Anda di halaman 1dari 24

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DENGAN

HYPERGLICEMIC HYPEROSMOLAR STATE (HHS)


Disusun Untuk Memenuhi Tuga Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat
Dosen : Septiana Fathonah,S.Kep.,Ns.,M.Kep

Disusun Oleh :
Kelompok 6
Kelas 3A

Devita Andriyaningrum 2820173004


Dewa Bagus Prasetya 2820173005
Kharisma Yogi Anggraini 2820173019
Putri Agustina 2820173032
Setyaningrum Mawarni 2820173035
Tri Marsih 2820173039
Nadhea Nur Hazilla 2720162844

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NOTOKUSUMO


YOGYAKARTA
2019

i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, kekuatan serta kesabaran di dalam
menyelesaikan Makalah Asuhan Keperawatan ini sesuai harapan kami dan sesuai
waktu yang telah di tentukan, meskipun tidak sedikit hambatan yang kami hadapi.

Kami berharap dengan terwujudnya Makalah Asuhan Keperawatan ini


dapat dijadikan bahan bacaan minimal bagi teman-teman dan diharapkan pula dapat
menambah wawasan, pengetahuan dan menambah rasa tanggung jawab kami
sebagai mahasiswa dan mahasiswa STIKES Notokusumo Yogyakarta.

Makalah Asuhan Keperawatan ini berjudul “Makalah Asuhan Keperawatan Gawat


Darurat Hyperglicemic Hyperosmolar State” disusun untuk memenuhi salah satu
tugas kampus Keperawatan Perioperatif. Sekalipun Makalah Asuhan Keperawatan
ini masih belum sempurna, namun untuk mewujudkannya diupayakan secara
maksimal, dengan harapan dapat memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati kami mempersembahkan Makalah


Asuhan Keperawatan ini, semoga mendapat penilaian yang positif dan
bermanfaat.Adanya, kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan demi
perbaikan penulisan Makalah Asuhan Keperawatan berikutnya.

Yogyakarta, Oktober 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 2
C. Tujuan .................................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 4
A. Pengertian .............................................................................................................. 4
B. Tanda dan Gejala .................................................................................................. 4
C. Patofisiologi ........................................................................................................... 4
D. Pathway.................................................................................................................. 6
E. Pemeriksaan diagnostic ........................................................................................ 7
F. Komplikasi ............................................................................................................. 7
G. Penatalaksanaan ................................................................................................... 8
H. Asuhan Keperawatan ......................................................................................... 10
I. Rencana Keperawatan........................................................................................ 16
BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 20
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 20
B. Saran .................................................................................................................... 20

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hyperglycemic hyperosmolar syndrome (HHS) adalah komplikasi
yang mengancam nyawa dari penyakit Diabetes Mellitus tipe II yang tidak
terkontrol. Penyakit ini pertama kali diketahui lebih dari seabad yang lalu
namun jarang didiagnosis sampai adanya laporan (Venkrataman, 2010).
Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar (SHH) merupakan gangguan
metabolik akut yang dapat terjadi pada pasien diabetes melitus yang
ditandai dengan peningkatan konsentrasi glukosa yang ekstrim dalam darah
yang disertai dengan hiperosmolar tanpa adanya ketosis yang signifikan
(Zeitler at al, 2011).
HHS yang merupakan komplikasi dari DM tipe II telah menjadi
salah satu masalah kesehatan masyarakat global dan menurut International
Diabetes Federation (IDF) pemutakhiran ke-5 tahun 2012, jumlah
penderitanya semakin bertambah. Menurut estimasi IDF tahun 2012, lebih
dari 371 juta orang di seluruh dunia mengalami DM, 4,8 juta orang
meninggal akibat penyakit metabolik ini dan471 miliar dolar Amerika
dikeluarkan untuk pengobatannya.
Sementara itu prevalensi DM tipe II yang terdiagnosis dokter
tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi
Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%). Prevalensi diabetes yang
terdiagnosis dokter atau gejala, tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah
(3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan Nusa
Tenggara Timur (3,3%) (Riskesdas,2013).
Epidemiologi HHS pada dewasa dan anak telah diketahui
belakangan ini. HHS berjumlah sekitar 5-15% dari seluruh kasus emergensi
hiperglikemi pada diabetes dewasa mapun anak-anak. Pada dewasa HHS
terjadi dengan frekuensi 17,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun.
Sementara data kejadian pada anak-anak belum sepenuhnya diketahui,

1
namun diprediksi dari jumlah 4% anak-anak yang baru terdiagnosis DM di
Amerika Serikat akan menderita HHS dengan etimasi sekitar 12% kasus
fatal. Sementara itu di Indonesia sendiri prevalensi HHS belum bisa
teridentifikasi secara pasti (Mansjoer, 2014).
Angka Kematian pada pasien yang menderita HHS 40-50% lebih
tinggi dari pada diabetik ketoasidosis. Karena pasien HHS kebanyakan
adalah lanjut usia dan seringkali mempunyai penyakitlain. HHS penting
diketahui karena kemiripannya dan perbedaannya dari ketosidosis diabetik
berat dan merupakan diagnosa banding serta perbedaan dan
penatalaksanannya, sehingga dibutuhkan penanganan yang efektif dan
efisien. Dalam hal ini perawat dapat melakukan penatalaksanaan HHS yaitu
dengan memberikan terapi cairan, terapi insulin, terapi kalium dan
menghindari terjadinya infeksi sekunder (Morton,2011).
Dari uraian diatas penulis bermaksud menguraikan lebih lanjut
mengenai Hyperglycemic hyperosmolar syndrome.

B. Rumusan Masalah
a. Apa definisi Hyperglycemic hyperosmolar syndrome?
b. Apa etiologi Hyperglycemic hyperosmolar syndrome?
c. Apa saja tanda gejala Hyperglycemic hyperosmolar syndrome?
d. Bagaimana patofisiologi Hyperglycemic hyperosmolar syndrome?
e. Apa saja klasifikasi Hyperglycemic hyperosmolar syndrome?
f. Apa saja pemeriksaan penunjang pada Hyperglycemic hyperosmolar
syndrome?
g. Bagaimana penatalaksanaan Hyperglycemic hyperosmolar syndrome?
h. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien Hyperglycemic
hyperosmolar syndrome?

2
C. Tujuan
1. Tujuan umum
Untuk memberikan informasi mengenai Hyperglycemic
hyperosmolar syndrome (HHS)
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui pengertian Hyperglycemic hyperosmolar
syndrome
b. Untuk mengetahui etiologi Hyperglycemic hyperosmolar
syndrome
c. Untuk mengetahui manifestasi klinis Hyperglycemic
hyperosmolar syndrome
d. Untuk mengetahui patofisiologi Hyperglycemic hyperosmolar
syndrome
e. Untuk mengetahui klasifikasi Hyperglycemic hyperosmolar
syndrome
f. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang Hyperglycemic
hyperosmolar syndrome
g. Untuk mengetahui penatalaksanaan Hyperglycemic hyperosmolar
syndrome
h. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien
Hyperglycemic hyperosmolar syndrome

3
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hyperosmolar Hiperglikemia State adalah komplikasi akut diabetes
mellitus yang ditandai dengan hiperglikemia, hyperosmolar, dehidrasi
berat tanpa ketoasidosis. Pada keadaan ini kadar glukosa darah sangat
tinggi sehingga darah menjadi sangat kental, kadar glukosa darah DM
bisa sampai diatas 600 mg/dl. Hal ini akan menarik air keluar sel dan
selanjutnya keluar dari tubuh melalui kencing. Maka, muncullah
kekurangan cairan tubuh atau dehidrasi (Mansjoer, 2010).

B. Tanda dan Gejala


Menurut Tarwoto (2012) tanda gejala HHS (Hyperosmolar
Hiperglikemia State) diantaranya:
1. Penurunan kesadaran, koma, gangguan orientasi
2. Tanda hiperglikemia seperti poliria,polidipsi, dan polifagia
3. Tanda-tanda dehidrasi
4. Gangguan keseimbangan elektrolit seperti hipernatremia,
hipokalemia,dan hipofosfatemia dan gangguan asam basa.

C. Patofisiologi
HHS menggambarkan kekurangan hormon insulin dan kelebihan
hormon glukagon. Penurunan insulin menyebabkan hambatan pergerakan
glukosa ke dalam sel, sehingga terjadi akumulasi glukosa di plasma.
Peningkatan kadar glukosa mengakibatkan hiperosmolar. Kondisi
hiperosmolar serum akan menarik cairan intraseluler ke dalam
intravaskuler, yang dapat menurunkan volume cairan intraseluler.
Hal ini akan menyebabkanpasien mengalami dehidrasi yang dapat
berujung kematian. Tinggi kadar glukosa serum akan dikeluarkan melalui
ginjal.

4
Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air maka semua
kelebihan dikeluarkan bersama urin yang disebut glukosuria yang dapat
mengakibatkan diuresis osmotik secara berlebihan.
Hilangnya air yang lebih banyak dibandingkan natrium
menyebabkan hiperosmolar. Bersamaan keadaan glukosuria maka sejumlah
air hilang dalam urine yang disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan
dehidrasi intraseluler, hal ini akan merangsang pusat haus sehingga pasien
akan merasakan haus terus-menerus sehingga pasien akan minum terus yang
disebut polidipsi. Kemudian produksi insulin yang kurang pun akan
menyebabkan menurunnya transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel
kekurangan makanan dan simpanan karbohidrat, lemak, protein menjadi
menipis. Karena digunakan untuk melakukan pembakaran dalam tubuh,
maka klien akan merasa laper sehingga menyebabkan banyak makan yang
disebut poliphagia. Kegagalan tubuh mengembalikan ke situasi homestasis
akan mengakibatkan hiperglekemia, hiperosmolar, diuresis osmotik
berlebihan dan dehidrasi berat. Disfungsi sistem saraf pusat karena
gangguan transport oksigen ke otak dan cenderung menjadi koma
(Soewondo, 2009).
Adanya keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar ini jika kehilangan
cairan tidak dikompensasi dengan masukan cairan oral maka akan timbul
dehidrasi dan kemudian hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan
hipotensi dan nantinya akan menyebabkan gangguan pada perfusi jaringan.
Keadaan koma merupakan stadium terakhir dari proses hiperglikemik ini,
dimana telah timbul gangguan elektrolit berat dalam kaitannya dengan
hipotensi (Soewondo, 2009).

5
D. Pathway

(Soewondo, 2009).

6
E. Pemeriksaan diagnostic
1. Pemeriksaan darah
a) Pemeriksaan kadar gula darah >800 mg/dl, keton darah dan
analisa gas darah, osmolalitas serum, leukosit, sel darah merah,
hemoglobin , dan trombosit ( Oktaliani, R & Aywar, Z. 2019 ).
b) Elektrolit : natrium ( Oktaliani, R & Aywar, Z. 2019 ).
c) Pemeriksaan HbA1C bermanfaat untuk menentukan apakah
episode akut dari krisis hiperglikemi ini terjadi akibat kulminasi
dari proses perjalanan penyakit DM yang tidak terdiagnosis
sebelumnya atau tidak terkontrol baik atau murni merupakan
episode akut dari DM yang selama ini terkontrol baik. (mb nadea)
2. Pemeriksaan urin : pH urin, protein, glukosa urin, dan keton (
Semarawima, G. 2017 ).
3. Pemeriksaan serologi
Biakan urine, darah dan usap tenggorokan dilakukan untuk
pertimbangan pemberian antibiotika yang sesuai dengan
mikroorganisme penyebab infeksi ( mb nadea)
4. Pemeriksaan radiologi : elektrokardiografi, rontgen thorax ( Oktaliani,
R & Aywar, Z. 2019 ).

F. Komplikasi
Hipoglikemia dan hipokalemia merupakan komplikasi yang paling
sering ditemukan pada tata laksana HHS. Hipoglikemia terjadi karena
pemakaian insulin yang terlalu agresif atau pemantauan yang tidak baik.
Hipokalemia dapat terjadi karena pemakaian insulin, pemberian
bikarbonas natrikus dan rebound hyperglycemia karena penghentian
insulin intravena tidak dialnjutkan dengan insulin subkutan.
Komplikasi yang perlu diwaspadai pada HHS adalah edema serebri
yang manifes rata-rata 4-12 jam saat terapi dimulai. Secara klinis
ditandai dengan nyeri kepala, letargi dan penurunan kesadaran (koma)
atau kejang.Pada berbagai literatur dikatakan peberian cairan rehdrasi

7
yang cepat dan berlebihan dan pemberian bikarbonat merupakan faktor
risiko penting terjadinya edema serebri.
Rhabdomyolysis dengan atau tanpa nekrosis tubular akut
merupakan komplikasi yang berbahaya pada HHS. Diagnosis
ditegakkan dengan pemeriksaan serum kreatinin kinase setiap 2-3 jam.
Komplikasi ini merupakan suatu kedaruratan juga karena dapat memicu
gagal ginjal akut dengan hiperkalemia, hipokalsemia yang dapat
menyebabkan henti jantung. Apabila komplikasi ditemukan sebaiknya
konsul ke ahli nefrologi agar dapat dilakukan dialisis secepatnya.

G. Penatalaksanaan
Terapi HHS ditujukan untuk mengoreksi penurunan volume,
mengendalikan hiperglikemi dan mengidentifikasi penyebab mendasar
HHS dan mengobtinya.
Prinsip pengobatan HHS meliputi :
1. Koreksi terhadap :
a) Dehidrasi
b) Hiperglikemi
c) Gangguan keseimbangan elektrolit
2. Pengenalan dan pengobatan terhadap faktor pencetus
3. Follow up yang ketat
Terapi cairan
Terapi cairan initial/awal dimaksudkan untuk memperbaiki volume
cairan intra dan ekstravaskuler serta memperbaiki perfusi ginjal. Bila tidak
ada kelainan / gangguan fungsi jantung diberikan cairan isotonis NaCl 0,9%
dengan kecepatan 15 sampai 20 ml/kg BB/jam. Pada 1 jam pertama tetesan
cairan dipercepat (1-1,5 liter). Pada jam berikutnya, terapi cairan tergantung
derajat dahidrasi , kadar elektrolit serum dan diuresis (jumlah urin).
Secara umum, infus 0,45% NaCl dengan dosis 4-14 ml/kgBB/jam
dapat diberikan bila kadar Na serum normal atau meningkat. Bila kadar Na
rendah diberikan 0,9% NaCl dengan kecepatan yang sama. Setelah fungsi

8
ginjalmembaik, terlihat dengan adanya diuresis, segera diberikan infus
Kalium sebanyak 20 – 30 mEq/l sampai kondisi pasien stabil dan dapat
menerima suplemen Kalium oral.
Terapi insulin
Regular Insulin (RI) melalui infus intravena berkesinambungan
merupakan terapi pilihan. Dosis rendah ini biasanya dapat menurunkan
kadar glukosa plasma sebesar 50 – 75 mg/dl per jam, sama seperti pada
pemberian regimen insulin dengan dosis yang lebih tinggi. Bilakadar
glukosa plasma tidak turun sebesar 50 mg/dl dari kadar awal, periksa
keadaan hidrasi pasien. Infus insulin dapat ditingkatkan 2 kali lipat setiap
jam sampai kadar glukosa plasma turun antara 50 sampai 75 mg/dl per jam.
Bila kadar glukosa plasma mencapai 250 mg/dl pada KAD atau 300 mg/dl
pada KHH, dosis insulin diturunkan menjai 0,05 – 0,1 Ul/kgBB/jam (3-6
Ul/jam) dan pemberian Dextrose (5-10%). Selanjutnya kecepatan insulin
atau konsentrasi Dextrose disesuaikan untuk mempertahankan kadar
glukosa plasma normal sampai gangguan mental dan keadaan hperosmolar
pada HHS dapat diatasi.
Selama pengobatan HHS, darah sebaiknya diperiksa setiap 2-4 jam
untuk menetukan kadar elektrolit serum, glukosa, ureum, kreatinin,
osmolalitas dan pH darah vena.
Kalium
Terapi insuli, koreksi terhadap asidosis dan penambahan cairan
dapat menurunkan kadar kalium serum. Untuk mencegah hipokalemi,
penambahan kalium hendaklah dimulai bila kadar kalium serum turun
dibawah 5,5 mEq/l dengan syarat bila sudah terjadi diuresis. Umumnya
pemberian kalium sebanyak 20-30 mEq/l (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) dalam
setiap liter cairan infus sudah cukup untuk mempertahankan kadar kalium
serum dalam batas normal (4-5 mEq/l). Bila terjadi hipokalemi berat
hendaklah dimulai bersamaan dengan terapi cairan dan terapi insulin
ditunda dulu sampai kadar kalium mencapai >3,3 mEq/l, untuk mencegah
terjdinya aritmia atau cardiac arrest dan kelemahan otot pernafasan.

9
H. Asuhan Keperawatan
Perawatan pada pasien yang mengalami injuri oleh tim trauma agak
berbeda dengan pengobatan secara tradisional, di mana penegakan
diagnosa, pengkajian dan manajemen penatalaksanaan sering terjadi
secara bersamaan dan dilakukan oleh dokter yang lebih dari satu.
Seorang leader tim harus langsung memberikan pengarahan secara
keseluruhan mengenai penatalaksanaan terhadap pasien yang
mengalami injuri, yang meliputi: Primary survey, Resuscitation,
History, Secondary survey Definitive care(Fulde, 2009).
1. Primary Survey
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian
dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang
mengancam kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk
mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang
mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey
antara lain (Fulde, 2009) :
a. Airway maintenance dengan cervical spine protection
b. Breathing dan oxygenation
c. Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
d. Disability-pemeriksaan neurologis singkat
e. Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan
primary survey bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan
yang benar dan langkah berikutnya hanya dilakukan jika langkah
sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim
dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan
anggota yang telah dialokasikan peran tertentu seperti airway,
circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai
pembagian waktu dalam keterlibatan mereka (American College of
Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang
pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci untuk perawatan trauma

10
yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh
pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang
melalui pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain
(Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009) :
a. Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah
memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak pasien
berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan
nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka
jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak
sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang
belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika
dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi
jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada
kondisi pasien tidak sadar.
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada
pasien antara lain :
1) Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat
berbicara atau bernafas dengan bebas
2) Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien
antara lain:
a) Adanya snoring atau gurgling
b) Stridor atau suara napas tidak normal
c) Agitasi (hipoksia)
d) Penggunaan otot bantu pernafasan/ paradoxical
chest movements
e) Sianosis
3) Look and listen bukti adanya masalah pada saluran napas
bagian atas dan potensial penyebab obstruksi :
a) Muntahan

11
b) Perdarahan
c) Gigi lepas atau hilang
d) Gigi palsu
e) Trauma wajah
4) Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan
nafas pasien terbuka.
5) Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu
pada pasien yang berisiko untuk mengalami cedera
tulang belakang.
6) Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan
nafas pasien sesuai indikasi :
a) Chin lift/ jaw thrust
b) Lakukan suction (jika tersedia)
c) Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway,
Laryngeal Mask Airway
d) Lakukan intubasi

b. Pengkajian Breathing (Pernafasan)


Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai
kepatenan jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien.
Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka langkah-
langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan
drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open
chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada
pasien antara lain :
1) Look, listen andfeel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan
oksigenasi pasien.
a) Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah
ada tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating

12
injury, flail chest, sucking chest wounds, dan penggunaan
otot bantu pernafasan.
b) Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling
iga, subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk
diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
c) Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
2) Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada
pasien jika perlu.
3) Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih
lanjut mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
4) Penilaian kembali status mental pasien.
5) Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
6) Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat atau
oksigenasi:
a) Pemberian terapi oksigen
b) Bag-Valve Masker
c) Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi
penempatan yang benar), jika diindikasikan
d) Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced
airway procedures
7) Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa
lainnya dan berikan terapi sesuai kebutuhan.

c. Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi
organ dan oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab
syok paling umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan pada
temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat,
ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan
produksi urin.

13
Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan
salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah
terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk
melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang
mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension
pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan
anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus di
identifikasi melalui paparan pada pasien secara memadai dan
dikelola dengan baik.
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi
pasien, antara lain :
1) Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
2) CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk
digunakan.
3) Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan
dengan pemberian penekanan secara langsung.
4) Palpasi nadi radial jika diperlukan:
a) Menentukan ada atau tidaknya
b) Menilai kualitas secara umum (kuat/ lemah)
c) Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
d) Regularity
5) Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau
hipoksia (capillary refill).
6) Lakukan treatment terhadap hipoperfusi

d. Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities


Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan
skala AVPU :
1) A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya
mematuhi perintah yang diberikan

14
2) V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara
yang tidak bisa dimengerti
3) P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat
tungkai jika ekstremitas awal yang digunakan untuk
mengkaji gagal untuk merespon)
4) U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik
stimulus nyeri maupun stimulus verbal.

e. Expose, Examine dan Evaluate


Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada
pasien. Jika pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang
belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan. Lakukan
log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien.
Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada
pasien adalah mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan
eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan,
tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien,
kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma
yang mengancam jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus
segera dilakukan:
1) Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada
pasien
2) Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam
nyawa pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada
pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis (Gilbert.,
D’Souza., & Pletz, 2009).

15
I. Rencana Keperawatan

Diagnosa Tujuan Intervensi


1. Ketidakseimbangan nutrisi NOC NIC
kurang dari kebutuhan a. Status nutrisi: asupan a. Manajemen gangguan
tubuh berhubungan dengan makanan dan cairan (1008) makan (1030)
kurang asupan makanan 1) Asupan makanan secara 1) Monitor intake/ asupan
oral adekuat dan asupan cairan
2) Asupan cairan secara oral secara tepat
adekuat 2) Monitor asupan kalori
3) Asupan cairan intravena makanan harian
adekuat 3) Dorong klien untuk
4) Asupan nutrisi parenteral mendiskusikan
adekuat makanan yang disukai
b. Nafsu makan (1014) bersama dengan ahli
1) Peningkatan keinginan gizi
untuk makan 4) Berikan dukungan dan
2) Peningkatan rangsangan arahan jika diperlukan
untuk makan 5) Dorong klien untuk
3) Intake makanan adekuat memonitor sendiri
4) Intake cairan adekuat asupan makanan harian
5) Intake nutrisi adekuat dan menimbang berat
badan secara tepat

6) Kolaborasi dengan tim


kesehatan lain untuk
mengembangkan
rencana keperawatan
dengan melibatkan
klien dan orang-orang
terdekatnya dengan
tepat
b. Manajemen Nutrisi (1100)
1) Monitor kalori dan
asupan makanan
2) Atur diet yang
diperlukan (yaitu:
menyediakan makanan
protein tinggi,
menyarankan
menggunakan bumbu
dan rempah-rempah
sebagai alternative
untuk garam,
menyediakan pengganti
gula, menambah atau
mengurangi kalori,
menambah atau
mengurangi vitamin,

16
mineral, atau
suplemen)
3) Beri obat-obatan
sebelum makan jika
diperlukan (misalnya,
penghilang rasa sakit,
antiemetic)
4) Berikan pilihan
makanan sambil
menawarkan
bimbingan terhadap
pilihan makanan yang
lebih sehat, jika
diperlukan
5) Anjurkan pasien terkait
dengan kebutuhan diet
untuk kondisi sakit
6) Anjurkan keluarga
untuk membawa
makanan favorit pasien
sementara pasien
berada di rumah sakit
atau fasilitas
perawatan, yang sesuai
7) Tentukan status gizi
pasien dan kemampuan
pasien untuk memenuhi
kebutuhan gizi
c. Monitor Nutrisi (1160)
1) Monitor turgor kulit
dan mobilitas
2) Monitor adanya mual
muntah
3) Timbang berat badan
pasien
4) Lakukan pengukuran
antropometrik pada
komposisi tubuh
(misalnya, indeks
massa tubuh,
pengukuran pinggang,
dan lipatan kulit)
5) Lakukan kemampuan
menelan
6) Tentukan factor yang
mempengaruhi nutrisi
2. Kekurangan volume cairan NOC NIC
berhubungan dengan a. Hidrasi (0602) a. Monitor cairan (4130)
- Kehilangan Cairan 1) Turgor kulit lembab 1) Monitor asupan dan
Aktif pengeluaran

17
- Gangguan yang 2) Membrane mukosa 2) Berikan agen
memengaruhi absorbs lembab farmakologis untuk
cairan 3) Keseimbangan intake meningkatkan
- Gangguan yang cairan dan output urin pengeluaran
memengaruhi asupan 4) Hematocrit normal pengeluaran urin
cairan 5) Nadi nnormal 3) Tentukan jumlah dan
- Asupan cairan kurang 6) Suhu tubuh dalam batas jenis intake/asupan
normal cairan serta kebiasaan
7) Tekanan darah normal eliminasi
4) Tentukan factor-faktor
yang mungkin
menyebabkan
ketidakseimbangan
cairan (misalnya,
kehilangan albumin,
infeksi, muntah, dan
diare)
5) Konsultasikan ke
dokter jika pengeluaran
urin kurang dari
0.5ml/kg/jam atau
asupan cairan orang
dewasa kurang dari
2000 dalam 24 jam

b. Manajemen cairan (4120)


1) Monitor status hidrasi
(misalnya, membrane
mukosa lembab, denyut
nadi adekuat, dan
tekanan darah
ortostatik
2) Berikan cairan IV,
diuretic yang
diresepkan, dan cairan
dengan tepat
3) Konsultasikan dengan
dokter jika tanda-tanda
dan gejala kelebihan
volume cairan menetap
atau memburuk
c. Manajemen diare
1) Monitor tanda dan
gejala diare
2) Anjurkan pasien
menghindari makanan
pedas dan yang
menimbulkan gas
dalam perut

18
3) Intruksikan pasien atau
anggota keluaraga
untuk mencatat warna,
volume frekuensi, dan
konsistensi
4) Berikan makanan
dalam porsi kecil dan
lebih sering serta
tingkatkan porsi secara
bertahap
5) Konsultasikan dengan
dokter jika tanda dan
gejala diare menetap
6) Beritahu dokter jika
terjadi peningkatan
frekuensi atau suara
perut
3. Kerusakan integritas kulit NOC NIC
berhubungan dengan a. Integritas jaringan: kulit dan a. Perawatan Kaki (1660)
gangguan sensasi membrane mukosa (1101) 1) Periksa kulit untuk
1) Lesi pada kulit mengetahui adanya iritasi/
2) Nekrosis edema
2) Diskusikan dengan pasien
mengenai perawatan rutin
kaki
b. Perawatan Tirah Baring (0740)
1) Monitor kondisi kulit
2) Ajarkan latihan di tempat
tidur dengan cara yang tepat

4. Resiko cedera berhubungan NOC NIC


dengan faktor resiko gangguan a. Deteksi Resiko (1908) a. Peningkatan Latihan (0200)
sensasi 1) Mengenali tanda dan gejala 1) Monitor individu terhadap
yang mengindikasikan program latihan
resiko 2) Damping pasien pada saat
2) Mendapatkan informasi pengembangan program
terkait perubahan gaya hidup latihan untuk memenuhi
untuk kesehatan kebutuhannya
b. Kontrol Resiko (1902) 3) Instruksikan individu
1) Memonitor perubahan status terkait dengan tipe
kesehatan aktivitivitas fisik yang
sesuai dengan derajat
kesehatannya
4) Kolaborasi dengan
dokter dan ahli terapi
fisik

19
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Hyperosmolar Hiperglikemia State adalah komplikasi akut diabetes
mellitus yang ditandai dengan hiperglikemia, hyperosmolar, dehidrasi berat
tanpa ketoasidosis. Pada keadaan ini kadar glukosa darah sangat tinggi sehingga
darah menjadi sangat kental, kadar glukosa darah DM bisa sampai diatas 600
mg/dl. Diagnosa yang mungkin muncul pada HHS : Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurang asupan makanan,
Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif,
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sensasi, Resiko cedera
berhubungan dengan faktor resiko gangguan sensasi.

B. Saran
1. Mahasiswa
Diharapkan mampu mengenal, memahami penyakit Hyperosmolar
Hyperglicemic State serta penanganan gawat darurat pada pasien dengan
Hyperosmolar Hyperglicemic State
2. Pendidikan
Memberikan pemahaman kepada mahasiswa yang lebih luas tentang
penanganan gawat darurat pasien dengan Hyperosmolar Hyperglicemic
State
3. Tenaga Kesehatan
Dapat memberikan asuhan keperawatan secara professional khususnya
pada pasien gawat darurat.

20
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, Arif.dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna
Publishing
Mansjoer dkk. 2010. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Morton, P G. 2011. Keperawatan Kritis vol 2. Jakarta: EGC
Oktaliani, R & Aywar, Z. (2019). Hyperosmolar Hyperglycemic State (HHS).
JMJ, 7(1), 50-55.
Riset Kesehatan Dasar. 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI.
Semarawima, G. 2017. Status Hiperosmolar Hiperglikemik. Medicina, 48(1), 49-
53
Soewondo, Pradana. 2009. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik.
Jakarta: Interna Publishing
Tarwoto, et al. 2012. Keperawatan Mental Bedah Gangguan Sistem Endokrin.
Jakarta: CV Trans Info Media
Venkatraman, R, Singhi, S, C. 2010. Hyperglicemic Hyperosmolar Nonketotic
Syndrome. Indian Journal of Peditric, 2008 (73):1
Zeiter,P dkk. 2011. Hyperglicemic Hyperosmolar Syndrome in Children:
Pathophysiological consideration and Suggested Guidelines for Treatment.
The Journal of Pediatric. 2011 (4): 1
Fulde, Gordian. 2009. Emergency Medicine, 5th Edition. Australia: Elsevier.
Gilbert, Gregory., D’souza, Peter., Pletz, Barbara.(2009). Patient Assessment
Routine Medical Care Primary And Secondary Survey. San Mateo County
Ems Agency.
Thygerson, Alton. (2011). Pertolongan Pertama. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga
Medical Series

21

Anda mungkin juga menyukai