1. Sekadar Pengantar
Utilitarianisme adalah sebuah teori yang diusulkan oleh David Hume untuk menjawab moralitas
yang saat itu mulai diterpa badai keraguan yang besar, tetapi pada saat yang sama masih tetap
sangat terpaku pada aturan-aturan ketat moralitas yang tidak mencerminkan perubahan-
perubahan radikal di zamannya. Utilitarianisme secara utuh dirumuskan oleh Jeremy Bentham
dan dikembangkan secara lebih luas oleh James Mill dan John Stuart Mill. Utilitarianisme
terkadang disebut dengan Teori Kebahagiaan Terbesar yang mengajarkan tiap manusia untuk
meraih kebahagiaan (kenikmatan) terbesar untuk orang terbanyak. Karena, kenikmatan adalah
satu-satunya kebaikan intrinsik, dan penderitaan adalah satu-satunya kejahatan intrinsik. Bagi
Bentham, moralitas bukanlah persoalan menyenangkan Tuhan atau masalah kesetiaan pada
aturan-aturan abstrak, melainkan tidak lain adalah upaya untuk mewujudkan sebanyak mungkin
kebahagiaan di dunia ini. Oleh karena itu, Bentham memperkenalkan prinsip moral tertinggi
yang disebutnya dengan ‘Asas Kegunaan atau Manfaat’ (the principle of utility). Sebagaiman
ungkapannya yang terkenal ”the greatest happiness of the greatest number”, atau utilitarianisme
disamakannya dengan hedonisme.
Menurut kamus Indonesia Wikipedia, Hedonisme berasal dari bahasa Yunani yang derivasi
katanya; ‘hedon’ (pleasure) dan ‘isme’. Yang diartikan sebagai paradigma berpikir yang
menjadikan kesenangan sebagai pusat tindakan (any way of thinking that gives pleasure a central
role). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hedonisme diartikan sebagai pandangan yang
menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup (KBBI, edisi
ketiga, 2001). Secara general, hedonisme bermakna, kesenangan merupakan satu-satunya
manfaat atau kebaikan. Dengan demikian hedonisme bisa didefinisikan sebagai sebuah doktrin
(filsafat etika) yang berpegangan bahwa tingkah laku itu digerakkan oleh keinginan atau hasrat
terhadap kesenangan dan menghindar dari segala penderitaan. Paradigma hedonistis
memfokuskan pandangannya pada pencarian kesenangan an-sich dan penghindaran terhadap
segala penderitaan. Namun dewasa ini substansi secara harfiah sudah tidak lagi menemukan
relevansinya. Nampaknya tidak ada persamaan persepsi mengenai apa-apa saja yang sebenarnya
bisa mendatangkan kesenangan dan apa-apa saja aktivitas yang bisa mendatangkan penderitaan.
Esensi filosofis hedonistik terkadang punya konotasi seksual atau pemikiran liberal.
Maksud Asas Manfaat atau Kegunaan, kata Bentham, ialah asas yang menyuruh setiap orang
untuk melakukan apa yang menghasilkan kebahagiaan atau kenikmatan terbesar yang diinginkan
oleh semua orang untuk sebanyak mungkin orang atau untuk masyarakat seluruhnya. Oleh
karena itu, menurut pandangan utilitarian, tujuan akhir manusia, mestilah juga merupakan ukuran
moralitas. Dari sini, muncul ungkapan ‘tujuan menghalalkan cara’.
Bentham memperkenalkan metode untuk memilih tindakan yang disebut dengan utility calculus,
hedonistic calculus, atau felicity calculus. Menurutnya, pilihan moral harus dijatuhkan pada
tindakan yang lebih banyak jumlahnya dalam memberikan kenikmatan daripada penderitaan
yang dihasilkan oleh tindakan tersebut. Jumlah kenikmatan ditentukan oleh intensitas, durasi,
kedekatan dalam ruang, produktivitas (kemanfaatan atau kesuburan), dan kemurnian (tidak
diikuti oleh perasaan yang tidak enak seperti sakit atau kebosanan dan sejenisnya).
Munculnya James Mill dan John Stuart Mill dengan filsafat Utilitarianisme modern, telah
merubah dunia modern menjadi dunia yang penuh gairah. Selain itu ia ingin meluruskan
pemikiran Bentham (pamannya) bahwa, pertama, nikmat jangan dibatasi pada nikmat jasmani
saja, nikmat rohani lebih luhur daripada nikmat jasmani. Kedua, ia memperjelas bahwa
utilitarianisme tidak ada kaitannya dengan egoisme. Kriteria moralitas utilitarianisme, prinsip
kebahagiaan terbesar tadi justru mencakup semua orang yang terkena dampak tindakan kita.
Berbeda dengan hedonisme Epikurus, utilitarianisme tidak mencitakan kebahagiaan bagi diri
sendiri saja, melainkan kebahagiaan semua. Seluruh gagasan ini diterima dengan pujian dan
penyembahan, karena inilah yang selalu didambakan oleh setiap manusia. Ide Utilitarian adalah
usaha untuk mengejar kebahagiaan yang puncak. Yang dimaksud kebahagiaan puncak adalah
segala hal yang bisa dikejar untuk kita bisa menikmati dunia ini. Itu sebabnya timbul perdebatan
aspek moral dari filsafat ini. Pertama, bagaimana konsep utilitarian ini dilukiskan dan
diaplikasikan dengan tepat, dan kedua, apakah implikasi moral dari utilitarianisme ini bisa
diterima atau harus ditolak. Utilitarianisme di dalam tangan John Stuart Mill dibungkus dengan
satu slogan yang luar biasa indah yaitu “The greatest benefit for the greatest among the people.”
Maksudnya carilah manfaat sebanyak-banyaknya untuk sebanyak-banyaknya orang. Melalui
slogan ini dia pikir cocok dengan sifat demokrasi. Utilitarianisme dengan kalimat yang
kelihatannya begitu indah diterima secara begitu merebak, begitu disukai termasuk banyak orang
kristen dewasa ini tergila-gila dengan pikiran tersebut.
Para utilitarian menyusun argumennya dalam tiga langkah berikut, contohnya berkaitan dengan
pembenaran euthanasia (mercy killing):
(1). Perbuatan yang benar secara moral ialah yang paling banyak memberikan jumlah
kenikmatan dan kebahagiaan pada manusia.
(2). Setidaknya dalam beberapa kesempatan, perbuatan yang paling banyak memberikan jumlah
kenikmatan dan kebahagiaan pada manusia bisa dicapai melalui euthanasia.
(3). Oleh karena itu, setidaknya dalam beberapa kesempatan, euthanasia dapat dibenarkan secara
moral.
Sekalipun mungkin argumen di atas tampak bertentangan dengan agama, Bentham mengesankan
bahwa agama akan mendukung, bukan menolak, sudut-pandang utilitarian bilamana para
pemeluknya benar-benar memegang pandangan mereka tentang Tuhan yang penuh kasih sayang.
Pada sisi lain, para utilitarian menolak eksperimen-eksperimen saintifik tertentu yang melibatkan
binatang, lantaran kebahagiaan atau kenikmatan harus dipelihara terkait dengan semua makhluk
yang bisa merasakannya — terlepas apakah ia mukhluk berakal atau tidak. Lagi-lagi, buat
mereka, melakukan hal yang menambah penderitaan adalah tindakan imoral. Singkatnya,
Utilitarianisme Klasik yang diusung oleh Jeremy Bentham, James Mill dan, anaknya, John Stuart
Mill, dapat diringkas dalam tiga proposisi berikut: Pertama, semua tindakan mesti dinilai
benar/baik atau salah/jelek semata-mata berdasarkan konsekuensi-konsekuensi atau akibat-
akibatnyanya. Kedua, dalam menilai konsekuensi-konsekuensi atau akibat-akibat itu, satu-
satunya hal yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau penderitaan yang dihasilkannya. Jadi,
tindakan-tindakan yang benar adalah yang menghasilkan surplus kebahagiaan terbesar
ketimbang penderitaan. Ketiga, dalam mengkalkulasi kebahagiaan atau penderitaan yang
dihasilkan, tidak boleh kebahagiaan seseorang dianggap lebih penting daripada kebahagiaan
orang lain. Kesejahteraan tiap orang sama penting dalam penilaian dan kalkulasi untuk memilih
tindakan.
Gagasan Utilitarianisme yang menyatakan bahwa ‘kebahagiaan itu adalah hal yang diinginkan
dan satu-satunya tujuan yang diinginkan, semua hal lain diinginkan demi mencapai tujuan itu’
jelas mirip dengan gagasan Hedonisme. Nah, Hedonisme, seperti kita tahu, adalah keyakinan
klasik bahwa kenikmatan, kebahagiaan atau kesenangan adalah kebaikan tertinggi dalam
kehidupan. Istilah Hedonisme sendiri berasal dari kata Yunani yang bermakna kesenangan.
Hanya saja, Epicurus, tokoh utama Hedonisme percaya bahwa manusia seharusnya mencari
berbagai kesenangan, kebahagiaan dan kenikmatan pikiran ketimbang tubuh. Katanya, orang
bijak harus menghindari kesenangan-kesenangan yang akhirnya akan berujung pada penderitaan.
Utilitarianisme tindakan berpendapat bahwa tiap tindakan yang spesifik dengan segala
rinciannya, adalah yang seharusnya menjadi pengujian dalam utilitarian. Hal ini berarti terlepas
dari apakah tindakan tersebut sesuai atau tidak dengan peraturan-peraturan yang ada. Atau dapat
didefinisikan sebagai berikut: bertindaklah sedemikan rupa sehingga tindakanmu itu
menghasilkan akibat-akibat baik yang lebih besar di dunia daripada akibat buruknya.
3. Bahaya Utilitarianisme
a) Semua dilihat dari aspek kepentingan manusia, sehingga seperti telah diungkap diatas, terjadi
konflik kepentingan dan timbul masalah moral yang sulit diselesaikan. Semangat hedonistis yang
mewarnai citra utilitarianisme menjadikan sifat moral dikesampingkan ataupun diganti dengan
nilai moral yang sangat relatif dan rendah sifatnya. Disini sifat dosa diumbar dan dipuaskan
tanpa ada penghalang yang membatas lagi.
b) Di sini terjadi kesalahan fatal. Utilitarian telah memutlakkan yang relatif. Ketika manusia
mengejar kebahagiaan pribadi dengan batasan dan perbandingan nilai yang relatif, tanpa
standardisasi yang sejati, telah kehilangan basis kemutlakkan yang sesungguhnya. Akibatnya,
diri dijadikan basis mutlak, dan itu berarti akan menolak Tuhan sebagai penentu dan standard
bagi kemutlakkan yang sebenarnya.
c) Hidup hanya mengejar kekinian yang akan meniadakan aspek kekekalan. Karena utilitarian
hanya bisa melihat nilai-nilai yang ada di dunia ini, maka seluruh pengharapan akan kekekalan
dan sifat-sifat ilahi diabaikan.
Selain itu ada beberapa bahaya lain dari utilitarianisme yakni, pertama, utilitarianisme memberi
peluang besar terjadinya kekacauan, penipuan argumentasi pemikiran yang sangat mengerikan.
Mengapa? karena ditengah-tengah dunia modern ketika orang mengatakan manfaat terbesar bagi
semakin banyak manusia, ini merupakan kalimat yang sangat fiktif. Ini baru bisa terjadi orang
tersebut tidak berdosa. Padahal utilitarianisme dikembangkan oleh orang berdosa dan dijalankan
ditengah dunia berdosa. Jadi dengan kondisi seperti ini slogan tersebut menjadi slogan yang
fiktif. Misalnya, orang yang mengatakan kedaulatan ditangan rakyat padahal rakyat hanya naik
sepeda dia sendiri naik mercedez. Kedua, utilitarianisme, akhirnya menyebabkan semua
minoritas menjadi tertindas. Mengapa? karena jika kita bukan orang yang terbanyak maka kita
mati. Apabila matipun itu tidak salah, karena ini demi orang banyak. Jadi minoritas mati tidak
apa-apa. Disini prinsip “Survival of the fittest” atau yang kuat yang menang dari utilitarianisme
dinyatakan. Ketiga, dibelakang asas manfaat dari utilitarianisme ini adanya satu format ekonomi
yang sangat mengerikan sekali yaitu mereka mengatakan mari kita mencari manfaat yang
sebesar-besarnya dengan asumsi untuk mendapat manfaat yang sebesar-besarnya. Kalau tidak
kita akan rugi. Jadi prinsipnya kalau saya tidak untung ya saya rugi. Oleh karena itu saya harus
mengejar keuntungan dengan cara apapun, pokoknya untung. Prinsipnya hanya dua, kenikmatan
atau penderitaan.
6. Argumentasi Utilitarian
a) Manusia harus pandai-pandai memanfaatkan situasi
Seorang utilitarian tidak pernah mengerti adanya rencana Tuhan atau ketaatan kepada kehendak
Tuhan. Yang dipikirkan adalah manusia perlu pandai-pandai memanfaatkan situasi, karena hidup
matinya manusia tergantung kepada manusia itu sendiri. Maka, cara terbaik bagi manusia adalah
hidup memanfaatkan situasi yang ada. Tujuannya adalah untuk mencapai kebahagiaan. Sejauh
kebahagiaan itu bisa dicapai, maka manusia harus mengejarnya, karena itulah sasaran akhir
hidup manusia. Seperti Bentham tegaskan, bahwa tidak perlu terlalu dirisaukan dengan berbagai
pertimbangan yang akhirnya hanya menyusahkan kita (pain), seperti berbagai pertimbangan
moral, karena moral adalah kesenangan (pleasure). Maka manusia harus mengejar kesenangan
ini.
b) Korban adalah akibat kesalahan sendiri
Dalam kaitan dengan kesenangan yang manusia kejar, terkadang terjadi konflik sehingga ada
pihak yang dirugikan. Dalam hal ini, maka yang salah adalah pihak yang dirugikan. Jika ia rugi,
berarti ia gagal mencari kesempatan atau menggunakan kesempatan secara tepat, sehingga ia
telah menjadi korban dari kelemahannya. Akibatnya ia mengalami kepedihan (pain). Jadi untuk
seseorang bisa mencapai kesenangan, tidak ada salahnya jika orang lain sampai dirugikan,
karena itu tidak ada kaitannya dengan obligasi moral sama sekali.
Aspek moral manusia menjadikan manusia tidak pernah bisa tenang apabila ia telah merugikan
dan menghancurkan orang lain. Tuduhan moral akan tiba padanya dan hal itu akan membuat
manusia kehilangan kebahagiaannya. Mungkin ia bisa menikmati sukacita di atas kesusahan dan
pengorbanan orang lain, tetapi hal itu akan mendatangkan tuntutan keadilan kepadanya, paling
tidak nanti di dalam kekekalan. Hal itu yang menyebabkan orang berdosa akan begitu takut mati,
karena ia sadar tidak bisa lepas dari tuntutan keadilan yang harus dipertanggungjawabkan.
Selain itu, pertanyaan yang paling sulit dijawab oleh kaum Utilitarian adalah: Apakah hakikat
kebahagiaan? Apakah kebahagiaan itu hasil dari suatu tindakan, atau dirasakan saat tindakan
berlangsung? Apakah kebahagiaan yang dituju di sini bersifat permanen ataukah sementara,
seringkali kebahagiaan yang bersifat sementara berlawanan dengan kebahagiaan yang bersifat
permanen? Bukankah moralitas Utilitarian itu berpijak pada sesuatu yang akan terjadi atau
sesuatu yang belum tentu terjadi untuk memutuskan tindakan yang seharusnya segera terjadi?