Anda di halaman 1dari 18

RESUME KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN DIAGNOSA MEDIS AV BLOK


DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan Gawat Darurat
Dosen Pembimbing : Linda Widyarani, S.Kep.,Ns., M.Kep

Disusun Oleh :
Dewa Bagus Prasetya
2820173005

AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO


YOGYAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Aporan pendahuluan ini dibuat untuk memenuhi tugas Praktik Klinik


Keperawatan (PKK) Gawat Darurat Semester V, pada:
Hari : Senin - Sabtu

Tanggal : 9 – 14 Desember 20119

Tempat : Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Praktikan,

Dewa Bagus Prasetya

Mengetahui,

CI Lahan CI Akademik

Budi Dwi Prasetio, S.Kep.,Ns. Linda Widyarani S.Kep.,Ns., M.Kep


TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Gangguan konduksi jantung adalah ganguan yang terjadi pada
jaringan konduksi (jalur listrik) jantung sehingga listrik jantung tidak
berjalan lancar atau terhenti ditengah jalan (Davey, 2015).
AV Blok merupakan salah satu kondisi gangguan konduksi jantung
yang terjadi bila jalur SA Node ke AV Node (yang membentuk interval PR
pada EKG) terhambat, maka Interval PR menjadi lebih panjang. Ibarat jalan
tol macet, maka jarak tempuh ke tempat tujuan menjadi lebih lama. AV Blok
dibagi menjadi 3 derajat sesuai tengan tingkat keparahan (William,
2003)
Total AV blok merupakan keadaan darurat jantung yang
membutuhkan penanganan segera. Blok biasanya berkembang dari blok
derajat I dan II, tetapi total AV blok dapat juga terjadi tanpa blok parsial
sebelumnya atau interval PR yang bisa normal segera setelah terjadi periode
blok total. Letak blok total sering diperkirakan dengan lebar kompleks QRS
dan kecepatan ventrikel. Jika terjadi distal dari His Bundle kompleks QRS
biasanya melebar dan kecepatan ventrikel biasanya > 50x/ menit.
B. Klasifikasi
Price & Wilson, (2006) menjelaskan bahwa klasifikasi AV block terdiri dari:
1. AV block derajat pertama
Pada AV block derajat pertama ini, konduksi AV diperpanjang tetapi
semua impuls akhirnya dikonduksi ke ventrikel. Gelombang P ada dan
mendahului tiap-tiap QRS dengan perbandingan 1:1, interval PR konstan
tetapi durasi melebihi di atas batas 0,2 detik.
2. AV block derajat kedua Mobitz I (Wenckebach)
Tipe yang kedua, blok AV derajat dua, konduksi AV diperlambat
secara progresif pada masing-masing sinus sampai akhirnya impuls ke
ventrikel diblok secara komplit. Siklus kemudian berulang dengan
sendirinya.
Pada gambaran EKG, gelombang P ada dan berhubungan dengan
QRS di dalam sebuah pola siklus. Interval PR secara progresif
memanjang pada tiap-tiap denyut sampai kompleks QRS tidak
dikonduksi. Kompleks QRS mempunyai bentuk yang sama seperti irama
dasar. Interval antara kompleks QRS berturut-turut memendek sampai
terjadi penurunan denyut.
3. AV block derajat kedua Mobitz II
AV block tipe II digambarkan sebagai blok intermiten pada konduksi
AV sebelum perpanjangan interval PR. Ini ditandai oleh interval PR
fixed jika konduksi AV ada dan gelombang P tidak dikondusikan saat
blok terjadi.
Blok ini dapat terjadi kadang-kadang atau berulang dengan pola
konduksi 2 : 1, 3 : 1, atau bahkan 4 : 1, karena tidak ada gangguan pada
nodus sinus, interval PP teratur. Sering kali ada bundle branch block
(BBB) atau blok cabang berkas yang menyertai sehingga QRS akan
melebar.
4. AV block derajat ketiga (komplit)
Pada blok jantung komplit, nodus sinus terus memberi cetusan secara
normal, tetapi tidak ada impuls yang mencapai ventrikel. Ventrikel
dirangsang dari sel-sel pacu jantung yang keluar dan dipertemu
(frekuensi 40-60 denyut/menit) atau pada ventrikel (frekuensi 20-40
denyut/menit) tergantung pada tingkat AV blok. Pada gambaran EKG
gelombang P dan kompleks QRS ada tetapi tidak ada hubungan antara
keduanya. Interval PP dan RR akan teratur tetapi interval RR bervariasi.
Jika pacu jantung pertemuan memacu ventrikel, QRS akan mengecil.
Pacu jantung idioventrikular akan mengakibatkan kompleks QRS yang
lebar.
C. Etiologi
Price & Wilson, (2006) menjelaskan bahwa AV Blok sering terjadi dari
kelanjutan fase buruk dari :
1. Iskemia jantung
2. Infark jantung
3. Gagal jantung kongestif
4. Peradangan jantung, misalnya demam reumatik, peradangan miokard
(miokarditis karena infeksi).
5. Gangguan sirkulasi koroner (aterosklerosis koroner atau spasme arteri
koroner), misalnya iskemia miokard, infark miokard.
6. Karena obat (intoksikasi) antara lain oleh digitalis, quinidin, dan obat-
obat anti aritmia lainnya.
7. Gangguan keseimbangan elektrolit (hiperkalemia, hipokalemia).
8. Gangguan pada pengaturan susunan saraf autonom yang
mempengaruhi kerja dan irama jantung.
9. Gangguan psikoneurotik dan susunan saraf pusat.
10. Gangguan metabolic (asidosis, alkalosis).
11. Gangguan endokrin (hipertiroidisme, hipotiroidisme).
12. Gangguan irama jantung akibat gagal jantung.
13. Gangguan irama jantung karena kardiomiopati atau tumor jantung.
14. Gangguan irama jantung karena penyakit degenerasi (fibrosis system
konduksi jantung).
D. Patofisiologi
Blok jantung adalah perlambatan atau pemutusan hantaran impuls
antara atrium dan venrikel. Impuls jantung biasanya menyebar mulai dari
nodus sinus, mengikuti jalur internodal menuju nodus AV dan ventrikel
dalam 0,20 detik (interval PR normal); depolarisasi ventrikel terjadi dalam
waktu 0,10 detik (lama QRS komplek). Terdapat tiga bentuk blok jantung
yang berturut-turut makin progresif. Pada blok jantung derajatderajat satu
semua impuls dihantarkan melalui sambungan AV, tetapi waktu hantaran
memanjang.
Blok jantung pada derajat dua, sebagian impuls dihantarkan ke
ventrikel tetapi beberapa impuls lainnya dihambat. Terdapat dua jenis blok
jantung derajat dua, yaitu Wnckebach (mobitz I) ditandai dengan siklus
berulang waktu penghantaran AV ang memanjang progresif, yang mencapai
puncaknya bila denyut tidak dihantarkan. Jenis kedua (mobitz II) merupakan
panghantaran sebagian impuls dengan waktu hantaran AV yang tetap dan
impuls yanglain tidak dihantarkan.
Sedangkan pada blok jantung derajat tiga, tidak ada impuls yang
dihantarkan ke ventrikel, terjadi henti jantung, kecuali bila escape pacemaker
dari ventrikel ataupun sambungan atrioventrikuler mulai berfungsi. Blok
berkas cabang adalah terputusnya hantaran berkas cabang yang
memperpanjang waktu depolarisasi hingga lebih dari 0,10 detik.
Price & Wilson, (2006)
F. Manifestasi Klinis
Price & Wilson, (2006) menjelaskan bahwa tanda dan gejala yang timbul
dari AV Blok meliputi :
1. AV blok sering menyebabkan bradikardia, meskipun lebih jarang
dibandingkan dengan kelainan fungsi nodus SA.
2. Nampak seperti gejala bradikardia yaitu pusing, lemas, sinkop, dan dapat
menyebabkan kematian mendadak
3. AV blok derajat I
a) Sulit dideteksi secara klinis
b) Bunyi jantung pertama bisa lemah
c) Gambaran EKG : PR yang memanjang lebih dari 0,2 detik
4. AV blok derajat II
a) Denyut jantung < 40x/menit
b) Pada Mobitz I tampak adanya pemanjangan interval PR hingga
kompleks QRS menghilang.
c) Blok Mobitz tipe II merupakan aritmia yang lebih serius karena lebih
sering menyebabkan kompleks QRS menghilang. Penderita blok
Mobitz tipe II sering menderita gejala penurunan curah jantung dan
akan memerlukan atropine dalam dosis yang telah disebutkan
sebelumnya.
5. AV blok derajat III (komplit)
a) Atrium yang berdenyut terpisah dari ventrikel, kadang-kadang
kontraksi saat katup tricuspid sedang menutup. Darah tidak bisa
keluar dari atrium dan malah terdorong kembali ke vena leher,
sehingga denyut tekanan vena jugularis (JVP) nampak jelas seperti
gelombang “meriam (cannon)”
b) Tampak tanda-tanda curah jantung yang buruk seperti hipotensi dan
perfusi serebrum yang buruk.
G. Pemeriksaan Penunjang
Doenges, (2000) menjelaskan bahwa pemeriksaan penunjang pada pasien
dengan AV Blok meliputi:
1. EKG : menunjukkan pola cedera iskemik dan gangguan konduksi.
Menyatakan tipe/sumber disritmia dan efek ketidakseimbangan
elektrolit dan obat jantung.
2. Monitor Holter : Gambaran EKG (24 jam) mungkin diperlukan untuk
menentukan dimana disritmia disebabkan oleh gejala khusus bila
pasien aktif (di rumah/kerja). Dapat digunakan untuk mengevaluasi
fungsi pacu jantung/efek obat antidisritmia.
3. Foto dada : Dapat menunjukkan pembesaran bayangan jantung
sehubungan dengan disfungsi ventrikel atau katup
4. Skan pencitraan miokardia : dapat menunjukkan aea
iskemik/kerusakan miokard yang dapat mempengaruhi konduksi
normal atau mengganggu gerakan dinding dan kemampuan pompa.
5. Tes stres latihan : dapat dilakukan utnnuk mendemonstrasikan
latihan yang menyebabkan disritmia.
6. Elektrolit : Peningkatan atau penurunan kalium, kalsium dan
magnesium dapat mnenyebabkan disritmia.
7. Pemeriksaan obat : Dapat menyatakan toksisitas obat jantung,
adanya obat jalanan atau dugaan interaksi obat contoh digitalis,
quinidin.
8. Pemeriksaan tiroid : peningkatan atau penururnan kadar tiroid
serum dapat menyebabkan.meningkatkan disritmia.
9. Laju sedimentasi : Penignggian dapat menunukkan proses
inflamasi akut contoh endokarditis sebagai faktor pencetus disritmia.
10. GDA/nadi oksimetri : Hipoksemia dapat menyebabkan disritmia.
H. Penatalaksanaan
Price & Wilson, (2006) menjelaskan bahwa prinsip penatalaksanaan AV
Blok meliputi:
1. Terapi medis
Obat-obat antiaritmia dibagi 4 kelas yaitu :
a. Anti aritmia kelas 1: sodium channel blocker
1) Kelas 1 A
Quinidine adalah obat yang digunakan dalam terapi pemeliharaan
untuk mencegah berulangnya atrial fibrilasi atau flutter.
Procainamide untuk ventrikel ekstra sistol atrial fibrilasi dan aritmi
yang menyertai anestesi. Dysopiramide untuk SVT akut dan
berulang
2) Kelas 1 B
Lignocain untuk aritmia ventrikel akibat iskemia miokard,
ventrikel takikardia. Mexiletine untuk aritmia entrikel dan VT
3) Kelas 1 C
Flecainide untuk ventrikel ektopik dan takikardi.
b. Anti aritmia kelas 2 (Beta adrenergik blokade)
Atenolol, Metoprolol, Propanolol : indikasi aritmi jantung, angina
pektoris dan hipertensi
c. Anti aritmia kelas 3 (Prolong repolarisation)
Amiodarone, indikasi VT, SVT berulang.
d. Anti aritmia kelas 4 (calcium channel blocker)
Verapamil, indikasi supraventrikular aritmia.
2. Terapi mekanis
a. Kardioversi
Kardioversi mencakup pemakaian arus listrik untuk menghentikan
disritmia yang memiliki kompleks QRS, biasanya merupakan prosedur
elektif. Pasien dalam keadaan sadar dan diminta persetujuannya.
b. Defibrilasi
Defibrilasi adalah kardioversi asinkronis yang digunakan pada keadaan
gawat darurat. Biasanya terbatas penatalaksanaan fibrilasi ventrikel
apabila tidak ada irama jantung yang terorganisasi. Defibrilasi akan
mendepolarisasi secara lengkap semua sel miokard sekaligus, sehingga
memungkinkan nodus sinus memperoleh kembali fungsinya sebagai
pacemaker.
c. Defibrilator kardioverter implantable
Adalah suatu alat untuk mendeteksi dan mengakhiri episode takiakrdia
ventrikel yang mengancam jiwa atau pada pasien yang mempunyai
risiko tinggi mengalami fibrilasi ventrikel.
d. Terapi pacemaker
Pacemaker adalah alat listrik yang mampu menghasilkan stimulus
listrik berulang ke otot jantung untuk mengontrol frekwensi jantung.
Alat ini memulai dan memeprtahankan frekwensi jantung kerika
pacemaker alamiah jantung tak mampu lagi memenuhi fungsinya.
Pacemaker biasanya digunakan bila pasien mengalami gangguan
hantaran atau loncatan gangguan hantaran yang mengakibatkan
kegagalan curah jantung.
e. Pembedahan hantaran jantung
Takikardian atrium dan ventrikel yang tidak berespons terhadap
pengobatan dan tidak sesuai untuk cetusan anti takikardia dapat
ditangani dengan metode selain obat dan pacemaker. Metode tersebut
mencakup isolasi endokardial, reseksi endokardial, krioablasi, ablasi
listrik dan ablasi frekwensi radio. Isolasi endokardial dilakukan
dengan membuat irisan ke dalam endokardium, memisahkannya dari
area endokardium tempat dimana terjadi disritmia. Batas irisan
kemudian dijahit kembali. Irisan dan jaringan parut yang ditimbulkan
akan mencegah disritmia mempengaruhi seluruh jantung.
Pada reseksi endokardial, sumber disritmia diidentifikasi dan
daerah endokardium tersebut dikelupas. Tidak perlu dilakukan
rekonstruksi atau perbaikan.
Krioablasi dilakukan dengan meletakkkan alat khusus, yang
didinginkan sampai suhu -60ºC (-76ºF), pada endokardium di tempat
asal disritmia selama 2 menit. Daerah yang membeku akan menjadi
jaringan parut kecil dan sumber disritmia dapat dihilangkan. Pada
ablasi listrik sebuah kateter dimasukkan pada atau dekat sumber
disritmia dan satu sampai lima syok sebesar 100 sampai 300 joule
diberikan melalui kateter langsung ke endokardium dan jaringan
sekitarnya. Jaringan jantung menjadi terbakar dan menjadi parut,
sehingga menghilangkan sumber disritmia.
Ablasi frekwensi radio dilakukan dengan memasang kateter
khusus pada atau dekat asal disritmia. Gelombang suara frekwensi
tinggi kemudian disalurkan melalui kateter tersebut, untuk
menghancurkan jaringan disritmik. Kerusakan jaringan yang
ditimbulkan lebih spesifik yaitu hanya pada jaringan disritmik saja
disertai trauma kecil pada jaringan sekitarnya dan bukan trauma luas
seperti pada krioablasi atau ablasi listrik.
I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Aktivitas dan istirahat
Kelemahan, kelelahan, ketidakmampuan untuk tidur (di dapatkan
bradikardi dan dispnea pada saat beristirahat atau pada saat
beraktivitas).
b. Sirkulasi
1) Mempunyai riwayat IMA, Penyakit jantung koroner, CHF,
Tekanan darah tinggi, diabetes melitus.
2) Tekanan darah normal atau meningkat, nadi normal atau
terlambatnya capilary refill time, disritmia.
3) Suara jantung, suara jantung tambahan S3 atau S4 memungkinkan
terjadinya kegagalan jantung/ ventrikel kehilangan
kontraktilitasnya.
4) Murmur jika ada merupakan akibat dari insufisensi katub atau
muskulus papilaris yang tidak berfungsi.
5) Heart rate meningkat atau menglami penurunan (tachy atau bradi
cardia).
Irama jantung mungkin ireguler atau juga normal.
6) Edema: Jugular vena distension, odema anasarka, crackles
timbul dengan gagal jantung.
7) Warna kulit pucat baik di bibir dan di kuku.
c. Eliminasi
Bising usus meningkat atau juga normal.
d. Nutrisi
Mual, kehilangan nafsu makan, penurunan turgor kulit, berkeringat
banyak, muntah dan perubahan berat badan.
e. Neoru sensori
Nyeri kepala yang hebat, Changes mentation.
f. Kenyamanan
1) Timbulnya nyeri dada yang tiba-tiba yang tidak hilang dengan
beristirahat atau dengan nitrogliserin.
2) Lokasi nyeri dada bagian depan substerbnal yang menyebar
sampai ke lengan, rahang dan wajah.
3) Karakteristik nyeri dapat di katakan sebagai rasa nyeri yang sangat
yang pernah di alami. Sebagai akibat nyeri tersebut di dapatkan
wajah yang menyeringai, perubahan pustur tubuh, menangis,
penurunan kontak mata, perubahan irama jantung, ECG, tekanan
darah, respirasi dan warna kulit serta tingkat kesadaran.
g. Respirasi
Dispnea dengan atau tanpa aktivitas, batuk produktif, riwayat perokok
dengan penyakit pernafasan kronis. Pada pemeriksaan di dapatkan
peningkatan respirasi, pucat atau cyanosis, suara nafas crakcles atau
wheezes atau juga vesikuler. Sputum jernih atau juga merah muda/
pink tinged.
h. Interaksi sosial
Stress, kesulitan dalam beradaptasi dengan stresor, emosi yang tak
terkontrol.
i. Pengetahuan
Riwayat di dalam keluarga ada yang menderita penyakit jantung,
diabetes, stroke,
j. hipertensi, perokok.
2. Pemeriksaan fisik
a. Status Generalis
b. KU / kesadaran
c. Tanda Vital : TD, RR, N
d. Mata
e. THT
f. Leher
g. Jantung
h. Paru
i. Abdomen
j. Ekstremitas
k. Status Neurologis
1) Reflek fisiologis
2) Reflek patologis
3. Diagnosa keperawatan dan Intervensi
a. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan
konduksi elektrikal, penurunan kontraktilitas miokardia
Kriteria hasil :
Mempertahankan/meningkatkan curah jantung adekuat yang
dibuktikan oleh TD/nadi dalam rentang normal, haluaran urin adekuat,
nadi teraba sama, status mental biasa
Menunjukkan penurunan frekuensi/tak adanya disritmia
Berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan kerja miokardia.
Intervensi:
1) Raba nadi (radial, femoral, dorsalis pedis) catat frekuensi,
keteraturan, amplitudo dan simetris.
2) Auskultasi bunyi jantung, catat frekuensi, irama. Catat adanya
denyut jantung ekstra, penurunan nadi.
3) Pantau tanda vital dan kaji keadekuatan curah jantung/perfusi
jaringan.
4) Tentukan tipe disritmia dan catat irama : takikardi; bradikardi;
disritmia atrial; disritmia ventrikel; blok jantun.
5) Berikan lingkungan tenang. Kaji alasan untuk membatasi aktivitas
selama fase akut.
6) Demonstrasikan/dorong penggunaan perilaku pengaturan stres
misal relaksasi nafas dalam, bimbingan imajinasi.
7) Selidiki laporan nyeri, catat lokasi, lamanya, intensitas dan faktor
penghilang/pemberat. Catat petunjuk nyeri non-verbal contoh
wajah mengkerut, menangis, perubahan TD
8) Siapkan/lakukan resusitasi jantung paru sesuai indikasi
9) Kolaborasi :
a) Pantau pemeriksaan laboratorium, contoh elektrolit
b) Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi
c) Berikan obat sesuai indikasi : kalium, antidisritmi
d) Siapkan untuk bantu kardioversi elektif
e) Bantu pemasangan/mempertahankan fungsi pacu jantung
f) Masukkan/pertahankan masukan IV
g) Siapkan untuk prosedur diagnostik invasif
h) Siapkan untuk pemasangan otomatik kardioverter atau
defibrillator
b. Kurang pengetahuan tentang penyebab atau kondisi pengobatan
berhubungan dengan kurang informasi/salah pengertian kondisi
medis/kebutuhan terapi.
Kriteria hasil :
Menyatakan pemahaman tentang kondisi, program pengobatan
Menyatakan tindakan yang diperlukan dan kemungkinan efek samping
obat
Intervensi :
1) Kaji ulang fungsi jantung normal/konduksi elektrikal
2) Jelakan/tekankan masalah aritmia khusus dan tindakan terapeutik
pada pasien/keluarga
3) Identifikasi efek merugikan/komplikasiaritmia khusus contoh
kelemahan, perubahan mental, vertigo.
4) Anjurkan/catat pendidikan tentang obat. Termasuk mengapa obat
diperlukan; bagaimana dan kapan minum obat; apa yang
dilakukan bila dosis terlupakan
5) Dorong pengembangan latihan rutin, menghindari latihan
berlebihan
6) Kaji ulang kebutuhan diet contoh kalium dan kafein
7) Memberikan informasi dalam bentuk tulisan bagi pasien untuk
dibawa pulang
8) Anjurkan psien melakukan pengukuran nadi dengan tepat
9) Kaji ulang kewaspadaan keamanan, teknik mengevaluasi pacu
jantung dan gejala yang memerlukan intervensi medis
10) Kaji ulang prosedur untuk menghilangkan PAT contoh pijatan
karotis/sinus, manuver Valsava bila perlu.
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antar
suplai oksigen, kelemahan umum, tirah baring lama/imobilisasi.
Tujuan/kriteria hasil :
Klien akan berpartisipasi pada aktivitas yang diinginkan.
Memenuhi perawatan diri sendiri.
Mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur,
dibuktikan oleh menurunnya kelemahan dan kelelahan.
Intervensi :
1) Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas,
khususnya bila klien menggunakan vasodilator, diuretic dan
penyekat beta.
Rasional : Hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas
karena efek obat (vasodilatasi), perpindahan cairan (diuretic)
atau pengaruh fungsi jantung.
2) Catat respons kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi,
disritmia, dipsnea, berkeringat dan pucat.
Rasional : Penurunan/ketidakmampuan miokardium untuk
meningkatkan volume sekuncup selama aktivitas dapat
menyebabkan peningkatan segera frekuensi jantung dan
kebutuhan oksigen juga peningkatan kelelahan dan kelemahan.
3) Evaluasi peningkatan intoleransi aktivitas.
Rasional : Dapat menunjukkan peningkatan dekompensasi
jantung daripada kelebihan aktivitas.
4) Implementasi program rehabilitasi jantung/aktivitas (kolaborsi).
Rasional : Peningkatan bertahap pada aktivitas menghidari kerja
jantung/konsumsi oksigen berlebihan.
d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi
glomerulus (menurunnya curah jantung)/meningkatnya produksi ADH
dan retensi natrium/air.
Tujuan/kriteria hasil :
Mendemonstrasikan volume cairan stabil dengan keseimbangan
masukan dan pengeluaran.
Bunyi nafas bersih/jelas, tanda vital dalam rentang yang dapat
diterima.
Berat badan stabil dan tidak ada edema.
Menyatakan pemahaman tentang pembatasan cairan individual.
Intervensi:
1) Pantau pengeluaran urine, catat jumlah dan warna saat dimana
diuresis terjadi.
Rasional : Pengeluaran urine mungkin sedikit dan pekat karena
penurunan perfusi ginjal.
2) Pantau/hitung keseimbangan pemasukan dan pengeluaran
selama 24 jam.
Rasional : Terapi diuretic dapat disebabkan oleh kehilangan
cairan tiba-tiba/berlebihan (hipovolemia) meskipun
edema/asites masih ada.
3) Pertahankan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler
selam fase akut.
Rasional : Posisi tersebut meningkatkan filtrasi ginjal dan
menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan diuresis.
4) Pantau TD dan CVP (bila ada)
Rasional : Hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan
kelebihan cairan dan dapat menunjukkan terjadinya
peningkatan kngesti paru, gagal jantung.
5) Kaji bising usus, catat keluhan anoreksia, mual, distensi
abdomen dan konstipasi.
Rasional : Kongesti visceral (terjadi pada GGK lanjut) dapat
mengganggu fungsi gaster/intestinal.
DAFTAR PUSTAKA
Davey,Patrick.(2005).At a glance medicine (Annisa Rahmalia,Cut novianty& Amalia
Saitri).Jakarta:erlangga.
Ganong F. William.2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 20.Jakarta:EGC
Price & Wilson.2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6,
Volume I. Jakarta:EGC
Doengoes, Marylin.2000. Rencana Asuhan Keperawatan,Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai