Anda di halaman 1dari 17

KOMPETENSI KOMUNIKATIF DAN KOMUNIKASI

ANTARBUDAYA

Oleh
Daman Huri

Program Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia


Universitas Pendidikan Inonesia

PENDAHULUAN

Persoalan kompetensi komunikasi sepertinya tidak akan berhenti


diperbincangkan selama manusia masih menciptakan peradaban. Kemampuan
kompetensi komunikasi yang meliputi kemampuan penggunaan sistem linguistik
dan dan aspek-aspek fungsional komunikasi. Selanjutnya, berbicara kompetensi
komunikasi maka akan lebih ideal apabila berbicara komunikasi antarbudaya.
Budaya pada dasarnya terbangun dan mengokohkan kepribadiannya disebabkan
komunikasi antarpersonal maupun antarkomunitas. Pada tulisan ini akan dibahas
secara teoretis mengenai kompetensi komunikasi dan komunikasi antarbudaya

Definisi Kompetensi Komunikasi

Kompetensi komunikasi pertama kali diperkenalkan oleh Dell Hymes


(1972) seorang pakar sosiolinguitik. Hymes menyebutkan bahwa kompetensi
komunikasi sebagai aspek komptensi yang memungkin kita menyampaikan dan
menafsirkan pesan antarpersonal dalam konteks-konteks tertentu.
Jablin dan Sias (dalam Payne, 2005) mendefinisikan kompetensi komunikasi
sebagai sejumlah kemampuan yang dimiliki seorang komunikator untuk digunakan
dalam proses komunikasi, yang menekankan pada pengetahuan dan kemampuan.
Sedangkan Duran (dalam Salleh, 2006) menyatakan bahwa kompetensi
komunikasi merupakan suatu fungsi dari kemampuan seseorang untuk beradaptasi
sesuai dengan situasi sosialnya. Sedangkan Larson, Backlund, Redmond &

1
Barbour (dalam Salleh, 2006) menyatakan bahwa kompetensi komunikasi meliputi
kemampuan seorang individu untuk mendemonstrasikan pengetahuannya tentang
perilaku komunikasi yang tepat pada situasi yang ada.
Cooley dan Roach (dalam Salleh, 2006), menyatakan bahwa kompetensi
komunikasi merupakan demonstrasi dari pengetahuan tentang komunikasi yang
diwujudkan dengan tepat melalui keterampilan berkomunikasi. Sedangkan Salleh
(2006) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa kompetensi komunikasi
merupakan kemampuan beradaptasi seseorang dalam setiap situasi komunikasi
dengan menampilkan kemampuan komunikasi berdasarkan pengetahuan yang
tepat untuk setiap konteks dan situasi komunikasi.
Spitzberg dan Cupach (dalam Rickheit dan Strohner, 2008) menyatakan
bahwa kompetensi komunikasi merupakan kemampuan seorang individu untuk
beradaptasi dan berkomunikasi secara efektif dalam segala situasi sosial sepanjang
waktu, dimana kemampuan ini mengarah pada kemampuan untuk bertindak yang
dipengaruhi motivasi dan pengetahuan yang dimiliki individu.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi
komunikasi adalah kemampuan seorang individu untuk berkomunikasi secara
tepat dan efektif sesuai dengan situasi sosialnya, yang meliputi kemampuan
individu dalam bertindak, serta pengetahuan dan motivasi yang dimiliki individu.

Komponen Kompetensi Komunikasi

Brian Spitzberg dan William Cupach (dalam Greene & Burleson, 2003;
Payne,2005) menyatakan bahwa terdapat tiga komponen kompetensi komunikasi,
yaitu: knowledge, skills, dan motivation.
a) Knowledge
Untuk mencapai tujuan dari komunikasi, individu harus memiliki
pengetahuan yang dibutuhkan dalam berkomunikasi secara efektif dan tepat.
Spitzberg dan Cupach mengemukakan bahwa pengetahuan dalam hal ini lebih
ditekankan pada “ bagaimana” sebenarnya komunikasi daripada “apa” itu
komunikasi. Pengetahuan-pengetahuan tersebut diantaranya seperti mengetahui

2
apa yang harus diucapkan, tingkah laku seperti apa yang harus diambil dalam
situasi yang berbeda, bagaimana orang lain akan menanggapi dan berperilaku,
siapa yang diajak berkomunikasi, serta memahami isi pesan yang
disampaikan.
Pengetahuan ini dibutuhkan agar komunikasi dapat berjalan secara efektif
dan tepat. Pengetahuan ini akan bertambah seiring tingginya pendidikan dan
pengalaman. Oleh karena itu, semakin seseorang mengetahui bagaimana harus
berkomunikasi dalam situasi yang berbeda maka kompetensi atau kemampuan
berkomunikasinya akan semakin baik.
b) Motivation
Motivasi dalam hal ini merupakan hasrat atau keinginan seseorang untuk
melakukan komunikasi atau menghindari komunikasi dengan orang lain.
Motivasi biasanya berhubungan dengan tujuan-tujuan tertentu seperti untuk
menjalin hubungan baru, mendapatkan informasi yang diinginkan, terlibat dalam
pengambilan keputusan bersama, dan lain sebagainya. Semakin individu
memiliki keinginan untuk berkomunikasi secara efektif dan meninggalkan kesan
yang baik terhadap orang lain, maka akan semakin tinggi motivasi individu untuk
berkomunikasi. Dalam hal ini, tanggapan yang diberikan orang lain akan
mempengaruhi keinginan individu dalam berkomunikasi. Jika individu terlalu
takut untuk mendapat tanggapan yang tidak dinginkan, maka keinginannya untuk
berkomunikasi akan rendah.
c) Skills
Skill meliputi tindakan nyata dari perilaku, yang merupakan kemampuan
seseorang dalam mengolah perilaku yang diperlukan dalam berkomunikasi
secara tepat dan efektif. Kemampuan ini meliputi beberapa hal seperti other-
orientation, social anxiety, expressiveness, dan interaction management. Other-
orientation meliputi tingkah laku yang menunjukkan bahwa individu tertarik
dan memperhatikan orang lain. Dalam hal ini, individu mampu mendengar,
melihat dan merasakan apa yang disampaikan orang lain baik secara verbal
maupun nonverbal. Other-orientation akan berlawanan dengan self-centeredness
dimana individu hanya memperhatikan dirinya sendiri dan kurang tertarik
dengan orang lain dalam berkomunikasi. Social anxiety meliputi bagaimana

3
kemampuan individu mengatasi kecemasan dalam berbicara dengan orang lain
dan menunjukkan ketenangan dan percaya diri dalam berkomunikasi.
Expressiveness mengarah pada kemampuan dalam berkomunikasi yang
menunjukkan kegembiraan, semangat, serta intensitas dan variabilitas dalam
perilaku komunikasi. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan vocal yang beragam,
wajah yang ekspresif, penggunaan vocabulary yang luas, serta gerak tubuh.
Sedangkan interaction management merupakan kemampuan untuk mengelola
interaksi dalam berkomunikasi, seperti pergantian dalam berbicara serta
pemberian feedback atau respon.
Sedangkan Canale (1983) dalam Brown komptensi komunikasi membagi
atas emapt komponen yakni kompetensi gramatikal, kompetensi wacana,
kompetensi, sosiolinguitik, dan kompetensi strategis. Selanjutnya akan dijelaskan
di bawah ini.
a. Kompetensi gramatikal
Dalam kompetensi gramatikal meliputi pengetahuan tentang item-item
leksikal dan kaidah morfologis, sintaksis, semantic kalimat, dan fonologi.
b. Kompetensi wacana
Kompetensi ini dapat dikatakan sebagai pelengkap kompetensi gramatikal.
Karena dalam hal ini berfungsi untuk mengaitkan kalimat-kalimat dalam rentas
wacana dan untuk membentuk keseluruhn bermakna dari serangkaian ujaran atau
dengan kata lain berurusan dengan hubungan antarkalimat.
c. Kompetensi sosiolingistik
Kompetensi sosiolinguistik merupakan pengetahuan tentang kaidah-kaidah
social budaya Bahasa dan wacana. Kompetensi ini mensyaratkan pemahaman
tentang konteks social yang menggunakan Bahasa. Seperti peran para pertisipan,
informasi, dan fungsi interaksi.
d. Kompetensi strategis
Kompetensi strategis sebagai strategi komunikasi verbal dan nonverbal yang
bias dipakai untuk mengimbangi kemacetan dalam komunikasi karena variable-
variabel performa atau karena kompetensi tidak memadai.

4
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Komunikasi Individu

Soler dan Jorda (2007), berdasarkan hasil penelitiannya mengungkapkan


bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan atau
kompetensi seorang individu, terutama individu bilingual, di antaranya yaitu:
a) Acquisition Context

Kemampuan komunikasi seorang individu dipengaruhi oleh konteks


acquisition atau perolehan bahasa individu tersebut. Terdapat tiga konteks
perolehan bahasa, yaitu naturalistic context, dimana individu tidak belajar
bahasa di dalam kelas dan hanya berkomunikasi secara natural di luar sekolah;
instructed context, dimana individu belajar bahasa secara formal di kelas; dan
mixed context, dimana individu belajar bahasa di dalam kelas dan juga di luar kelas
secara natural. Soler dan Jorda (2007) mengungkapkan bahwa individu yang
belajar bahasa pada konteks instructed memiliki kemampuan bahasa dan
komunikasi yang lebih rendah dibandingkan dengan individu yang belajar
bahasa dalam konteks naturalistic dan mixed.
b) Usia saat pertama kali mempelajari bahasa
Usia saat seorang individu pertama kali memepelajari suatu bahasa akan
mempengaruhi kemampuan bahasa dan komunikasi individu tersebut. Seorang
individu yang mempelajari bahasa, terutama bahasa kedua, pada usia yang
lebih muda dapat memiliki kemampuan bahasa dan komunikasi yang lebih baik
daripada individu yang mulai mempelajari bahasa lebih lambat.
c) Frekuensi penggunaan bahasa kedua
Frekuensi atau seberapa sering suatu bahasa digunakan dalam kehidupan
sehari-hari akan mempengaruhi kemampuan bahasa dan komunikasi seorang
individu. Semakin sering suatu bahasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari
maka akan semakin baik kemampuan individu dalam bahasa tersebut.
d) Jenis kelamin
Jenis kelamin seorang individu juga dapat mempengaruhi kemampuann
bahasa dan komunikasinya, namun pengaruh ini tidak terlalu besar

5
dampaknya. Soler dan Jorda (2007) mengungkapkan bahwa wanita memiliki
kemampuan bahasa dan komunikasi yang sedikit lebih baik daripada laki-laki.
e) Usia
Usia juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
kompetensi atau kemampuan komunikasi dan bahasa seseorang. Individu yang
lebih tua dikatakan dapat memiliki kemampuan yang lebih baik dari individu yang
lebih muda dalam berkomunikasi.
f) Level pendidikan
Tingkat atau level pendidikan seorang individu juga dapat mempengaruhi
kemampuannya dalam berkomunikasi. Sebagian besar individu yang memiliki
pendidikan yang lebih tinggi menunjukkan kemampuan berbahasa dan komunikasi
yang lebih baik dari individu yang memiliki pendidikan lebih rendah.
Cooley dan Roach (dalam Salleh, 2006), menambahkan bahwa dalam
kompetensi komunikasi terdapat beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan
yaitu kondisi fisiologis, seperti umur, jenis kelamin dan minat; kondisi psikologis,
seperti kognitif, emosi, kepribadian, dan motivasi; serta lingkungan sosial
individu yang membentuk kategori fisiologis dan psikologis yang menjadi syarat
minimal agar individu dapat dikatakan kompeten.

Proses Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi adalah sebuah proses (itulah salah satu karakteristik


komunikasi) karena komunikasi itu dinamik, selalu berlangsung dan sering
berubah-ubah. Sebuah proses terdiri dari beberapa sekuen yang dapat dibedakan
namun tidak dapat dipisahkan. Semua sekuen berkaitan satu sama lain meskipun
dia selalu berubah-ubah. Jadi pada hakikatnya proses komunikasi antarbudaya
sama dengan proses komunikasi lain, yakni suatu proses yang interaktif dan
transaksional serta dinamis (Liliweri, 2009:24).
Selanjutnya Liliweri Juga menyebutkan bahwa komunikasi antarbudaya
interaktif adalah komunikasi yang dilakukan oleh komunikator dengan komunikan
dalam dua arah/timbal balik (two way communication) namun masih berada pada
tahap rendah. Apabila ada proses pertukaran pesan itu memasuki tahap tinggi,

6
misalnya saling mengerti, memahami perasaan dan tindakan bersama maka
komunikasi tersebut telah memasuki tahap transaksional.
Komunikasi transaksional meliputi tiga unsur penting yakni; (1)
keterlibatan emosional yang tinggi, yang berlangsung terus menerus dan
berkesinambungan atas pertukaran pesan; (2) peristiwa komunikasi meliputi seri
waktu, artinya berkaitan dengan masa lalu, kini dan yang akan datang; dan (3)
partisipan dalam komunikasi antarbudaya menjalankan peran tertentu.
Baik komunikasi interaktif maupun transaksional mengalami proses yang
bersifat dinamis, karena proses tersebut berlangsung dalam konteks sosial yang
hidup, berkembang dan bahkan berubah-ubah berdasarkan waktu, situasi dan
kondisi tertentu. Karena proses komunikasi yang dilakukan merupakan
komunikasi antarbudaya maka kebudayaan merupakan dinamisator atau
“penghidup” bagi proses komunikasi tersebut.
a. Unsur-Unsur Proses Komunikasi Antarbudaya
adapun unsur-unsur komunikasi antarbudaya sebagai berikut:
1) Komunikator
Komunikator dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang
memprakarsai komunikasi, artinya dia mengawali pengiriman pesan tertentu
kepada pihak lain yang disebut komunikan. Dalam komunikasi antarbudaya
seorang komunikator berasal dari latar belakang kebudayaan tertentu, misalnya
kebudayaan A yang berbeda dengan komunikan yang berkebudayaan B (Liliweri,
2009:25).
2) Komunikan
Komunikan dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang menerima
pesan tertentu, dia menjadi tujuan / sasaran komunikasi dari pihak lain
(komunikator). Dalam komunikasi antarbudaya, seorang komunikan berasal dari
latar belakang sebuah kebudayaan tertentu, misalnya kebudayaan B.
3) Pesan/ Simbol
Dalam proses komunikasi, pesan berisi pikiran, ide atau gagasan, perasaan
yang dikirim komunikator kepada komunikan dalam bentuk simbol. Simbol adalah
sesuatu yang digunakan untuk mewakili suatu maksud tertentu.
4) Media

7
Dalam proses komunikasi antarbudaya, media merupakan tempat, saluran yang
dilalui oleh pesan atau simbol yang dikirim melalui media tertulis. Akan tetapi
kadang-kadang pesan itu dikirim tidak melalui media, terutama dalam komunikasi
antarbudaya tatap muka.
5) Efek atau Umpan Balik
Tujuan dan fungsi komunikasi, termasuk komunikasi antarbudaya,
antara lain memberikan informasi, menjelaskan atau menguraikan
tentang sesuatu, memberikan hiburan, memaksakan pendapat atau mengubah sikap
komunikan. Dalam proses seperti itu, kita umumnya menghendaki reaksi balikan
dari komunikan kepada komunikator atas pesan-pesan yang telah disampaikan.
Tanpa umpan balik atas pesan-pesan dalam komunikasi antarbudaya maka
komunikator dan komunikan tidak bisa memahami ide, pikiran dan perasaan
yang terkandung dalam pesan tersebut.
6) Suasana (Setting dan Context)
Satu faktor penting dalam komunikasi antarbudaya adalah suasana yang
kadang-kadang disebut setting of communication, yakni tempat (ruang, space)
dan waktu (time) serta suasana (sosial, psikologis) ketika komunikasi antarbudaya
berlangsung. Suasana itu berkaitan dengan waktu (jangka pendek/ panjang, jam/
hari/ minggu/ bulan/ tahun) yang tepat untuk bertemu/ berkomunikasi, sedangkan
tempat (rumah, kantor, rumah ibadah) untuk berkomunikasi, kualitas relasi
(formalitas, informalitas) yang berpengaruh terhadap komunikasi
antarbudaya.
7) Gangguan (Noise atau Interference)
Gangguan dalam komunikasi antarbudaya adalah segala sesuatu yang
menjadi penghambat laju pesan yang ditukar antara komunikator dengan
komunikan, atau paling fatal adalah mengurangi makna pesan antarbudaya.
De Vito menggolongkan tiga macam gangguan, (1) fisik berupa interfensi
dengan transmisi fisik isyarat atau pesan lain, misalnya desingan mobil yang
lewat, dengungan komputer, kacamata; (2) psikologis-interfensi kognitif atau
mental, misalnya prasangka dan bias pada sumber-penerima-pikiran yang sempit;
dan (3) semantik-berupa pembicara dan pendengar memberi arti yang berlainan,
misalnya orang berbicara dengan bahasa yang berbeda, menggunakan jargon atau

8
istilah yang terlalu rumit yang tidak
dipahami pendengar.

Prinsip-Prinsip Komunikasi Antarbudaya


Menurut DeVito, sebagaimana yang dikutip oleh Marhaeni fajar
mengatakan bahwa kita akan dapat memahami komunikasi antarbudaya dengan
menelaah prinsip-prinsip umumnya. Prinsip-prinsip ini sebagian besar diturunkan
dari teori-teori komunikasi yang sekarang diterapkan untuk komunikasi
antarbudaya (Fajar, 2009;301).
a. Relativitas bahasa
Fajar (2009:302) mengatakan bahwa gagasan umum bahwa bahasa
memengaruhi pemikiran dan perilaku paling banyak disuarakan oleh para
antropologis linguistik. Pada akhir tahun 1920-an dan disepanjang tahun 1930-an,
dirumuskan bahwa karakteristik bahasa mempengaruhi proses kognitif kita. Dan
karena bahasa-bahasa di dunia sangat berbeda-beda dalam hal karakteristik
semantik dan strukturnya, tampaknya masuk akal untuk mengatakan bahwa
orang yang menggunakan bahasa yang berbeda juga akan berbeda dalam cara
mereka memandang dan berpikir tentang dunia.
b. Bahasa sebagai cermin budaya
Bahasa mencerminkan budaya. Makin besar perbedaan budaya, makin perbedaan
komunikasi baik dalam bahasa maupun dalam isyarat- isyarat nonverbal. Makin
besar perbedaan antara budaya (dan, karenanya, makin besar perbedaan
komunikasi), makin sulit komunikasi dilakukan. Kesulitan ini dapat
mengakibatkan, misalnya, lebih banyak kesalahan komunikasi, lebih banyak
kesalahan kalimat, lebih besar kemungkinan salah paham, makin banyak salah
persepsi, dan makin banyak potong kompas (bypassing).
c. Mengurangi ketidak-pastian
Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besarlah ketidak- pastian dam
ambiguitas dalam komunikasi. Banyak dari komunikasi kita berusaha mengurangi
ketidak-pastian ini sehingga kita dapat lebih baik menguraikan, memprediksi, dan
menjelaskan perilaku orang lain. Karena Ketidak-pastian dan ambiguitas yang
lebih besar ini, diperlukan lebih banyak waktu dan upaya untuk mengurangi

9
ketidak-pastian dan untuk berkomunikasi secara lebih bermakna.
d. Kesadaran diri dan perbedaan antarbudaya
Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besar kesadaran diri
(mindfulness) para partisipan selama komunikasi. Ini mempunyai konsekuensi
positif dan negatif. Positifnya, kesadaran diri ini barangkali membuat kita lebih
waspada. ini mencegah kita mengatakan hal-hal yang mungkin terasa tidak peka
atau tidak patut. Negatifnya, ini membuat kita terlalu berhati-hati, tidak spontan,
dan kurang percaya diri.
e. Interaksi awal dan perbedaan antarbudaya
Perbedaan antarbudaya terutama penting dalam interaksi awal dan secara
berangsur berkurang tingkat kepentingannya ketika hubungan menjadi lebih
akrab. Walaupun kita selalu menghadapi kemungkinan salah persepsi dan salah
menilai orang lain, kemungkinan ini khususnya besar dalam situasi komunikasi
antarbudaya.
f. Memaksimalkan Hasil Interaksi
Dalam komunikasi antarbudaya seperti dalam semua komunikasi- kita berusaha
memaksimalkan hasil interaksi. Tiga konsekuensi yang dibahas oleh Sunnafrank
mengisyaratkan implikasi yang penting bagi komunikasi antarbudaya. Sebagai
contoh, orang akan berintraksi dengan orang lain yang mereka perkirakan akan
memberikan hasil positif. Pertama, Karena komunikasi antarbudaya itu sulit, anda
mungkin menghindarinya. Dengan demikian, misalnya anda akan memilih
berbicara dengan rekan sekelas yang banyak kemiripannya dengan anda ketimbang
orang yang sangat berbeda. Kedua, bila kita mendapatkan hasil yang positif,
kita terus melibatkan diri dan meningkatkan komunikasi kita. Bila kita
memperoleh hasil negatif, kita mulai menarik diri dan mengurangi komunikasi.
Ketiga, kita membuat prediksi tentang mana perilaku kita yang akan menghasilkan
hasil positif. dalam komunikasi, anda mencoba memprediksi hasil dari,
misalnya, pilihan topik, posisisi yang anda ambil, perilaku nonverbal yang anda
tunjukkan, dan sebagainya. Anda kemudian melakukan apa yang menurut anda
akan memberikan hasil positif dan berusaha tidak melakkan apa yang menurut anda
akan memberikan hasil negatif.

10
Fungsi Komunikasi Antarbudaya
Memahami budaya masyarakat lain merupakan satu hal yang sangat penting
dalam membangun komunikasi yang efektif. Artinya, pemahaman dan
penerimaan yang kita lakukan terhadap budaya yang dimiliki oleh masyarakat lain
yang memiliki budaya yang berbeda menjadi satu dasar dalam membangun
komunikasi yang efektif. Disinilah komunikasi antarbudaya mempunyai
peranan yang sangat besar.
Fungsi komunikasi antarbudaya ada dua, yaitu fungsi pribadi dan fungsi
sosial. Fungsi pribadi adalah fungsi yang didapatkan seseorang dan dapat
digunakan dalam kehidupan mereka ketika mereka belajar tentang komunikasi dan
tentang budaya. Maupun ketika mereka belajar dan memahami apa itu
komunikasi budaya (Darmastuti, 2013:77).
Sedangkan fungsi sosial adalah fungsi yang didapatkan oleh seseorang
sebagai makhluk yang bergaul dan berinteraksi dengan orang lain dalam kaitannya
dengan komunikasi antarbudaya.

Fungsi Pribadi
Ada beberapa fungsi yang bisa dikelompokkan dalam fungsi pribadi ini.
Menurut Alo Liliweri (2003:36) dalam bukunya menjelaskan, fungsi pribadi
tersebut terdiri dari fungsi-fungsi untuk:

1) Menyatakan identitas sosial


Dalam proses komunikasi antarbudaya terdapat beberapa perilaku
komunikasi individu yang digunakan untuk menyatakan identitas diri maupun
identitas sosial. Perilaku itu dinyatakan melalui tindakan berbahasa baik secara
verbal maupun non verbal. Dari perilaku berbahasa itulah dapat diketahui
identitas diri maupun sosial, misalnya dapat diketahui asal-usul suku bangsa,
agama, maupun tingkat pendidikan seseorang.

2) Menyatakan integrasi sosial


Inti dari konsep integrasi sosial adalah menerima kesatuan dan persatuan
antarpribadi, antarkelompok namum tetap mengakui perbedaan-perbedaan yang

11
dimiliki oleh setiap unsur. Dalam komunikasi antarbudaya, karena setiap tindak
komunikasi yang dilakukan antara komunikator dan komunikan dari latar
belakang yang berbeda maka selalu melibatkan perbedaan budaya diantara dua
partisipan komunikasi tersebut. Karena ada keterlibatan latar belakang budaya
yang berbedaini, maka integrasi sosial merupakan tujuan utama komunikasi.
Prinsip utama dalam proses pertukaran pesan dalam komunikasi antarbudaya
adalah: saya memperlakukan Anda sebagaimana budaya Anda memperlakukan
Anda, dan bukan sebagaimana yang saya kehendaki. Dengan demikian
komunikator dan komunikan dapat meningkatkan integrasi sosial atas relasi
mereka (Darmastuti,2013:77).

3) Menambah pengetahuan
Latar belakang budaya yang berbeda yang menjadi perbedaan diantara dua
orang partisipan dalam komunikasi merupakan sumber pembelajaran diantara
mereka. Akibatnya, komunikasi antarbudaya menambah pengetahuan bersama,
saling mempelajari budaya lain, ketika komunikator dan komunikan yang berasal
dari latar belakang yang berbeda melakukan tindak komunikasi.

4) Melepaskan diri/ jalan keluar


Sebagai makhluk sosial, sering kali seorang individu ketika berkomunikasi
dengan individu yang lainnya mempunyai tujuan untuk melepaskan diri atau
mencari jalan keluar atas masalah yang sedang dihadapinya.
Fungsi yang lain dapat berupa:
1) Pengawasan
Tindak komunikasi antarbudaya diantara komunikator dan komunikan yang
berbeda latar belakang budaya berfungsi untuk mengawasi. Fungsi ini bermanfaat
untuk menginformasikan perkembangan tentang lingkungan. Fungsi ini banyak
dilakukan oleh media massa yang menyebarluaskan secara rutin perkembangan
peristiwa yang terjadi disekitar kita.
2) Menjembatani
Komunikasi antarbudaya mempunyai fungsi menjadi jembatan di antara dua orang
yang berbeda budaya. Fungsi menjembatani ini dapat dilakukan melalui melalui

12
pesan-pesan yang mereka pertukarkan. Keduanya saling menjelaskan perbedaan
tafsir atas sebuah pesan, sehingga menghasilkan makna yang sama. Fungsi ini
dijalankan oleh berbagai konteks komunikasi termasuk komunikasi massa.
3) Sosialisasi nilai
Fungsi sosialisasi merupakan fungsi untuk mengajarkan dan memperkenalkan
nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat kepada masyarakat lain.
4) Menghibur
Fungsi menghibur ini dapat kita temui dari peristiwa-peristiwa atau tindak
komunikasi antarbudaya yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi
menghibur ini juga bisa kita lihat dari tayangan- tayangan yang ada di televisi.

Efektifitas Komunikasi Antarbudaya


Mulyana (2005:107) Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang hasilnya
sesuai dengan harapan para pesertanya (orang-orang yang sedang berkomunikasi).
Dalam kenyataannya, tidak pernah ada dua manusia yang persis sama, meskipun
mereka kembar yang dilahirkan dan diasuh dalam keluarga yang sama, diberi
makanan yang sama dan dididik dengan cara yang sama. Namun kesamaan dalam
hal-hal tertentu, misalnya agama, ras (suku), bahasa, tingkat pendidikan, atau
tingkat ekonomi akan mendorong orang-orang untuk saling tertarik dan pada
gilirannya karena kesamaan tersebut komunikasi mereka menjadi efektif.
Kesamaan bahasa khususnya akan membuat orang-orang yang berkomunikasi
lebih mudah mencapai pengertian bersama dibandingkan dengan orang-orang yang
tidak berbicara atau memahami bahasa yang sama. Artinya, semakin mirip latar
belakang sosial budaya, maka semakin efektiflah komunikasi.
Dalam pandangan Gudykunst komunikasi efektif akan terjadi apabila
kesalahpahaman dapat diminimalisasi. Penulis lain menggunakan istilah- istilah
yang bervariasi untuk menyatakan ide yang sama yaitu dengan istilah accuracy,
fidelity dan understanding. Gudykunst memberikan contoh tentang komunikasi
yang efektif berdasarkan tindak komunikasi antara presiden dari Mickelson, Pol
Quia dan dirinya. Dalam gambaran ini, Gudykunst menjelaskan bahwa komunikasi
yang efektif antara individu- individu yang memiliki latar belakang budaya yang
berbeda bukan diartikan karena terciptanya keakraban, berbagi kebiasaan yang

13
sama atau bahkan berbicara dengan jelas. Komunikasi yang efektif digambarkan
pada kondisi dimana kedua belah pihak dapat memprediksikan secara akurat dan
menjelaskan perilaku masing-masing.
Triandis dalam (Gudykunst dan Kim, 1997:250), sebagaimana dikutip oleh Rini
Darmastuti mengungkapkan bahwa komunikasi antarbudaya akan efektif apabila
dalam komunikasi tersebut dapat menciptakan apa yang disebut sebagai
isomorphic attributions, yaitu penetapan kualitas atau karakteristik terhadap
sesuatu supaya menjadi sama.

William Howwel, salah satu mentor dari Gudykunst di University of Minnesota


menyarankan 4 tingkatan dalam kompetensi komunikasi:
a. Unconscious Incompetence: kita salah menginterpretasikan perilaku orang
lain dan bahkan tidak menyadari apa yang sedang kita lakukan. Pengabadian
dianggap sebagai kebahagian.
b. Conscious Incompetence: kita tahu bahwa kita salah
menginterpretasikan perilaku orang lain tetapi kita tidak tahu apa yang harus
kita lakukan.
c. Conscious competence: kita berpikir tentang komunikasi kita dan secara
terus menerus berusaha mengubah apa yang kita lakukan supaya menjadi
lebih efektif.
d. Unonscious competence: kita telah mengembangkan kecakapan komunikasi kita
untuk menunjukkan bahwa kita tidak lagi hanya berpikir tentang bagaimana
kita berbicara atau mendengarkan.

Lebih lanjut Schramm dalam Mulyana mengemukakan, komunikasi antarbudaya


yang benar-benar efektif harus memperhatikan empat syarat, yaitu: (1)
menghormati anggota budaya lain sebagai manusia; (2) menghormati
budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang kita
kehendaki; (3) menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda
dari cara kita bertindak; dan (4) komunikator lintas budaya yang kompeten harus
belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya yang lain.

14
Hambatan-hambatan dalam Komunikasi Antarbudaya

Dalam komunikasi antarbudaya tentu saja menghadapi hambatan dan


masalah komunikasi yang sama seperti yang dihadapi oleh bentuk-bentuk
komunikasi yang lain. Berikut ini penulis uraikan hambatan-hambatan komunikasi
antarbudaya, diantaranya:
a. Hambatan semantik atau hambatan bahasa
Hambatan bahasa menjadi penghalang utama karena bahasa merupakan
sarana utama terjadinya komunikasi. Gagasan, pikiran, dan perasaan dapat
diketahui maksudnya ketika disampaikan lewat bahasa. Bahasa biasanya dibagi
menjadi dua sifat, yaitu bahasa verbal dan bahasa non verbal. Bahasa menjembatani
antar individu dikaji secara kontekstual. Fokus kajian bahasa selalu dihubungkan
dengan perbedaan budaya (Purwasito:2003:76). Cara manusia menggunakan
bahasa sebagai media komunikasi sangat bermacam-macam antara suatu budaya
dengan budaya lain, bahkan dalam satu budaya sekalipun.
b. Mengabaikan perbedaan antara anda dan kelompok yang secara kultural
berbeda.
Sesungguhnya ada banyak macam hambatan apabila kita membicarakan
tentang komunikasi antar budaya, akan tetapi hambatan yang paling lazim
adalah bilamana kita menganggap bahwa yang ada hanyalah kesamaan dan
bukan perbedaan. Ini terjadi terutama dalam hal nilai, sikap, dan kepercayaan
(Fajar, 2009:306).
c. Mengabaikan perbedaan antara kelompok kultural yang berbeda.
Dalam setiap kelompok kultural terdapat perbedaan yang besar dan
penting. Bila kita mengabaikan perbedaan ini, kita terjebak dalam stereotip.
Stereotip adalah pandangan umum dari suatu kelompok masyarakat lain.
Pandangan umum ini biasanya bersifat negatif. Stereotip biasanya merupakan
refrensi pertama (penilaian umum) ketika seseorang atau kelompok melihat orang
atau kelompok lain. Kita mengasumsikan bahwa semua orang yang menjadi
anggota kelompok yang sama (dalam hal ini kelompok bangsa atau ras) adalah
sama.

15
d. Melanggar adat kebiasaan kultural.
Menurut DeVito, setiap kultur itu mempunyai aturan komunikasi sendiri-
sendiri. Aturan ini menetapkan mana yang patut dan mana yang tidak patut. Pada
beberapa kultur, orang menunjukkan rasa hormat dengan menghindari kontak mata
langsung dengan lawan bicaranya. Dalam kultur yang lain, penghindaran kontak
mata seperti ini dianggap mengisyaratkan tidak adanya minat.
e. Menilai perbedaan secara negatif.
Joseph DeVito mengingatkan kepada kita bahwa meskipun kita menyadari
bahwa adanya perbedaan diantara kultur-kultur kita tetap tidak boleh menilai
perbedaan itu sebagai hal yang negatif.
f. Kejutan budaya.
Kejutan budaya mengaju pada reaksi psikologis yang dialami seseorang
karena berada di tengah suatu kultur yang sangat berbeda dengan kultur nya
sendiri. Kejutan budaya itu sebenarnya normal. Kebanyakan orang mengalaminya
apabila memasuki kultur yang baru dan berbeda. Namun demikian, keadaan ini
tidak menyenangkan dan menimbulkan fhistrasi. Sebagian dari kejutan ini timbul
karena perasaan terasing menonjol dan berbeda dari yang lain. Bila kita kurang
mengenal adat kebiasaan masyarakat yang baru ini, kita tidak dapat berkomunikasi
secara efektif. Kita cenderung akan sering melakukan kesalahan yang serius.

DAFTAR PUSTAKA

Audrey. 2009.”Komunikasi Antarbudaya” (On-line), tersedia


di: http://audrey portfolio.blogspot.com/2009/09/komunikasi-antar-
budaya.html. diakses pada tanggal 20 Oktober 2018.

Brown, H. Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa.USA:


Pearson Education.

Darmastuti, Rini. 2013.Mindfullness dalam Komunikasi Antarbudaya.Yogyakarta:


Buku

16
Litera
Fajar, Marhaeni. 2009. Ilmu Komunikasi Teori & Praktik.Jakarta: Graha Ilmu.

Liliweri, Alo. 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja


Rosdakarya.

Purwasito, Andik. 2003. Komunikasi Multikultural.Surakarta: Muhammadiyah


University Press.

17

Anda mungkin juga menyukai