Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

TAVB (Total Atrial Ventricular Block)

A. DEFINISI
Gangguan konduksi jantung adalah ganguan yang terjadi pada jaringan
konduksi (jalur listrik) jantung sehingga listrik jantung tidak berjalan lancar atau
terhenti ditengah jalan. (Budi Yuli, 2009).
AV Blok merupakan salah satu kondisi gangguan konduksi jantung yang
terjadi bila jalur SA Node ke AV Node (yang membentuk interval PR pada EKG)
terhambat, maka Interval PR menjadi lebih panjang. Ibarat jalan tol macet,
maka jarak tempuh ke tempat tujuan menjadi lebih lama. AV Blok dibagi menjadi 3
derajat sesuai tengan tingkat keparahan (Lippincot, W illiam, 2011).
Total AV blok merupakan keadaan darurat jantung yang membutuhkan
penanganan segera. Blok biasanya berkembang dari blok derajat I dan II, tetapi
total AV blok dapat juga terjadi tanpa blok parsial sebelumnya atau interval PR
yang bisa normal segera setelah terjadi periode blok total. Letak blok total sering
diperkirakan dengan lebar kompleks QRS dan kecepatan ventrikel. Jika terjadi
distal dari His Bundle kompleks QRS biasanya melebar dan kecepatan ventrikel
biasanya > 50x/ menit (Hidayat, 2010 ).
Hambatan Atrioventrikuler (Atrioventricular block) adalah kelainan pada
sistem koduksi jantung dimana depolarisasi atrium gagal untuk mencapai ventrikel
atau depoilarisasi atrial yang terkonduksikan dengan terlambat. Hambatan
Atrioventrikuler (Blok AV) kerap menjadi penyebab bradikardia meskipun lebih
jarang dibandingkan dengan kelainan fungsi nodus SA yang juga menyebabkan
gejala bradikardia

B. KLASIFIKASI
AV Blok terbagi menjadi :
a. Blok AV derajat satu
Blok AV derajat satu merupakan derajat yang paling ringan. Pada jenis ini,
impuls yang dibentuk disimpul SA mengalami perlambatan disimpul AV. Karena
itu, istilah blok AV pada kondisi ini sebenarnya kurang tepat, karena yang terjadi
adalah perlambatan (delay), bukan blok. Pada derajat satu, blok biasanya terjadi
di simpul AV. Pada umumnya durasi kompleks QRS yang mengikuti masih sempit
kecuali bila terjadi aberansi. Interval PR tampak konstan tanpa episode dropped
beat. Karena itu interval RR juga tampak teratur.
Pemanjangan interval ini antara lain disebabkan konsumsi obat-obatan
(seperti penyekat reseptor beta, antagonis kalsium, amiodaron dan digoksin),
penyakit jantung koroner. Meskipun jarang, pemanjangan interval PR (0,21-0,22
det) kadang masih akan ditemukan pada individu tanpa kelainan struktural apa-
apa di jantung. Pasien sering kali tidak menunjukkan gejala (asimtomatik). Blok
AV derajat satu biasanya tdak memerlukan tindakan apa-apa.
Kriteria diagnostiknya adalah :
1) Setiap gelombang P di ikuti oleh QRS ( tidak ada episode dropped beat).
2) Interval PR > 0,2 detik. Pemanjangan interval ini konstan dari beat ke beat.

b. Blok AV derajat dua


Tahun 1899, karel frederik Wenckebach, menjelaskan sebuah fenomena
timbulnya sebuah ketidakteraturan denyut nadi karena blok parsial di atrium
ventrikular junction. Akibat blok parsial ini , terjadi pemanjangan progresif
waktu konduksi di jantung. Fenomena ini kemudian disebut sebagai fenomena
Wenckebach. Pada bulan juli 1923 woldemar mobitz untuk pertama kali
membagi blok AV derajat dua menjadi dua tipe yaitu :
1) Tipe I ( mobitz tipe I atau Wenckebach phenomenon)

Pada mobitz tipe I impuls yang datang dari atrium lebih sulit melawati
simpul AV. Pada EKG tampak pada interval PR memanjang progresif hingga
suatu saat gelombang P tidak diteruskan menjadi kompleks QRS karena
simpul AV masih refrakter (Wenckebach phenomenon). Dengan demikian,
depolarisasi dari atrium tidak lagi diteruskan ke ventrikel atau dropped beat.
Setelah dropped beat ini terjadi, masa refrakter simpul AV telah selesai.
Dengan kata lain simpul AV telah siap untuk menerima dan meneruskan
impuls yang baru dari atrium. Karena itu saat ada impuls yang baru datang,
simpul AV kembali dapat meneruskannya ke distal dengan interval PR lebih
pendek dibanding sebelum terjadinya dropped beat. Siklus baru akan di mulai
kembali interval PR perlahan-lahan kembali memanjang hingga suatu saat
kembali terjadi dropped beat demikian seterusnya. Interval PR perlahan-lahan
akan tampak memendek hingga terjadinya blok. Karena adanya fenomena ini
kompleks QRS akan tampak seperti mengelompok seperti adanya blok. Bila
menemukan fenomena seperti ini kita dapat mencurigai terjadinya blok
wenckebach sebelum menyelidiki hubungan antara gelombang P dan
kompleks QRS.
Tidak semua blok derajat ini memperlihatkan pemanjangan interval PR
yang jelas. Pada sebagian kasus pemanjangan interval ini terjadi perlahan
hingga terjadinya dropped beat. Meskipun demikian , kita akan selalu melihat
bahwa interval PR setelah dropped beat akan selalu lebih pendek dibanding
sebelum episode blok.
Pada blok AV derajat dua tipe I lokasi blok biasanya masih berada
disimpul AV atau bagian atas regio junctional atau supra his. Biasanya
kompleks QRS juga akan normal (sempit). Hemodinamik masih akan normal.
Pasien-pasien seperti ini akan tetap asimtomatik bertahun-tahun tanpa
mengalami perburukan derajat.
Pada kasus blok wenckebach terdapat kriteria sebagai berikut :
a) Interval PR memanjang progresif hingga suatu saat mengalami blok.
b) Interval RR memendek hingga gelombang P mengalami blok.
c) Interval RR diantara gelombang P yang mengalami blok lebih pendek dari
jumlah dua interval PP.
Mobitz tipe satu dapat timbul karena konsumsi obat-obat tertentu
seperti digoksin atau penyakat reseptor beta. Blok ini cukup sering terjadi pada
infark miokard inferior akibat gangguan suplai darah ke simpul AV. Selain itu,
juga dapat terjadi pada miokarditis, proses sklerodegeneratif yang melibatkan
nodus AV dan tonus vagal yang tinggi (seperti saat tidur, muntah, atlet terlatih).
2) Tipe II ( mobitz tipe II)

Tipe ini mengindikasikan terjadinya kerusakan struktural permanen


berkas cabang akibat infark miokardium anterior luas atau proses
degeneratif luas sistem konduksi. Lokasi blok biasanya terdapat dibawah
bekas his atau infra his. Lokasi blok di simpul AV sangatlah jarang karena
itu sebagian besar akan disertai oleh blok berkas cabang.
Pada mobitz tipe II tidak di dapatkan pemanjangan progresif interval
PR yang membedakannya dari mobitz tipe I. Interval PR akan konstan,
bisa memanjang atau normal. Yang khas adalah terdapat blok intermiten
gelombang P dengan rasio yang bervariasi (3:2,4:3,dll). Durasi QRS
sering kali lebar yang menandakan lokasi blok di distal berkas his.
Kriteria diagnosa mobitz tipe II yaitu :
a) Blok intermiten gelombang P
b) Pada gelombang P yang diteruskan menjadi kompleks QRS
(conducted), interval PR akan konstan (bisa normal atau memanjang).
c) Pada umumnya morfologi QRS merupakan blok berkas cabang.

c. Blok AV 2:1
Blok AV 2:1 merupakan kondisi yang khusus. Pada blok AV rasio 2:1 (2
gelombang P dengan 1 QRS), sangat sulit ditentukan apakah termasuk blok
mobitz tipe I atau tipe II. Pada tipe I harus ada pemanjangan proresif interval PR
sedangkan pada tipe II harus ada bukti bahwa interval PR konstan.

d. Blok AV derajat tiga (Blok AV total)

Pada blok AV total seluruh impuls dari supraventrikel gagal diteruskan ke


ventrikel akibat adanya blok di AV junction. Akibatnya aktifitas ventrikel tidak lagi
distimulasi oleh pacu jantung(pace maker) normal yaitu simpul SA, melainkan dari
sumber atau fokus yang berada distal terhadap lokasi blok, bisa di AV jantung atau
lebih distal seperti berkas cabang. Fokus ini disebut subsidiary pacemaker.
Karena itu baik aktifitas atrium dan ventrikel akan tampak berjalan sendiri-sendiri.
Tidak ada hubungan konstan atau koordinasi antara gelombang P dan kompleks
QRS ( independent satu sama lain). Interval PP dan RR tampak teratur, kecuali
ekstra sistol. Pada pasien dengan irama dasar fibrilasi atrium atau kepak atrium
(atrial flutter), terjadinya blok AV Total dapat dikenali jika respon ventrikel menjadi
teratur.
Dalam interpretasi perlun disebutkan irama yang mengambil alih. Dengan
demikian , kriteria blok AV total adalah :
a) Tidak terdapat hubungan antara aktifitas atrium (gelombang P) dan ventrikel
(komplek QRS).
b) Laju gelombang P biasanya lebih cepat dari laju QRS.
c) Irama ventrikel dipertahankan oleh irama junctional atau idioventrikular.

C. ETIOLOGI
Blok AV dapat disebabkan oleh iskemia miokard akut atau infark. Infark
miokard inferior dapat menyebabkan blok derajat 3, biasanya di tingkat AVN, hal
ini dapat terjadi melalui mekanisme lain melalui Bezold - Jarisch refleks . Infark
miokard anterior biasanya dikaitkan dengan blok AV derajat 3 akibat iskemia atau
infark cabang bundel hiss.
Perubahan degeneratif di AVN atau cabang bundel hiss (misalnya, fibrosis,
kalsifikasi, atau infiltrasi) adalah penyebab paling umum dari nonischemic AV blok.
Sindrom Lenegre - Lev adalah mengakuisisi blok jantung lengkap karena fibrosis
idiopatik dan kalsifikasi dari sistem konduksi listrik jantung. Hal ini paling sering
terlihat pada orang tua dan sering digambarkan sebagai degenerasi dari sistem
konduksi dan dapat menyebabkan blok AV derajat 3.
Perubahan degeneratif pada sistem konduksi AV dikaitkan dengan mutasi gen
SCN5A natrium channel (mutasi dari gen yang sama dapat menyebabkan QT
panjang secara kongenital). Penyakit miokard infiltratif mengakibatkan blok AV
termasuk sarkoidosis, myxedema, hemochromatosis, dan kalsifikasi progresif
katup mitral, katup aorta, dan kalsifikasi annulus . Endokarditis dan infeksi lain dari
miokardium , seperti penyakit Lyme dengan infiltrasi aktif dari sistem konduksi AV,
dapat mengakibatkan berbagai tingkat blok AV. Penyakit sistemik, seperti
ankylosing spondylitis dan sindrom Reiter , dapat mempengaruhi jaringan konduksi
nodus AV.
Prosedur bedah (misalnya, penggantian katup aorta dan perbaikan cacat
bawaan) dapat menyebabkan blok AV, seperti prosedur terapi lain (misalnya,
nodus AV ablasi dan alkohol ablasi septum pada pasien dengan obstruktif
kardiomiopati hipertrofik ).
Berbagai obat dapat mempengaruhi konduksi AV . yang paling umum ini
termasuk glikosida digitalis, beta - blocker, calcium channel blockers, adenosin,
dan agen antiarrhythmic lainnya .
D. FAKTOR RESIKO
a. Umur
Umur berpengaruh terhadap kejadian gagal jantung walaupun gagal jantung
dapat dialami orang dari berbagai golongan umur tetapi semakin tua seseorang
maka akan semakin besar kemungkinan menderita gagal jantung karena
kekuatan pembuluh darah tidak seelastis saat muda dan juga timbulnya
penyakit jantung yang lain pada usia lanjut yang merupakan faktor resiko gagal
jantung. Menurut penelitian Siagian di Rumah Sakit Haji Adam Malik (2009)
proporsi penderita gagal jantung semakin meningkat sesuai dengan
bertambahnya usia yaitu 9,6% pada usia≤ 15 tahun, 14,8% pada usia 16-40
tahun dan 75,6% pada usia >40 tahun.

b. Jenis kelamin
Pada umumnya laki-laki lebih beresiko terkena gagal jantung daripada
perempuan. Hal ini disebabkan karena perempuan mempunyai hormon
estrogen yang berpengaruh terhadap bagaimana tubuh menghadapi lemak dan
kolesterol. Menurut menurut panelitian Whelton dkk di Amerika (2001) laki-laki
mamiliki resiko relatif sebesar 1,24 kali (P=0,001) dibandingkan dengan
perempuan untuk terjadinya gagal jantung.

c. Penyakit Jantung Koroner


Penyakit jantung koroner dalam Framingham study dikatakan sebagai
penyebab gagal jantung 46% pada laki-laki dan 27% pada wanita. Faktor risiko
koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat
berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung. Selain itu berat badan
serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan
sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal jantung. Menurut
Whelton dkk di amerika (2001) penyakit jantung koroner memiliki resiko reatif
sebesar 8,11 (P=0,001) untuk terjadinya gagal jantung
d. Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan tekanan darah yang
tinggi terus-menerus. Ketika tekanan darah terus di atas 140/80, jantung akan
semakin kesulitan memompa darah dengan efektif dan setelah waktu yang
lama, risiko berkembangnya penyakit jantung meningkat. Penurunan berat
badan, pembatasan konsumsi garam, dan pengurangan alkohol dapat
membantu memperoleh tekanan darah yang menyehatkan. Hipertensi dapat
menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi
ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri
sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta
memudahkan untuk terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia
ventrikel. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan
kuat dengan perkembangan gagal jantung. Menurut Whelton dkk di amerika
(2001) hipertensi memiliki resiko reatif sebesar 1,4 (P=0,001) untuk terjadinya
gagal jantung.
e. Penyakit katup jantung
Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik. Penyebab
utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta.
Regurgitasi mitral dan regurgitasi aorta menyebabkan kelebihan beban volume
(peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan
(peningkatan afterload). Menurut Whelton dkk di amerika (2001) penyakit katup
jantung memiliki risiko relatif sebesar 1,46 (P=0,001) untuk terjadinya gagal
jantung
f. Penyakit Jantung Bawaan
Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah penyakit dengan kelainan pada struktur
jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang terjadi akibat
adanya gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase
awal perkembangan janin. Penyakit jantung bawaan bisa terdiagnosis sebelum
kelahiran atau sesaat setelah lahir, selama masa anak-anak, atau setelah
dewasa. Penyakit jantung bawaan dengan adanya kelainan otot jantung akan
mengarah pada gagal jantung.
g. Kardiomiopati
Kardiomiopati merupakan penyakit pada otot jantung yang bukan disebabkan
oleh penyakit jantung koroner, hipertensi, penyakit jantung kongenital, ataupun
penyakit katup jantung. Kardiomiopati ditandai dengan kekakuan otot jantung
dan tidak membesar sehingga terjadi kelainan fungsi diastolik (relaksasi) dan
menghambat fungsi ventrikel.
h. Merokok dan Konsumsi Alkohol
Kebiasaan merokok merupakan faktor risiko penyakit jantung. Merokok
mempercepat denyut jantung, merendahkan kemampuan jantung dalam
membawa dan mengirimkan oksigen,menurunkan level HDL-C (kolesterol baik)
di dalam darah, serta menyebabkan pengaktifan platelet, yaitu sel-sel
penggumpalan darah. Pengumpalan cenderung terjadi pada arteri jantung,
terutama jika sudah ada endapan kolesterol di dalam arteri. Alkohol dapat
berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung akut
maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi). Konsumsi alkohol
yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot
jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 – 3% dari kasus.
Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan nutrisi dan defi1siensi tiamin. Obat-
obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti
doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal
jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.

E. MANIFESTASI KLINIS
a. AV blok sering menyebabkan bradikardia, meskipun lebih jarang dibandingkan
dengan kelainan fungsi nodus SA.
b. Seperti gejala bradikardia yaitu pusing, lemas, sinkop, dan dapat
menyebabkan kematian mendadak
AV blok derajat I
a.Sulit dideteksi secara klinis
b. Bunyi jantung pertama bisa lemah
c. Gambaran EKG : PR yang memanjang lebih dari 0,2 detik
AV blok derajat II
a. Denyut jantung < 40x/menit
b. Pada Mobitz I tampak adanya pemanjangan interval PR hingga kompleks QRS
menghilang.
c. Blok Mobitz tipe II merupakan aritmia yang lebih serius karena lebih sering
menyebabkan kompleks QRS menghilang. Penderita blok Mobitz tipe II sering
menderita gejala penurunan curah jantung dan akan memerlukan atropine
dalam dosis yang telah disebutkan sebelumnya.
AV blok derajat III (komplit)
a. Atrium yang berdenyut terpisah dari ventrikel, kadang-kadang kontraksi saat
katup tricuspid sedang menutup. Darah tidak bisa keluar dari atrium dan
malah terdorong kembali ke vena leher, sehingga denyut tekanan vena
jugularis (JVP) nampak jelas seperti gelombang “meriam (cannon)”
b. Tampak tanda-tanda curah jantung yang buruk seperti hipotensi dan perfusi
serebrum yang buruk.

F. PATOFISIOLOGI
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. EKG
Pada EKG akan ditemukan adanya Blok AV sesuai dengan derajatnya
2. Foto dada
Dapat ditunjukkan adanya pembesaran bayangan jantung sehubungan dengan
disfungsi ventrikel dan katup
3. Elektrolit
Peningkatakn atau penurunan kalium, kalsium dan magnesium dapat
menyebabkan disritmia.

H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan total AV blok dilakukan dengan obat obatan dan
pemasangan pacu jantung. Obat-obatan yang diberikan berupa sulfas atropin 0,5
mg intravena dengan dosis maksimal 2 mg merupakan obat pilihan, dan sebagai
alternatif adalah isoproterenol. Bila obat tidak menolong, dipasang alat pacu
jantung temporer. Biasanya jarang diperlukan alat pacu jantung permanen.
Sangat perlu diperhatikan kondisi hemodinamik pasien. American Heart
Association/ American College of Cardiology membagi indikasi pemasangan
pacu jantung ke dalam 3 kelas: kelas I,II,III. Yang dimaksud kelas I adalah
keadaan dimana pacu jantung harus dipasang, kelas II keadaan dimana masih
terdapat perbedaan mengenai kepentingannya, dan kelas III keadaan dimana
tidak diperlukan pacu jantung. Khusus untuk indikasi kelas I pemasangan pacu
jantung pada blok AV adalah sebagai berikut:

1. AV blok derajat III pada setiap tingkatan anatomik yang dihubungkan dengan
salah satu komplikasi berikut:

a. Bradikardia simtomatik.
b. Aritmia dan kondisi medis lain yang membutuhkan obat-obat yang
menimbulkan bradikardia simtomatik.
c. Periode asistol yang terekam > 3 detik atau setiap kecepatan yang hilang < 40
denyut/menit pada pasien yang bebas dari gejala.
d. Setelah ablasi kateter AV junction.
e. Blok AV pasca operasi yang tidak diharapkan terjadi.
f. Penyakit neuromuskular dengan blok AV seperti: distrofi miotonik muskular,
Kearns-Sayre syndrome, Erb's dystrophy dan atrofi muskular peroneal.

2. Blok AV derajat II tidak memandang jenis atau letak blok dengan bradikardia
simtomatik. Pemasangan pacu jantung sebagai sumber energi eksternal yang
digunakan untuk menstimuli jantung jika gangguan pembentukan impuls dan/
atau transmisi menimbulkan bradiaritmia diharapkan dengan pacu jantung
mengembalikan hemodinamik ke tingkat normal atau mendekati nomal pada saat
istirahat dan aktivitas. Pemasangan pacu jantung temporer biasanya untuk
memberikan stabilisasi segera sebelum pemasangan pacu jantung permanen.
Insersi biasanya dilakukan transvena ke apeks ventrikel kanan. Sedang pacu
jantung permanen insersinya dilakukan melalui vena subklavia atau sefalika
dengan sadapan yang diletakkan dalam aurikula kanan untuk pemasangan
atrium dan apeks ventrikel kanan untuk pemasangan pacu jantung ventrikel.
Pada kasus ini mula-mula diberikan Alupent (isoproterenol) 2 x 10 mg kemudian
diberikan injeksi sulfas atropin 0,5 mg-1 mg IV, total 0,04 mg/kgBB, namun tidak
terjadi perbaikan sehingga pasien dipasang alat pacu jantung temporer melalui
vena femoralis kanan. Pada akhirnya pasien harus membutuhkan pacu jantung
permanen melalui vena subklavia dengan keadaan hemodinamik pasien yang
membaik.
1.10 KOMPLIKASI
1. Kerusakan atau kegagalan ginjal
Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah ke ginjal, yang akhirnya dapat
menyebabkan gagal ginjal jika tidak di tangani. Kerusakan ginjal dari gagal
jantung dapat membutuhkan dialysis untuk pengobatan.
2. Masalah katup jantung
Gagal jantung menyebabkan penumpukan cairan sehingga dapat terjadi
kerusakan pada katup jantung.
3. Kerusakan hati
Gagal jantung dapat menyebabkan penumpukan cairan yang
menempatkan terlalu banyak tekanan pada hati. Cairan ini dapat
menyebabkab jaringan parut yang mengakibatkan hati tidak dapat berfungsi
dengan baik.
4. Serangan jantung dan stroke.
Karena aliran darah melalui jantung lebih lambat pada gagal jantung
daripada di jantung yang normal, maka semakin besar kemungkinan akan
mengembangkan pembekuan darah, yang dapat meningkatkan risiko
terkena serangan jantung atau stroke
5. Trombus ventrikel kiri
pembesaran ventrikel kiri dan penurunan curah jantung meningkatkan
kemungkinan pembentukan trombus

1.11 ASUHAN KEPERWATAN


A. Pengkajian
Gagal serambi kiri/kanan dari jantung mengakibtkan ketidakmampuan
memberikan keluaran yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan dan
menyebabkan terjadinya kongesti pulmonal dan sistemik . Karenanya diagnostik
dan teraupetik berlnjut . GJK selanjutnya dihubungkan dengan morbiditas dan
mortalitas.
1. Aktivitas/istirahat
a. Gejala : Keletihan/kelelahan terus menerus sepanjang hari, insomnia,
nyeri dada dengan aktivitas, dispnea pada saat istirahat.
b. Tanda : Gelisah, perubahan status mental mis : letargi, tanda vital
berubah pad aktivitas.
2. Sirkulasi
a. Gejala : Riwayat HT, IM baru/akut, episode GJK sebelumnya, penyakit
jantung , bedah jantung , endokarditis, anemia, syok septic, bengkak pada
kaki, telapak kaki, abdomen.
b. Tanda :
- TD ; mungkin rendah (gagal pemompaan).
- Tekanan Nadi ; mungkin sempit.
- Irama Jantung ; Disritmia.
- Frekuensi jantung ; Takikardia.
- Nadi apical ; PMI mungkin menyebar dan merubah
- posisi secara inferior ke kiri.
- Bunyi jantung ; S3 (gallop) adalah diagnostik, S4 dapat terjadi, S1 dan
S2 mungkin melemah.
- Murmur sistolik dan diastolic.
- Warna ; kebiruan, pucat abu-abu, sianotik.
- Punggung kuku ; pucat atau sianotik dengan pengisian
- kapiler lambat.
- Hepar ; pembesaran/dapat teraba.
- Bunyi napas ; krekels, ronkhi.
- Edema ; mungkin dependen, umum atau pitting
- khususnya pada ekstremitas.
3. Integritas ego
a. Gejala : Ansietas, kuatir dan takut. Stres yang berhubungan dengan
penyakit/keperihatinan finansial (pekerjaan/biaya perawatan medis)
b. Tanda : Berbagai manifestasi perilaku, mis : ansietas, marah,
ketakutan dan mudah tersinggung.
4. Eliminasi
Gejala : Bising usus mungkin meningkat atau juga normal.
5. Makanan/cairan
a. Gejala : Kehilangan nafsu makan, mual/muntah, penambahan berat
badan signifikan, pembengkakan pada ekstremitas bawah,
pakaian/sepatu terasa sesak, diet tinggi garam/makanan yang telah
diproses dan penggunaan diuretic.
b. Tanda : Penambahan berat badan cepat dan distensi abdomen
(asites) serta edema (umum, dependen, tekanan dn pitting).
6. Higiene
a. Gejala : Keletihan/kelemahan, kelelahan selama aktivitas Perawatan
diri.
b. Tanda : Penampilan menandakan kelalaian perawatan personal.
7. Neurosensori
a. Gejala : Kelemahan, pening, episode pingsan.
b. Tanda : Letargi, perubahan perilaku dan mudah tersinggung.
8. Nyeri/Kenyamanan
a. Gejala : Nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan atas dan
sakit pada otot.
b. Tanda : Tidak tenang, gelisah, focus menyempit danperilaku melindungi diri.
9. Pernapasan
a. Gejala : Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan
beberapa bantal, batuk dengn/tanpa pembentukan sputum, riwayat
penyakit kronis, penggunaan bantuan pernapasan.
b. Tanda :
- Pernapasan; takipnea, napas dangkal, penggunaan otot asesori
pernpasan.
- Batuk : Kering/nyaring/non produktif atau mungkin batuk terus
menerus dengan/tanpa pemebentukan sputum.
- Sputum :Merah muda/berbuih (edema pulmonal)
- Bunyi napas : Mungkin tidak terdengar.
- Fungsi mental: Mungkin menurun, kegelisahan, letargi.
- Warna kulit : Pucat dan sianosis.
10. Keamanan
Gejala : Perubahan dalam fungsi mental, kehilangan kekuatan/tonus otot.
11. Interaksi sosial
Gejala : Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa dilakukan.
12. Pembelajaran/pengajaran
a. Gejala : menggunakan/lupa menggunakan obat-obat jantung, misalnya
penyekat saluran kalsium.
b. Tanda : Bukti tentang ketidak berhasilan untuk meningkatkan.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas
miokardial/perubahan inotropik.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan reflek batuk,
penumpukan secret.
3. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan edema paru
4. Gangguan pola nafas berhubungan dengan sesak nafas
5. Penurunan perfusi jaringan behubungan dngan penurunan O2 ke organ
6. Nyeri berhubungan dengan hepatomegali, nyeri abdomen.
7. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi
glomerulus, meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air.
8. Gangguan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia & mual.
9. Intoleran aktivitas berhubungan dengan fatigue
10. Sindrom deficit perawatan diri berhubungan dengan sesak nafas
11. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pitting edema.
12. Cemas berhubungan dengan sesak nafas, asites.
DAFTAR PUSTAKA

Ammons MA, Moore EE, Moore FA. Intraaor! c balloon pump for combined myocardial
contusion and thoracic aortic rupture. J Trauma. 1993;30:1606 .
Anwar A, Mooney MR, Sterzer SH. Intra-aortic balloon counterpulsation support for
elective coronary angioplasty in the seing of poor left ventricular function: A two
center experience. J.Invas.Cardiol. 1990;4:175.
Baradero, M, dkk., 2008. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Kardiovaskuler.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Bruner & Suddart. 2001. Buku Ajar keperawatan Medical Bedah. Edisi 8. Jakarta
Bolooki H. Emergency cardiac procedures in patients in cardiogenic shock due to
complica! ons of coronary artery disease. Circulation. 1989;79:1-13
Caplan L.R.200.Caplan’s Stroke : A Cliniacl Approach 3rd ed Boston : Butterworth-
Heinemann ; 2000
Christenson JT. Intra aortic balloon counterpulsation in coronary artery disease:
indica! ons, complications and current prac! ce. Kuwait Medical Journal.
2002;34:183-94.
Darovic GO. Intraaor! c balloon pumping counter pulsation. Handbook of
Hemodinamik Monitoring. 2004;14:194-208.
Gottlieb DJ, et al. Prospective study of obstructive sleep apnea and incident coronary
heart
disease and heart failure: The Sleep Heart Health Study. Circulation.
2010;122:352.
Jessup M, et al. 2009 Focused update: ACCF/AHA guidelines for the diagnosis and
management of heart failure in adults. Circulation. 2009;119:1977.
Junadi, Purnawan. (1982). Kapita Selekta Kedokteran. Media aesculapius Universitas
Indonesia. Jakarta.
Khir AW, Price S, Henein MY, Parker KH, Pepper JR. Intra-aorti c balloon pumping:
effects on left ventricular diastolic function. Eur J Cardiothorac Surg.
2003;24:277-82.
Markum, AH, dkk. Editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jilid I. Jakarta: Balai
penerbit FKUI; 2002. hal. 628-635.
Mansjoer, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media aesculapius Universitas
Indonesia. Jakarta.
Morady, F, dkk., 1995. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskuler. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta
Mueller DK, Stout M, Blakeman BM. Morbidity and mortality of intra-aor! c balloon
pumps placed through the aortic arch. Chest. 1998;114:85-8.
Muttaqin, A., 2009. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan System
Kardiovaskuler dan Hematologi. Salemba Medika, Jakarta.
Muttaqin, Arif.2009.Asuhan Keperwatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular dan Hematologi.Jakarta:Salemba Medika.
Price, S; Wilson, L., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi
6. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Rian EW, Foster E. Augmenta! on of coronary blood flow with intra-aortic balloon pump
counter-pulsation. Circulation. 2000;102:364-5.
Russel C Swanburg, Pengantar keparawatan, 2000, EGC, Jakarta.
Setiawan.2010.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31637/4/Chapter%20
II.pdf.(online)
Tatar H, Cicek S, Demirkilic U, Ozal E, Aslan M, Ozturk OY. Vascular complica! ons
of intraaortic balloon pumping: unsheathed versus sheathed insertion. The
Annals of Thoracic Surgery. 1993;55:1518-21.
Weil KM. On guard for intra-aor! c balloon pump problems. Juli Nursing. 2007;37:1-2.

Anda mungkin juga menyukai