Tutorial A - Limfoma
Tutorial A - Limfoma
1
Analisis Masalah
1. Apa penyebab benjolan sebesar telur puyuh dan tidak nyeri?
Beberapa penyebab benjolan di leher antara lain, limfoma, infeksi misalnya faringitis
bakteri atau virus, mononucleosis infeksiosa dan toksoplasmosis. Keganasan seperti
limfoma, kanker nasofaring dan kanker tiroid dapat menimbulkan adenopati leher local.
Pembengkakkan karena infeksi dapat sembuh sendiri.
2. Mengapa mudah berkeringat, nafsu makan menurun, demam?
Timbulnya gejala tersebut karena penyebaran limfoma ke seluruh tubuh.
3. Mengapa berat badan menurun dalam 2 bulan terakhir?
BB menurun akibat penyebaran limfoma ke seluruh tubuh dan ke usus halus. Kehilangan
berat badan dapat disebabkan oleh sel kanker limfoma yang tumbuh dengan cepat dengan
menggunakan sumber energi dalam tubuh dan secara tiba-tiba mengalami ketergantungan
pada tubuh.
4. Apa hubungan memelihara kucing terhadap keluhan?
-
5. Apa hubungan riwayat keluarga terhadap keluhan Tn.M?
Adanya hubungan riwayat keluarga yang mengalami kanker meningkatkan resiko/ menjadi
faktor resiko terjadinya keganasan.
6. Makna klinis hasil pemeriksaan diatas?
7. DK
Tn. M, laki-laki, 40 tahun, buruh bangunan, didiagnosa mengalami limfadenopati akibat
malignansi/ keganasan (limfoma).
8. Patogenesis
LI
9. Pemeriksaan penunjang (Gold standard)
LI
10. Prognosis
LI
2
Learning Issue
Sistem Limfatik
Sistem limfatik adalah bagian dari sistem imun. Sistem limfatik terdiri dari.
1. Pembuluh limfe
Sistem limfatik memiliki jaringan terhadap pembuluh-pembuluh limfe. Pembuluh-
pembuluh limfe tersebut yang kemudian akan bercabang-cabang ke semua jaringan tubuh.
2. Limfe
Pembuluh-pembuluh limfe membawa cairan jernih yang disebut limfe. Limfe terdiri dari
sel-sel darah putih, khususnya limfosit seperti sel B dan sel T.
3. Nodus Limfatikus
Pembuluh-pembuluh limfe terhubung ke sebuah massa kecil dan bundar dari jaringan yang
disebut nodus limfatikus. Kumpulan dari nodus limfatikus ditemukan di leher, bawah
ketiak, dada, perut, dan lipat paha. Nodus limfatikus dipenuhi sel-sel darah putih. Nodus
limfatikus menangkap dan membuang bakteri atau zat-zat berbahaya lainnya yang berada
di dalam limfe.
4. Bagian sistem limfe lainnya
Bagian sistem limfe lainnya terdiri dari tonsil, timus, dan limpa. Sistem limfatik juga
ditemukan di bagian lain dari tubuh yaitu pada lambung, kulit, dan usus halus.
3
berisi sejumlah besar limfosit dan bertindak seperti penyaring, menangkap organisme yang
menyebabkan infeksi seperti bakteri dan virus.
Kelenjar getah bening cenderung bergerombol dalam suatu kelompok seperti pada
sekelompok besar di ketiak, di leher dan lipat paha. Ketika suatu bagian tubuh terinfeksi atau
bengkak, kelenjar getah bening terdekat sering membesar dan nyeri. Hal berikut ini terjadi,
sebagai contoh, jika seseorang dengan sakit leher mengalami ‘pembengkakan kelenjar’ di
leher, cairan limfatik dari tenggorokan mengalir ke dalam kelenjar getah bening di leher,
dimana organisme penyebab infeksi dapat dihancurkan dan dicegah penyebarannya ke bagian
tubuh lainnya.
4
tetapi pada beberapa orang limfoma terbentuk di perut, hati atau yang jarang sekali di otak.
Bahkan, suatu limfoma dapat terbentuk di mana saja. Seringkali lebih dari satu bagian tubuh
terserang oleh penyakit ini.
Limfoma
Limfoma adalah suatu proliferasi klonal pada sel-sel limfoid yang berasal dari kelenjar
getah bening atau jaringan limfoid lainnya yang mencakup system limfatik dan system
imunitas tubuh.
Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya tidak
diketahui, tetapi sering dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein Barr yang ditemukan
pada limfoma Burkitt. Terdapat kaitan jelas antara limfoma Hodgkin dan infeksi virus
Epstein Barr. Pada kelompok terinfeksi HIV, insiden limfoma Hodgkin agak meningkat
dibanding masyarakat umum, selain itu manifestasi klinis limfoma Hodgkin yang terkait HIV
sangat kompleks, sering kali terjadi pada stadium lanjut penyakit, mengenai regio yang
jarang ditemukan, seperti sumsum tulang, kulit, meningen, dan lainnya.
Infeksi virus dan regulasi abnormal imunitas berkaitan dengan timbulnya
limfoma non Hodgkin, bahkan kedua mekanisme tersebut saling berinteraksi. Virus
RNA, HTLV-1 berkaitan dengan leukemia sel T dewasa, virus imunodefisiensi humanus (HIV)
yang menyebabkan AIDS, defek imunitas yang diakibatkan berkaitan dengan timbulnya
keganasan limfoma sel B yang tinggi, virus hepatitis C (HCV) berkaitan dengan timbulnya
limfoma sel B indolen. Gen dari virus DNA, virus Epstein Barr (EBV) telah ditemukan
terdapat di dalam genom sel limfoma Burkitt Afrika. Infeksi kronis Helicobacter pylori
berkaitan jelas dengan timbulnya limfoma lambung, terapi eliminasi H. Pylori dapat
menghasilkan remisi pada 1/3 lebih kasus limfoma lambung. Defek imunitas dan menurunnya
regulasi imunitas berkaitan dengan timbulnya limfoma non Hodgkin, termasuk AIDS, reseptor
cangkok organ, sindrom defek imunitas kronis, penyakit autoimun.
Limfoma Hodgkin
A. Definisi
Penyakit Hodgkin adalah kanker yang berawal dari sel-sel sistem imun. Penyakit
Hodgkin berawal saat sel limfosit yang biasanya adalah sel B (sel T sangat jarang) menjadi
abnormal. Sel limfosit yang abnormal tersebut dinamakan sel Reed Sternberg.
Sel Reed Sternberg tersebut membelah untuk memperbanyak dirinya. Sel Reed
Sternberg yang terus membelah membentuk begitu banyak sel limfosit abnormal. Sel-sel
5
abnormal ini tidak mati saat waktunya tiba dan mereka juga tidak melindungi tubuh dari
infeksi maupun penyakit lainnya. Pembelahan sel abnormal yang terus menerus ini
menyebabkan terbentuknya massa dari jaringan yang disebut tumor.
B. Epidemiologi
Angka kejadian penyakit Hodgkin mempunyai kurva bimodal yang khas baik pada
laki-laki maupun pada perempuan, dengan salah satu puncaknya pada usia 15-30 tahun
yang diikuti dengan puncak lainnya pada usia 45-55 tahun. Di negara sedang berkembang
seperti Indonesia, umur puncak terjadi pada umur sebelum remaja. Secara umum, laki-laki
lebih banyak bila dibandingkan dengan perempuan.
C. Faktor Risiko
1. Virus tertentu
Terinfeksi virus Epstein Barr (EBV) atau human immunodeficiency virus (HIV) dapat
meningkatkan risiko penyakit Hodgkin. Bagaimanapun juga, limfoma tidak menular,
sehingga tidak mungkin mendapatkan limfoma dari orang lain.
2. Sistem imun lemah
Risiko mengidap penyakit Hodgkin meningkat dengan sistem imun yang lemah (seperti
keadaan sedang mengkonsumsi obat-obatan penekan imun pasca transplantasi organ).
3. Usia
Penyakit Hodgkin umumnya terdapat pada usia remaja dan dewasa muda berumur 15-35
tahun, juga pada dewasa berumur ≥ 50 tahun.
4. Riwayat keluarga
Anggota keluarga khususnya kakak atau adik dari seseorang dengan penyakit Hodgkin
atau limfoma lainnya, dapat meningkatkan kemungkinan seseorang mengidap penyakit
Hodgkin.
D. Patomekanisme
Limfoma hodgkin terjadi akibat adanya sel B yang menjadi abnormal karena
adanya Virus Epstein-Barr yang mengandung banyak NF-κB. NF-κB merupakan salah
satu faktor transkrip yang bisa merangsang proliferasi sel B terus menerus terjadi. Selain
itu, NF-κB juga melindungi sel B dari sinyal apoptotik, sel abnormal ini miripsel raksasa
neoplastik khas yang disebut sel Reed-sternberg.
6
$
Mekanisme pembentukan limfoma Hodgkin
Sel Reed-Sternberg merupakan sel ganas yang masih belum jelas asalnya dari
mana. Sel tersebut diperkirakan berasal dari early lymphoid cell atau histiosit. Penelitian
terakhir menyebutkan dengan melihat rearrangement gen imunoglobulin, sel Reed-
Sternberg bersifat B-lymphoid lineage. Akan tetapi, ada yang mengatakan sel Reed-
Sternberg berasal dari sel B dari germinal centre. Penyakit ini disusun dalam suatu
setting yang terdiri atas sel ganas (sel Reed-Sternberg) yang dikelilingi oleh sel radang
pleomorf. Perbandingan jumlah sel ganas dengan sel radang bergantung pada derajat
respon imunologik penderita. Jika terjadi respon sel radang yang kuat sehingga sel-sel
limfosit lebih dominan dibandingkan dengan sel Reed-Sternberg maka orang itu
memiliki status imunologik yang baik, sedangkan orang yang memiliki status
imunologik yang kurang baik akan memberikan respon imunologik yang rendah
sehingga sel-sel limfosit tidak terlalu banyak (depleted). Perbandingan sel Reed-
Sternberg dengan limfosit ini akan menentukan klasifikasi histologik penyakit Hodgkin
dan akan berpengaruh terhadap prognosis.
Sel Reed-Sternberg menjadi tanda patologi yang khas untuk limfoma hodgkin
dimana pada limfoma non hodgkin tidak diketemukan sel tersebut.
E. Gambaran Patologik dan Klasifikasi
Ketepatan diagnosis hanya mungkin dilakukan dengan pemeriksaan patologi yang
benar, bahan pemeriksaan yang berasal dari biopsi jarum dan irisan beku segar pada
jaringan kurang dapat menggambarkan struktur dan stroma sel secara baik. Untuk itu
7
dibutuhkan pemeriksaan jaringan limfonodi secara mikroskopis dan ditemukan adanya sel
Reed Sternberg yang spesifik. Sel Reed Sternberg merupakan sel limfoid yang besar
dengan banyak nukleus yang mengelilingi nuklei sehingga memberikan gambaran seperti
halo. Sel Reed Sternberg secara konsisten menghasilkan antigen CD15 dan CD30. CD15
adalah marker dari sel granulosit, monosit, dan sel T teraktifasi yang normalnya tidak
dihasilkan oleh garis keturunan sel B. CD30 adalah marker dari aktifasi limfosit yang
dihasilkan oleh sel limfosit reaktif dan malignan dan pada awalnya diidentifikasi sebagai
antigen permukaan sel-sel Reed Sternberg.
8
Pada nodular sclerosis hodgkin disease (NSHD), 60 – 80% dari seluruh kasus
Limfoma Hodgkin, morfologinya menunjukkan adanya nodular. NSHD umumnya
muncul pada remaja dan dewasa muda. Biasanya terlokasi di mediastinum dan lokasi
supradiaphragmatic lainnya. Kelenjar mengandung nodul-nodul yang dipisahkan oleh
serat kolagen. Sering dilaporkan sel Reed Sternberg yang atipik yang disebut sel
Hodgkin. Sering didapatkan pada wanita muda/remaja. Sering menyerang kelenjar
mediastinum.
9
yang luas dan mengenai organ ekstra nodul. Sering pula disertai gejala sistemik seperti
demam, berat badan menurun dan berkeringat. Prognosisnya lebih buruk.
(A) (B)
10
4. Lymphocyte-rich classic Hodgkin disease
Kejadian kasus Lymphocyte-rich classic Hodgkin disease (LDHD) berkisar 5 %
dari semua kasus Dalam LRHD, Reed-Sternberg sel dari jenis klasik atau lacunar
diamati, dengan latar belakang infiltrasi limfosit. Hal ini membutuhkan diagnosis
imunohistokimia. Beberapa kasus mungkin memiliki pola nodular. Secara klinis, pola
presentasi dan pola survival mirip dengan MCHD. Pada tipe ini gambaran patologis
kelenjar getah bening terutama terdiri dari sel-sel limfosit yang dewasa, beberapa sel
Reed Sternberg. Biasanya didapatkan pada anak muda. Prognosisnya baik.
11
Pembesaran kelenjar limfe daerah servikal dan supraklavikular yang hilang
timbul dan tidak menimbulkan rasa nyeri (asimtomatik). Pada 80% anak dengan penyakit
Hodgkin pembesaran kelenjar leher yang menonjol, 60% diantaranya juga disertai
pembesaran massa di mediastinal yang akan menimbulkan gejala kompresi pada trakea
dan bronkus. Pembesaran kelenjar juga ditemukan di daerah inguinal, aksiler, dan supra
diafragma meskipun jarang. Gejala konstitusi yang menyertai diantaranya adalah demam,
keringat malam hari, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, ditemukan
pada 40% pasien, sedangkan demam intermittent diobservasi pada 35% kasus.
Gambaran laboratorium pada umumnya tidak spesifik, diantaranya adalah
leukositosis, limfopenia, eosinofilia, dan monositosis. Gambaran laboratorium ini
merupakan refleksi dari aktifitas yang meningkat di sistem retikuloendotelial (misalnya
meningkatnya laju endap darah, kadar serum feritin, dan kadar serum tembaga)
dipergunakan untuk mengevaluasi perjalanan penyakit setelah terdiagnosis. Anemia yang
timbul merupakan deplesi dari imobilisasi zat besi yang terhambat ini menunjukkan
adanya penyakit yang telah meluas. Anemia hemolitik pada penyakit Hodgkin
menggambarkan tes Coomb positif menunjukkan adanya retikulosis dan normoblastik
hiperplasia dari sumsum tulang.
G. Stadium Penyakit Hodgkin
Pada penyakit ini dibedakan 2 macam staging:
Clinical staging
Staging dilakukan secara klinis saja tentang ada tidaknya kelainan organ tubuh.
Pathological staging
Penentuan stadium juga didukung dengan adanya kelainan histopatologis pada
jaringan yang abnormal. Pathological staging ini dinyatakan pula pada hasil biopsi
organ, yaitu: hepar, paru, sumsum tulang, kelenjar, limpa, pleura, tulang, kulit.
Staging menurut system Ann Arbor modifikasi Costwald
Stage I : Penyakit menyerang satu regio kelenjar getah bening atau satu struktur
limfoid (misal: limpa, timus, cincin Waldeyer).
Stage II : Penyakit menyerang dua atau lebih regio kelenjar pada satu sisi
diafragma, jumlah regio yang diserang dinyatakan dengan subskrip
angka, misal: II2, II3, dsb.
Stage III : Penyakit menyerang regio atau struktur limfoid di atas dan di bawah
diafragma.
12
III1 : menyerang kelenjar splenikus hiler, seliakal, dan portal
III2 : menyerang kelenjar para-aortal, mesenterial dan iliakal.
Stage IV : Penyakit menyerang organ-organ ekstra nodul, kecuali yang
tergolong E (E: bila primer menyerang satu organ ekstra nodal).
H. Diagnosis
Untuk membuat diagnosis penyakit Hodgkin pada anak dibutuhkan beberapa tahap
pemeriksaan diantaranya adalah
a. Pemeriksaan fisik ditemukan adanya pembesaran kelenjar limfe dengan berbagai
ukuran.
13
b. Pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis sel, laju endap darah, tes fungsi hati
dan ginjal, kelenjar alkali fosfatase.
c. Biopsi kelenjar limfe
d. Foto polos dada maupun scanning
e. Scanning abdomen dan pelvis atau MRI
f. Limfogram
g. Laparatomi
h. Aspirasi sumsum tulang
i. Scanning tulang
Tidak semua tahap pemeriksaan dikerjakan untuk membuat diagnosis penyakit Hodgkin
pada anak tergantung dari kasus serta fasilitas yang ada.
1. Klinis (anamnesis)
Keluhan penderita terbanyak adalah pembesaran kelenjar getah bening di leher,
aksila ataupun lipatan paha, berat badan semakin menurun dan kadang-kadang
disertai demam, keringat dan gatal.
2. Pemeriksaan Fisik
Palpasi pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri dapat ditemukan di
leher terutama supraklavikular (60-80%), aksiler (6-20%), dan yang paling jarang
adalah di daerah inguinal (6-20%) dengan konsistensi kenyal sepert karet. Mungkin
lien dan hati teraba membesar. Pemeriksaan THT perlu dilakukan untuk menentukan
kemungkinan cincin Waldeyer ikut terlibat. Sindrom vena cava superior mungkin
didapatkan pada pasien dengan masif limfa adenopati mediastinal.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, uji fungsi hati dan uji fungsi ginjal merupakan bagian
penting dalam pemeriksaan medis, tetapi tidak memberi keterangan tentang luas
penyakit, atau keterlibatan organ spesifik. Pada pasien penyakit Hodgkin serta pada
penyakit neoplastik atau kronik lainnya mungkin ditemukan anemia normokromik
normositik derajat sedang yang berkaitan dengan penurunan kadar besi dan kapasitas
ikat besi, tetapi dengan simpanan besi yang normal atau meningkat di sumsum tulang
sering terjadi reaksi leukomoid sedang sampai berat, terutama pada pasien dengan
gejala dan biasanya menghilang dengan pengobatan.
Eosinofilia absolut perifer ringan tidak jarang ditemukan, terutama pada pasien
yang menderita pruritus. Juga dijumpai monositosis absolut, limfositopenia absolut
(<1000 sel per millimeter kubik) biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit
14
stadium lanjut. Telah dilakukan evaluasi terhadap banyak pemeriksaan sebagai
indikator keparahan penyakit.
Sampai saat ini, laju endap darah masih merupakan pemantau terbaik, tetapi
pemeriksaan ini tidak spesifik dan dapat kembali ke normal walaupun masih terdapat
penyakit residual. Uji lain yang abnormal adalah peningkatan kadar tembaga,
kalsium, asam laktat, fosfatase alkali, lisozim, globulin, protein C-reaktif dan reaktan
fase akut lain dalam serum.
4. Sitologi Biopsi Aspirasi
Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH) sering digunakan pada diagnosis
limfadenopati untuk identifikasi penyebab kelainan tersebut seperti reaksi
hiperplastik kelenjar getah bening, metastasis karsinoma dan limfoma malignum.
Penyulit lain dalam diagnosis sitologi biopsi aspirasi LH ataupun LNH adalah
adanya negatif palsu, dianjurkan melakukan biopsi aspirasi multiple hole di beberapa
tempat permukaan tumor. Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai
dengan gambaran klinis, maka pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi.
5. Histopatologi
Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga untuk identifikasi
subtipe histopatologi LH ataupun LNH. Biopsi dilakukan bukan sekedar mengambil
jaringan, namun harus diperhatikan apakah jaringan biopsi tersebut dapat memberi
informasi yang adekuat. Biopsi biasanya dipilih pada rantai KGB di leher. Kelenjar
getah bening di inguinal, leher bagian belakang dan submandibular tidak dipilih
disebabkan proses radang, dianjurkan agar biopsi dilakukan dibawah anestesi umum
untuk mencegah pengaruh cairan obat suntik lokal terhadap arsitektur jaringan yang
dapat mengacaukan pemeriksaan jaringan.
6. Radiologi
Termasuk didalamnya,
a. Foto toraks untuk menentukan keterlibatan KGB mediastinal
b. Limfangiografi untuk menentukan keterlibatan KGB di daerah iliaka dan pasca
aortal
c. USG banyak digunakan melihat pembesaran KGB di paraaortal dan sekaligus
menuntun biopsi aspirasi jarum halus untuk konfirmasi sitologi
d. CT-Scan sering dipergunakan untuk diagnosa dan evaluasi pertumbuhan LH
7. Laparatomi
15
Laparotomi abdomen sering dilakukan untuk melihat kondisi KGB pada iliaka, para
aortal dan mesenterium dengan tujuan menentukan stadium. Berkat kemajuan
teknologi radiologi seperti USG dan CT-Scan ditambah sitologi biopsi aspirasi jarum
halus, tindakan laparotomi dapat dihindari atau sekurang-kurangnya diminimalisasi.
I. Diagnosis Banding
Diagnosis banding serupa dengan yang dijelaskan untuk limfoma non Hodgkin
pada pasien dengan limfadenopati di leher, infeksi misalnya faringitis bakteri atau virus,
mononucleosis infeksiosa dan toksoplasmosis harus disingkirkan. Keganasan lain,
misalnya limfoma non Hodgkin, kanker nasofaring dan kanker tiroid dapat menimbulkan
adenopati leher local. Adenopati ketiak harus dibedakan dengan limfoma non Hodgkin
dan kanker payudara.
Adenopati mediastinum harus dibedakan dengan infeksi, sarkoid dan tumor lain.
Pada pasien tua, diagnosis banding mencakup tumor paru dan mediastinum, terutama
karsinoma sel kecil dan non sel kecil. Mediastinitis reaktif dan adenopati hilus akibat
histoplasmosis dapat mirip dengan limfoma, karena penyakit tersebut timbul pada pasien
asimtomatik. Penyakit abdomen primer dengan hepatomegali, splenomegali dan adenopati
massif jarang ditemukan, dan penyakit neoplastik lain, terutama limfoma non Hodgkin
harus disingkirkan dalam keadaan ini. Beberapa diagnosis banding lainnya,
Cytomegalovirus
Infectious Mononucleosis
Kanker paru
Lymphoma, Non-Hodgkin
Sarcoidosis
Serum Sickness
Syphilis
Tuberculosis
J. Tatalaksana
Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang baik perlu adanya pendekatan
multidisiplin segera setelah didiagnosis. Faktor yang berpengaruh terhadap hasil
pengobatan diantaranya adalah umur pasien, psikologi, stadium penyakit dan gejala sisa
pengobatan. Pengobatan yang diberikan diharapkan mampu memberikan penyembuhan
untuk jangka panjang, dengan disease free survival (DFS) yang seimbang dengan risiko
16
pengobatan yang paling rendah. Protokol pengobatan pada anak saat ini hanya
menggunakan kemoterapi saja kadang-kadang dengan hanya memberikan dosis rendah
radiasi pada daerah yang terbatas.
Obat-obatan yang sering digunakan diantaranya adalah nitrogen mustard,
onkovin, prednison, prokarbasin (MOPP), adriamisis, bleomisin, vinblastin, dekarbasin
(ABVD), siklofosfamid dan banyak lagi protokol lainnya yang digunakan.
K. Prognosis
Prognosis penyakit Hodgkin ini relatif baik. Penyakit ini dapat sembuh atau
hidup lama dengan pengobatan meskipun tidak 100%. Tetapi oleh karena dapat hidup
lama, kemungkinan mendapatkan late complication makin besar. Late complication antara
lain,
1. Timbulnya keganasan kedua atau sekunder
2. Disfungsi endokrin yang kebanyakan adalah tiroid dan gonadal
3. Penyakit CVS terutama mereka yang mendapat kombinasi radiasi dan pemberian
antrasiklin terutama yang dosisnya banyak (dose related)
4. Penyakit pada paru pada mereka yang mendapat radiasi dan bleomisin yang juga dose
related
5. Pada anak-anak dapat terjadi gangguan pertumbuhan
Limfoma Non-Hodgkin
A. Definisi
Limfoma non Hodgkin adalah suatu keganasan primer jaringan limfoid yang
bersifat padat. Limfoma non Hodgkin merupakan penyakit yang heterogen, tergantung
dari gambaran klinik, imunofenotiping dan respons terhadap terapi. Gambaran penyakit
yang progresif lebih sering didapatkan pada anak dibanding dewasa. Demikian pula
gambaran histopatologik difus sering didapatkan pada anak (90%) daripada gambaran
noduler atau fotikuler pada dewasa.
B. Epidemiologi
Limfoma merupakan penyakit keganasan yang sering ditemukan pada anak,
hampir sepertiga dari keganasan pada anak setelah leukemia dan keganasan susunan syaraf
pusat. Angka kejadian tertinggi pada umur 7-10 tahun dan jarang dijumpai pada usia di
bawah 2 tahun. Laki-laki lebih sering bila dibandingkan dengan perempuan dengan
perbandingan 2,5:1. Limfoma ini juga mengenai orang dengan usia >60 tahun.
C. Gambaran Histologik
17
Anggapan pertama adalah bahwa status diferensiasi limfosit dapat dilihat dari
ukuran dan konfigurasi intinya, sel-sel limfoid yang kecil dan bulat dianggap sebagai sel-
sel yang berdiferensiasi baik, dan sel-sel limfoid kecil yang tidak beraturan bentuknya
dianggap sebagai limfosit yang berdiferensiasi buruk. Anggapan kedua adalah sel-sel
limfoid besar dengan inti vesikular dan mempunyai banyak sitoplasma yang biasanya
berwarna pucat dianggap berasal dari golongan monosit makrofag (histiosit).
Klasifikasi histopatologik sangat komplek dan tumpang tindih dengan klasifikasi
yang lain misalnya klasifikasi imunologik, sitogenetik maupun molekuler sehingga masih
membingungkan. Klasifikasi yang banyak dipergunakan adalah dari Rappaport (R), Kiel
(K), Lukes dan Collins, WHO, dan Working Formulation (WF).
Klasifikasi histopatologik LNH pada anak.1
Kiel Rappaport Working Formula
High grade High grade
Limfoma Burkitt’s dan Difuse undifferentiated Small non cleaved cell
bentuk lainnya (Burkitt’s & non burkitt’s)
Limfoblastik konvoluted Limfoblastik difus Limfoblastik
Limfoblastik non klasifikasi
Imunoblastik Histositik difus Imunoblastik sel besar
Sentroblastik Intermediate grade
Difus sel besar
Limfoma non Hodgkin pada anak seringkali mempunyai gambaran yang difus dan
dimasukkan dalam 3 kategori gambaran histologik sebagai berikut:
1. Limfoblastik Burkitt’s (K) atau small non cleaved (WF)
2. Limfoblastik (WF) non Burkitt’s (K)
3. Imunoblastik dan sentroblastik (K) atau “large cell” (WF)
Dua kelompok yang pertama paling banyak ditemukan yaitu mencapai 70-90%
dari kasus yang terdiagnosis.
D. Imunofenotiping
Dengan pemeriksaan ini akan lebih jauh dapat mengetahui tentang Limfoma Non
Hodgkin, khususnya dengan ditemukannya antibodi monoklonal yang dapat diidentifikasi
adanya antigen permukaan baik pada sel B maupun sel T juga pada tingkat pematangan
sel. Antibodi tersebut digolongkan dalam cluster differentiation (CD).
18
Dengan pemeriksaan tersebut di atas limfoma non Hodgkin pada anak dapat
dikelompokkan ke dalam 3 kelompok:
1) Proliferasi sel B yang ditandai dengan adanya imunoglobulin monoklonal di
permukaan sel.
2) Proliferasi sel T
3) Proliferasi non T-non B
Pembagian ini nampaknya hampir sama pada LLA.
E. Etiologi dan Patogenesis
Penyebab pasti limfoma non Hodgkin tidak diketahui, namun LNH dapat
disebabkan oleh abnomalitas sitogenik, seperti translokasi kromosom dan infeksi virus.
Translokasi kromosom dan perubahan molekular sangat berperan penting dalam
patogenesis limfoma, dan berhubungan dengan histologi dan imunofenotiping.
Translokasi t(14;18)(q32;q21) adalah translokasi kromosomal abnormal yang paling
sering dihubungkan dengan LNH. Beberapa infeksi virus berperan dalam patogenesis
LNH, seperti virus Epstein Barr yang merupakan penyebab paling seringa pada limfoma
Burkitt,limfoma pada pasien dengan imunocompremised dan penyakit Hodgkin. Pada
limfoma Burkitt’s sel tumor ditandai oleh adanya translokasi pada lengan panjang
kromosom 8, regio q 23-q 24 t (8;14) (q24;q32), beberapa versi lainnya t(2;8) (p12;p24)
dan t(8;2) (q24;q11).
F. Faktor resiko limfoma non Hodgkin
Terdapat beberapa faktor resiko yang diketahui berpengaruh pada LNH, walaupun
demikian, faktor-faktor resiko ini tidak diperhitungkan melebihi bagian kecil dari jumlah
seluruh kasus limfoma non Hodgkin. Pada kebanyakan pasien dengan limfoma non
Hodgkin, tidak ada penyebab penyakit yang dapat ditemukan. Lebih jauh lagi, banyak
orang yang terpapar pada salah satu faktor resiko yang diketahui tidak menderita limfoma
non Hodgkin. Beberapa faktor resiko tersebut seperti infeksi, imunosupresi,dan faktor
lingkungan.
1. Infeksi sebagai faktor risiko limfoma non Hodgkin
Beberapa infeksi virus telah memperlihatkan adanya hubungan dengan
peningkatan limfoma non Hodgkin. Hal ini mungkin berhubungan dengan
kemampuan virus dalam menginduksi stimulasi antigen kronik dan disregulasi sitokin
yang menyebabkan stimulasi, proliferasi, dan limfomagenesis yang tidak terkontrol
dari sel B dan sel T. Beberapa virus tersebut antara lain:
Human immunodeficiency virus (HIV/AIDS)
19
Human T cell leukemia-lymphoma virus-1 (HTLV-1)
Epstein-Barr virus (EBV)
2. Imunosupresi sebagai faktor risiko untuk limfoma non Hodgkin
Orang dengan imunosupresi, dimana sistim pertahanannya menurun,
menghadapi peningkatan risiko terserang limfoma non Hodgkin. Hal ini mungkin
karena kontrol multiplikasi sel B tergantung pada fungsi normal sel T. Jika fungsi sel
T menjadi abnormal, seperti pada kasus orang dengan imunosupresi, sel B dapat
berlipat ganda melalui suatu cara yang tidak terkontrol, meningkatkan peluang untuk
terserang penyakit ini.
Salah satu sebab utama imunosupresi adalah obat yang diberikan untuk
mencegah penolakan dari organ yang ditransplantasikan atau transplantasi sumsum
tulang. Pasien yang mendapatkan transplantasi organ mempunyai peningkatan risiko
menderita limfoma non Hodgkin.
G. Manifestasi Klinik
Limfoma non Hodgkin indolen kadang-kadang dikenal sebagai limfoma non
Hodgkin tumbuh lambat atau level rendah. Sesuai dengan namanya, limfoma non Hodgkin
indolen tumbuh sangat lambat.
Limfoma non Hodgkin mempunyai gambaran klinis oleh massa abdominal dan
intrathorakal (massa mediastinum) yang sering kali disertai dengan adanya efusi pleura.
Pada anak yang lebih besar massa mediastinal ini seringkali (25-35%) ditemukan
khususnya pada limfoma limfoblastik sel T. Gejala yang menonjol adalah nyeri, disfagia,
sesak napas, pembengkakan daerah leher, muka, dan sekitar leher akibat adanya obstruksi
vena cava superior. Pembengkakan kelenjar limfe (limfadenopati) di sebelah atas
diafragma meliputi leher, supraklavikula atau aksiler, tetapi jarang sekali retroperitoneal.
Adanya pembesaran kelenjar limpa dan hati menunjukkan adanya keterlibatan sumsum
tulang dan seringkali pasien menunjukkan gejala-gejala leukemia limfoblastik akut, jarang
sekali melibatkan gejala susunan saraf pusat, kadang-kadang disertai pembesaran testis.
Limfoma limfoblastik merupakan bentuk yang berkembang secara progresif,
dengan gejala yang timbul dalam waktu singkat kurang dari satu bulan. Gambaran
laboratorium biasanya masih dalam batas normal, dengan kadar LDH dan asam urat yang
meningkat sebagai akibat adanya tumor lisis maupun adanya nekrosis jaringan.
Gejala awal yang dapat dikenali adalah pembesaran kelenjar getah bening di suatu
tempat (misalnya leher atau selangkangan) atau di seluruh tubuh. Kelenjar membesar
20
secara perlahan dan biasanya tidak menyebabkan nyeri. Kadang pembesaran kelenjar
getah bening di tonsil (amandel) menyebabkan gangguan menelan. Pembesaran kelenjar
getah bening jauh di dalam dada atau perut bisa menekan berbagai organ dan
menyebabkan,
- gangguan pernapasan
- berkurangnya nafsu makan
- sembelit berat
- nyeri perut
- pembengkakan tungkai.
Jika limfoma menyebar ke dalam darah bisa terjadi leukemia. Limfoma dan
leukemia memiliki banyak kemiripan. Limfoma non-Hodgkin lebih mungkin menyebar
ke sumsum tulang, saluran pencernaan dan kulit. Pada anak-anak, gejala awalnya adalah
masuknya sel-sel limfoma ke dalam sumsum tulang, darah, kulit, usus, otak dan tulang
belakang; bukan pembesaran kelenjar getah bening. Masuknya sel limfoma ini
menyebabkan anemia, ruam kulit dan gejala neurologis (misalnya kelemahan dan sensasi
yang abnormal). Biasanya yang membesar adalah kelenjar getah bening di dalam, yang
menyebabkan:
- pengumpulan cairan di sekitar paru-paru sehingga timbul sesak napas
- penekanan usus sehingga terjadi penurunan nafsu makan atau muntah
- penyumbatan kelenjar getah bening sehingga terjadi penumpukan cairan.
Kemungkinan
Gejala Penyebab
timbulnya gejala
Gangguan pernapasan Pembesaran kelenjar getah
20-30%
Pembengkakan wajah bening di dada
Hilang nafsu makan
Sembelit berat Pembesaran kelenjar getah
30-40%
Nyeri perut atau perut bening di perut
kembung
Penyumbatan pembuluh
Pembengkakan tungkai getah bening di 10%
selangkangan atau perut
Penurunan berat badan
Penyebaran limfoma ke usus
Diare 10%>
halus
Malabsorbsi
Pengumpulan cairan di
Penyumbatan pembuluh
sekitar paru-paru 20-30%
getah bening di dalam dada
(efusi pleura)
21
Daerah kehitaman dan
Penyebaran limfoma ke
menebal di kulit yang 10-20%
kulit
terasa gatal
Penurunan berat badan
Penyebaran limfoma ke
Demam 50-60%
seluruh tubuh
Keringat di malam hari
Perdarahan ke dalam saluran
pencernaan
Penghancuran sel darah merah
oleh limpa yang membesar &
terlalu aktif
Penghancuran sel darah merah
Anemia oleh antibodi abnormal
30%, pada akhirnya
(berkurangnya jumlah sel (anemia hemolitik)
bisa mencapai 100%
darah merah) Penghancuran sumsum tulang
karena penyebaran limfoma
Ketidakmampuan sumsum
tulang untuk menghasilkan
sejumlah sel darah merah
karena obat atau terapi
penyinaran
Penyebaran ke sumsum tulang
Mudah terinfeksi oleh dan kelenjar getah bening,
20-30%
bakteri menyebabkan berkurangnya
pembentukan antibody
H. Diagnosis
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik sangat penting, diagnosis ditegakkan dengan
biopsi, pemeriksaan sitologis cairan efusi maupun aspirasi sumsum tulang, bila
dimungkinkan dengan pemeriksaan imunologik dan sitogenik untuk membedakan antara
sel B atau sel T. Kriteria untuk masing-masing kelompok tersebut adalah
a) Limfoblastik sel B ditandai oleh:
- Ditemukannya imunoglobulin monoklonal sel B pada permukaan sel dan
pertanda sel B lainnya misalnya: CD 19-24
- Translokasi (8;14), t(2;8), atau t(8;22)
- Gambaran histologis: Burkitt’s dan B limfoblastik (K) atau undifferentiated
atau small non cleaved (W)
- Gambaran L3 pada klasifikasi F AB
- Primernya ada di intra abdominal
b) Limfoblastik sel T ditandai oleh:
- Petanda sel T positif (misal CD 3, 5-8)
- Gambaran histologi: limfoblastik
- Gambaran L1 atau L2 pada klasifikasi FAB
22
- Reaksi positif dengan asam fosfat
- Primer pada kelenjar timus
Pemeriksaan lain yang diperlukan adalah pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan
fungsi hati dan funsi ginjal, cairan serebrospinal, asam urat, LDH, USG abdomen, bone
scan.
I. Tata Laksana
Limfoma non Hodgkin khususnya limfoma limfoblastik sel T seringkali disertai
dengan berbagai komplikasi, untuk itu dibutuhkan pengelolaan secepatnya. Sebelum
pengobatan dengan kemoterapi harus diperhatikan terlebih dahulu problem jalan napas,
pembuluh darah dan gangguan metabolik yang ada.
Pemberian alopurinol, hidrasi yang cukup, dan alkalinisasi urin perlu segera
diberikan pada pasien dengan tumor yang cukup luas untuk mencegah terjadinya nefropati
akibat lisis tumor yang seringkali terjadi pada limfoma limfoblastik sel T. Terapi yang
dilakukan biasanya melalui pendekatan multidisiplin.Terapi yang dapat dilakukan adalah,
1. Derajat Keganasan Rendah (DKR)/indolen:
Pada prinsipnya simtomatik:
- Kemoterapi: obat tunggal atau ganda (per oral), jika dianggap perlu: COP
(Cyclophosphamide, Oncovin, dan Prednisone)
- Radioterapi: LNH sangat radiosensitif. Radioterapi ini dapat dilakukan untuk
lokal dan paliatif.
Radioterapi: Low Dose TOI + Involved Field Radiotherapy
2. Derajat Keganasan Menengah (DKM) / agresif limfoma:
- Stadium I: Kemoterapi (CHOP/CHVMP/BU) + radioterapi CHOP
(Cyclophosphamide, Hydroxydouhomycin,Oncovin, Prednisone)
- Stadium II - IV: kemoterapi parenteral kombinasi, radioterapi berperan untuk
tujuan paliasi.
3. Derajat Keganasan Tinggi (DKT)
DKT Limfoblastik (LNH-Limfoblastik)
- Selalu diberikan pengobatan seperti Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)
- Re-evaluasi hasil pengobatan dilakukan pada:
a. Setelah siklus kemoterapi keempat
b. Setelah siklus pengobatan lengkap
Pasien dengan limfoma non Hodgkin agresif dapat didiagnosis pada stadium dini
(stadium I atau II). Ini disebabkan karena mereka umumnya menyadari pertumbuhan yang
23
cepat dari kelenjar getah bening yang terkena dan karenanya mengunjungi dokter dan
cepat dirujuk untuk pengobatan oleh dokter spesialis.
Pengobatan yang biasa diberikan untuk pasien dengan limfoma non Hodgkin agresif
stadium dini adalah beberapa jadwal kemoterapi, kombinasi, dengan lebih dari satu obat
kemoterapi yang diberikan, biasanya bersama dengan steroid, seperti prednisolon
(contohnya, CHOP). Di kebanyakan negara, diberikan antibodi monoklonal rituximab
dalam kombinasi dengan kemoterapi CHOP sebagai terapi standar. Antibodi monoklonal
meningkatkan efektivitas pengobatan bermakna, tanpa meningkatkan efek samping.
Radioterapi terkadang diberikan setelah kemoterapi. Jarang kedua pengobatan
diberikan pada saat yang sama. Radioterapi ditujukan secara spesifik terhadap kelenjar
getah bening yang terkena. Pengobatan stadium dini (stadium I dan II) limfoma non
Hodgkin agresif dapat mencapai kesembuhan atau remisi pada sekitar 80% pasien.
Beberapa pasien tidak memberikan respon terhadap terapi standar. Pada pasien-pasien ini,
dan pada mereka yang mengalami kekambuhan, diperlukan pengobatan lebih lanjut.
Pasien yang didiagnosis dengan limfoma non Hodgkin agresif pada stadium lanjut
(stadium III atau IV) diberi kemoterapi kombinasi dengan ataupun tanpa antibodi
monoklonal. Meski demikian, kemoterapi kadang-kadang diberikan lebih lama daripada
pada penyakit stadium awal dan mungkin juga diberikan radioterapi. Secara keseluruhan,
antara 40% dan 70% pasien dengan limfoma non Hodgkin agresif dapat disembuhkan
dengan pengobatan pertama.
J. Prognosis
Banyak pasien yang dapat mencapai respons sempurna, sebagian diantaranya
dengan limfoma sel besar difus, dapat berada dalam keadaan bebas gejala dalam periode
waktu yang lama dan dapat pula disembuhkan. Pemberian regimen kombinasi kemoterapi
agresif berisi doksorubisin mempunyai respons sempurna yang tinggi berkisar 40-80%.
24