Anda di halaman 1dari 1

Sampah, dan Arogansi

Sore ini, badan jalan di depan pom bensin kilometer sepuluh terlihat semarak. Sampah plastik
dari bekas gelas air mineral, pembungkus makanan ringan dan sejenisnya bertebaran dalam
jumlah relatif banyak dibanding biasanya. Tak tahu di jalur sekitarnya. Jalur di depan lapangan
Sitarda misalnya. Mungkin saja tidak. Saya belum lewat sana soalnya.

Meski pak Gubernur sangat marah pada perilaku membuang sampah sembarang tempat,
banyak dari kita yang belum takut. Pak gubernur belum tentu lihat. Dia tak bisa di mana – mana.
Sayangnya, regulasi juga begitu. Kalau mungkin ada, pasti tidak di mana – mana. Kata lain, jalan
di tempat. Juga, banyak dari kita, termasuk penulis, belum beradab. Budaya yang baik, yang
muncul dari berulang tindakan baik, lahir dari pemahaman yang baik, belum sepenuhnya
membentuk saya dan mereka, kami, untuk memiliki adab yang baik.

Saya dan mereka, kami, memang menikmati bangku sekolahan minimal 6 tahun, minimal 9
tahun, minimal 12 tahun, bisa lebih lagi kalau sudah sarjana, tapi sekolah kami tak ada guna.
Maksudnya, sekolah memang berguna, tetapi kami yang tidak berguna untuk alam dan ekologi,
yan artinya juga tidak berguna untuk sesama, terutama bagi anak cucu kami nantinya.

Saya dan mereka, kami, memang rajin beribadah, karena kami beragama, tetapi tak berguna
untuk kehidupan. Maksudnya, kehidupan kami yang beragama, praktik hidup kami sebagai
orang beragama, yang belum berguna untuk kehidupan.

***

Siang tadi, bapak Boko Widodo, salah satu calon presiden RI periode mendatang berkampanye
di lapangan Sitarda kota Kupang, NTT. Ramai, penuh sorak, dan meriah. Juga semarak. Segala
macam warna yang menyolok ada di sana. Bendera dari berbagai partai pendukung. Kaos
bergambar pasangan capres dengan latar warna yang beragam. Berbagai atribut beragam warna
khas partai. Membaur dalam kerumunan massa.

Anda mungkin juga menyukai