Anda di halaman 1dari 33

Relevansi Aliran Utilitarianisme Dalam

Filsafat Hukum Sebagai Landasan


Pencapaian Tujuan Hukum Modern
Indonesia
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Aturan hukum sangat diperlukan untuk mengatur kepentingan-kepentingan tidak

hanya antar individu tetapi juga antar lembaga atau badan hukum lainnya. Hukum

adalah tata aturan sebagai suatu sistem aturan aturan-aturan tentang perilaku manusia.

Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal, tetapi seperangkat

aturan yang memilki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem.

Konsekuensinya, adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan

satu aturan saja. Pernyataan bahwa hukum adalah suatu tata aturan tentang perilaku

manusia tidak berarti bahwa tata hukum hanya terkait dengan perilaku manusia, tetapi

juga dengan kondisi tertentu yang terkait dengan perilaku manusia. Setiap aturan

hukum mengharuskan manusia melakukantindakan tertentu atau tidak melakukan

tertentu dalam kondisi tertentu. Kondisi tersebut tidak harus berupa tindakan manusia,

tetapi dapat juga berupa suatu kondisi. Namun, kondisi tersebut baru dapat masuk

dalam suatu aturan jika terkait dengan tindakan manusia, baik sebagai kondisi atau

sebagai akibat. Setiap pelanggar hukum yang ada, aka dikenakan sanksi berupa

hukuman sebagai reaksiterhadap perbuatan yang melanggar mhukum yang dilakukan.


Untuk menjaga agar peraturan- peraturan hukum itu dapat berlangsung terus dan

diterima oleh anggota masyarakat, maka peraturan-peraturan hukum yang ada harus

sesuai dan tidak bertentangan dengan asas-asas keadilan dari masyarakat tersebut.

Pertanyaan mengenai ”apa itu hukum” tampaknya adalah suatu pertanyaan yang

sangat mendasar dan sangat tergantung dari konsep pemikiran dari hukum itu sendiri,

sehingga jawabannya pun mungkin akan terus berkembang sesuai mazhab dan aliran-

aliran yang dikemukakan dalam melakukan pendekatan secara kualitatif tentang makna

hukum. Yang jelas perlu dipahami bahwa tujuan hukum adalah terciptanya suatu

kedamaian yang didasarkan pada keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Tujuan hukum ini tentunya akan tercapai apabila didukung oleh tugas hukum, yakni

keserasian antara kepastian hukum dengan kesebanding hukum sehingga akan

menghasilkan suatu keadilan. 1[1]

Perkembangan masyarakat akan mengakibatkan kebutuhan masyarakat

terhadap hukum juga semakin kompleks, banyak bermunculan pemikiran dari pakar-

pakar hukum yang melahirkan aliran-aliran atau mzhab-mazhab. Salah satu aliran yang

akan dibahas adalah aliran utilitarianisme yang dapat dimasukkan dalam ajaran moral-

praktis. Penganut aliran utilitarianisme ini menganggap bahwa tujuan hukum semata-

mata adalah memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi

sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Pandangannya didasarkan pada falsafah

sosial bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan dan hukum merupakan
salah satu alatnya. Hukum harus mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan

masyarakat dan memberikan rasa kesehjateraan.

Salah satu penganut aliran utilitarianisme adalah Jeremy Bentham yang inti

ajarannya yaitu “tujuan hukum dan wujud keadilan adalah untuk mewujudkan the

greatest heppines of the greatest number (kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk

sebanyak-banyaknya orang)”. 2[2]

Sistem hukum Indonesia sebagai sebuah sistem aturan yang berlaku di negara

Indonesia adalah sistem yang sedemikian rumit dan luas, yang terdiri atas unsur-unsur

hukum, dimana diantara unsur hukum yang satu dan yang lain saling berkaitan, saling

mempengaruhi serta saling mengisi. Oleh karenanya pembicaraan satu bidang atau

unsur subsistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari yang lain,

sehingga mirip dengan tubuh manusia, unsur hukum bagaikan suatu organ yang

keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari organ yang lain. 3[3]

Kajian Filsafat hukum dapat membawa pada pemikiran dalam menemukan

hukum yang hakiki. Setiap Aliran dalam Filsafat hukum memberi sumbangsih pada

perjalanan hukum, Salah satu aliran Filsafat Hukum itu akan dikaji dengan melihat

relevansinya pada hukum di Indonesia. Aliran utilitarianisme merupakan salah satu

aliran yang menarik untuk dikaji karena merupakan aliran yang melihat tujuan hukum

sebagai kemanfaatan bagi masyarakat.


B. ISU MASALAH

Melihat latar belakang dan prinsip-prinsip dasar aliran utilitarianisme, maka

rumusan masalah yang menarik dibahas adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana relevansi aliran utilitarianisme dalam hukum di Indonesia?

2. Bagaimana Implementasi prinsip-prinsip aliran utilitarianisme pada pencapaiian tujuan

hukum modern di Indonesia?

BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. PRINSIP-PRINSIP DASAR ALIRAN UTILITARIANISME


HUKUM

KEMANFAATAN

MEMBERI

Gambar 1. Sketsa Aliran utilitarianisme

Dari sketsa aliran utilitarianisme di atas terliihat bahwa hukum harus memberi

kemanfaatan bagi sebanyak-banyaknya orang, namun menurut aliran kalau hukum itu

dapat memberi kebahagiaan keoada semua orang adalah tidak mungkin.


Kita akan mengetahui prinsip-prinsip aliran utilitarianisme dari masing-masing

pakar ilmu hukum yang menganut aliran ini. Penganut utilistis ini adalah Jeremy

bentham, John Stuart Mill dan Rudolf von Jhering. Namun demikian terdapat perbedaan

diantara keduanya. Jeremy Bentham dikenal sebagai bapak utilitarianisme individual,

sedangkan utilitarianisme sosiologis Rudolf von Jhering adalah bapak utilitarisme. 4[4]

Ada yang menyebut utilitarianisme individual dan sosiologis ini sebagai

utilitarianisme perbuatan, selain itu dikenal juga utilitarianisme aturan dari filosof

Richard B.Brand yang melihat adanya sistem aturan moral.

1. Utilitarianisme Perbuatan

a. Ajaran Jeremy Bentham

Jeremy Bentham sangat percaya bahwa hukum harus dibuat secara

utiltarianistik, melihat gunanya dengan patokan-patokan yang didasarkan pada

keuntungan, kesenangan dan kepuasan manusia. Dalam hukum tidak ada masalah

kebaikan atau keburukan, atau hukum yang tertinggi atau yang tertinggi dalam ukuran

nilai. Bentham berpandangan bahwa tujuan hukum adalah hukum dapat memberikan

jaminan kebahagiaan kepada individu-individu. Bentham mengusulkan suatu klasifikasi

kejahatan yang didasarkan atas berat tidaknya pelanggaran dan yang terakhir ini diukur

berdasarkan kesusahan atau pederitaan yang diakibatkannya terhadap para korban

dan masyarakat. Suatu pelanggaran yang merugikan orang lain, menurut Bentham

sebaiknya tidak dianggap sebagai tindakan kriminal. Pemindahan, menurut Bentham,


hanya bisa diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan lebih

besar. 5[5]

Prinsip-prinsip dasar ajaran Jeremy Bentham adalah sebagai berikut :

1. Tujuan hukum adalah hukum dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-

individu baru orang banyak. Prinsip utiliti Bentham berbunyi ”the greatest heppines of

the greatest number” (kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya

orang.

2. Prinsip itu harus diterpkan secara Kuatitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama.

3. Untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan masyarakat maka perundang-undangan

harus mencapai empat tujuan :

a) To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup)

b) To Provide abundance (untuk memberikan nafkah makanan berlimpah)

c) To provide security (untuk memberikan perlindungan)

d) To attain equity (untuk mencapai persamaan)

Alam
Kebahagiaaan Kesusahan

Manusia

Memperbanyak Kebahagiaan Mengurangi Kesusahan

Hukum

Memelihara Kebaikan Mencegah Kejahatan

Memelihara Kemanfaatan

Jaminan Kebahagiaan Untuk

Individu Dahulu Kemudian Untuk

Umum

Gambar 2. Sketsa Ajaran Jeremy Bentham

b. Ajaran John Stuart Mill


John Stuart Mill (1806) seorang filsuf besar Inggris, dalam bukunya utilitarianism

(1864).

Inti ajaran John Stuart Mill adalah :

1) Mill mengkritik pandangan Bentham bahwa kesenangan dan kebahagiaan harus diukur

secara kuantitaf. Menurutnya, kulaitasnya juga perlu dipertimbangan, karena ada

kesenangan yang lebih tinggi mutunya dan ada yang lebih rendah. Kualitas

kebahagiaan disini diukur secara empiris

2) Kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah kebahagiaan yang terlibat dalam suatu

kejadian, bukan kebahgiaan satu orang saja yang barangkali bertindak sebagai pelaku

utama.

Bodenheimer (1974: 88) menguraikan pandangan Mill, keadilan bersumber pada

naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri

sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita. Perasaan keadilan

akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar

kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu, sampai kepada orang lain yang

kita samakan dengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan mencakup semua persyaratan

moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan manusia. 6[6]


c. Ajaran Rudolf von Jhering (1918-1982)

MengejarKesenangan MenghindariPenderitaan

MemeliharaKemanfaatan

JaminanKebahagiaan
Gambar 3. SketsaAjaran RodolfVon Jhering

Keseluruhan ajaran Jhering tentang hukum dapat diihktisarkan dalam beberapa

butir : 7[7]

1) Jhering menolak pandangan von Savigy yang berpendapat bahwa hukum timbul dari

jiwa bangsa secara spontan. Menurut Jhering, contoh Hukum

2) Romawi, dapat dikaterisir sebagai suatu System des disciplin Egoismus (sitem egoisme

yang berdisiplin). Disini hukum digabungkan dengan egoisme bangsa. Penggabungan

itu dianggap berguna bagi bangsa yang dapat diterima sebagai hukum. Jadi Jhering

menganut positivisme utilistis.

3) Karena hukum senantiasa sesuai dengan kepentingan negara, maka tentu saja hukum

itu tidak lahir spontan, melainkan dikembangkan secara sistematis dan rasional, sesuai

dengan perkembangan kebutuhan negara. Jhering mengakui ada pengaruh jiwa

bangsa, tetapi tidak spontan, yang penting bukan jiwa bangsa, tetapi pengelolahan

secara rasional dan sistematis, aga menjadi hukum positif.

4) pengelolahan hukum dinamai Jhering dengan istilah Tekhnik Hukum. Teknik Hukum ini

tidak hanya diperhatikan materi atau isi kaidah-kaidah hukum, melainkan


memperhatikan segi formalnya. Teknik hukum adalah metode yang digunakan pakar-

pakar hukum untuk menguasai hukum positif secara rasional, dengan tujuan agar

hukum dapat diterapkan secara tepat pada perkara-perkara konkret.

5) Rasionalisai hukum dalam teknik hukumnya Jhering itu berlangsung dua tahap :

a) Penyerdehaan bahan hukum dari sudut kuantitas. Bermaksud demi rasionalisasi

hukum, maka kaidah-kaidah hukum sedapat mungkin dikurangi jumlahnya. Caranya

adalah

- Analisis yuridis : bahan hukum dipelajari isinya

- Konsentrasi logis : bahan hukum dipandang dalam lingkup ide-ide tertentu

- Sistemetik yuridis : bahan hukum diberi suatu aturan yang tepat

- Penetuan terminoligis : dicari terminologi yang cocok bagi ilmu hukum.

- Ekojomi yuridis : jumlah aturan semaksimalnya dikurangi. Tinjauan ekonmus ini

menguasai seluruh proses ini, yakni diusahakan untuk menghemat pikiran.

b) Peneyederhanaan tahap kedua adalah penyederhanaan bahan hukum dari sudut

kualitas.

Rasionalisasi kedua ini bahwa hukum ditingkatkan menjadi ide-ide dan institusi-institusi

hukum. Caranya ialah :

- Mencari aturan intern tata hukum. Ditujukann pada suatu pengertian menyeluruh

tentang tata hukum tertentu.

- Mempertimbangkan kualitas dan nilai bagian-bagian tata hukum untuk dapat sampai

pada suatu keseimbangan antara bagian-bagian itu.


6) Teknik hukum ini, khususnya yang kedua, menjadikan bahan hukum bersifat rasional

semata, logis dan abstrak. Karena itu ajaran Jhering ini dinamai : begriffjurisprudenz

(keahlian hukum berdasarkan logika)

7) Tetapi kemudian Jhering meninggalkan begriffjurisprudenz dan berganti pandangan

bahwa yang menentukan dalam hukum, bukanlah ide-ide rasional, melainkan

kepentingan masyarakat. Dengan ini teorinya beralih ke interssenjurisprudenz

(keahlian hukum berdasarkan kepentingan sosial). Hal ini tampak dibawah ini :

....the essense of law a expressed in tis purpose, which was the protection of the

interest of sicoety and the individual by coordinating those interest, thus minimazing

circumstances likely to laki to conflict. Under the law, interest of society will have

precedences in the event or conflict. Tehe needs of men within sosiecty dominanted

Jhering’s concept of law.

(Esensi hukum yang tercermin dalam tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan-

kepentingan tersebut, termasuk memperkecil kemungkinan terjadinya konflik. Dibawah

hukum, kepentingan-kepentingan masyarakat harus lebih didahulukan jika terjadi konflik

dengan kepentingan individu. Kebutuhan manusia sebagai warga masyarakat

mendominasi konsep-konsep hukum Jhering)

8) Menurut Jhering

”Law is the sum of the condition of social life in the widest sense of the term, as secured

by the power of the state through the sense of the external compulsion.”

(hukum adalah seperangkat kondisi-kondisi kehidupan sosial dalam pengertian yang

sangat luas yang ditegakkan oleh kekuasaan negara melalui usaha paksaan dari luar).
9) Paksaaan dan kekuasaan merupakan uansur esensial hukum, dalam hubungan ini

Jhering mengemukakan bahwa :

Legal rules necessitate compulsion and force; without them the rules were like a fire

which does not burn.

(Aturan hukum membutuhkan kekuasaan;tanpa itu aturan-aturan bagikan api yang tidak

panas).

10) The function of the law to secure and to maintain the foundation of social life.

11) Fungsi hukum adalah untuk menjamin dan memelihara pondasi kehidupan sosial.

12) Jhering memandang esensi hukum merupakan kehendak nyata untuk melindungi

kepentingan kehidupan bersama dan kepentingan individu, melalui kordinasi,

kemungkinan konflik bisa diperkecil. Di bawah hukum, kepentingan masyarakat harus

lebih didahulukan.

13) Jhering memandang bahwa aktivitas kemasyarakatan diri warga masyarakat

seharusnya dikorbankan dan ini hanya mungkin tercapai melalui :asas-asas gerak

sosial” (social motion). Gerak sosial ini mendapat tiga jenis pengaruh :

a) Pengaruh egoistis

Pengaruh egoistis ini dari imbalan dan paksaan, dapat digunakan untuk mengorbankan

aktivitas kemasyarakatan berupa :

- Kegiatan perdagangan melalui paham mementingkan diri sendiri demi keuntungan

pribadi, seperti memberi hadiah

- Implikasi perlakuan unsur paksaan membuat ide hukum dan negar dapat dilaksanakan.

b) Pengaruh altruistik

- extra legal sperti aspek makanan


- mixed legal, yaitu aspek-aspek kehidupan manusia yang tidak berhubungan dengan

hukum paksaan, misalnya self preservation.

- Purely legal, yaitu aspek-aspek kehidipan yang berhubungan seacara keseluruhan

dengan perintah-perintah hukum, misalnya membayar pajak.

c) Kombinasi pengunaan kedua pengaruh di atas, memungkinkan tercapainya tujuan

sosial. Hasilnya adalah bahwa masyarakat dimungkinkan untuk memenuhi kebutuhan

manusia, yang terdiri dari tiga jenis.

2. Utilitarianisme Aturan

Filosof Richard B Brant mengusulkan agar sistem aturan moral sebagai

keseluruhan diuji dengan prinsip kegunaan. Kalau begitu, perbuatan adalah baik secara

moral, bila sesuai dengan aturan yang berfungsi dalam sistem aturan moral yang paling

berguna bagi masyarakat. 8[8]

Utilitarianisme aturan ini merupakan sebuah varian menarik dari

Utilitarianisme. diakui bahwa dengan demikian kita bisa lolos dari banyak kesulitan yang

melekat pada utilitarianisme perbuatan. Namun demikian, utilitarianisme aturan ini

sendiri tidak tanpa kesulitan juga. Kesulitan utama timbul, jika terjadi konflik antara dua

aturan moral. Misalnya, seorang kepala keluarga mencuri auang utnuk dapat membeli

obat tersebut, segera ia akan mati. Bapak itu sudah berusaha seribu satu cara untuk

memperoleh uang yang sangat diperlukan itu, tetapin selalu gagal. Tinggal

kemungkinan terakhir ini : mencuri. Di sini terdapat konflik antara dua aturan moral

:”orang tidak boleh mencuri” dan ”orang tua harus sekuat tenaga untuk menyelematkan
anaknya”. Dari dua aturan moral ini, yang mana paling penting? Untuk menjawab

pertanyaan ini harus kita lihat situasi konkret. Dan mungkin kebanyakan orang akan

mengatakan bahwa dalam situasi konkret tadi kepala keluarga itu boleh saja mencuri,

asal dengan itu ia tidak terlalu merugikan orang lain. 9[9]

B. PENGERTIAN DAN TUJUAN HUKUM SECARA FILOSOFIS

1. Konsepsi Hukum Menurut Roscoe Pound

Roscoe Pound sebagai salah seorang pendasar aliran Sociological

Jurisprudence yang tumbuh dan berkembang di Amerika Serikat, memiliki 12 (dua

belas) konsepsi tentang hukum. Kedua belas konsepsi hukum yang dikemukakan oleh

Pound tersebut dipergunakan untuk menjelaskan gagasan tentang hak-hak asasi yang

sebenarnya berguna untuk menerangkan untuk apa sebenarnya hukum itu, dan

menunjukkan bahwa seberapa mungkin haruslah sedikit hukum itu, karena hukum

merupakan satu kekangan terhadap kebebasan manusia, dan kekangan itu walaupun

hanya sedikit menuntut pembenaran yang kuat. Hal inilah yang melatarbelakangi

adanya 12 konsepsi Pound tentang hukum, karena gagasan untuk apa hukum itu

terkandung sebagian besarnya di dalam gagasan tentang apa hukum itu, maka satu

tinjauan pendek mengenai gagasan tentang sifat hukum dipandang dari pendirian ini

akan sangat berguna dalam mepelajari tujuan hukum dari segi filososfis. Adapun ke-12

konsepsi Pound tentang hukum tersebut terdiri dari: 10[10]


a. Pertama, boleh kita kemukakan gagasan tentang satu kaidah atau sehimpunan kaidah

yang diturunkan oleh Tuhan untuk mengatur tindakan manusia, misalnya undang-

undang Nabi Musa, atau undang-undang Hammurabi, yang diturunkan oleh Dewa

Matahari setelah selesai disusun, atau undang-undang Manu yang didiktekan kepada

para budiman oleh putra Manu, Bhrigu namanya, di depan Manu sendiri dan atas

petunjuknya.

b. Ada satu gagasan tentang hukum sebagai satu tradisi dari kebiasaan lama yang

ternyata dapat diterima oleh dewa-dewa dan karena itu menunjukkan jalan yang boleh

ditempuh manusia dengan amannya. Sebab manusia primitif, yang menganggap dirinya

dilingkungi oleh kekuatan gaib di dalam alam yang banyak tingkah dan suka membalas

dendam, terus-menerus dalam ketakutan kalau-kalau ia melanggar sesuatu yang

dilarang oleh mahkluk gaib. Dengan demikian ia dan orang sekampungnya akan

dimarahi oleh mahkluk gaib tersebut. Kesalahan umum menuntut supaya orang

melakukan hanya apa yang diperbolehkan, dan melakukan menurut cara yang

digariskan oleh kebiasaan yang sudah lama dituruti, setidaknya jangan melakukan apa

yang tidak disenangi oleh dewa-dewa. Hukum adalah himpunan perintah yang

tradisional akan dicatat, yang di alam kebiasaan itu dipelihara dan dinyatakan.

Bilamana kita menjumpai sehimpunan hukum primitif yang merupakan tradisi golongan

dipunyai oleh satu oligarchi politik, boleh jadi ia akan dianggap sebagai tradisi

golongan, persis seperti sehimpunan tradisi yang sama tetapi dipelihara oleh ulama

atau pendeta, pasti akan dipandang sebagai yang telah diwahyukan oleh Tuhan.

c. Gagasan ini rapat dengan yang kedua, yakni memahamkan hukum sebagai

kebijaksanaan yang dicatat dari para budiman di masa lalu yang telah dipelajari. Jalan
yang selamat, atau jalan kelakuan manusia yang disetujui oleh Tuhan. Apabila satu

kebiasaan tradisional dari keputusan dan kebiasaan tindakan telah dituliskan dalam

kitab undang-undang primitif, mungkin dia akan dianggap sebagai hukum.

Demosthenes yang hidup dalam abad kekempat sebelum Masehi dapat melukiskan

hukum Athena dengan kata-kata tadi.

d. Hukum dapat dipahamkan sebagai satu sistem asas-asas yang ditemukan secara

filasaft, yang menyatakan sifat benda-benda, dan karena itu manusia harus

menyesuaikan kelakuannya dengan sifat benda-benda itu. Demikianlah, gagasan

sarjana hukum Romawi, yang sebenarnya merupakan cangkokan dari gagasan kedua

dan ketiga tadi, dan dari satu teori politik tentang hukum sebagai perintah dari bangsa

Romawi; dan semuanya dirukunkan dengan memahamkan tradisi dan kebijaksanaan

yang tercatat dan perintah bangsa-bangsa yang semata-mata sebagai pernyataan atau

pencerminan dari asas-asas yang dicari kepastiannya secara filsafat, harus diukur,

dibentuk, ditafsirkan , dan ditambah oleh yang tigta tadi. Setelah diolah oleh ahli-ahli

filsafat ini, konsepsi yang tersebut tadi kerapkali mendapat bentuk lain,

e. Sehingga kelima hukum dipandang sebagai satu himpunan penegasan dan pernyataan

dari satu undang-undang kesusilaan yang abadi dan tidak berubah-ubah.

f. Ada satu gagasan mengenai hukum sebagai satu himpunan persetujuan yang dibuat

manusia di dalam masyarakat yang diatur secara politik, persetujuan yang mengatur

hubungan antara yang seorang dengan yang lainnya. Ini adalah suatu pandangan

demokratis tentang identifikasi hukum dengan kaidah hukum, dan karena itu dengan

pengundangan dekrit dari negara kota yang diperbincangkan di dalam buku Minos dari

Plato. Sudah sewajarnyalah Demosthenes menganjurkan kepada satu juri di Athena.


Sangat mungkin dengan teori serupa itu, satu gagasan filsafat akan menyokong

gagasan politik dan kewajiban moril yang melekat pada suatu janji akan dipergunakan

untuk menunjukkan mengapa orang harus menepati persetujuan yang mereka buat di

dalam majelis rakyat.

g. Hukum dipikirkan sebagai satu pencerminan dari akal Illahi yang menguatkan alam

semesta ini; satu pencerminan dari bagian yang menentukan apa yang seharusnya

dilakukan oleh manusia sebagai satuan yang berkesusilaan, yang berbeda dengan

yang masih dilakukan, yang ditujukan kepada mahkluk lain selain manusia. Begitulah

konsepsi Thomas Aquino, yang mempunyai penganut banyak sampai abad ke-17 dan

semenjak itu masih besar pengaruhnya.

h. Hukum telah dipahamkan sebagai satu himpunan perintah dari penguasa yang

berdaulat di dalam satu masyarakat yang disusun menurut satu sistem kenegaraan,

tentang bagaimana orang harus bertindak di dalam masyarakat itu, dan perintah itu

pada tingkat terakhir berdasarkan apa saja yang dianggap terdapat di belakang

wewenang dari yang berdaulat. Demikianlah anggapan-anggapan sarjana-sarjana

Romawi pada masa republik dan masa klasik mengenai hukum positif. Dan karena

Kaisar memegang kedaulatan rakyat Romawi yang diserahkan kepada baginda, maka

Institutiones dari Kaisar Justinianus dapat menetapkan bahawa kemauan kaisar

mempunyai keuatan satu undang-undang. Cara berfikir serupa itu cocok dengan

pikiran-pikiran ahli-ahli hukum yang giat menyokong kekuasaan raja dalam

memusatkan kerajaan Perancis pada abad ke-16 dan ke-17, dan dengan perantaraan

ahli-ahli hukum itu masuklah cara berfikir itu ke dalam hukum publik. Rupanya dia

sesuai dengan keadaan di sekitar kekuasaan tertinggi Parlemen di tanah Inggris


sesudah tahun 1688 dan menjadi teori hukum Inggris yang kolot. Demikianlah dia

dicocokkan dengan satu teori politik tentang kedaulatan rakyat yang menurut teori itu,

rakyat dianggap sebagai pengganti parlemen untuk memegang kedaulatan pada waktu

Revolusi Amerika, atau sebagai pengganti Raja Perancis pada waktu Revolusi

Perancis.

i. Satu gagasan yang menganggap hukum sebagai satu sistem pemerintah, ditemukan

oleh pengalaman manusia yang menunjukkan, bahwa kemauan tiap manusia

perseorangan akan mencapai kebebasan sesempurna mungkin yang sejalan dengan

kebebasan serupa itu pula, yang diberikan kepada kemauan orang-orang lain.

Gagasan ini yang dianut dalam salah satu bentuk oleh mazhab sejarah, telah membagi

ksetiaan sarjana hukum kepada teori hukum sebagai perintah dari pemegang

kedaulatan, dan hal in terjadi hampir di sepanjang abad yang lalu. Menurut anggapan

pada masa itu, pengalaman manusia yang menemukan prinsip hukum ditentukan

dengan sesuatu cara yang tak dapat dielakkan lagi. Ini bukanlah soal daya upaya

manusia yang dilakukannya dengan sadar. Prosesnya ditentukan oleh pengembangan

suatu gagasan mengenai hak dan keadilan, satu gagasan tentang kebebasan yang

mewujudkan dirinya di dalam pelaksanaan peradilan oleh manusia, atau oleh kerja-

kerja hukum yang biologis atau psikologis atau tentang sifat-sifat jenis bangsa, yang

kemudian menghasilkan sistem hukum daru suatu masa dan suatu bangsa yang

bersangkutan.

j. Orang menganggap hukum itu sebagai satu sistem asas-asas, yang ditemukan secara

filsafat dan dikembangkan sampai pada perinciannya oleh tulisan-tulisan sarjana hukum

dan putusan pengadilan, yang dengan perantaraan tulisan dan putusan itu kehidupan
lahir manusia diukur oleh akal, atau pada taraf lain, dengan tulisan dan putusan itu

kemauan tiap orang yang bertindak diselaraskan dengan kehendak orang lain. Cara

berfikir ini muncul pada abad ke-19 sesudah ditinggalkan teori hukum alam dalam

bentuk yang mempengaruhi pikiran hukum selama dua abad, dan filsafat diminta untuk

memberikan satu terhadap kritik susunan sistematik dan perkembangan detail.

k. Hukum dipahamkan sebagai sehimpunan atau sistem kaidah yang dipikulkan atas

manusia di dalam masyarakat oleh satu kelas yang berkuasa untuk sementara buat

memajukan kepentingan kelas itu sendiri, baik dilakukan dengan sadar maupun tidak

sadar. Interpretasi ekonomis dari hukum ini banyak bentuknya. Di dalam satu bentuk

yang idealistis, yang dipikirkannya adalah pengembangan satu gagasan ekonomi yang

tak dapat dihindarkan. Di dalam satu bentuk sosiologis mekanis, pikirannya dihadapkan

pada perjuangan kelas atau satu perjuangan untuk hidup di lapangan perekonomian,

dan hukum adalah akibat dari pekerjaan tenaga atau hukum yang terlibat atau

menentukan perjuangan serupa itu. Di dalam betuk Positivistis-Analistis, hukum

dipandang sebagai perintah dari pemegang kedaulatan, tetapi perintah itu seperti yang

ditentukan isi ekonomisnya oleh kemauan kelas yang berkuasa, pada gilirannya

ditentukan oleh kepentingan mereka sendiri. Semua bentuk ini terdapat dalam masa

peralihan dari stabilitas kematangan hukum ke satu masa pertumbuhan baru. Apabila

gagasan bahwa hukum dapat mencukupkan keperluan sendiri telah ditinggalkan, dan

orang mulai mencoba menghubungkan ilmu hukum dengan ilmu-ilmu sosial lainnya,

yang lebih dulu menonjol ialah hubungan dengan ilmu ekonomi. Tambahan lagi pada

masa undang-undang banyak dibuat peraturan perundang-undangan yang dundangkan

mudah dianggap orang sebagai type darimperintah hukum, dan satu percobaan hendak
membentuk satu teori tentang pembuatan undang-undang oleh badan legislatif

dianggap memberikan uraian tentang semua hukum.

l. Akhirnya ada satu gagasan tentang hukum sebagai perintah dari undang-undang

ekonomi dan sosial yang berhubungan dengan tindak-tanduk manusia di dalam

masyarakat, yang ditemukan oleh pengamatan, dinyatakan dalam perintah yang

disempurnakan oleh pengalaman manusia mengenai apa yang akan terpakai dan apa

yang tidak terpakai di dalam penyelenggaraan peradilan. Teori type ini terdapat pada

akhir abad ke-19, tatkala orang mulai mencari dasar fisik dan biologis, yang dapat

ditemukan oleh pengamatan, dan bukan lagi dasar metafisik, yang ditemukan oleh

perenungan filsafat. Satu bentuk lain menemukan satu kenyataan sosial yang terakhir

dengan pengamatan dan mengembangkan kesimpulan yang logis dari kenyataan itu,

mirip seperti yang dilakukan oleh sarjana hukum metafisika. Ini adalah akibat lagi dari

suatu kecenderungan dalam tahun mutakhir yang hendak mempersatukan ilmu-ilmu

sosial, yang lebih besar kepada teori-teori sosiologi.

Keduabelas konsepsi tentang hukum tersebut terkait dengan teorinya yang

dikenal dengan “Law as a tool of social engineering”. Untuk itu, Pound membuat

penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum

sebagai berikut : 11[11]

1) Kepentingan Umum (Public Interest), terdiri dari:

2) kepentingan negara sebagai badan hukum;

3) kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.


4) Kepentingan Masyarakat (Social Interest):

5) kepentingan akan kedamaian dan ketertiban;

6) perlindungan lembaga-lembaga sosial;

7) pencegahan kemerosotan akhlak

8) pencegahan pelanggaran hak

9) kesejahteraan social

10) Kepentingan Pribadi (Private Recht):

11) kepentingan individu;

12) kepentingan keluarga;

13) kepentingan hak milik.

Dari klasifikasi tersebut dapat ditarik dua hal penting, yaitu: Pertama, Pound

mengikuti garis pemikiran yang berasal dari von Jhering dan Bentham, yaitu berupa

pendekatan terhadap hukum sebagai ke arah tujuan sosial dan sebagai alat dalam

perkembangan sosial. Penggolongan kepentingan tersebut sebenarnya merupakan

kelanjutan dari apa yang telah dilakukan Jhering. Oleh karena itu, dilihat dari hal

tersebut, Pound dapat pula digolongkan ke dalam alairan Utilitarianisme dalam

kapasitasnya sebagai penerus Jhering dan Bentham.

Kedua, klasifikasi tersebut membantu menjelaskan premis-premis hukum,

sehingga membuat pembentuk undng-undang, hakim, pengacara, dan pengajar hukum

menyadari prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkait dalam tiap-tiap persoalan khusus.

Dengan kata lain, klasifikasi tersebut membantu menghubungkan antara prinsip hukum

dan praktiknya.

2. Tujuan Hukum Secara Tradisional


Tujuan hukum sudah timbul di dalam pemikiran yang sadar, kita mengenal tiga

gagasan dalam sejarah hukum.

a. Ketertiban Hukum

Tujuan hukum yang paling sederhana ialah hukum diadakan supaya terjaga

ketenteraman dalam masyarakat tertentu, tujuan hukum yang demikian ini sangat

penting artinya bagi masyarakat, karena dalam masyarakat yang disusun dalam suatu

kekerabatan, yang acapkali di dalamnya terjadi benturan-benturan kepentingan

sehingga timbul perselisihan.

b. Menjaga Perdamaian:

Tujuan hukum ialah untuk menjaga perdamaian dalam keadaan bagaimana saja, dan

dipelihara dengan mengorbankan apa saja. Pengertian hukum yang demikian ini

disebut sebagai hukum yang primitif, alasannya ialah bahwa perdamaian antara

kekerabatan yang satu dengan kekerabatan lain , antara orang-orang yang sekutu, dan

penduduk yang bertambah banyak. Sehingga dimungkinkan terjadi benturan-benturan

kepentingan. Oleh karena itu, hukum dibentuk.

c. Mencegah Pergeseran dalam Masyarakat:

Tujuan hukum ketiga ini timbul, untuk mencegah pergeseran antar sesama masyarakat.

Hal ini disebabkan sistem kekerabatan semakin hilang dan digeser oleh orang-orang

yang kehilangan kekerabatan serta para pendatang, sementara itu orang-orang yang

memiliki kekerabatan masih berkuasa, sehingga gagasan mengenai tujuan hukum

ketiga dapat juga disebut untuk menjaga ketertiban sosial.

3. Tujuan Hukum Secara Modern


a. Seiring dengan perkembangan ekonomi dalam masyarakat, semakin terasa akan

adanya perlindungan hukum untuk kegiatan yang terkait ekonomi, yaitu tujuan

Penyingkiran Pembatasan Kegiatan Ekonomi yang Bebas.

Hukum ditujukan untuk menyingkirkan pembatasan terhadap kegiatan ekonomi yang

bebas, yang bertumpuk-tumpuk selama jaman pertengahan sebagai insiden dari sistem

kewajiban di dalam hubungan antar manusia dan sebagai pengucapan dari gagasan

tentang penetapan orang di tempatnya masing-masing di dalam suatu masyarakat

yang statis.

b. Tujuan Konstruktif:

Tujuan ini berkembang pada saat hukum dagang memberikan efek kepada apa yang

dilakukan orang menurut kehendaknya, yang menilik niat bukan bentuknya, yang

menafsirkan keamanan umum sebagai keamanan bagi transaksi dan mencoba

melaksanakan kemauan tiap orang untuk menciptakan akibat hukum. Tujuan konstruktif

ini dikembangkan dari hukum Romawi dan kebiasaan saudagar dengan perantaraan

teori hukum mengenai hukum alam.

c. Menjaga Kestabilan:

Pada akhir abad ke-19, timbul pandangan hukum adalah keburukan, karena pada

hakekatnya hukum mengekang kebebasan orang, sehingga para sarjana hukum dan

pembuat undang-undang dengan senang hati membiarkan masyarakat melakukan

kemauannya untuk mencapai kesenangannya maupun kesengsaraannya. Oleh karena

itu pada akhir abad ke-19 gagasan hukum yang ada dipergunakan untuk mencapai

kebebasan secara maksimum.

C. Sistem Negara Modern


Sistem negara modern muncul di Eropa antara awal abad ke-12 dan akhir abad

ke-17. Amerika mulai mengganti bentuk-bentuk organisasi politik yang ada pada Abad

Pertengahan di Eropa ketika aktor kunci, menanggapi beragam rangkaian insentif politik

dan ekonomi, membentuk koalisi yang mempengaruhi satu set pengaturan politik,

feodalisme, dan secara bertahap diganti dengan yang lain yakni negara berdaulat.

Pada tahun 1648, Perdamaian Westphalia menciptakan satu set prinsip yang disepakati

sebagai peraturan yang sah yang memberikan dasar normatif pertama untuk sistem

negara modern. Selanjutnya, perkembangan sistem negara modern diteruskan dengan

munculnya negara kota perdagangan Italia. Tidak ketinggalan juga peristiwa Revolusi

Perancis disertai gagasan tentang penentuan nasib sendiri oleh rakyat Perancis saat

itu. D. Ciri-ciri Sistem Negara Modern Berdasarkan sejarah dan latar belakang

munculnya sistem negara modern yang telah dijelaskan sebelumnya, ciri-ciri sistem

negara modern tidak lain adalah ciri-ciri negara Batas-batas wilayah yang jelas bangsa

(nation-state), yakni: dan tetap Struktur kekuasaan impersonal Legitimasi diambil dan

disepakati oleh rakyat Memonopoli penggunaan kekuatan : 12[12]

1. Jenis-jenis Negara Modern Ada beberapa jenis negara modern, yakni: Negara

Konstitusional (Constitutional State) : Negara yang kegiatannya dipandu oleh

seperangkat aturan. o Republik Indonesia

2. Negara Liberal (Liberal State) : Negara dipisahkan dari pihak swasta. Demokrasi

Perwakilan (Representative Democracy) : Indiciduindividu mewakili kehendak orang

banyak. o Amerika Serikat


Ciri-ciri negara modern yakni :

1. Batas-batas wilayah yang jelas dan tetap

2. Struktur kekuasaan impersonal

3. Legitimasi diambil dan disepakati oleh rakyat

4. Memonopoli penggunaan kekuatan

BAB III

PEMBAHASAN

Mengapa dikatakan “utilitarianisme”? karena utilitarianisme berasal dari kata

“utility” bermanfaat, berguna. Maka istilah inipun kemudian ditemukan dalam tujuan

hukum yakni “kemanfaatan”. Maka tujuan hukum disamping keadilan dalam pencapaian

tujuan filsufisnya, adalah juga harus bermanfaat.

Pembahasan rumusan masalah pertama adalah membahas relevansi aliran

utilitarianisme. Dari prinsip dasar di atas, jelas diketahui relevansi aliran utilitarianisme

dalam hukum di Indonesia yaitu memberikan pandangan bahwa tujuan hukum itu juga

harus memberikan kemanfatan. Tujuan hukum kemanfaatan itu merupakan salah satu

tujuan hukum positif di Indonesia.

Rumusan masalah kedua adalah mengetahui Implementasi prinsip-prinsip aliran

utilitarianisme pada pencapaian tujuan hukum modern di Indonesia sesuai dengan

ajaran para penganutnya. Untuk menjawan rumusan masalah itu, kita dapat melihat

apakah rakyat Indonesia telah mencapai kebahagiaan secara individu, tetapi tidak

mungkin dapat mencapai kebahagiaan secara individu maka dapa dilihat seberapa

banyak rakyat Indonesia dapat merasakan kebahagiaan.


Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan pembahasan dari rumusan

masalah tersebut.

1. Relevannsi Aliran Utilitarianisme Pada Hukum di Indonesia

Aliran utilitarianisme memberikan sumbangsih pemikiran hukum pada hukum,

dalam hal ini hukum di indonesia. Relevansinya itu merupakan salah satu pemikiran

yang mengkaji bagaimana tujuan hukum itu. Aliran utilsme yang menjelaskan bahwa

tujuan hukum adalah memberi kemanfaatan kepada sebanyak-banyaknya orang.

Kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happines). Jadi baik buruk atau adil

tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan

kepada manusia atau tidak. Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap

individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak mungkin), diupayakan agar

kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa

Indonesia) tersebut.

Aliran ini sesungguhnya dapat pula dimasukkan ke dalam Positivisme Hukum,

mengingat faham ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa tujuan hukum

adalah untuk menciptakan ketertiban masyarakat, di samping untuk memberikan

manfaat yang sebesar-besarnya kepada jumlah orang terbanyak. Ini berarti hukum

merupakan cerminan perintah penguasa juga, bukan pencerminan dari rasio semata.

Kehadiran tradisi negara modern yang mengikat dan tidak bisa dihindari

menyebabkan sulitnya tercapai tujuan hukum yang sebenarnya, namun aliran ini dapat

dijadikan pemikiran hukum sepanjang masa karena garis pemikirannya berupa

pendekatan terhadap hukum ke arah tujuan sosial dan sebagai alat dalam
perkembangan sosial. Dalam perkembanngan masyarakat yang semakin kompleks,

tujuan hukum selain untuk menjaga ketertiban umum juga dapat menjaga perdamaian

kekerabatan yang satu dengan kekerabatan lain , antara orang-orang yang sekutu, dan

penduduk yang bertambah banyak yang dimungkinkan terjadi benturan-benturan

kepentingan, di sini berarti menjaga ketentraman bagi orang banyak.

2. Implementasi prinsip-prinsip aliran utilitarianisme pada pencapaiian tujuan

hukum modern di Indonesia

Sebelum menjelaskan Implementasi aliran utilitarianisme pada pencapaiian

tujuan hukum modern di Indonesia, akan sedikit di uraikan kembali prinsip-prinsip aliran

utilitarianisme.

Maksud dari Bentham tidak lain memandang bahwa ukuran baik-buruk suatu

perbuatan manusia tergantung kepada apakah perbuatan itu mengandung kebahagiaan

atau tidak. Sebagai salah ilustrasi yang ditawarkan Bentham suatu pemidanaan harus

bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dan betapa kerasnya pidan itu tidak boleh melebihi

jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan tertentu.

Pemidanaan hanya dapat diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya

kejahatan yang lebih besar.

Pendapat yang hampir sama dengan Bentham adalah John Stuart Mill, namun

Mill malah memodifikasi maksud “happiness” itu bahwa kebahagiaan sebagai salah

satu sumber kesadaran keadilan tidak hanya terletak pada asas ‘kemanfaatan” semata,

melainkan rangsangan dalam rangka mempertahankan diri dan perasaan simpati.

Pendapat Bentham dapat diklasifikasikan sebagai utilitarianisme individual,

sedangkan Rudolf Von Jhering kemudian menganut utilitarianisme sosial. Jika diamati
rangkain teori Jhering merupakan kombinasi pemikiran tiga pemikir dalam aliran

pemikiran ilmu hukum yakni Bentham, Mill dan John Austin sebagaimana ia menolak

anggapan aliran sejarah yang berpendapat, hukum adalah hasil kekuatan-kekuatan

historis murni yang direncanakan dan tidak disadari. Menurut Jhering, hukum mesti

dibuat oleh negara atau dasar sepenuhnya untuk mencapai tujuan tertentu.

Selanjutnya kita melihat lagi keadaan Indonesia saat ini, dimana sedang menuju

negara modern, hal itu dapat dilihat dengan ikut campur tangan negara dalam

mengurusi kepentingan masyarakat. Negara berperan aktif mengatur urusan rakyat.

Begitu banyak produk hukum yang tercipta untuk mengatur kepentingan warga negara

dengan tujuan hukum yang ingin dicapai adalah menjaga kestabilan & ketertiban

hukum. Perkembangan masa yang berlangsung mengakibatkan perubahan secara

mendasar atas peranan dan fungsi fungsi yang diselenggarakan pemerintah. Negara

selaku integritas kekuasaan massa, sudah tentu membutuhkan suatu tingkat kestabilan

khusus dalam sistem sosialnya untuk tetap mempertahankan keseimbangan antara

peranan atau penyelenggaraan fungsi fungsinya dengan tujuan tujuan yang dicapai.

Dalam upaya mencapai hal tersebut, tidak saja diperlukan keselarasan atas tujuan

tujuan yang dikehendaki oleh kelompok kelompok social maupun kelompok ekonomi

yang terdapat pada Negara, akan tetapi juga kreativitas untuk menciptakan secara

terarah berbagai kondisi kesejahteraan social yang dikehendaki masyarakat.

Sistem negara hukum modern di Indonesia cukup baik. Hal ini terlihat dari proses

berjalannya pengimplementasian sistem pada beberapa dekade terakhir. Semuanya

menujukkan situasi yang cukup stabil baik secara domestik maupun internasional

Namun, bukan berarti dengan baiknya performa sistem ini menujukkan bahwa
mengejawantahkan sistem ini merupakan suatu keharusan. Walaupun, di antara yang

lain, sistem ini merupakan yang terbaik hampir disegala aspek ( militer, ekonomi,

pemerintahan, dan lain-lain), tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa selanjutnya

akan terbentuk sistem-sistem negara yang baru.Sistem negara modern yang ada saat

ini masih tergolong muda untuk menjadi yang terakhir. Banyak hal yang tak terduga

yang bisa memaksanya untuk menyesuaikan diri. sistem negara modern memang

seharusnya menyesuaikan diri den gan tuntutan zamannya. Bahkan tak

menutup kemungkinan juga bila dalam suatu waktu, pelaksanaan sistem negara

modern di Indonesia berbeda dengan negara lainnya. Mungkin namanya akan kekal

dan tak tergantikan. Tetapi, substansinya akan senantiasa berubah seiring berputarnya

roda kehidupan manusia

Indonesia telah menginplementasikan prinsip aliran utilitarianisme karena

pemerintah dalam setiap produk hukum mempertimbangkan tujuan hukum

kemanfaatan untuk masyarakat. Pencapaian tujuan hukum modern di Indonesia

menurut aliran utilitarianisme mengarah ke arah yang lebih baik walaupun kurang

efektif. Hal itu dikarenakan negara tidak mungkin bisa menjamin kesehjateraan tiap

rakyatnya (tiap indivudu) dan dalam pembetukan hukum banyak dipengaruhi oleh

kepentingan elit politik atau kepentingan penguasa. Akhirnya ironis karena hukum tidak

dapat betul-betul menjalankan fungsi sebagaimana mestinya dan tidak dapat

sepenuhnya memberi kemanfaatan. Namun pemerintah dengan alat kuasanya selalu

membuat kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk kepentingan warga negara agar

tercipta ketertiban umum dan dapat memberi kebahagiaan bagi sebanyak-banyak


warganya, meskipun selalu menyelipkan kepentingan pribadi atau kepentingan politik

para penguasa.

BAB VI

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Relevansi aliran utilesme dalam hukum Indonesia yaitu aliran ini merupakan salah satu

pemikiran yang mengkaji bagaimana tujuan hukum itu. Aliran utilsme yang menjelaskan

bahwa tujuan hukum adalah memberi kemanfaatan kepada sebanyak-banyaknya

orang. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happines). Jadi dapat diukur

efektif tidaknya suatu hukum di Indonesia dengan melihat baik buruk atau adil tidaknya

suatu hukum dengan bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan

kepada manusia atau tidak. Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap

individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak mungkin), diupayakan agar

kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa

Indonesia) tersebut.

2. Pencapaian tujuan hukum indonesia sebagai negara modern menurut aliran utilisme

mengarah ke arah yang lebih baik walaupun kurang efektif.

B. SARAN

1. Pemerintah dalalm menciptakan produk hukum di Indonesia harus senantiasa

bermanfaat bagi masyarakat dan bertujuan untuk ketertiban umum


2. Hukum di Indonesia banyak yang tidak relevan lagi, karena itu harus mengadakan

perubahan mengikuti perkembangan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai