Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Miastenia gravis, yang terjadi pada kira- kira 1 dari 20.000 orang,
menyebabkan kelumpuhan akibat ketidakmampuan sambungan
neuromuskular untuk menghantarkan sinyal dari serat saraf ke serat otot.
Secara patologis, dalam darah sebagian besar penderita miastenia gravis
terlihat antibodi yang menyerang protein transpor bergerbang asetilkolin.
Oleh karena itu, ada anggapan bahwa miastenia gravis merupakan
penyakit autoimun karena pada penderita ini terbentuk antibodi yang
melawan saluran ion teraktivasi asetilkolin miliknya sendiri. Tanpa
memperhatikan penyebabnya, neuromuscular junction. (Rosyid n.d.)
Pada tahun 1977, karakteristik autoimun pada miastenia gravis dan
peran patogenik dari antibodi AchR telah berhasil ditemukan melalui
beberapa penelitian. Hal ini meliputi demonstrasi tentang sirkulasi
antibodi AchR pada hampir 90% penderita miastenia gravis, transfer pasif
IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus, lokalisasi imun
kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik, dan efek
menguntungkan dari plasmaparesis (Engel , 1984). Miastenia gravis
adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada manusia.
MG disebabkan oleh proses autoimun dimana antibodi menyerang
acetylcholine (ACh) reseptor, mengakibatkan sejumlah penurunan Ach
reseptor (AChR) pada sambungan neuromuscular. Hal ini mencegah
molekul Ach dari menyerang dan merangsang kontraksi otot.
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting
pada patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal
ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien
yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik
lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain (Howard, 2008)
Sindrom Guillain-Barré (GBS) adalah umum polineuropati akut
mempengaruhi 1 sampai 2 dari 100.000 orang per tahun. laki-laki lebih

1
dari perempuan yang terkena (1,25: 1), dan sindrom dapat terjadi pada
pasien dari segala usia, biasanya mempengaruhi pasien usia 40 sampai 50
tahun, meskipun insiden meningkat sebesar 20% untuk setiap kenaikan di
usia 10 tahun-an (Sevjar JJ 2011).
Sindrom ini sering didahului oleh stimulasi sistem kekebalan tubuh
dari infeksi virus, trauma, operasi, imunisasi virus, atau human
immunodeficiency virus (HIV). Campylobacter jejuni adalah organisme
yang paling diakui berhubungan dengan sindrom Guillain-Barre.
Campylobacter jejuni gastroenteritis diduga mendahului sindrom
Guillain-Barre pada sekitar 30% kasus.
Pada GBS, Selaput myelin yang mengelilingi akson hilang
sehingga menyebabkan kelemahan otot mendadak dan hilangnya respon
refleks. Ada tiga tahap dalam GBS yaitu; tahap akut, tahap planteu, dn
tahap pemulihan (recovery).

1.2 Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
1) Menyelesaikan tugas makalah Discovery Learning (Case Study)
Keperawatan Neurobehaviour II
2) Menyelesaikan tugas berupa soal-soal yang telah diberikan untuk
menentukan diagnose dan asuhan keperawatan dengan masalah
Myasthenia Gravis atau Guillain Barre Syndrome berdasarkan kasus
yang telah diberikan.

1.2.2. Tujuan Khusus


1) Menjelaskan dan memahami definisi myasthenia gravis
2) Menjelaskan dan memahami etiologi myasthenia gravis
3) Menjelaskan dan memahami patosiologi myasthenia gravis
4) Menjelaskan dan memahami klasifikasi myasthenia gravis
5) Menjelaskan dan memahami manifestasi klinis myasthenia gravis
6) Menjelaskan dan memahami pemeriksaan diagnostik myasthenia
gravis spinalis

2
7) Menjelaskan dan memahami komplikasi myasthenia gravis
8) Menjelaskan dan memahami perawatan kolaborasi myasthenia
gravis
9) Menjelaskan dan memahami definisi guillain barre syndrome
10) Menjelaskan dan memahami etiologi guillain barre syndrome
11) Menjelaskan dan memahami patofisiologi guillain barre syndrome
12) Menjelaskan dan memahami tahap guillain barre syndrome
13) Menjelaskan dan memahami manifestasi klinis guillain barre
syndrome
14) Menjelaskan dan memahami medikasi guillain barre syndrome
15) Menjelaskan dan memahami tes diagnostik guillain barre syndrome
16) Menjelaskan dan memahami tindakan terapeutik guillain barre
syndrome
17) Menjelaskan dan memahami Web of Caution myasthenia gravis
18) Menjelaskan dan memahami algoritma myasthenia gravis
19) Menjelaskan dan memahami Web of Caution guillain barre
syndrome
20) Menjelaskan dan memahami algoritma guillain barre syndrome
21) Menjelaskan dan memahami asuhan keperawatan pada myasthenia
gravis berdasarkan kasus yang telah diberikan.

1.3 Manfaat
Diharapkan makalah ini dapat menjadi salah satu sumber belajar
pada Keperawatan Neurobehaviour II dan dapat menjadi sumber ilmu
pengetahuan tentang konsep dan keperawatan pada klien dengan masalah
Myasthenia Gravis dan Guillain Barre Syndrome.

3
BAB 2
TINJAUAN TEORI KASUS

2.1 Myasthenia Gravis


2.1.1 Definisi Myasthenia Gravis
Myasthenia gravis merupakan penyakit autoimun dari sambungan
neuromuskuler ditandai dengan kelemahan berfluktuasi dari kelompok
otot rangka tertentu. MG terjadi disetiap gender dan pada orang dari
setiap ethnic. Prevalensinya adalah 6 per 100.000 dan saat ini ada sekitar
18.000 orang dengan myasthenia gravis di Amerika Serikat. MG 2 kali
lebih sering terjadi pada wanita, tetapi pada orang dewasa yang lebih tua
kedua jenis kelamin sama-sama terpengaruh. MG dianggap jarang terjadi
di atas usia 70 (Dewis 2011).
Usia yang paling umum terserang adalah pada usia 20 dan 30-an
pada wanita dan 70 dan 80-an pada pria. Berdasarkan populasi umur, rata-
rata usia yang terserang meningkat, dan sekarang pria lebih sering
terserang dibanding wanita, dan permulaan munculnya tanda-tanda
biasanya setelah usia 50. Pada Myasthenia bayi, janin mungkin mem-
perolah protein imun (antibodi) dari ibu yang terkena Myasthenia Gravis.
Umumnya, kasus-kasus dari Myasthenia bayi adalah sementara dan
gejala-gejala anak-anak umumnya hilang dalam beberapa minggu setelah
kelahiran.

2.1.2 Etiologi
MG disebabkan oleh proses autoimun dimana antibodi menyerang
acetylcholine (ACh) reseptor, mengakibatkan sejumlah penurunan Ach
reseptor (AChR) pada sambungan neuromuscular. Hal ini mencegah
molekul Ach dari menyerang dan merangsang kontraksi otot. Antibodi
anti-AChR yang terdeteksi dalam serum 85% sampai 90% dari pasien
dengan MG umum. Dalam 10% sampai 15% dari pasien yang kekurangan
antibodi terhadap AChR, kelemahan otot mereka mungkin berhubungan
dengan autoantibodi ke otot-spesifik reseptor tirosin kinase. Tumor timus

4
ditemukan di sekitar 15% dari pasien, dan jaringan timus yang abnormal
ditemukan di sebagian besar orang lain (Dewis 2011).

http://www.midwestcompassion.org/2015/05/18/treating-myasthenia-gravis-with-
cannabis/

2.1.3 Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting
pada patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal
ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien
yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik
lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain (Howard, 2008)
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada
serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen
pada otot. Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya
otot penderita dengan miatenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa
antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama
kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap
asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien
yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata (Lewis , 1995)

5
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap
reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya
dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit
terkait sel B”, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru
melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia
gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap
imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti
hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien
dengan gejala miastenik (Howard, 2008). Pada pasien miastenia gravis,
antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda,
dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama
pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari
asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin
akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui
beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap
antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor
asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan
sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area
permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor
asetilkolin yang baru disintesis (Howard, 2008).

2.1.4 Klasifikasi Myasthenia Gravis


1. Tipe
a. Acquired myasthenia, berkembang di setiap umur setelah
kelahiran, yang sejauh ini merupakan jenis yang paling umum;
b. Neonatal myasthenia, terjadi pada 10-15% anak-anak yang
orang tuanya terkena MG;
c. Congenital myasthenia, terdapat pada saat lahir atau jelas di
tahun-tahun pertama kehidupan, atau setelahnya tapi jarang.
2. Pasien MG berdasarkan alasan
a. Murni MG ocular, terbatas pada levator palpebral dan otot
gerak mata;

6
b. Onset awal umum MG, terjadi sebelum umur 40-an, tanpa
timoma.
c. Onset terlambat umum MG, terjadi dari usia 40 tahun,
tanpatimoma
d. Pasien dengan timoma, terjadi di setiap usia. (Oosterhuis 1997)

2.1.5 Manifestasi klinis Myasthenia Gravis


Ciri utama dari MG terjadi kelemahan fluktuasi pada otot rangka.
Kekuatan biasanya dikembalikan setelah masa istirahat. Otot-otot yang
paling sering terlibat adalah otot-otot yang digunakan untuk
menggerakkan mata dan kelopak mata, mengunyah, menelan, berbicara,
dan bernapas. Otot-otot ini umumnya yang terkuat di pagi hari dan
menjadi lelah dengan aktivitas lanjutan. Akibatnya, pada akhir hari,
kelemahan otot yang menonjol. Tidak ada tanda-tanda lain dari gangguan
saraf menyertai MG. Tidak ada gangguan sensorik, refleks normal, dan
atrofi otot jarang (Dewis 2011).

Gejala yang mungkin terjadi yaitu;


1. Terkulai salah satu atau kedua kelopak mata (ptosis);

2. Penglihatan kabur atau ganda;


3. Masalah berjalan;
4. Kelemahan di lengan, tangan, jari, kaki, dan leher;
5. Perubahan ekspresi wajah;
6. Memiliki waktu yang sulit menelan;

7
7. Masalah berbicara;
8. Sesak napas (merasa seperti Anda tidak bisa mendapatkan
cukup udara)

2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik Myasthenia Gravis


Diagnosis MG dapat dibuat berdasarkan riwayat dan pemeriksaan
fisik. Namun, tes lainnya dapat digunakan jika diagnosis masih
diragukan.
1. Tes tensilon
Tes tensilon pada pasien dengan MG mengungkapkan peningkatan
kontraktilitas otot setelah injeksi IV dari agen antikolinesterase
edrophonium klorida (Tensilon). Tes ini juga membantu dalam
diagnosis krisis kolinergik (sekunder overdosis obat
antikolinesterase), yang terjadi ketika terlalu banyak penghambatan
kolinesterase. Fitur klinis termasuk fasikulasi otot, berkeringat, air
liur berlebihan, dan kontriksi pupil. Dalam kondisi ini, tensilon
tidak meningkatkan kelemahan otot namun sebenarnya dapat
meningkatkannya. Atropin, antagonis kolinergik, harus siap
tersedia untuk melawan efek dari tensilon bila digunakan
diagnostik.
2. Tes darah antibodi
Tes darah dapat mendeteksi keberadaan tingkat tinggi antibodi
abnormal yang mencegah yang normal saraf-to-otot transmisi.
Kebanyakan orang dengan MG memiliki abnormal tingkat tinggi
asetilkolin antibodi reseptor. Tetapi beberapa orang dengan MG
menguji negatif untuk antibodi ini. Baru-baru ini, lain jenis
antibodi, yang disebut Musk antibodi, telah ditemukan di beberapa
pasien MG yang menguji negatif untuk antibodi reseptor
asetilkolin. Untuk pasien ini, tes darah yang mendeteksi antibodi
Musk dapat alat diagnostik yang berguna. Hanya bagaimana
antibodi musk mengubah atau kerusakan transmisi saraf-otot tidak
bersih. Tetapi pasien yang dites positif antibodi Musk sering

8
memiliki gejala yang melibatkan otot-otot wajah, menelan,
berbicara, dan pernapasan. Antibodi abnormal mungkin tidak
ditemukan jika hanya otot mata yang terpengaruh oleh MG.
3. Serat tunggal electromyography (EMG). Dalam tes ini, serat otot
tunggal dirangsang oleh impuls listrik. Serat otot penderita MG
tidak menanggapi berulang stimulasi listrik serta otot-otot yang
berfungsi secara normal. Dengan tes ini, EMG dapat mendeteksi
masalah dengan transmisi saraf-saraf otot.
4. Computed tomography (CT) atau magnetic resonance imaging
(MRI). Tes ini dapat menunjukkan jika Anda memiliki kelenjar
thymus abnormal atau tumor kelenjar timus.

2.1.7 Komplikasi Myasthenia Gravis


Myasthenia gravis dapat menyebabkan komplikasi tertentu yang
umumnya bisa dikontrol. Tetapi ada juga yang berbahaya dan dapat
berakibat fatal. Komplikasi-komplikasi tersebut meliputi:
1. Krisis myasthenia
Krisis myasthenic didefinisikan sebagai tiba-tiba memburuknya
fungsi pernapasan dan / atau kelemahan otot yang mendalam.
Pengakuan dan pengobatan krisis miastenia adalah darurat
neurologis. Dengan pengakuan awal, terapi yang efektif, dan unit
perawatan intensif modern, angka kematian dari krisis seperti saat ini
merupakan kejadian langka (Kothari 2004). Komplikasi ini juga
sering terjadi ketika pengidap myasthenia gravis mengalami infeksi
yang parah.
2. Gangguan dan kondisi autoimun lain
Pengidap penyakit ini juga memiliki kecenderungan untuk mengidap
kondisi-kondisi lain yang meliputi gangguan kelenjar tiroid
(misalnya hipertiroid atau hipotiroid) atau kondisi autoimun (seperti
lupus atau rheumatoid arthritis).

9
2.1.8 Perawatan Kolaborasi Myasthenia Gravis
Terapi obat untuk MG termasuk obat antikolinesterasi,
kortikosteroid alternatif-hari, dan imunosupresan (tabel 1.2). Obat
antikolinesterasi ditujukan untuk meningkatkan fungsi sambungan
neuromuskuler. Acetylcholinesterase adalah enzim yang memecah Ach.
Jadi penghambatan enzim ini dengan inhibitor antikolinesterasi akan
memperpanjang aksi Ach dan memfasilitasi transmisi impuls pada
sambungan neuromuskuler (Lemone 2011).
Diagnostik Terapi Kolaboratif
Riwayat dan pemeriksaan Obat-obatan
fisik
1) Anticholinesterase agents
Kelelahan yang 2) Cortocosteroids
berkepanjangan (2-3 min) 3) Immunosuppressive agents
surgery (thymectomy)
Kelemahan otot 4) Plasmapheresis

EMG

Tensilon test

Acetylcholine receptor
antibodies

Pyridostigmine (Mestinon) adalah obat yang paling sukses dari


kelompok ini dalam pengobatan MG jangka panjang. Kortikosteroid
(prednison khusus) digunakan untuk menekan respon imun. Obat seperti
azathioprine (Imuran), mycophenolate (Cellcept), dan siklosporin
(Sandimmune) juga dapat digunakan untuk imunosupres.

10
2.1.9 WOC MG
Gangguan Autoimun

Merusak reseptor asetilkolin

Pada membran postsinaps jumlah reseptor asetilkolin ↓

Hilangnya reseptor normal membran postsinaps pada sambungan neuromuskular

Kerusakan transmisi impuls saraf menuju sel-sel otot

Penurunan hubungan

Myastenia Gravis

Kelemahan otot-otot

Otot wajah, laring, faring Otot valunteer Otot pernapasan

Kemampuan Kelemahan otot Kelemahan otot-otot


menelan ↓ pernapasan

MK :
MK :
MK : Hambatan
Gangguan
Ketidakseimbangan mobilitas fisik
pertukaran gas
nutrisi kurang dari b.d. kelemahan
b.d. kelemahan
kebutuhan b.d. neuromuskular
otot pernapasan
kelemahan otot
untuk menelan
Regurgitasi
makanan ke
hidung saat
menelan

MK : Resiko tinggi
aspirasi b.d. kerusakan
kemampuan menelan

11
2.1.10 Algoritma MG

Proses Autoimun

Rusaknya reseptor asetilkolin serta menurunya reseptor asetilkolin


pada membran postsinaps

Kerusakan transmisi impuls


saraf menuju sel-sel otot

Myastenia Gravis (MG)

Pemberian Penghambat IVIg Thymectomy


Kolinesterase

Kekuatan dan Semakin parah - Alat bantu Berupa efek samping :


kontraksi otot nafas berkurang
- Hipotensi
- Perawatan lebih
meningkat - Pneumonia
singkat
- Trombosis
- Mampu - Sepsis
berjalan tanpa - Ggn
Pemberian Kortikosteroid &
dibantu hemodinamik
Immunosupresan

Kekuatan dan
Efek samping :
kontraksi otot
meningkat - Mual
- Muntah MG dapat Efek samping
- Diare teratasi , tetapi berupa:
- Kram perut dapat kambuh
- Respon imun
- Kenaikan berat kembali menurun
badan - Untuk
sementara
tubuh menjadi
lemas
- Manfaatnya
terasa
perlahan-lahan

12
2.2 Sindrom Guillain-barre
2.2.1 Definisi Sindrom Guillain-barre
Sindrom Guillain-barre adalah suatu bentuk akut, cepat
berkembang, dan berpotensi fatal polyneuritis. Hal ini ditandai dengan
kenaikan, simetris kelumpuhan yang biasanya mempengaruhi saraf
kranial dan sistem saraf perifer. Sindrom ini mempengaruhi laki-laki 1,5
kali lebih sering daripada wanita dan biasanya terlihat pada orang dewasa,
meskipun itu diamati pada semua kelompok umur. Dengan perawatan
suportif yang memadai, 85% sampai 95% dari pasien sembuh sepenuhnya
dari gangguan ini (Dewis 2011).
Sindrom Guillain-Barré (GBS) adalah umum polineuropati akut
mempengaruhi 1 sampai 2 dari 100.000 orang per tahun. laki-laki lebih
dari perempuan yang terkena (1,25: 1), dan sindrom dapat terjadi pada
pasien dari segala usia, biasanya mempengaruhi pasien usia 40 sampai 50
tahun, meskipun insiden meningkat sebesar 20% untuk setiap kenaikan di
usia 10 tahu-an (Sevjar JJ 2011).

2.2.2 Etiologi Sindrom Guillain-barre


Etiologi gangguan ini tidak diketahui. Kedua mekanisme imun
seluler dan humoral berperan dalam reaksi imun yang ditujukan pada
saraf. Hasilnya adalah hilangnya myelin, edema, dan peradangan saraf
yang terkena. Sebagai demielinasi terjadi, transmisi impuls saraf
dihentikan atau diperlambat. Otot-otot dipersarafi oleh kerusakan saraf
perifer mengalami denervasi dan atrofi. Pada tahap pemulihan,
remyelination terjadi secara perlahan, dan fungsi neurologis kembali
dengan pola proksimal ke distal.
Sindrom ini sering didahului oleh stimulasi sistem kekebalan tubuh
dari infeksi virus, trauma, operasi, imunisasi virus, atau human
immunodeficiency virus (HIV). Campylobacter jejuni adalah organisme
yang paling diakui berhubungan dengan sindrom Guillain-Barre.
Campylobacter jejuni gastroenteritis diduga mendahului sindrom
Guillain-Barre pada sekitar 30% kasus. Patogen potensial lainnya

13
termasuk Mycoplasma pneumoniae, cytomegalovirus, Epstein-Barr virus,
varicella zosster virus, dan vaksin (rabies, flu babi) (Dewis 2011).

2.2.3 Patofisiologi Sindrom Guillain-barre


Pada GBS, Selaput myelin yang mengelilingi akson hilang
sehingga menyebabkan kelemahan otot mendadak dan hilangnya respon
refleks. Selaput myelin cukup rentan terhadap cidera karena banyak agen
dan kondisi, termasuk trauma fisik, hipoksemia, toksik kimia, insufisiensi
vascular, dan reaksi imunologi. Demielinasi adalah respon umum dari
jaringan saraf terhadap banyak kondisi yang merugikan. Akson bermielin
mengkonduksi impuls saraf lebih cepat di banding akson tak bermielin.
Sepanjang perjalanan serabut bermielin terganggu dalam selaput ( Nodus
Ranvier ) tempat kontak- langsung antara membran sel akson dengan
cairan eksraseluler. Membran sangat permiabel pada nodus tersebut,
sehingga konduksi menjadi baik (Linda S. Williams 2007).
Gerakan-gerakan masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan
cepat hanya pada nodus ranvier sehingga impuls saraf sepanjang serabut
bermielin dapat melompat dari satu nodus ke nodus lain (konduksi
saltatori) dengan cukup kuat. Kehilangan selaput mielin pada GBS
membuat konduksi saltatori tidak mungkin terjadi, dan trasnmisi impuls
saraf dibatalkan.
Temuan patofisiologis pada gangguan ini multipel dan bervariasi
meliputi imflamasi, demielinasi dari saraf perifer, kehilangan badan
granular, dan degenarasi membaran basalis sel Swhann, mengakibatkan
paralisis flaksid simetrik asenden dan kehilangan funsi saraf kranial.

2.2.4 Tahap Sindrom Guillain-Barré


1) Tahap akut
a. Ditandai oleh kelemahan parah dan cepat, terutama di ekstremitas
bawah, hilangnya kekuatan otot maju ke quadriplegia dan gagal
nafas, penurunan refleks tendon dalam, penurunan kapasitas vital,
paraesthesias, mati rasa, nyeri, terutama di malam hari,

14
keterlibatan otot wajah (ketidakmampuan untuk mengkerutkan
dahi atau mengubah ekspresi).
b. Keterlibatan sistem saraf otonom dimanifestasikan oleh
bradikardia, berkeringat, tekanan darah berfluktuasi (terutama
hipotensi) yang bisa berlangsung selama 2 minggu.
2) Stabilisasi / tahap plateau
a. Terjadi 2 sampai 3 minggu setelah serangan awal.
b. Menandai akhir dari perubahan kondisi, ditandai dengan
"meratakan off" dari gejala.
c. Secara umum, fungsi otonom labil dalam menstabilkan.
3) Tahap pemulihan (recovery)
a. Dapat berlangsung dari beberapa bulan sampai 2 tahun.
b. Ditandai dengan perbaikan gejala yang timbul.
c. Umumnya, kekuatan otot dan fungsi akan kembali secara
bertahap. (Lemone 2011)

2.2.5 Manifestasi Sindrom Guillain-barre


Otot, saraf sensorik dan saraf kranial yang umumnya terkena pada
klien dengan GBS. Kebanyakan orang mengalami kelemahan otot
simetris, awalnya di ekstremitas bawah. Kelemahan dan kehilangan otot
sensorik kemudian naik ke ekstremitas atas, batang tubuh dan saraf
kranial. Keterlibatan sensorik termasuk sakit parah, parestesia dan mati
rasa. Kognisi dan tingkat kesadaran tidak terpengaruh. Saraf wajah
mengalami ketidakmampuan untuk mengubah ekspresi wajah dan
menutup mata. Otot yang terlibat dengan mengunyah, menelan dan
berbicara mungkin akan terpengaruh.
Kelumpuhan interkostal dan otot diafragma dapat mengubah fungsi
pernafasan. Klien ini memerlukan bantuan ventilasi dan perawatan
suportif. Keterlibatan sistem saraf otonom ditandai dengan fluktuasi
tekanan darah, aritmia jantung dan takikardia, ileus paralitik, sindrom
tidak dapat mensekresi hormon antidiuretik dan retensi urin.

15
Kelemahan biasanya stabil atau ditingkatkan dengan minggu
keempat. Kekuatan membaik perlahan-lahan selama seminggu sampai
bulan. Pada wanita hamil yang memiliki Guillain-Barre Syndrome
beresiko untuk kambuh pada trimester pertama kehamilannya (Lemone
2011).

2.2.6 Medikasi Sindrom Guillain-barre


Tidak ada obat yang tersedia untuk pengobatan spesifik GBS. Obat
lain dapat diresepkan untuk memberikan dukungan atau profilaksis atau
untuk memerangi masalah bersamaan; Misalnya, antibiotik dapat
diresepkan untuk saluran kemih atau infeksi pernapasan. Morfin biasanya
diberikan untuk mengontrol nyeri otot. Terapi antikoagulasi biasanya
digunakan untuk mencegah komplikasi tromboemboli, seperti trombosis
vena dalam dan emboli paru, yang berhubungan dengan istirahat lama.
Jika terjadi masalah hipotensi vasopressorlah yang diresepkan (Lemone
2011).

2.2.7 Komplikasi Sindrom Guillain-barre


Komplikasi yang dapat terjadi meliputi kegagalan pernapasan,
infeksi, dan depresi. Kelelahan dan kelumpuhan otot pernafasan membuat
upaya pernapasan tidak terpenuhi. Beberapa pasien yang datang dengan
gagal nafas berupaya untuk meyakinkan petugas kesehatan bahwa mereka
tidak dalam kesulitan dan tidak perlu diintubasi. Hal ini penting untuk
membahas kebutuhan yang mungkin akan diintubasi pada awal penyakit
pasien. Keputusan untuk intubasi pada GBS berbeda dibandingkan
dengan gangguan PNS lainnya, karena pasien GBS diharapkan pulih.
Konstan, pemantauan parameter pernapasan dan pulsa oksimetri terus
menerus memberikan informasi yang menunjukkan kebutuhan pasien
untuk diintervensi segera.
Pasien dengan GBS rentan terhadap pneumonia dan UTI.
Mempertahankan pengendalian infeksi dan memaksimalkan status gizi
pasien membantu mengurangi kemungkinan infeksi. Imobilitas

16
menyebabkan masalah seperti kerusakan kulit, emboli paru, trombosis
vena dalam, dan atrofi otot. Pasien dengan GBS memiliki sedikit waktu
untuk menyesuaikan diri dengan penyakit dan kerusakan mereka, dan
mereka sering takut bahwa fungsi organnya tidak akan sembuh.
Dukungan keluarga dan petugas kesehatan berperan penting untuk
menenangkan dan mensuport pasien.

2.2.8 Tes Diagnostik Sindrom Guillain-barre


Sebuah tes fungsi lumbal dilakukan untuk mendapatkan CSF.
Analisis CSF menunjukkan jumlah sel normal dengan tingkat protein
yang tinggi. Elektromiografi dan kecepatan konduksi saraf tes dilakukan
untuk mengevaluasi fungsi saraf. Uji fungsi paru membantu
mengidentifikasi masalah pernapasan yang akan datang.

2.2.9 Tindakan Terapeutik Sindrom Guillain-barre


Selama tahap pertama, sebagian atau seluruh pasien tergantung
pada semua kebutuhannya. mereka sering takut dan cemas. oksigen dan
ventilasi mekanis mungkin diperlukan. plasmapheresis dapat digunakan
untuk menghilangkan plasma pasien dan menggantinya dengan plasma
segar. Prosedur ini diperkirakan untuk mengurangi respon kekebalan
tubuh. Menjadi paling efektif, plasmapheresis harus mulai 7 sampai 14
hari dari timbulnya gejala. Terapi imunoglobulin dapat membantu
mengurangi keparahan penyakit. Hormon steroid, meskipun digunakan di
masa lalu, tidak efektif dan mungkin berbahaya. Intervensi mendukung
termasuk antikoagulan untuk mencegah trombosis vena dalam, dan
analgesik untuk nyeri. Selama fase stabil, pasien mungkin menjadi putus
asa karena mereka tidak merassakan lebih baik. Dukungan emosional
penting selama fase ini. Regenerasi aksonal dan remyelination terjadi
selama fase pemulihan. Rehabilitasi intensif membantu pasien
mendapatkan kembali fungsi organnya selama fase ini.

17
2.2.10 WOC GBS

Proses Autoimun

Penghancuran myelin yang mengelilingi akson

Konduksi saltatori tidak terjadi dan tdak


ada transmisi impuls saraf

Gangguan fungsi saraf perifer dan kranial

GBS

Gangguan fungsi saraf kranial Gangguan saraf perifer Disfungsi otonom

Paralisis pada Kurang beraksinya


okular, wajah dan Kelemahan otot kaki yang Paralise lengkap, otot
sistem saraf
otot orofaring , dapat berkembang ke pernafasan terkena,
simpatis dan
kesulitan ekstremitas atas, batang mengakibatkan
parasimpatis,
berbicara, tubuh dan otot wajah insufiensi pernafasan
perubahan sensori
mengunyah dan
menelan
Penurunan tonus otot MK : Tidak efektifnya Gangguan
seluruh tubuh, pola nafas b/d frekuensi jantung,
MK : Perubahan perubahan estetika wajah ritme, dan
kelemahan otot
nutrisi kurang perubahan tekanan
pernapasan
dari kebutuhan
b/d kesulitan
mengunyah dan Penurunan tonus otot
menelan seluruh tubuh, perubahan Cardiac Output menurun
estetika wajah

MK : Gangguan perfusi
MK : Kelemahan jaringan b/d CO
mobolitas fisik b/d menurun
kelemahan otot, paralisis
dan ataksia

18
2.2.1 Algoritma GBS

Infeksi

Proses Autoimun

Rusaknya myelin penyelimut


akson

Paralisis GBS

Terapi fisik Ventilasi mekanik Plasmapheresis IVIg


(CPAP,PEEP)

Kekuatan otot Lumpuh / cacat Berupa efek samping :


- Alat bantu nafas
meningkat
berkurang - Hipotensi
- Perawatan lebih - Pneumonia
singkat - Trombosis
- Mampu berjalan - Sepsis
- Ggn
Pernafasan Antibiotik tanpa dibantu
hemodinamik
menjadi normal

Berkurangnya Resisten
infeksi

Respon imun Efek samping


meningkat berupa:

- Nyeri kepala
- Demam
- Mialgia
- Ruam-ruam
- Syok anafilaktik

19
BAB 3
Asuhan Keperawatan pada Klien Myasthenia Gravis

3.1 Kasus
Tn. Dani usia 45 tahun dirawat di ruang intensive dengan riwayat 4 hari
sebelum masuk rumah sakit klien demam dan mengalami kelumpuhan
secara tiba-tiba, kien susah napas, dada terasa berat. Sekarang terpasang
ventilator CPAP, FiO2 : 40%, PEEP : 6, TD : 120/80 mmHg, nadi :
80x/menit, RR : 20x/menit. Hasil lab leukosit : 15.000, Na : 148, Cl : 103

Berdasarkan kasus di atas :


1. Buatlah WOC dan algoritmanya
2. Lengkapi datanya apa diagnosa Myasthenia Gravis atau Guillain-
Barre Syndrome
3. Intervensi keperawatan

3.2 Tabel perbedaan MG dan GBS

Segi Miestenia Gravis Sindrom Guillain-Barré


Umur & Gender Wanita berpotensi lebih tinggi. General.
Berkisar pada umur 10 dan 65 th. Terjadi pada masa
dewasa muda dan lansia
Penyebab Autoimun dimana antibodi Autoimun, dicetuskan
menyerang acetylcholine (ACh) oleh infeksi dan atau
reseptor virus pada bagian
pernafasan dan
pencernaan.
Signs and Mata : ptois Pencernaan : diare,
symptoms Kelemahan pada leher, lengan Neurologi : penurunan
dan kaki kesadaran, lelah
Pernafasan : susah nafas berkepanjangan, paralisis,

20
Pencernaan : sulit menelan dan kelemahan otot.
mengunyah, susah berbicara Pernafasan : dyspnea,
Muskulo : kelemahan otot otot-otot pernafasan
Lab : kalium meningkat → melemah
karena stres ↑ Lab : leukosit ↑

3.3 Pengkajian
1) Identitas:
Nama Lengkap : Tn. Dani
Umur : 45 tahun
Jenis kelamin : Laki- laki
2) Anamnesa:
Keluhan utama : Mengalami demam dan kelumpuhan secara tiba-tiba
Riwayat penyakit sekarang : Klien susah nafas, dada terasa berat
Riwayat penyakit dahulu : -
Riwayat penyakit keluarga :-

3) Hasil Pemeriksaan Fisik:


N (denut nadi): 80x/ menit
RR (pernafasan): 20x/ menit, terpasang ventilator CPAP, F1O2=40 %,
PEEP= 6
TD (tekanan darah): 120/80 mmHg
4) Hasil pemeriksaan laboratorium :
Leukimia : 15.000 uL
Natrium : 148 mEq/L
Chlorida : 103 mEq/L

3.4 Diagnosa
1. Risiko tinggi aspirasi b.d. kerusakan kemampuan menelan.
2. Gangguan pertukaran gas b.d. kelemahan otot pernafasan.
3. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan gangguan
neuromuskular.

21
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d. kelemahan
otot untuk menelan.

3.5 Intervensi keperawatan


1. Resiko tinggi aspirasi b.d. kerusakan kemampuan menelan
Tujuan : Makanan yang dikonsumsi pasien dapat masuk ke lambung dan
berproses dengan optimal
Kriteria hasil : berkurangnya risiko tinggi aspirasi klien
Intervensi :
1. Pertahankan jalan napas melalui mulut.
2. Tentukan kemampuan pasien dalam melakukan makan dan menelan.
3. Berkolaborasi dengan anggota tim kesehatan (yaitu terapis dan ahli
gizi ) untuk memberikan kontinuitas dalam rencana rehabilitasi
pasien.
4. Membantu untuk mempertahankan posisi duduk selama 30 menit
setelah menyelesaikan makan.
5. Pantau adanya kerusakan esofagus dan posterior faring jika muntah
yang berkepanjangan
6. Mendorong penggunaan teknik nonfarmakologi bersama dengan
langkah-langkah pengendalian muntah lainnya
7. Pemasangan NGT bila perlu
2. Gangguan pertukaran gas b.d. kelemahan otot pernafasan
Tujuan : setelah diberikan intervensi pola pernafasan klien kembali efektif
Kriteria hasil : irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan dalam batas
normal, bunyi nafas terdengan jelas, respirator terpasang
dengan optimal.
Intervensi :
1. Kaji kemampuan ventilasi.
2. Kaji kualitas frekuensi dan kedalaman pernafasan, laporkan setiap
perubahan yang terjadi.
3. Baringkan klien dalam posisi yang nyaman.
4. Observasi tanda-tanda vital.

22
5. Berikan suction apabila diperlukan.
6. Tinggikan kepala klien.

3. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan gangguan neuromuskular

Tujuan : Teratasinya hambatan pada mobilitas fisik akibat dari gangguan


neuromuskular

Kriteria hasil :

 Klien dapat memobilisasi gerak sesuai dengan kebutuhan


 Klien dapat mengfungsikan ototnya kembali
 Klien dapat mengkoordinasikan otot tubuhnya dengan baik

Intervensi :

1. Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas


2. Atur cara beraktivitas klien sesuai kemampuan
3. Evaluasi Kemampuan aktivitas motorik

4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d. kelemahan otot untuk


menelan.

Tujuan : Meningkatkan kebutuhan nutrisi pasien

Kriteria hasil : terjadi peningkatan nutrisi yang adekuat

Intervensi :

1. Penuhi kebutuhan nutris pasien dengan menggunakan metode enteral dengan


menggunakan NGT. sesuai dengan kebutuhan.
2. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang jenis nutrien yang sesuai dengan kondisi
pasien.
3. Evaluasi batuk, menelan dan frekuensi gag reflek. beritahukan kepada dokter
jika terdapat.
4. Berikan makanan yang lembut dan mudah untuk dikunyah.
5. Jelaskan pentingnya nutrisi bagi klien
6. Monitor BB pasien

23
BAB 4

KESIMPULAN

Berdasarkan kasus di atas, kami telah berdiskusi dengan kelompok dan


mencari materi sebagai sumber dari kasus. Materi yang kami dapat kami tuliskan
di dalam tinjauan teori kasus. Berdasarkan tinjauan teori kasus, kami mendiagnosa
bahwa pasien menderita penyakit Myasthenia Gravis.

Kesimpulan

Myasthenia gravis (MG)merupakan penyakit autoimun dari sambungan


neuromuskuler ditandai dengan kelemahan berfluktuasi dari kelompok otot rangka
tertentu. Usia yang paling umum terserang adalah pada usia 20 dan 30-an pada
wanita dan 70 dan 80-an pada pria. Kebanyakan pasien MG mengalami kelemahan
pada otot, yang disebabkan antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin. MG
memiliki beberapa tipe diantaranya ; Acquired myasthenia, Neonatal myasthenia,
dan Congenital myasthenia. Beberapa gejala yang terjadi pada pasien MG seperti;
ptosis, penglihatan kabur atau ganda, kesulitan berjalan, kelemahan pada otot
lengan, tangan, jari, kaki, dan leher, keterbatasan ekspresi wajah, sulit menelan,
sulit berbicara, dan sesak napas (merasa seperti Anda tidak bisa mendapatkan
cukup udara). Dalam menentukan terjadinya penyakit ini dilakukan beberapa tes
tensilon, tes darah antibodi, electromyography (EMG), serta computed
tomography (CT). Psien dengan MG dapat ditangani dengan diberikan
pengobatan seperti anticholinesterase agents, Cortocosteroids, Immunosuppressive
agents surgery (thymectomy), dan Plasmapheresis.

Sindrom Guillain-barre suatu penyakit yang di akibatkan oleh autoimun,


ditandai dengan kenaikan, simetris kelumpuhan yang biasanya mempengaruhi
saraf kranial dan sistem saraf perifer dan sindrom dapat terjadi pada pasien dari
segala usia, biasanya mempengaruhi pasien usia 40 sampai 50 tahun. Sindrom ini
sering didahului oleh stimulasi sistem kekebalan tubuh dari infeksi virus, trauma,
operasi, imunisasi virus, atau human immunodeficiency virus (HIV). Berbagai
tahapan pada pasien GBS yaitu tahap akut, stabilisasi / tahap plateau dan tahap
pemulihan (recovery). Otot, saraf sensorik dan saraf kranial yang umumnya
terkena pada klien dengan GBS. Kebanyakan orang GBS mengalami kelemahan
otot simetris, awalnya di ekstremitas bawah. Kelemahan dan kehilangan otot
sensorik kemudian naik ke ekstremitas atas, batang tubuh dan saraf kranial. Obat
yang dapat diresepkan untuk memberikan dukungan atau profilaksis atau untuk
memerangi masalah bersamaan seperti ; antibiotik, dan morfin, dan terapi
antikoagulasi. Tanda dan gejala yang dialami pada pasien GBS sepert kegagalan
pernapasan, infeksi, dan depresi.

24
Daftar Pustaka

Dewis, Dirksen, Heitkemper, Bucher, Camere. 2011. Medical Surgicar Nursing,


Assessment and Management of Clinical Problem. : Mosby.

Lemone, Burke Dwyer, Levett-jones, Moxham, Reid-searl, Berry, Carville, Hales,


Knox, Luxford, Raymond. 2011. Medical Surgical Nursing,Critical
Thinking in Client Care. Australia: Pearson.

Linda S. Williams, Paula D. Hopper. 2007. Understanding Medical Surgial


Nursing. Philadelphia: Davis Company.

Blackwell, W., 2015. Nursing Diagnosis: Definitions and Clasification. 10th ed.
Oxford: NANDA International, Inc..

Gloria M. Bulechek, H. K. B. J. M. D., 2013. Nursing Intervention Classification


(NIC). United States of America: Elsevier Morby.

Sue Moorhead, M. J. M. L. M. E. S., 2013. Nursing Outcomes Classification


(NOC). 5th ed. United State of America: Mosby Elsevier.

Oosterhuis, H.J.G.H. 1997. Myasthenia Gravis. Groningen, Netherlands:


Groningen Neuological Press.

Rosyid, Fahrun Nur. n.d. “Mengenal Tentang Miastenia Gravis dan


Penatalaksanaannya.” 1-2.

Sevjar JJ, Baughman AL, Wise M, Morgan OW. 2011. “Population incidence of
Guillain Barre Syndrome: a systematic review and meta-analysis.”
Neuroepidemology 123-133.

Lewis, R.A, Selwa J.F, Lisak, R.P. (1995). Myasthenia Gravis: Immunological
Mechanisms and Immunotherapy. Ann Neurol. 37(S1):S51-S62.
Howard, JF (2008). Myasthenia Gravis, a Summary. Available at :
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_g
ravis.htm.
http://womenshealth.gov/publications/our-publications/fact-sheet/myasthenia-
gravis.pdf diakses pada 26 Maret 2016 pukul 21:06

25
http://www.jurnalasia.com/2015/01/06/myasthenia-gravis-penyakit-gangguan-
kelemahan-otot-kronik/#sthash.rpK8rAZo.dpuf diakses pada 26 Maret 2016
pukul 19.50
http://www.midwestcompassion.org/2015/05/18/treating-myasthenia-gravis-with-
cannabis/ diakses pada 27 Maret 2016 pukul 21:30

26

Anda mungkin juga menyukai