupakan kerangka acuan dalam pelaporan kondisi pasien yang memerlukan
perhatian dan tindakan segera. Teknik SBAR terdiri atas unsur Situation, Background,
Assessment, Recommendation. Pada prinsipnya, SBAR merupakan komunikasi standar
yang ingin menjawab pertanyaan, yaitu apa yang terjadi, apa yang diharapkan oleh
perawat dari dokter yang dihubungi dan kapan dokter harus mengambil tindakan.
1. 4 (Empat) Unsur SBAR, sebagai berikut:
a. Situation: Menjelaskan kondisi terkini dan keluhan yang terjadi pada pasien.
Misalnya: penurunan tekanan darah, gangguan irama jantung, sesak nafas, dll.
b. Background
Menggali informasi mengenai latar belakang klinis yang menyebabkan
timbulnya keluhan klinis. Misalnya: Riwayat alergi obat – obatan, hasil
pemeriksaan laboratorium yang sudah diberikan, hasil pemeriksaan penunjang,
dll.
c. Assessment
Penilaian/ pemeriksaan terhadap kondisi pasien terkini sehingga perlu
diantisipasi agar kondisi pasien tidak memburuk.
d. Recommendation
Merupakan usulan sebagai tindak lanjut, apa yang perlu dilakukan untuk
mengatasi masalah pasien saat ini. Misalnya: menghubungi dokter, mengarahkan
pasien untuk melakukan pemeriksaan penunjang, dll.

Contoh laporan perawat ke dokter dengan menggunakan SBAR (Haig, K.M.,


dkk.,2006):
Situation (S) 1. Sebutkan nama Anda dan unit;
2. Sebutkan identitas pasien dan nomor kamar pasien;
3. Sebutkan masalah pasien tersebut (misalnya, sesak
nafas, nyeri dada, dsb.
Background (B) 1. Sebutkan diagnosis dan data klinis pasien sesuai
kebutuhan :
a. Status kardiovaskular (nyeri dada, tekanan darah,
EKG, dsb.);
b. Status respirasi (frekuensi pernafasan, Sp02, analisis
gas darah, dsb.);
c. Status gastro – intestinal (nyeri perut, muntah,
perdarahan, dsb.);
d. Neurologis (GCS, pupil, kesadaran, dsb.);
e. Hasil laboratorium/ pemeriksaan penunjang lainnya.
Assessment (A) 1. Sebutkan problem pasien tersebut:
a. Problem kardiologi (syok kardiogenik, aritmia
maligna, dsb.);
b. Problem gastro – intestinal (perdarahan massif dan
syok)
Recommendation (R) 1. Rekomendasi (pilih sesuai kebutuhan):
a. Saya meminta dokter untuk:
1) Memindahkan pasien ke NICU/ PICU/ HCU;
2) Segera datang melihat pasien;
3) Mewakilkan dokter lain untuk datang.
4) Konsultasi ke dokter lain.
b. Pemeriksaan atau terapi apa yang diperlukan;
1) Foto rontgen;
2) Pemeriksaan analisa gas darah;
3) Pemeriksaan EKG;
4) Pemberian oksigenasi;
5) Pemberian terapi nebulizer.

B. Komunikasi Efektif Dokter Dan Pasien, sebagai berikut:


Dalam hubungan tenaga medis dan pasien, baik dokter maupun pasien dapat berperan
sebagai sumber atau pengrim pesan dan penerima pesan secara bergantian. Pasien sebagai
pengirim pesan, menyampaikan apa yang dirasakan atau menjawab pertanyaan tenaga
medis sesuai pengetahuannya. Sementara tenaga medis sebagai pengirim pesan, berperan
pada saat menyampaikan penjelasan penyakit, rencana pengobatan dan terapi, efek
samping obat yang mungkin terjadi serta dampak dari dilakukan dan tidak dilakukannya
terapi tertentu. Dalam penyampaian ini, tenaga medis bertanggung jawab untuk
memastikan pasien memahami apa yang disampaikan.
Sebagai penerima pesan, dokter perlu berkonsentrasi dan memperhatikan setiap
pernyataan pasien. Untuk memastikan apa yang dimaksud oleh pasien, dokter sesekali
perlu membuat pertanyaan atau pernyataan klarifikasi. Mengingat kesenjangan informasi
dan pengetahuan yang ada antara dokter dan pasien, dokter perlu mengambil peran aktif.

Ketika pasien dalam posisi sebagai penerima pesan, dokter perlu secara proaktif
memastikan apakah pasien benar-benar memahami pesan yang telah disampaikannya.
Misalnya, dalam menginterpretasikan kata “panas”. Dokter yang mempunyai pasien
berumur dua tahun memesankan kepada ibu pasien, “Kalau dia panas, berikan obatnya.”
Pengertian panas oleh ibu pasien mungkin saja berbeda dengan yang dimaksudkan oleh
dokter.
Dokter perlu mencari cara untuk memastikan si ibu mempunyai pemahaman yang sama,
misalnya dengan menggunakan ukuran yang tepat, yaitu termometer. Dokter mengajarkan
cara menggunakan termometer untuk mengetahui keadaan anaknya. Si ibu diminta
memberikan obat yang telah diresepkan dokter kepada anaknya apabila suhu tubuh anak
mencapai angka tertentu yang dimaksud dokter mengalami “panas”.
Dalam dunia kesehatan, warna yang berbeda, ukuran yang berbeda, rasa yang berbeda
bisa menjadi hal yang sangat vital karena bisa membedakan intensitas radang, intensitas
nyeri yang pada akhirnya bermuara pada perbedaan diagnosa maupun jenis obat yang
harus diminum. Peran dokter sebagai fasilitator pembicaraan amat penting agar tidak
terjadi salah interpretasi.
Silverman (1998) menjelaskan bahwa komunikasi efektif tidak berhenti sampai pemberi
pesan selesai menyampaikan maksudnya. Komunikasi baru dapat dikatakan lengkap
ketika pembicara mendapatkan umpan balik dari penerima yang meyakinkannya bahwa
tujuan komunikasinya tercapai (penerima pesan memahami sesuai yang diharapkannya),
sebagai berikut:
1. Disease Centered Communication Style adalah komunikasi berdasarkan kepentingan
dokter dalam usaha menegakkan diagnosis, termasuk penyelidikan dan penalaran
klinik mengenai tanda dan gejala.
2. Illness Centered Communication Style adalah komunikasi berdasarkan apa yang
dirasakan pasien tentang penyakitnya yang secara individu merupakan pengalaman
unik, termasuk pendapat pasien, apa yang menjadi kepentingannya, apa
kekhawatirannya, harapannya, apa yang dipikirkannya akan menjadi akibat dari
penyakitnya (Kurtz, 1998).
Pada dasarnya komunikasi efektif adalah bagaimana menyatukan sudut pandang pasien
maupun dokter menjadi sebuah bentuk relasi dokter – pasien (doctor – patient
partnership), keduanya berada dalam level yang sejajar dan saling bekerja sama untuk
menyelesaikan masalah kesehatan pasien.
Di dunia kedokteran, model proses komunikasi tersebut telah dikembangkan oleh Van
Dalen (2005) menjadi sebuah model yang sangat sederhana dan aplikatif.
1 3

1. Kotak 1: Pasien memimpin pembicaraan melalui pertanyaan terbuka yang


dikemukakan oleh dokter (Patient takes the lead through open ended question by the
doctor);
2. Kotak 2: Dokter memimpin pembicaraan melalui pertanyaan tertutup/terstruktur
yang telah disusunnya sendiri (Doctors takes the lead through closed question by the
doctor);
3. Kotak 3: Kesepakatan apa yang harus dan akan dilakukan berdasarkan negosiasi
kedua belah pihak (Negotiating agenda by both).
Keberhasilan komunikasi antara dokter dan pasien pada umumnya akan melahirkan
kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak, khususnya menciptakan satu kata
tambahan bagi pasien yaitu empati. Empati dapat diraih melalui kecukupan dokter akan
listening skills dan training skills yang dapat diraih melalui latihan.
Carma L Bylund & Gregory Makoul dalam tulisannya tentang Emphatic Communication
in Physician-patient Encouter 2002, menyatakan betapa pentingnya empati ini
dikomunikasikan. Dalam konteks ini empati disusun dalam batasan definisi berikut:
1. Kemampuan kognitif seorang dokter dalam mengerti kebutuhan pasien;
2. Kemampuan afektifitas/sensitifitas dokter terhadap perasaan pasien;
3. Kemampuan perilaku dokter dalam memperlihatkan / menyampaikan empatinya
kepada pasien.
Berikut adalah contoh aplikasi empati yang dikembangkan oleh Bylund & Makoul 2002
Tingkat atau level empati dalam komunikasi dikodekan dalam suatu sistem. Ada 6 level
pada pengkodean ini, yaitu:
1. Level 0 : Dokter menolak sudut pandang pasien;
2. Level 1 : Dokter mengenal secara sambil lalu;
3. Level 2 : Dokter mengenal sudut pandang pasien secara implicit;
4. Level 3 : Dokter menghargai pendapat pasien;
5. Level 4 : Dokter mengkonfirmasi kepada pasien;
6. Level 5 : Dokter berbagi perasaan dan pengalaman dengan pasien.
Keterangan:
1. Level 3 – 5 adalah pengenalan dokter terhadap sudut pandang pasien tentang
penyakitnya, secara eksplisit.

Contoh – contoh kalimat:


1. Level 5 : Berbagi pengalaman maupun perasaan
“Ya saya mengerti hal ini dapat mengkhawatirkan Anda berdua.
Beberapa pasien pernah mengalami aborsi spontan, kemudian
setelah kehamilan berikutnya mereka sangat, sangat khawatir.
2. Level 4 : Konfirmasi
“Anda sepertinya sangat sibuk, saya mengerti seberapa besar usaha
Anda untuk menyempatkan berolahraga.”
3. Level 3 : Penghargaan
“Anda bilang Anda sangat stress datang ke sini? Apa Anda mau
menceritakan lebih jauh apa yang membuat Anda stress?”
4. Level 2 : Pengenalan dokter terhadap sudut pandang pasien (terhadap
penyakitnya)
secara implicit.
Pasien : “Pusing saya ini membuat saya sulit bekerja.”
Dokter : “Ya…? Bagaimana bisnis Anda akhir – akhir ini?”
5. Level 1 : Pengenalan secara sambil pergi
“A-ha”, tapi dokter mengerjakan hal lain, menulis, membalikkan
badan, menyiapkan alat, dan lain – lain.
6. Level 0 : Penolakan terhadap apa yang menjadi sudut pandang pasien.
a. Mengacuhkan pendapat pasien;
b. Membuat pernyataan yang tidak menyetujui pendapat pasien,
seperti “Kalau stress ya, mengapa datang ke sini?!” atau “Ya,
lebih baik operasi saja sekarang.”
Ketrampilan empati bukan hanya sekedar basa – basi atau bermanis mulut kepada pasien,
melainkan:
1. Mendengarkan aktif;
2. Responsif pada kebutuhan pasien;
3. Responsif pada kepentingan pasien;
4. Usaha memberikan pertolongan kepada pasien.
Sikap profesional dokter ditunjukkan ketika dokter berhadapan dengan tugasnya, yang
berarti mampu menyelesaikan tugas – tugasnya sesuai dengan peran dan fungsinya,
mampu mengatur diri sendiri seperti ketepatan waktu, pembagian tugas profesi dengan
tugas – tugas pribadi yang lain dan mampu menghadapi berbagai macam tipe pasien serta
mampu bekerja sama dengan profesi kesehatan yang lain. Di dalam proses komunikasi
dokter – pasien, sikap professional ini penting untuk menjalin sambung rasa, sehingga
pasien merasa nyaman, aman, dan dapat percaya kepada dokter yang merupakan landasan
bagi berlangsungnya komunikasi secara efektif (Silverman, 1998). Contoh sikap dokter
ketika menerima pasien:
1. Membukakan pintu atau berdiri ketika pasien datang;
2. Menyilakan masuk, pasien masuk terlebih dahulu baru dokter;
3. Memanggil/menyapa pasien dengan namanya;
4. Menyilakan duduk, menciptakan suasana yang nyaman (isyarat bahwa punya cukup
waktu, menganggap penting informasi yang akan diberikan, menghindari tampak
lelah);
5. Mengucapkan salam (“Selamat pagi/ siang/ sore/ malam”);
6. Memperkenalkan diri, menjelaskan tugas/ perannya (apakah dokter umum, spesialis,
dokter keluarga, dokter paliatif, konsultan gizi, konsultan tumbuh kembang, dan lain
– lain);
7. Menilai suasana hati lawan bicara;
8. Memperhatikan sikap non – verbal (raut wajah/ mimik, gerak/ bahasa tubuh dari
pasien);
9. Menatap mata pasien secara professional yang lebih terkait dengan makna
menunjukkan perhatian dan kesungguhan mendengarkan;
10. Memperhatikan keluhan yang disampaikan tanpa melakukan interupsi yang tidak
perlu;
11. Apabila pasien marah, menangis, takut dan sebagainya maka dokter tetap
menunjukkan raut wajah dan sikap yang tenang;
12. Melibatkan pasien dalam rencana medis selanjutnya atau pengambilan keputusan;
13. Memeriksa ulang segala sesuatu yang belum jelas bagi kedua belah pihak;
14. Melakukan negosiasi atas segala sesuatu berdasarkan kepentingan kedua belah pihak;
15. Membukakan pintu, atau berdiri ketika pasien hendak pulang.
Di dalam komunikasi dokter – pasien, ada dua tahap yang penting:
1. Tahap pengumpulan informasi. Dimulai dengan tahap penggalian informasi yang
terdiri dari:
a. Mampu mengenali alasan kedatangan pasien.
Penggalian informasi akan berhasil apabila dokter mampu menjadi pendengar
yang aktif sehingga pasien dapat mengungkapkan kepentingan, harapan,
kecemasannya secara terbuka dan jujur. Hal ini akan membantu dokter dalam
menggali riwayat kesehatannya yang merupakan data – data penting untuk
menegakkan diagnosis.
b. Penggalian riwayat penyakit Penggalian riwayat penyakit (anamnesis) dapat
dilakuakn melalui pertanyaan – pertanyaan terbuka dahulu, yang kemudian
diikuti dnegan pertanyaan tertutup yang membutuhkan jawaban “ya” atau
“tidak”. Inilah yang dimaksud dalam kotak kedua, dalam Van Dalen
(2005), dokter merupakan seorang ahli yang akan menggali riwayat
kesehatan pasien sesuai kepentingan medis.
c. Pertanyaan – pertanyaan terbuka yang dapat ditanyakan:
1) Bagaimana pusing tersebut Anda rasakan, dapat diceritakan lebih jauh?
2) Menurut Anda, pusing tersebut reda bila Anda melakukan sesuatu,
meminum obat tertentu atau bagaimana menurut Anda?
d. Sedangkan pertanyaan tertutup yang merupakan inti dari anamnesis meliputi:
1) Eksplorasi terhadap riwayat penyakit dahulu;
2) Eksplorasi terhadap riwayat penyakit keluarga;
3) Eksplorasi terhadap riwayat penyakit sekarang, contoh menggunakan
pedoman Macleod’s clinical examination seperti disebutkan dalam Kurtz
(1998) Macleod’s clinical examination:
a) Dimana dirasakan?;
b) Sampai di bagian tubuh mana hal tersebut dirasakan?;
c) Bagaimana karakteristik dari nyerinya, berdenyut – denyut? Hilang
timbul? Nyeri terus menerus?;
d) Nyeri? Amat nyeri? Sampai tidak daoat melakukan kegiatan mengajar?;
e) Berapa lama nyeri berlangsung? Sebentar? Berjam-jam? Berhari –
hari?;
f) Setiap waktu tertentu nyeri tersebut dirasakan? Berulang – ulang? Tidak
tentu?;
g) Apa yang membuatnya reda? Apa yang membuatnya kumat? Saat
istirahat? Ketika kerja? Sewaktu minum obat tertentu?;
h) Adakah keluhan lain yang menyertainya?.

2. Tahap Penyampaian Informasi


Setelah tahap pengumpulan informasi dilakukan dengan akurat, maka dokter masuk
ke tahap penyampaian informasi. Tanpa informasi yang akurat di tahap pengumpulan
informasi, dokter dapat terjebak kedalam kecurigaan yang tidak beralasan.
Secara ringkas ada 6 (enam) hal penting yang harus diperhatikan agar efektif dalam
berkomunikasi dengan pasien, yaitu:
a. Materi informasi apa yang disampaikan:
1) Tujuan anamnesis dan pemeriksaan fisik (kemungkinan rasa tidak nyaman/
sakit saat pemeriksaan);
2) Kondisi saat ini dan berbagai kemungkinan diagnosis;
3) Berbagai tindakan medis yang akan dilakukan untuk menentukan diagnosis
(manfaat, resiko, efek samping/ komplikasi);
4) Hasil dan interpretasi dari tindakan medis yang telah dilakukan untuk
menegakkan diagnosis;
5) Diagnosis, jenis atau tipe;
6) Pilihan tindakan medis untuk tujuan terapi (kekurangan dan kelebihan
masing – masing cara);
7) Prognosis;
8) Dukungan (support) yang tersedia.
b. Siapa yang diberi informasi:
1) Pasien, kalau pasiennya menghendaki dan kondisinya memungkinkan;
2) Keluarga atau orang lain yang ditunjuk oleh pasien;
3) Keluarganya atau pihak lain yang menjadi wali/ pengampu dan bertanggung
jawab atas pasien kalau kondisi pasien tidak memungkinkan untuk
berkomunikasi sendiri secara langsung.
c. Berapa banyak atau sejauh mana:
1) Untuk pasien: sebanyak yang pasien kehendaki, yang dokter merasa perlu
dengan memperhatikan kesiapan mental pasien.
2) Untuk keluarga: sebanyak yang pasien/ keluarga kehendaki dan sebanyak
yang dokter perlukan agar dapat menentukan tindakan selanjutnya.
d. Kapan menyampaikan informasi:
1) Segera, jika kondisi dan situasinya memungkinkan.
e. Dimana menyampaikannya:
1) Di ruang praktik dokter;
2) Di bangsal, ruangan tempat pasien dirawat;
3) Di ruang diskusi;
4) Di tempat lain yang pantas, atas persetujuan bersama, pasien/ keluarga dan
dokter.
f. Bagaimana menyampaikannya:
1) Informasi penting sebaiknya dikomunikasikan secara langsung, tidak
melalui telepon, juga tidak diberikan dalam bentuk tulisan yang dikirim
melalui pos, faksimile, sms, internet.
2) Persiapan, meliputi:
a) Materi yang akan disampaikan (bila diagnosis, tindakan medis,
prognosis sudah disepakati oleh tim);
b) Ruangan yang nyaman, memperhatikan privasi, tidak terganggu orang
lalu lalang, suara gaduh dari televisi/ radio, telepon;
c) Waktu yang cukup;
d) Mengetahui orang yang akan hadir (sebaiknya pasien ditemui oleh
keluarga/ orang yang ditunjuk, bila hanya keluarga yang hadir
sebaiknya lebih dari satu orang);
2) Jejaki sejauh mana pengertian pasien/ keluarga tentang hal yang akan
dibicarakan;
3) Tanyakan kepada pasien/ keluarga, sejauh mana informasi yang diinginkan
dan amati kesiapan pasien/ keluarga menerima informasi yang akan
diberikan.
3. Agar tujuan komunikasi tercapai, seorang dokter harus menjadi pendengar yang
aktif. Hal – hal yang harus diperhatikan adalah:
a. Perhatikan sikap non verbal pasien:
1) Bila terlihat amat lemas, tentunya dokter member kesempatan untuk
berbaring, duduk ataupun yang dapat membantunya selama proses
konsultasi;
2) Bila terlihat amat memperhatikan penjelasan dokter, maka dokter dapat
meneruskan penjelasannya, dengan melakukan periksa silang (cross check),
apakah pasien merasa sudah jelas atau belum;
3) Bila pasien terlihat tergesa – gesa, dokter dapat menawarkan segala sesuatu
yang membuat proses konsultasi berlangsung cepat dengan cara
bernegosiasi dengan pasien. Bila perlu pasien dapat datang lagi di
kesempatan berikutnya;
4) Bila pasien terlihat ingin bertanya tetapi ragu – ragu, maka dokter
hendaknya memberi kesempatan pasien untuk berbicara.

b. Mulai dengan pertanyaan terbuka:


Contoh: “Bagaimana keadaan Bapak hari ini?”;
“Apa yang Ibu ingin sampaikan atau ingin didiskusikan hari ini?”.
c. Dengarkan keluhan pertama kali yang disampaikan pasien yang belum tentu
keluhan medis:
Contoh: “Sekarang susah ya, mencari pekerjaan…”;
“Harga sembako semakin mahal saja ya..”.
d. Fasilitasi keluhan pasien dengan:
1) Mendengarkan aktif jawaban pasien, tanpa interupsi;
2) Menanggapi dengan ucapan, “Baik…” atau “Oke…” atau “Aha…”, atau
mengganggukkan kepala;
3) Merespon atau memberikan umpan balik maupun klarifikasi dengan
pertanyaan atau jawaban pada waktu yang tepat.
e. Tanyakan bila ada keraguan;
f. Konfirmasi maupun negosiasi agenda hari ini dengan mengikutsertakan
pendapat atau putusan pasien, “Jadi Bapak mengeluhkan tentang pusing dan
kelelahan, apakah ada lagi yang ingin disampaikan?”… Kalau tidak, bisakah kita
mulai sesi hari ini dengan…. kemudian dilanjutkan dengan…?”.

C. Komunikasi Efektif Perawat Dan Pasien, sebagai berikut:


Pelayanan rumah sakit tidak dapat dipisahkan dari peran komunikasi. Petugas dan tenaga
medis tidak dapat melaksanakan tahapan – tahapan dalam proses pelayanan kesehatan
dengan baik tanpa kemampuan berkomunikasi yang baik dengan pasien, teman, atasan
dan pihak – pihak lain.
Jenis komunikasi yang paling lazim digunakan dalam pelayanan keperawatan di rumah
sakit dalam hubungan perawat dan pasien adalah pertukaran informasi secara verbal
terutama pembicaraan dengan tatap muka. Kemampuan perawat melakukan komunikasi
verbal akan menentukan kualitas asuhan yang diberikan. Dalam setiap tahapan
pelaksanaan proses keperawatam, perawat selalu menggunakan komunikasi verbal. Oleh
karena itu perawat harus memahami hal – hal yang harus diperhatikan dalam komunikasi
verbal.
Tahapan komunikasi dalam keperawatan meliputi tahap pengkajian, perumusan diagnosa,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, sebagai berikut:
1. Tahap Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal proses pelayanan di rumah sakit yang dilakukan
oleh petugas registrasi/ admisi dan perawat untuk mengumpulkan data pasien. Data
tersebut diperlukan sebagai dasar pelaksanaan proses keperawatan pada
tahap selanjutnya. Data pasien diperoleh dari:
a. Wawancara, terdiri dari:
1) Wawancara admisi
Wawancara ini dilakukan pada saat pertama kali pasien masuk rumah sakit
dengan tujuan untuk mendapatkan data umum atau identitas pasien.
2) Wawancara riwayat hidup
Wawancara ini dilakukan oleh perawat untuk mendapatkan informasi
mengenai keluhan pasien, riwayat kesehatan, perjalanan penyakit dengan
tujuan untuk mengetahui alasan pasien datang ke rumah sakit dan menjadi
acuan rencana tindakan keperawatan.
3) Wawancara terapeutik
Wawancara ini ditekankan pada fakta, ide dan isi dalam rangka
pengembangan hubungan sehat yang bertujuan untuk membantu pasien
mengidentifikasi masalahnya. Wawancara ini memberikan peluang kepada
pasien untuk mengungkapkan perasaan, mengenal dan mengetahu masa
lalunya. Wawancara terapeutik banyak digunakan oleh professional
kesehatan seperti perawat, dokter, psikolog dan psikiater, biasanya
diterapkan pada pasien yang mengalami gangguan psikologis.
b. Pemeriksaan fisik;
c. Pemeriksaan diagnostik (laboratorium, radiologi, dsb);
d. Informasi/ catatan dari tenaga medis lain dan dari keluarga pasien;
e. Kemampuan berkomunikasi sangat berpengaruh pada kelengkapan data pasien.
Oleh karena itu, peningkatan komunikasi seorang perawat perlu mendapatkan
perhatian. Dalam berkomunikasi perawat perlu memperhatikan budaya yang
berpengaruh pada waktu dan tempat terjadinya komunikasi, penggunaan bahasa,
usia dan perkembangan pasien;
f. Ada beberapa hal yang menjadi kendala bagi pasien dalam menyampaikan,
menerima dan memahami informasi yang diterimanya. Beberapa hal yang
menjadi kendala, antara lain :
1) Kemampuan bahasa
Perawat perlu memperhatikan bahasa yang mampu dipahami oleh pasien
dalam berkomunikasi karena penguasaan bahasa sangat berpengaruh
terhadap persepsi dan penafsiran pasien dalam menerima informasi yang
sesuai.
2) Ketajaman pancaindra
Ketajaman pancaindra dalam mendengar, melihat, merasa dan mencium bau
merupakan faktor penting dalam komunikasi. Pasien akan dapat menerima
pesan komunikasi dengan baik apabila pancaindranya berfungsi baik. Bagi
pasien yang mengalami gangguan pendengaran, ada tahapan yang perlu
diperhatikan dalam melakukan pengkajian, yaitu informasi medik yang
mengindikasikan adanya kelemahan pendengaran, memperhatikan perlu/
tidaknya pasien menggunakan alat bantu dengar yang masih berfungsi,
memperhatikan kemampuan pasien membaca ekspresi wajah dan gerak
bibir perawat, dan apakah pasien mampu menggunakan gerak isyarat
sebagai bentuk komunikasi non verbal.
3) Kelemahan fungsi kognitif
Kerusakan yang melemahkan fungsi kognitif, misalnya tumor otak yang
dapat mempengaruhi kemampuan pasien untuk mengungkapkan dan
memahami bahasa. Dalam mengkaji pasien ini, perawat harus dapat menilai
respon baik secara verbal maupun non verbal yang disampaikan oleh pasien
dalam menjawab pertanyaan.
4) Gangguan struktural
Gangguan struktural tubuh terutama yang berhubungan langsung dengan
organ suara seperti mulut dan hidung dapat berpengaruh pada proses
komunikasi.
2. Tahap Perumusan Diagnosa
Diagnosa dirumuskan berdasarkan data yang diperoleh dari tahap pengkajian.
Perumusan diagnosa keperawatan merupakan hasil penilaian perawat dengan
melibatkan pasien dan keluarganya, tenaga kesehatan lain yang berkenaan dengan
masalah yang dialami pasien. Diagnosa keperawatan yang tepat memerlukan sikap
komunikatif perawat dan sikap kooperatif pasien.

3. Tahap Perencanaan
Pengembangan rencana tindakan keperawatan kepada pasien diperlukan interaksi dan
komunikasi dengan pasien. Hal ini untuk menentukan alternatif rencana
keperawatan yang akan diterapkan. Misalnya, sebelum memberikan makanan
kepada pasien, perawat harus terlebih dahulu mengetahui makanan yang sesuai bagi
pasien. Rencana tindakan yang dibuat oleh perawat merupakan media komunikasi
antar tenaga kesehatan yang berkesinambungan sehingga pelayanan dapat
dilaksanakan secara teratur dan efektif.
4. Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan merupakan realisasi dari perencanaan yang telah ditetapkan
terlebih dahulu. Aktifitas ini memerlukan ketrampilan dalam berkomunikasi dengan
pasien. Terdapat dua kategori umum aktivitas perawat dalam berkomunikasi, yaitu
saat mendekati pasien untuk memenuhi kebutuhan dan saat pasien mengalami
masalah psikologis.
5. Pada saat menghadapi pasien, perawat perlu:
a. Menunjukkan raut wajah yang mencerminkan ketulusan agar tercipta suasana
saling percaya saat berkomunikasi;
b. Kontak pandang yang menunjukkan perhatian dan kesungguhan perawat;
c. Fokus pada pasien;
d. Bersikap terbuka untuk menumbuhkan keberanian pasien dalam mengikuti
tindakan keperawatan yang dilakukan;
e. Mendengarkan secara seksama dan penuh perhatian tentang keluhan
pasien untuk mendapatkan informasi dari pasien. Perawat lebih banyak
mendengarkan daripada berbicara. Hal ini akan menumbuhkan kepercayaan
pasien kepada perawat;
f. Mendengarkan keluhan pasien dan memahami perasaan;
g. Perawat mampu menjelaskan keadaan pasien;
h. Perawat mampu menjadi pembimbing dan konseling terhadap pasien;
i. Bersikap tenang selama berada di depan pasien.
6. Dalam berkomunikasi di rumah sakit, petugas dan tenaga medis harus melakukan
proses verifikasi terhadap akurasi dari komunikasi lisan dengan Tulis, Baca Ulang,
dan Konfirmasi ulang (TUBALKON), yaitu:
a. Pemberi pesan memberikan pesan secara lisan.
Komunikasi dapat dilakukan secara langsung atau melalui sarana komunikasi
seperti telepon. Pemberi pesan harus memperhatikan kosa kata yang digunakan,
intonasi, kekuatan suara (tidak besar dan tidak kecil), jelas, singkat dan padat;
b. Penerima pesan mencatat isi pesan tersebut (TULIS).
Untuk menghindari adanya pesan yang terlewat maka penerima pesan harus
mencatat pesan yang diberikan secara jelas;
c. Isi pesan dibacakan kembali secara lengkap oleh penerima pesan (BACA
ULANG).
Setelah pesan dicatat, penerima pesan harus membacakan kembali pesan
tersebut kepada pemberi pesan agar tidak terjadi kesalahan dan pesan dapan
diterima dengan baik;
d. Penerima pesan mengkonfirmasi kembali isi pesan kepada pemberi pesan
(KONFIRMASI) yaitu pemberi pesan harus mendengarkan pesan yang
dibacakan oleh penerima pesan dan memberikan perbaikan bila pesan tersebut
masih ada yang kurang atau salah.
e. Sistem TUBALKON dapat diillustrasikan dengan skema sebagai berikut:

Yah.. Jadi isi pesannya ini


yah pak…
benar.

Dikonfirmasikan

Komunikator Isi pesan Ditulis Dibacakan Komunikan

BAB IV
KOMUNIKASI ASUHAN DAN EDUKASI

A. Komunikasi Asuhan Dan Edukasi, sebagai berikut:


Komunikasi di rumah sakit memiliki dua tujuan, yaitu komunikasi yang bertujuan untuk
memberikan informasi asuhan dan komunikasi yang bertujuan untuk memberikan edukasi
kepada pasien dan keluarga pasien.
1. Komunikasi Informasi Asuhan
Komunikasi yang bertujuan untuk memberikan informasi asuhan ini biasa dilakukan
oleh petugas customer service, registrasi dan admission yang meliputi:
a. Jam pelayanan;
b. Pelayanan yang tersedia;
c. Cara mendapatkan pelayanan;
d. Sumber alternatif mengenai asuhan dan pelayanan yang diberikan ketika
kebutuhan pasien melebihi kemampuan rumah sakit;
e. Contoh sikap petugas customer service, registrasi dan admission ketika
menerima pasien:
1) Berdiri ketika pasien datang;
2) Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri (“Selamat pagi/ siang/ sore/
malam, saya (nama)”);
3) Mempersilahkan pasien duduk;
4) Menanyakan nama pasien (“Maaf dengan Bpk/ Ibu?”);
5) Tawarkan bantuan kepada pasien (“Ada yang bisa dibantu Bpk/ Ibu
(nama)?” );
6) Menciptakan suasana yang nyaman (isyarat bahwa punya cukup waktu,
menganggap penting informasi yang akan diberikan, menghindari tampak
lelah);
7) Menilai suasana hati lawan bicara;
8) Memperhatikan sikap non – verbal (raut wajah/ mimik, gerak/ bahasa tubuh
dari pasien);
9) Menatap mata pasien secara professional yang lebih terkait dengan makna
menunjukkan perhatian dan kesungguhan mendengarkan;
10) Memberikan informasi yang diperlukan oleh pasien;
11) Memberikan informasi jadwal praktek/ paket dan langsung tanyakan apakah
mau dibantu untuk dibuatkan perjanjian;
12) Memperhatikan keluhan yang disampaikan tanpa melakukan interupsi yang
tidak perlu;
13) Memberikan solusi yang tepat dan cepat bila ada keluhan yang
disampaikan;
14) Apabila pasien marah, menangis, takut dan sebagainya maka dokter tetap
menunjukkan raut wajah dan sikap yang tenang;

15) Menawarkan kembali bantuan kepada pasien (“ Ada lagi yang bisa kami
bantu Bpk/ Ibu?”);
16) Mengucapkan salam penutup (“Terima kasih atas waktunya Bpk/ Ibu.
Apabila ada lagi yang bisa saya bantu, kami siap melayani dengan penuh
cinta kasih.”;
17) Berdiri ketika pasien hendak pulang.

2. Komunikasi Edukasi Pasien dan Keluarga Pasien


Petugas rumah sakit berkewajiban untuk melakukan edukasi kepada pasien dan
keluarga pasien sehingga pasien dan keluarga pasien bisa memahami pentingnya
mengikuti proses pengobatan yang telah ditetapkan. Terdapat 3 (tiga) tahap dalam
pemberian edukasi:
a. Tahap asesmen pasien
1) Sebelum melakukan edukasi, pertama – tama petugas menilai kebutuhan
edukasi pasien dan keluarga pasien berdasarkan formulir asesmen
kebutuhan edukasi;
2) Hal – hal yang harus diperhatikan:
a) Keyakinan dan nilai – nilai pasien dan keluarga;
b) Kemampuan membaca, tingkat pendidikan dan bahasa yang digunakan;
c) Hambatan emosional dan motivasi;
d) Keterbatasan fisik dan kognitif;
e) Ketersediaan pasien untuk menerima informasi.
b. Tahap penyampaian informasi dan edukasi yang efektif
Cara penyampaian informasi dan edukasi yang efektif tergantung pada hasil
asesmen pasien, yaitu:
1) Jika pasien dalam kondisi baik semua dan emosionalnya senang maka
proses komunikasi edukasinya bisa langsung dijelaskan kepada pasien
sesuai dengan kebutuhan edukasinya;
2) Jika pasien memiliki hambatan fisik (tuna rungu dan tuna wicara) maka
proses komunikasi edukasinya dapat disampaikan dengan menggunakan
media cetak seperti brosur yang diberikan kepada pasien dan keluarga
sekandung (istri, anak, ayah, ibu atau saudara sekandung) dan
menjelaskannya kepada mereka;
3) Jika pasien memiliki hambatan emosional (pasien marah atau deperesi),
maka proses komunikasi edukasinya juga dapat di sampaikan dengan
menggunakan media cetak seperti brosur dan menyarankan pasien untuk
membacanya. Apabila pasien tidak mengerti materi edukasi, pasien bisa
menghubungi medical information.
c. Tahap verifikasi
Pada tahap ini, petugas memastikan kepada pasien dan keluarga mengenai
kejelasan dan pemahaman materi edukasi yang diberikan, sebagai berikut:
1) Apabila pada saat pemberian edukasi, pasien dalam kondisi baik dan senang
maka verifikasi dapat dilakukan dengan cara menanyakan kembali edukasi
yang telah diberikan;
2) Untuk pasien yang mengalami hambatan fisik maka verifikasi dpat
dilakukan dengan cara menanyakan kepada keluarganya engan pertanyaan
yang sama, yaitu “Apakah Bapak/ Ibu bisa memahami materi edukasi yang
kami berikan?”;
3) Untuk pasien yang mengalami hambatan emosional (marah atau depresi)
maka verifikasi dapat dilakukan dengan cara menanyakan kepada pasien
mengenai sejauh mana pasien telah mengerti tentang materi edukasi yang
diberikan melalui brosur. Proses pertanyaan ini bisa melalui telepon atau
datang langsung ke kamar pasien setelah pasien tenang.
3. Dengan diberikannya informasi dan edukasi pasien, diharapkan komunikasi yang
disampaikan dapat dimengerti dan diterapkan oleh pasien. Apabila pasien mengikuti
semua arahan dari rumah sakit, diharapkan mempercepat proses penyembuhan
pasien.

Anda mungkin juga menyukai