Anda di halaman 1dari 33

Riba Dalam Islam

Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam. Oleh karenanya, terkesan
seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam. Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba,
sebagaimana dikatakan oleh seorang Muslim Amerika, Cyril Glasse, dalam buku
ensiklopedinya, tidak diberlakukan di negeri Islam modern manapun. Sementara itu,
kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa di dunia Kristenpun, selama satu milenium, riba
adalab barang terlarang dalam pandangan theolog, cendekiawan maupun menurut undang-
undang yang ada.

Di sisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke
berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa dilakukan
pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang. Perdebatan panjang di
kalangan ahli fikih tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing
memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul berbagai pendapat yang bermacam-macam
tentang bunga dan riba.

Pengertian Riba
Kata Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal dari rabaa yarbuu, yaitu akhir kata ini ditulis
dengan alif. Asal arti kata riba adalah ziyadah ‘tambahan’; adakalanya tambahan itu berasal
dari dirinya sendiri, seperti firman Allah swt:

(ihtazzat wa rabat) “maka hiduplah bumi itu dan suburlah.” (QS Al-Hajj: 5).
Dan, adakalanya lagi tambahan itu berasal dari luar berupa imbalan, seperti satu dirham
ditukar dengan dua dirham.

Hukum Riba
Riba, hukumnya berdasar Kitabullah, sunnah Rasul-Nya dan ijma’ umat Islam:

“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka permaklumkanlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kami tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 278-279).

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS Al-
Baqarah: 275).

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah.” (QS Al-Baqarah: 276).

Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan.”
Para sahabat bertanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Jawab Beliau, “(Pertama) melakukan
kemusyrikan kepada Allah, (kedua) sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah haramkan
kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan riba, (kelima) makan harta anak yatim,
(keenam) melarikan diri pada hari pertemuan dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh berzina
perempuan baik-baik yang tidak tahu menahu tentang urusan ini dan beriman kepada Allah.”
(Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ‘Aunul Ma’bud VIII:
77 no: 2857 dan Nasa’i VI: 257).
Dari Jabir ra, ia berkata. “Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua
saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “Mereka semua sama.” (Shahih: Mukhtasar
Muslim no: 955, Shahihul Jami’us Shaghir no: 5090 dan Muslim III: 1219 no: 1598).

Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Nabi saw bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu,
yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi ibunya.” (Shahih: Shahihul
Jami’us Shaghir no: 3539 dan Mustadrak Hakim II: 37).

Dari Abdullah bin Hanzhalah ra dari Nabi saw bersabda, “Satu Dirham yang riba dimakan
seseorang padahal ia tahu, adalah lebih berat daripada tiga puluh enam pelacur.” (Shahih:
Shahihul Jami’us Shaghir no: 3375 dan al-Fathur Rabbani XV: 69 no: 230).

Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Tak seorang pun memperbanyak
(harta kekayaannya) dari hasil riba, melainkan pasti akibat akhirnya ia jatuh miskin.”
(Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5518 dan Ibnu Majah II: 765 no: 2279).

Klasifikasi Riba
Riba ada dua macam yaitu riba nasiah dan riba fadhl.
Adapun yang dimaksud riba nasiah ialah tambahan yang sudah ditentukan di awal transaksi,
yang diambil oleh si pemberi pinjaman dari orang yang menerima pinjaman sebagai imbalan
dari pelunasan bertempo. Riba model ini diharamkan oleh Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, dan
ijma’ umat Islam.

Sedangkan yang dimaksud riba fadhl adalah tukar menukar barang yang sejenis dengan ada
tambahan, misalnya tukar menukar uang dengan uang, menu makanan dengan makanan yang
disertai dengan adanya tambahan.

Riba model kedua ini diharamkan juga oleh sunnah Nabi saw dan ijma’ kaum Muslimin,
karena ia merupakan pintu menuju riba nasiah.

Beberapa Barang yang padanya Diharamkan Melakukan Riba


Riba tidak berlaku, kecuali pada enam jenis barang yang sudah ditegaskan nash-nash syar’i
berikut:

Dari Ubaidah bin Shamir ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “(Boleh menjual emas dengan
emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (sejenis gandum) dengan sya’ir,
kurma dengan kurma, garam dengan garam, sebanding, sama dan tunai, tetapi jika berbeda
jenis, maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no:
949, dan Muslim III: 1211 no: 81 dan 1587).

Dengan demikian, apabila terjadi barter barang yang sejenis dari empat jenis barang ini, yaitu
emas ditukar dengan emas, tamar dengan tamar, maka haram tambahannya baik secara riba
fadhl maupun secara riba nasiah, harus sama baik dalam hal timbangan maupun takarannya,
tanpa memperhatikan kualitasnya bermutu atau jelek, dan harus diserahterimakan dalam
majlis.

Dari Abi Sa’id al-Khudri ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kamu menjual emas
kecuali sama, janganlah kamu tambah sebagiannya atas sebagian yang lain, janganlah kamu
menjual perak dengan perak kecuali sama, janganlah kamu tambah sebagiannya atas
sebagian yang lain, dan janganlah kamu menjual emas dan perak yang barang-barangnya
belum ada dengan kontan.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 379 no: 2177, Muslim III:
1208 no: 1584, Nasa’i VII: 278 dan Tirmidzi II: 355 no: 1259 sema’na).

Dari Umar bin Khattab ra bahwa Rasulullah saw bersabda. “Emas dengan emas adalah riba
kecuali begini dengan begini (satu pihak mengambil barang, sedang yang lain menyerahkan)
bur dengan bur (juga) riba kecuali begini dengan begini, sya’ir dengan sya’ir riba kecuali
begini dengan begini, dan tamar dengan tamar adalah riba kecuali begini dengan begini.”
(Muttafaqun’alaih: Fathul Bahri IV: 347 no: 2134, dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim
III: 1209 no: 1586, Tirmidzi II: 357 no: 1261, Nasa’i VII: 273 dan bagi mereka lafadz
pertama memakai adz-dzahabu bil wariq (emas dengan perak) dan Aunul Ma’bud IX: 197 no:
3332 dengan dua model lafadz).

Dari Abu Sa’id ra, ia bertutur: Kami pada masa Rasulullah saw pernah mendapat rizki berupa
tamar jama’, yaitu satu jenis tamar, kemudian kami menukar dua sha’ tamar dengan satu sha’
tamar. Lalu kasus ini sampai kepada Rasulullah saw maka Beliau bersabda, “Tidak sah
(pertukaran) dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar, tidak sah (pula) dua sha’ biji gandum
dengan satu sha’ biji gandum, dan tidak sah (juga) satu Dirham dengan dua Dirham.”
(Muttafaqun ’alaih: Muslim III: 1216 no: 1595 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IV: 311
no: 2080 secara ringkas dan Nasa’i VII: 272).

Manakala terjadi barter di antara enam jenis barang ini dengan lain jenis, seperti emas ditukar
dengan perak, bur dengan sya’ir, maka boleh ada kelebihan dengan syarat harus
diserahterimakan di majlis:
Berdasar hadits Ubadah tadi:

“…tetapi jika berlainan jenis maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai.”
Dalam riwayat Imam Abu Daud dan lainnya dari Ubadah ra Nabi saw bersabda: “Tidak
mengapa menjual emas dengan perak dan peraknya lebih besar jumlahnya daripada
emasnya secara kontan, dan adapun secara kredit, maka tidak boleh; dan tidak mengapa
menjual bur dengan sya’ir dan sya’irnya lebih banyak daripada burnya secara kontan dan
adapun secara kredit, maka tidak boleh.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 195 dan ‘Aunul Ma’bud
IX: 198 no: 3333).

Apabila salah satu jenis di antara enam jenis ini ditukar dengan barang yang berlain jenis dan
‘illah ‘sebab’, seperti emas ditukar dengan bur, atau perak dengan garam, maka boleh ada
kelebihan atau secara bertempo, kredit:
Dari Aisyah ra bahwa Nabi saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi secara
bertempo, sedangkan Nabi saw menggadaikan sebuah baju besinya kepada Yahudi itu.
(Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1393 dan Fathul Bari IV: 399 no: 2200).

Dalam kitab Subulus Salam III: 38, al-Amir ash-Sha’ani menyatakan. “Ketahuilah bahwa
para ulama’ telah sepakat atas bolehnya barang ribawi (barang yang bisa ditakar atau
ditimbang, edt) ditukar dengan barang ribawi yang berlainan jenis, baik secara bertempo
meskipun ada kelebihan jumlah atau berbeda beratnya, misalnya emas ditukar dengan hinthah
(gandum), perak dengan gandum, dan lain sebagainya yang termasuk barang yang bisa
ditakar.”

Namun, tidak boleh menjual ruthab (kurma basah) dengan kurma kering, kecuali para pemilik
‘ariyah, karena mereka adalah orang-orang yang faqir yang tidak mempunyai pohon kurma,
yaitu mereka boleh membeli kurma basah dari petani kurma, kemudian mereka makan dalam
keadaan masih berada di pohonnya, yang mereka taksir, mereka menukarnya dengan kurma
kering.

Dari Abdullah bin Umar ra, bahwa Rasulullah saw melarang muzabanah. Muzabanah ialah
menjual buah-buahan dengan tamar secara takaran, dan menjual anggur dengan kismis secara
takaran. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 384 no: 2185, Muslim III: 1171 no: 1542 dan
Nasa’i VII: 266)

Dari Zaid bin Tsabit ra bahwa Rasulullah saw memberi kelonggaran kepada pemilik ‘ariyyah
agar menjualnya dengan tamar secara taksiran. (Muttafaqun‘alaih: Muslim III: 1169 no: 60
dan 1539 dan lafadz ini baginya dan sema’na dalam Fathul Bari IV: 390 no: 2192, ‘Aunul
Ma’bud IX: 216 no: 3346, Nasa’i VII: 267, Tirmidzi II: 383 no: 1218 dan Ibnu Majah II: 762
no: 2269).
Sesungguhnya Nabi saw melarang menjual kurma basah dengan tamar hanyalah karena
kurma basah kalau kering pasti menyusut.

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra bahwa Nabi saw pernah ditanya perihal menjual kurma basah
dengan tamar. Maka Beliau (balik) bertanya, “Apakah kurma basah itu menyusut apabila
telah kering?” Jawab para sahabat, “Ya, menyusut.” Maka Beliaupun melarangnya. (Shahih:
Irwa-ul Ghalil no: 1352, ‘Aunul Ma’bud IX: 211 no: 3343, Ibnu Majah II: 761 no: 2264,
Nasa’i VII: 269 dan Tirmidzi II: 348 no: 1243).

Dan, tidak sah jual beli barang ribawi dengan yang sejenisnya sementara keduanya atau salah
satunya mengandung unsur lain.

Riwayat Fadhalah bin Ubaid yang menjadi landasan kesimpulan ini dimuat juga dalam
Mukhtashar Nailul Authar hadits no: 2904. Imam Asy-Syaukani, memberi komentar sebagai
berikut, “Hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh menjual emas yang mengandung unsur
lainnya dengan emas murni hingga unsur lain itu dipisahkan agar diketahui ukuran emasnya,
demikian juga perak dan semua jenis barang ribawi lainnya, karena ada kesamaan illat, yaitu
haram menjual satu jenis barang dengan sejenisnya secara berlebih.”

Dari Fadhalah bin Ubaid ia berkata: “Pada waktu perang Khaibar aku pernah membeli sebuah
kalung seharga dua belas Dinar sedang dalam perhiasan itu ada emas dan permata, kemudian
aku pisahkan, lalu kudapatkan padanya lebih dari dua belas Dinar, kemudian hal itu
kusampaikan kepada Nabi saw, Maka Beliau bersabda, ‘Kalung itu tidak boleh dijual hingga
dipisahkan.’” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1356, Muslim III: 1213 no: 90 dan 1591, Tirmidzi
II: 363 no: 1273, ‘Aunul Ma’bud IX: 202 no: 3336 dan Nasa’i VII: 279).

Islam bersikap sangat keras dalam persoalan riba semata-mata demi melindungi
kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlak, masyarakat maupun perekonomiannya.Kiranya
cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam
tafsir Qurannya sebagai berikut:

1. Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab orang yang
meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan satu
dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standard hidup dan
mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut dalam hadis Nabi
Muhammad SAW:
2. "Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya."Oleh karena itu
mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya.

3. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si
pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang, baik kontan
ataupun berjangka, maka dia akan memudahkan persoalan mencari penghidupan, sehingga
hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan
yang berat. Sedang hal semacam itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan masyarakat.
Satu hal yang tidak dapat disangkal lagi bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan
oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan.(Tidak diragukan lagi,
bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi perekonomian).

4. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama manusia
dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang akan
merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga. Tetapi
kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang akan menganggap berat dengan
diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu,
maka terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan. (Ini suatu alasan yang dapat diterima,
dipandang dari segi etika).

5. Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang
yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan
kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan.
Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah. (Ini
ditinjau dari segi sosial).

Ini semua dapat diartikan, bahwa dalam riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang
lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion de l'home par l'hom) dengan suatu
kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang yang miskin tetap miskin. Hal mana akan
mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain, yang
memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati dan pendengki; dan akan berakibat
berkobarnya api pertentangan di antara anggota masyarakat serta membawa kepada
pemberontakan oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi.
Riba
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan


persentase tertentu dari jumlah pinzaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba
secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba
juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat
dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan
bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-
meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.

Daftar isi
[tampilkan]

[sunting] Riba dalam pandangan agama

Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun
memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga
lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani,
demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan
tersendiri mengenai riba.

[sunting] Riba dalam agama Islam

Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinzaman adalah
haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 : ...padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.... Pandangan ini juga yang mendorong
maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem
bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian
pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba.
bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa
bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah
menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan
pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi
deposannya. dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila akad
ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang
menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang
meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam.
berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka
yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah
yang disepakati oleh kedua belah pihak. contoh nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian
deposan 60% dari total keuntungan yang didapat oleh pihak ban.
[sunting] Jenis-Jenis Riba

Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-
beli.Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba
jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah.

 Riba Qardh
o Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang
berhutang (muqtaridh).
 Riba Jahiliyyah
o Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar
hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
 Riba Fadhl
o Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan
barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
 Riba Nasi’ah
o Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan
dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya
perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang
diserahkan kemudian.

[sunting] Riba dalam agama Yahudi

Agama Yahudi melarang praktik pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam
kitab suci agama Yahudi, baik dalam Perjanjian Lama maupun undang-undang Talmud.
Kitab Keluaran 22:25 menyatakan:
“Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang miskin di
antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah
engkau bebankan bunga terhadapnya.” Kitab Ulangan 23:19 menyatakan:
“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan,
atau apa pun yang dapat dibungakan.” Kitab Ulangan 23:20 menyatakan:
“Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah
engkau memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala
usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya."Kitab Imamat 35:7
menyatakan:
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut
akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang-
mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan
meminta riba.”

[sunting] Konsep Bunga di Kalangan Kristen

Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian
kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat
yang mengecam praktik pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan : “Dan jikalau kamu
meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu
daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa,
supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah
baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan
besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap
orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.” Ketidaktegasan
ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka
agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktikkan pengambilan
bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan
menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII)
yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII - XVI) yang
berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI -
tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga. Kitab Ulangan 23:20
menyatakan:
“Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau
memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu
di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya.“

[sunting] Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I - XII)

Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah
pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen. St.
Basil (329 - 379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak
berperi-kemanusiaan. Baginya, mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari orang
yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan
kesusahan orang miskin.

St. Gregory dari Nyssa (335 - 395) mengutuk praktik bunga karena menurutnya pertolongan
melalui pinzaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat
menagih dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam. St. John Chrysostom (344 -
407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang ditujukan bagi
orang-orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Perjanjian Baru. St. Ambrose mengecam
pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir). St. Augustine berpendapat
pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam dibandingkan dengan perampok yang
merampok orang kaya. Karena dua-duanya sama-sama merampok, satu terhadap orang kaya
dan lainnya terhadap orang miskin. St. Anselm dari Centerbury (1033 - 1109) menganggap
bunga sama dengan perampokan. Larangan praktik bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam
bentuk undang-undang (Canon): Council of Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon
20 yang melarang para pekerja gereja mem-praktikkan pengambilan bunga. Barangsiapa
yang melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan. Council of Arles (tahun 314)
mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja mempraktikkan
pengambilan bunga. First Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang
mengancam akan memecat para pekerja gereja yang mempraktikkan bunga. Larangan
pemberlakuan bunga untuk umum baru dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311)
yang menyatakan barangsiapa menganggap bahwa bunga itu adalah sesuatu yang tidak
berdosa maka ia telah keluar dari Kristen (murtad).

[sunting] Pandangan Para Pendeta awal Kristen dapat disimpulkan sebagai berikut

Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang yang
dipinjamkan. Mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang, baik dalam Perjanjian Lama
maupun Perjanjian Baru. Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang
dipinjamkan adalah suatu dosa. Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya. Harga barang
yang ditinggikan untuk penjualan secara kredit juga merupakan bunga yang terselubung.
[sunting] Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII - XVI)

Pada masa ini terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang perekonomian dan
perdagangan. Pada masa tersebut, uang dan kredit menjadi unsur yang penting dalam
masyarakat. Pinzaman untuk memberi modal kerja kepada para pedagang mulai digulirkan
pada awal Abad XII. Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk. Proses tersebut mendorong
terwujudnya suku bunga pasar secara meluas. Para sarjana Kristen pada masa ini tidak saja
membahas permasalahan bunga dari segi moral semata yang merujuk kepada ayat-ayat
Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, mereka juga mengaitkannya dengan aspek-aspek
lain. Di antaranya, menyangkut jenis dan bentuk undang-undang, hak seseorang terhadap
harta, ciri-ciri dan makna keadilan, bentuk-bentuk keuntungan, niat dan perbuatan manusia,
serta per-bedaan antara dosa individu dan kelompok.

Mereka dianggap telah melakukan terobosan baru sehubungan dengan pendefinisian bunga.
Dari hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus dan melegitimasi hukum, bunga
dibedakan menjadi interest dan usury. Menurut mereka, interest adalah bunga yang
diperbolehkan, sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan. Para tokoh sarjana Kristen
yang memberikan kontribusi pendapat yang sangat besar sehubungan dengan bunga ini
adalah Robert of Courcon (1152-1218), William of Auxxerre (1160-1220), St. Raymond of
Pennaforte (1180-1278), St. Bonaventure (1221-1274), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274).
Kesimpulan hasil bahasan para sarjana Kristen periode tersebut sehubungan dengan bunga
adalah sebagai berikut : Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan
memberikan pinzaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan.
Mengambil bunga dari pinzaman diperbolehkan, namun haram atau tidaknya tergantung dari
niat si pemberi hutang.

[sunting] Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI - Tahun 1836)

Pendapat para reformis telah mengubah dan membentuk pandangan baru mengenai bunga.
Para reformis itu antara lain adalah John Calvin (1509-1564), Charles du Moulin (1500 -
1566), Claude Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546), Melanchthon (1497-
1560), dan Zwingli (1484-1531).

Beberapa pendapat Calvin sehubungan dengan bunga antara lain:

 Dosa apabila bunga memberatkan.


 Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles).
 Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi.
 Jangan mengambil bunga dari orang miskin.

Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga yang sederhana diperbolehkan asalkan bunga
tersebut digunakan untuk kepentingan produktif. Saumise, seorang pengikut Calvin,
membenarkan semua pengambilan bunga, meskipun ia berasal dari orang miskin.
Menurutnya, menjual uang dengan uang adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada
alasan untuk melarang orang yang akan menggunakan uangnya untuk membuat uang.
Menurutnya pula, agama tidak perlu repot-repot mencampuri urusan yang berhubungan
dengan bunga.
[sunting] Pandangan Gereja Katolik

Menurut Gereja katolik pandangan mengenai Riba tidaklah berubah dengan pendapat para
pendiri gereja seperti St.Gregorius dan St. John Chrysostom. tetapi prinsip dari riba(bunga)
itulah yang berubah, karena bila zaman dahulu uang tidak bisa memberikan hasil kalau tidak
dijalankan seperti yang disebutkan oleh kitab matius 27:27 menyatakan:
"Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan
uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya.”

Namun, pada zaman sekarang, uang dapat memberikan hasil, karena uang dapat dibungakan
atau di investasikan.Dengan demikian, meminjamkan uang dengan “bunga yang pantas”
bukanlah tindakan yang tidak adil. Namun, kalau memberikan pinjaman dengan bunga yang
terlalu tinggi, maka telah dianggap berdosa karena melawan keadilan.

Namun,prinsip ini pun harus di laksanakan dengan bijaksana.Misal,seseorang mempunyai


uang 1 milyar dan seseorang meminjam dari orang tersebut 1 juta rupiah, maka janganlah
menarik bunga, apalagi kalau orang yang meminjam benar-benar miskin. Bahkan kalau
perlu,pemilik uang itu harus memberikannya dengan rela. Namun bila berada dalam situasi
bisnis, maka adalah pantas, kalau menarik bunga dari pinjaman yang diberikan sebab sudah
adanya persetujuan dari kedua pihak mengenai akan adanya bunga dari pinjaman tersebut.
Seperti yang dilalukan oleh pihak perbankan dan nasabahnya.

[sunting] Perbedaan Investasi dengan Membungakan Uang

Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dengan mem-bungakan uang. Perbedaan
tersebut dapat ditelaah dari definisi hingga makna masing-masing.

1. Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko karena berhadapan dengan unsur
ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak
tetap.
2. Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko karena
perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap.

Islam mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produktif. Islam mendorong seluruh
masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang membungakan uang. Sesuai dengan
definisi di atas, menyimpan uang di bank Islam termasuk kategori kegiatan investasi karena
perolehan kembaliannya (return) dari waktu ke waktu tidak pasti dan tidak tetap. Besar
kecilnya perolehan kembali itu ter-gantung kepada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan
dilakukan bank sebagai mudharib atau pengelola dana.

Dengan demikian, bank Islam tidak dapat sekadar menyalurkan uang. Bank Islam harus terus
berupaya meningkatkan kembalian atau return of investment sehingga lebih menarik dan
lebih memberi kepercayaan bagi pemilik dana.

[sunting] Perbedaan Hutang Uang dan Hutang Barang

Ada dua jenis hutang yang berbeda satu sama lainnya, yakni hutang yang terjadi karena
pinjam-meminjam uang dan hutang yang terjadi karena pengadaan barang. Hutang yang
terjadi karena pinjam-meminjam uang tidak boleh ada tambahan, kecuali dengan alasan yang
pasti dan jelas, seperti biaya materai, biaya notaris, dan studi kelayakan. Tambahan lainnya
yang sifatnya tidak pasti dan tidak jelas, seperti inflasi dan deflasi, tidak diperbolehkan.
Hutang yang terjadi karena pembiayaan pengadaan barang harus jelas dalam satu kesatuan
yang utuh atau disebut harga jual. Harga jual itu sendiri terdiri dari harga pokok barang plus
keuntungan yang disepakati. Sekali harga jual telah disepakati, maka selamanya tidak boleh
berubah naik, karena akan masuk dalam kategori riba fadl. Dalam transaksi perbankan
syariah yang muncul adalah kewajiban dalam bentuk hutang pengadaan barang, bukan hutang
uang.

[sunting] Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil

Sekali lagi, Islam mendorong praktik bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-
sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang
sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

 Bunga : Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
Bagi Hasil : Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan
berpedoman pada kemungkinan untung rugi
 Bunga : Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
Bagi Hasil : Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
 Bunga : Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek
yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi
Bagi hasil : tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian
akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
 Bunga : Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat
atau keadaan ekonomi sedang “booming”
Bagi hasil : Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah
pendapatan.
 Bunga : Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh beberapa kalangan
Bagi hasil : Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil
Qisas
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa

Qisas (bahasa arab: ‫ )قصاص‬adalah istilah dalam hukum islam yang berarti pembalasan
(memberi hukuman yang setimpal), mirip dengan istilah "hutang nyawa dibayar nyawa".
Dalam kasus pembunuhan, hukum qisas memberikan hak kepada keluarga korban untuk
meminta hukuman mati kepada pembunuh. [1]

Orang-orang Islam mendasarkan tentang qisas ini dalam kitab sucinya yaitu Al-qur'an,
misalnya: "Hai orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kamu qishash atas orang-orang
yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Barangsiapa mendapat ma'af dari saudaranya, hendaklah yang mema'afkan
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada
yang memberi ma'af dengan cara yang baik." [Al Baqarah:178]

"Dan Kami tetapkan atas mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, mata
dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka
pun ada Qisasnya. Barangsiapa yang melepaskan hak Qisas, maka melepaskan hak itu jadi
penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zalim." [Al Maa-idah:45]

Meski demikian dikatakan Al Qur'an bila hak Qisas dilepaskan oleh korban maka itu menjadi
penebus dosa bagi mereka. Keluarga korban dapat memaafkan pembunuh dan meminta
penebus dalam bentuk materi.

Qisas dipraktekkan di negara-negara yang menganut syariat Islam seperti Arab Saudi, Iran
dan Pakistan. Beberpa Negara lain menganggap qisas tidaklah relevan untuk diterapkan pada
saat ini sebagaimana konsep hukum mati yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia
(HAM).
Apakah Hukum Qishash Bertentangan dengan Akal dan Naluri Manusia?

Sebagian golongan telah mengkritik hukum-hukum Islam tanpa perenungan terlebih dahulu,
dan khususnya tentang masalah hukum qishash, mereka ramai melontarkan berbagai
kecaman dan sanggahan. Mereka mengatakan:

a. Sebenarnya, kejahatan yang telah dilakukan oleh seorang pembunuh tidak lebih dari
sebuah kejahatan yang hanya menghilangkan nyawa seorang manusia. Akan tetapi, ketika
kamu melakukan qishash terhadapnya, kamu malah mengulangi perbuatan yang sama sekali
lagi.

b. Qishash tidak lebih dari sebuah balas dendam dan kekerasan hati. Sifat tercela ini harus
dihilangkan dari kalangan masyarakat dengan memberikan pendidikan yang benar.
Sementara itu, para pendukung qishash, setiap hari malah memberikan ruh baru kepada sifat
tercela ini. Yaitu, balas dendam.

c. Membunuh manusia bukan merupakan sebuah dosa yang dilakukan oleh orang-orang biasa
yang berada dalam keadaan sehat. Sudah tentu, dari sisi psikologi, seorang pembunuh
pastilah orang yang mengidap penyakit kejiwaan yang membutuhkan pertolongan
pengobatan dan penyembuhan. Sementara itu, qishash tidak akan pernah bisa mengobati
penyakit semacam ini.

d. Masalah-masalah yang berkaitan dengan sistem kemasyarakatan haruslah disesuaikan


dengan perkembangan masyarakat yang ada. Oleh karena itu, sebuah hukum yang telah
diterapkan pada seribu empat ratus tahun yang lalu tidak mungkin bisa diterapkan pada
sistem masyarakat yang ada saat ini.

e. Apakah tidak lebih baik, sebagai pengganti dari qishash, kita penjarakan saja para pelaku
pembunuhan ini. Kemudian, kita berlakukan kerja paksa untuk memanfaatkan mereka
sehingga menghasilkan keuntungan bagi masyarakat. Dengan demikian, selain masyarakat
akan terjaga dari kejahatan mereka, keberadaan mereka pun —paling tidak— akan
memberikan manfaat pula bagi masyarakat.

Hal-hal di atas adalah ringkasan dari kecaman yang mereka lontarkan dalam persoalan
qishash.

Dengan memperhatikan ayat-ayat qishash yang ada di dalam Al-Qur’an secara cermat, maka
jawaban dari persoalan ini akan menjadi jelas.

“Di dalam qishah itu terdapat kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang beraka”l.

Karena, menyingkirkan para pembejat dan orang-orang perusak merupakan metode yang
paling efektif untuk tercapainya pertumbuhan dan kesempurnaan masyarakat. Dalam hal ini,
qishash merupakan sebuah jaminan kehidupan untuk kelestarian sebuah komunitas. Mungkin
karena itulah qishash ditanamkan di dalam naluri manusia.

Sistem kedokteran, pertanian, dan perhewanan, semuanya dilandaskan pada prinsip


rasionalitas metode ini (menghilangkan makhluk pengganggu yang membahayakan). Oleh
karena itu, sering kita saksikan pemotongan anggota-anggota badan yang telah rusak atau
pemangkasan dahan-dahan pengganggu dan yang membahayakan untuk memberikan
pertumbuhan maksimal pada suatu pohon. Dari sini, orang-orang yang mengetahui bahwa
membunuh seorang pembunuh merupakan sebuah peniadaan seorang insan yang lain,
sungguh mereka hanya mengedepankan pandangan individualistik. Karena, apabila mereka
mengarahkan pandangan pada rekonstruksi dan regenerasi masyarakat dan mengetahui apa
fungsi qishash ini dalam menjaga dan mendidik keseluruhan individu, maka mereka akan
berpikir kembali terhadap kata-kata yang mereka lontarkan. Karena pada hakikatnya,
menyingkirkan pribadi pelaku pembunuhan dari masyarakat sebagaimana logisnya adalah
memotong anggota badan dan memangkas dahan benalu, yang hingga sekarang tidak kita
temukan seorang pun yang memperlihatkan keberatannya atas metode pemotongan anggota
badan ataupun pemangkasan dahan pohon yang rusak ini. Dan ini merupakan jawaban dari
persoalan yang pertama.

Tentang kritikan mereka yang kedua, harus diperhatikan bahwa pada prinsipnya,
diwajibkannya qishash tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan persoalan balas
dendam. Karena, balas dendam mempunyai makna memadamkan api kemarahan yang
muncul karena satu masalah pribadi, sementara qishash dilakukan dengan maksud untuk
mencari keadilan dan keperdulian terhadap seluruh orang yang tidak berdosa, dan untuk
mengantisipasi terulangnya kembali kejahatan serupa di dalam masyarakat.

Tentang kritikan yang ketiga bahwa pelaku pembunuhan pastilah terjangkit suatu penyakit
kejiwaan, karena kejahatan semacam ini tidak mungkin ditemukan pada orang-orang biasa
yang berada dalam keadaan sehat, harus ditegaskan bahwa pada sebagian persoalan,
perkataan ini benar adanya dan Islam pun tidak akan pernah mengeluarkan hukuman qishash
dalam keadaan di mana pelaku pembunuhan adalah orang yang tidak waras atau sepertimya.

Akan tetapi, apabila alasan adanya penyakit kejiwaan pada diri pelaku pembunuhan telah
dijadikan sebagai sebuah hukum untuk menghamparkan amnesti dan jalan kebebasan di
hadapan mereka, maka hal ini tidak akan bisa diterima, karena kerusakan yang akan
ditimbulkan oleh pelaksanaan cara semacam ini tentu akan sangat menyulitkan dan tidak syak
lagi dapat mengakibatkan semakin tingginya tingkat keberanian para pelaku kejahatan di
dalam masyarakat.

Dan apabila pembelaan atas diri pelaku pembunuhan itu adalah benar, maka hal ini pun
secara mutlak benar juga berkenaan dengan para pelanggar dan perampas hak-hak orang lain.
Karena, orang-orang yang mempunyai akal yang sehat sama sekali tidak akan melanggar
hak-hak orang lain. Dengan demikian, seluruh hukum harus dihapus dan para pelanggar serta
para pembuat kerusakan —secara keseluruhan tanpa terkecuali— harus dimasukkan ke
rumah-rumah sakit jiwa sebagai ganti dari penjara atau hukuman.

Adapun kritikan yang menekankan bahwa masyarakat dewasa ini tidak menerima lagi hukum
qishash, karena qishash hanyalah berperan efektif di dalam kehidupan masyarakat primitif
saja, dan sekarang mereka menganggap bahwa qishash merupakan sebuah hukum yang harus
segera dihapuskan, karena hal itu kontradiksi dengan akal. Jawabannya, bahwa sanggahan
yang mereka lontarkan di atas merupakan sebuah klaim yang tidak ada harganya sama sekali,
dan lebih mirip dengan khayalan ketika dihadapkan dengan meluasnya kejahatan-kejahatan
yang semakin mengerikan di dunia kita saat ini, dan juga dengan tingginya angka tindak
pembunuhan yang terjadi di medan-medan perang.

Jika diasumsikan bahwa dunia sekarang ini akan terwujud dan Islam juga menetapkan
pengampunan dan amnesti, serta tidak memperkenalkan qishash sebagai satu-satunya
hukuman, maka jelas dalam lingkungan yang demikian ini, masyarakat akan lebih
mengutamakan pengampunan atas pelaku pembunuhan. Akan tetapi, di dunia masa kini di
mana kejahatan telah lebih banyak dan lebih buas di bawah motif dan modus yang beragam
daripada yang terjadi pada masa lampau, maka penghapusan hukum ini tidak akan
memberikan pengaruh sedikit pun selain hanya akan menambah ekspansi kejahatan itu
sendiri di dalam lingkungan masyarakat.

Mengenai kritikan kelima, harus kita perhatikan bahwa tujuan dari qishash —seperti telah
dijelaskan dalam Al-Qur’an— adalah untuk menjaga kehidupan global masyarakat dan
mengantisipasi terulangnya kembali pembunuhan dan kejahatan serupa. Tentu saja, penjara
tidak akan mampu menangai secara mumpuni, (terutama dengan memperhatikan kondisi
penjara saat ini yang lebih baik dari tempat tinggal para penjahat itu sendiri). Dengan
demikian, di negara-negara yang telah meniadakan hukum gantung tampak bahwa dalam
waktu yang relatif pendek, data dan angka pembunuhan, serta tindak kriminalitas yang terjadi
mengalami kenaikan yang menguatirkan, khususnya apabila hukum penjara orang-orang itu
—sebagaimana biasanya—memberikan harapan pengampunan. Oleh karena itu, para
penjahat akan melakukan kejahatannya tanpa beban pikiran dan perasaan.
Hukum Qishash Dalam Islam
06:43 Serambi Mekkah

Qisas yang selama ini kita ketahui terkadang masih dianggap sebagai sesuatu yang sangat
angker, menakutkan, dan tidak manusiawi, sehingga timbul sikap yang dinamakan “Islam
phobia“. Padahal, AllahSubhanahu wa Ta’ala mensifatkan qisas dalam firman-Nya,

ِ ‫تَتَّقُونَ لَعَلَّكُم األَلبَا‬


ِ ‫ب أُولِي يَا َحيَاة ال ِقص‬
‫َاص فِي َولَكُم‬

“Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa.” (Qs. al-Baqarah: 179).

Imam asy-Syaukani menjelaskan ayat ini dengan menyatakan, “Maknanya, kalian memiliki
jaminan kelangsungan hidup dalam hukum yang AllahSubhanahu wa Ta’ala syariatkan ini,
karena bila seseorang tahu akan dibunuh secara qisas apabila ia membunuh orang lain,
tentulah ia tidak akan membunuh dan menahan diri dari mempermudah dan terjerumus
padanya.

Dengan demikian, hal itu seperti kedudukan jaminan kelangsungan hidup bagi jiwa manusia. Ini
adalah satu bentuk sastra (balaghah) yang tinggi dan kefasihan yang sempurna. Allah Subhanahu wa
Ta’ala menjadikan qisas yang sebenarnya adalah kematian sebagai jaminan kelangsungan hidup,
ditinjau dari akibat yang ditimbulkannya, berupa tercegahnya manusia saling bunuh di antara mereka.
Hal ini dalam rangka menjaga keberadaan jiwa mereka dan keberlangsungan khidupan mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyampaikan ayat ini untuk ulil albab (orang yang berakal),
karena merekalah orang yang memandang jauh ke depan dan berlindung dari bahaya yang munculnya
menyusul nanti. Adapun orang yang pandir, dia berpikiran pendek dan gampang emosi, ketika amarah
dan emosinya bergejolak dia tidak memandang akibat yang muncul nantinya dan dia pun tidak
memikirkan masa depannya.” [1]
Dikarenakan bersikap terburu-buru dan tidak mengerti hakikat syariat yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala tetapkan, banyak orang bahkan kaum muslimin yang belum mau menerima atau simpati atas
penegakan qisas ini. Padahal, pensyariatan qisas akan membawa kemaslahatan bagi manusia.

Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Fauzan menyatakan, “Pensyariatan qisas berisi rahmat bagi manusia dan
penjagaan atas darah mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

‫َاص فِي َولَكُم‬


ِ ‫َحيَاة ال ِقص‬

‘Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu.‘ (Qs. al-Baqarah: 179).

Sehingga, betapa jelek orang yang menyatakan bahwa qisas itu sesuatu yang tidak berprikemanusiaan
(biadab) dan keras. Mereka tidak melihat kepada kebiadaban pelaku pembunuhan ketika membunuh
orang tak berdosa, ketika menebar rasa takut di daerah tersebut, dan ketika menjadikan para wanita
janda, anak-anak menjadi yatim, serta hancurnya rumah tangga.

Mereka ini hanya merahmati pelaku kejahatan dan tidak merahmati korban yang tak berdosa.
Sungguh jelek akal dan kedangkalan mereka. Allah berfirman,
‫سنُ َو َمن يَبغُونَ الجَا ِه ِليَّ ِة أَفَ ُحك َم‬
َ ‫للاِ مِ نَ أَح‬
ّ ‫يُوقِنُونَ ِّلقَوم ُحكما‬

‘Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?‘ (Qs. al-Ma`idah: 50)” [2]

Untuk itu, penjelasan tentang qisas ini sangat diperlukan, agar kaum muslimin bisa mengerti
keindahan dan rahmat yang ada dalam qisas.

Definisi Qisas

Kata “qisas” (‫ )قصاص‬berasal dari bahasa Arab yang berarti “mencari jejak”, seperti “al-qasas“.
Sedangkan dalam istilah hukum Islam, maknanya adalah pelaku kejahatan dibalas seperti
perbuatannya, apabila ia membunuh maka dibunuh dan bila ia memotong anggota tubuh maka
anggota tubuhnya juga dipotong. [3]

Sedangkan Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Fauzan mendefiniskannya dengan, “Al-Qisas adalah perbuatan
(pembalasan) korban atau walinya terhadap pelaku kejahatan sama atau seperti perbuatan pelaku
tadi.” [4]

Dapat disimpulkan bahwa qisas adalah mengambil pembalasan yang sama atau serupa, mirip dengan
istilah “utang nyawa dibayar dengan nyawa”.

Dasar Pensyariatan Qisas

Qisas disyariatkan dalam al-Quran dan as-sunnah, serta ijma‘. Di antara dalil dari al-Quran adalah
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

‫ِب آ َمنُوا الَّ ِذينَ أَيُّهَا يَا‬


َ ‫علَي ُك ُم ُكت‬ ُ ‫ْوال بِال ُح ِ ّر ال ُح ُّر القَتلَى فِي ال ِقص‬
َ ‫َاص‬ َ ‫عف َِي فَ َمن بِاألُنثَى َواألُنثَى ِبالعَب ِد عَب ُد‬ُ ُ‫فَاتِّبَاع شَيء أَخِ ي ِه مِ ن لَه‬
‫وف‬ َ
ِ ‫سان إِلي ِه َوأدَاء بِال َمع ُر‬َ َ َ َ َ َ
َ ‫عذاب فلهُ ذ ِلكَ بَع َد دَى َْاعت ف َم ِن َو َرح َمة َّربِّكُم ِ ّمن ت َخفِيف ذ ِلكَ بِ ِإح‬ َ َ َ
َ ‫ ألِيم‬. ‫َاص فِي َولكُم‬ ِ ‫أُولِي يَا َحيَاة ال ِقص‬
ِ ‫تَتَّقُونَ لَ َعلَّكُم األَلبَا‬
‫ب‬

“Wahai orang-orang yang beriman, qisas diwajibkan atasmu berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Maka, barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang
memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Rabbmu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang
sangat pedih. Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang
yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Qs. al-Baqarah: 178-179).

Sedangkan dalil dari as-Sunnah di antaranya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, yaitu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ َّ‫يُقت َل أَن َوإِ َّما يُفدَى أَن إِ َّما الن‬


‫ظ َري ِن بِ َخي ِر فَ ُه َو قَتِيل لَهُ قُتِ َل َمن‬

“Barangsiapa yang menjadi keluarga korban terbunuh maka ia memilih dua pilihan, bisa memilih
diyat dan bisa juga dibunuh (qisas).” (HR. al-Jama’ah).

Sedangkan dalam riwayat at-Tirmidzi adalah dengan lafal,

َ َّ‫يَقت ُ َل أَن َوإِ َّما يَعفُ َو أَن إِ َّما الن‬


‫ظ َري ِن بِ َخي ِر فَ ُه َو قَتِيل لَهُ قُتِ َل َمن‬
“Barangsiapa yang menjadi keluarga korban terbunuh maka ia memilih dua pilihan, bisa memilih
memaafkannya dan bisa membunuhnya.” [5]

Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa wali (keluarga) korban pembunuhan dengan sengaja
memiliki pilihan untuk membunuh pelaku tersebut (qisas) bila menghendakinya, bila tidak bisa
memilih diyat dan pengampunan. Pada asalnya, pengampunan lebih utama, selama tidak mengantar
kepadamafsadat (kerusakan) atau ada kemashlahatan lainnya. [6]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah me-rajih-kan, bahwa pengampunan tidak boleh
diberikan pada qatlu al-ghilah (pembunuhan dengan memperdaya korban). [7]

Sedangkan Ibnu al-Qayyim rahimahullah, ketika menyampaikan kisah al-’Urayinin, menyatakan,


“Qatlu al-ghilah mengharuskan pembunuhan pelaku dilakukan secara had (hukuman), sehingga
hukuman baginya tidak gugur dengan adanya pengampunan dan tidak dilihat kembali kesetaraan
(mukafah). Inilah mazhab ahli Madinah dan salah satu dari dua pendapat dalam Mazhab Ahmad, serta
yang dirajihkan asy-Syaikh (Ibnu Taimiyah, pen) dan beliaurahimahullah berfatwa dengan pendapat
ini.” [8]

Hikmah Pensyariatan Qisas

Allah al-Hakim menetapkan satu ketetapan syariat dengan hikmah yang agung. Hikmah-hikmah
tersebut ada yang diketahui manusia dan ada yang hanya menjadi rahasia Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Demikian juga, dalam qisas terdapat banyak hikmah, di antaranya:

1. Menjaga masyarakat dari kejahatan dan menahan setiap orang yang akan menumpahkan darah
orang lain. Yang demikian itu disebutkan oleh AllahSubhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya,

ِ ‫ت َتَّقُونَ لَ َعلَّكُم األَلبَا‬


ِ ‫ب أُولِي يَا َحيَاة ال ِقص‬
‫َاص فِي َولَكُم‬

“Dan dalam qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal,
supaya kamu bertakwa.” (Qs. al-Baqarah: 179).

2. Mewujudkan keadilan dan menolong orang yang terzalimi, dengan memberikan kemudahan bagi
wali korban untuk membalas kepada pelaku seperti yang dilakukan kepada korban. Karena itulah,
Allah berfirman,

‫طانا ل َِو ِليِّ ِه َجعَلنَا فَقَد َمظلُوما قُتِ َل َو َمن‬


َ ‫صورا كَانَ إِنَّهُ القَت ِل فِّي يُس ِرف فَلَ سُل‬
ُ ‫َمن‬

“Dan Barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan
kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh.
Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (Qs. al-Isra`: 33).

3. Menjadi sarana taubat dan penyucian dari dosa yang telah dilanggarnya, karena qisas
menjadi kafarah (penghapus dosa) bagi pelakunya. Hal ini dijelaskan Rasulullah shallalllahu ‘alaihi
wa sallam dalam sabdanya,

َ ‫اَللِ ت ُش ِركُوا َل أَن‬


‫علَى تُبَايِعُونِي‬ َّ ِ‫علَى فَأَج ُرهُ مِ نكُم َوفَّى فَ َمن اْليَةَ ي ِهم َْعَل قَ َرأ َ ت َزنُوا َو َل ت َس ِرقُوا َو َل شَيئا ب‬ َ ِ‫للا‬ َ ‫ذَ ِلكَ مِ ن أَص‬
َّ ‫َاب َو َمن‬
‫ِب شَيئا‬ َ ‫علَي ِه فَعُوق‬
َ ‫ارة فَ ُه َو‬ َ ‫ست ََرهُ شَيئا ذَ ِلكَ مِ ن أَص‬
َ َّ‫َاب َو َمن لَهُ َكف‬ َ َ‫علَي ِه هُ ّْال َل ف‬
َ ‫للاِ إِلَى فَ ُه َو‬
َّ ‫عذَّبَهُ شَا َء إِن‬ َ ُ‫لَه‬
َ ‫غفَ َر ا َء َْش َوإِن‬

“‘Berbai’atlah kepadaku untuk tidak berbuat syirik, tidak mencuri, dan tidak berzina.’ Beliau
membacakan kepada mereka ayat, (lalu bersabda), ‘Barangsiapa di antara kalian yang
menunaikannya maka pahalanya ada pada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan barangsiapa yang
melanggar sebagiannya lalu di hukum maka hukuman itu sebagai penghapus dosa baginya. (Adapun)
barangsiapa yang melanggarnya lalu Allah tutupi maka urusannya diserahkan kepada Allah, bila Dia
kehendaki maka Dia mengazabnya dan bila Dia menghendaki maka Dia mengampuninya.”
(Muttafaqun ‘alaihi).

Syarat Kewajiban Qisas

Secara umum, wali (keluarga) korban berhak menuntut qisas, apabila telah syarat-syarat berikut ini
telah terpenuhi:

1. Jinayat (kejahatan)-nya termasuk yang disengaja. Ini merupakan ijma’ para ulama, sebagaimana
dinyatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, “Para ulama ber-ijma’ bahwa qisas tidak wajib, kecuali
pada pembunuhan yang disengaja, dan kami tidak mengetahui adanya silang pendapat di antara
mereka dalam kewajibannya (sebagai hukuman pada) pembunuhan dengan sengaja, apabila terpenuhi
syarat-syaratnya.” [9]

2. Korban termasuk orang yang terlindungi darahnya (‘ishmat al-maqtul) dan bukan orang yang
dihalalkan darahnya, seperti orang kafir harbi dan pezina yang telah menikah. Hal ini
karena qisas disyariatkan untuk menjaga dan melindungi jiwa.

3. Pembunuh atau pelaku kejahatan adalah seseorang yang mukalaf, yaitu berakal dan baligh. Ibnu
Qudamah rahimahullah menyatakan, “Tidak ada silang pendapat di antara para ulama bahwa tidak
ada qisas terhadap anak kecil dan orang gila. Demikian juga orang yang hilang akal dengan sebab
uzur, seperti tidur dan pingsan.” [10]

4. At-takafu’ (kesetaraan) antara korban dan pembunuhnya ketika terjadi tindak kejahatan dalam sisi
agama, merdeka, dan budak. Sehingga, seorang muslim tidak di-qisas dengan sebab membunuh orang
kafir, dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

َ‫بِكَافِر ُمسلِم يُقت َ ُل ل‬

“Tidaklah seorang muslim dibunuh (di-qisas) dengan sebab membunuh orang kafir.” [11]

5. Tidak ada hubungan keturunan (melahirkan), dengan ketentuan korban yang dibunuh adalah anak
pembunuh atau cucunya, dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

َ ‫بِ َولَ ِد ِه‬


َ‫الوا ِل ُد يُقت َ ُل ل‬

“Orangtua tidak di-qisas dengan sebab (membunuh) anaknya.” [12]

Syekh as-Sa’di rahimahullah ketika menjelaskan syarat diwajibkannya qisas menyatakan,


“Pembunuh bukan orangtua korban, karena orangtua tidak dibunuh dengan sebab membunuh
anaknya.” [13]

Sedangkan bila anak membunuh orangtuanya, maka si anak tetap terkena keumuman kewajiban qisas.

Syarat Pelaksanaan Qisas

Apabila syarat-syarat kewajiban qisas terpenuhi seluruhnya, maka syarat-syarat pelaksanaannya


masih perlu dipenuhi. Syarat-syarat tersebut adalah:

1. Semua wali (keluarga) korban yang berhak menuntut qisas adalah mukalaf. Apabila yang berhak
menuntut qisas atau sebagiannya adalah anak kecil atau gila, maka hak penuntutan qisas tidak bisa
diwakilkan oleh walinya, sebab pada qisas terdapat tujuan memuaskan (keluarga korban) dan
pembalasan. Dengan demikian, pelaksanaan qisas wajib ditangguhkan, dengan memenjarakan pelaku
pembunuhan hingga anak kecil tersebut menjadi baligh atau orang gila tersebut sadar.

Hal ini dilakukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang memenjarakan Hudbah bin Khasyram
dalam qisas, hingga anak korban menjadi baligh. Hal in dilakukan di zaman para sahabat dan tidak
ada yang mengingkarinya, sehingga seakan-akan menjadi ijma’ di masa beliau.

Apabila anak kecil atau orang gila membutuhkan nafkah dari para walinya, maka wali orang gila saja
yang boleh memberi pengampunan qisas dengan meminta diyaat, karena orang gila tidak jelas kapan
sembuhnya, berbeda dengan anak kecil. [14]

2. Kesepakatan para wali korban terbunuh dan yang terlibat dalam qisas dalam pelaksanaannya.
Apabila sebagian mereka -walaupun hanya seorang- memaafkan si pembunuh dari qisas, maka
gugurlah qisas tersebut. [15]

3. Aman dalam pelaksanaannya dari melampaui batas kepada selain pelaku pembunuhan, dengan
dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

‫طانا ل َِو ِل ِّي ِه َج َعلنَا فَقَد َمظلُوما قُتِ َل َو َمن‬ ُ َ‫صورا كَانَ ِإنَّهُ القَت ِل ِّفي يُس ِرف فَل‬
َ ‫سل‬ ُ ‫َمن‬

“Dan barangsiapa yang dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan
kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh.
Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (Qs. al-Isra`: 33).

Apabila qisas menyebabkan sikap melampaui batas, maka hal tersebut terlarang, sebagaimana
dijelaskan dalam ayat di atas. Dengan demikian, apabila wanita hamil akan di-qisas, maka ia tidaklah
di-qisas hingga ia melahirkan anaknya, karena membunuh wanita tersebut dalam keadaan hamil akan
menyebabkan kematian janinnya. Padahal janin tersebut belum berdosa. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman,

َ‫أُخ َرى ِوز َر َو ِاز َرة ت َِز ُر َول‬

“Dan seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.” (Qs. al-An’am: 164).

Siapakah Yang Berhak Melakukan Qisas?

Yang berhak melakukannya adalah yang memiliki hak, yaitu para wali korban, dengan syarat mampu
melakukan qisas dengan baik sesuai syariat. Apabila tidak mampu, maka diserahkan kepada
pemerintah atau wakilnya. Hal ini tentunya dengan pengawasan dan naungan pemerintah atau
wakilnya, agar dapat mencegah sikap melampai batas dalam pelaksanaannya, serta untuk memaksa
pelaksana menunaikannya sesuai syariat. [16]

Demikianlah beberapa hukum seputar qisas. Mudah-mudahan dapat memberikan pencerahan akan
keindahan dan pentingnya menerapkan qisas di masyarakat kita.
Asuransi Menurut Islam - Presentation Transcript

1. Bissmilahirrahmanirrahim Assalamu’alaikum Wr. Wb


o Asuransi
o Menurut
o Islam
2. Kata Pengantar
o Assalamualaikum wr wb, Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Alloh
SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurah
kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Amin.
o Akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas Pendidikan Agama Islam dengan materi
yang berjudul “ Asuransi menurut islam”.Pembuatan tugas sebagai
o Kelompok yang bertujuan untuk mengupas tuntas masalah Hukum
o Asurasi menurut Islam.
o Kami menyadari bahwa sebagai manusia yang memilik keterbatasan, tentu hasil
karya kami ini tidak mungkin luput dari kekurangan.Semoga
o Allah meridhai hasil karya kami. Amin Ya Robbal ‘alamin.
o Bojonegoro,24 November 2008
o Penulis
3. Pengertian Asuransi pada umumnya :
o 1)Definisi asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan
o perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan kepada nasabah/klien-nya
(muamman) sejumlah harta sebagai konsekuensi dari pada akad itu, baik itu
berbentuk imbalan, Gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun ketika
terjadibencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana
tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara
rutin dan berkala atau secara kontan dari klien/nasabah tersebut (muamman)
kepada perusahaan asuransi (muammin) di saat hidupnya.
o 2)Suatu persetujuan dimana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang
dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian yang
mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari satu peristiwa yang
belum jelas akan terjadi
4. Asuransi Syariah
o Usaha sal i ng melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang atau pihak
melalui investasi dalam bentuk asset atau tabarru’ yang memberikan pola
pengembalian untuk menghadapi r esiko tertentu melalui akad ( perikatan) yang
sesuai syariah.
5. 4 Pendapat Hukum Asuransi dikalangan ulama dan cendekiawan muslim :
o 1) Mengharamkan Asuransi dalam segala macam dan bentuknya sekarang ini,
termasuk Asuransi J iwa.
o 2) Membolehkan semua asuransi dalam praktiknya sekarang ini.
o 3)Membolehkan Asuransi yang bersifat social dan mengharamkan Asuransi yang
bersifat komersial.
o Contoh Asuransi Komersil:- Seseorang mengasuransikan mobilnya atau barang
lainnya yang merupakan barang import dengan biaya sekian dan sekian. Kadang
tidak terjadi apa-apa sehingga uang yang telah dibayarkan itu diambil perusahaan
asuransi begitu saja.
o Ini termasuk judi yang tercakup dalam firman Allah Ta’ala “Sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan” [Al-Maidah : 90]
o 4_Menganggap syubhat.
o Dalam h al ini , sebaiknya berpegang kepada sabda Nabi Muhammad SAW:
o “ Tinggalkan hal-hal yang meragukan kamu (berpeganglah) kepada hal-hal yan g
tidak meragukan kamu.” (HR. Ahmad)
6. Sumber R ujukan Sistem Asuransi :
o Hadist Nabi Muhammad Saw
o “ Seorang mukmin dengan muk m in lainnya dalam suatu masyarakat ibarat suatu
bangunan,dimana tiap bangunan saling mengokohkan satu sama lain: ( HR. Bukhari)
7. 2) Hadist Rasululah yang lain : “ Orang mukmin dalam kecintaan dan kasih say a ng yang
mereka seperti satu badan, apabila salah satu anggota badan menderita sakit maka seluruh
badan mersakannya ( HR. Bukhari dan Muslim )
8. Allah SWT Berfirman :
o “ Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” ( QS. Al- Maidah :
2).
9. . Prinsip-prinsip dasar asuransi syariah
o Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong,
saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT
berfirman,” Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan
jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
o Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
o Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram
hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut
syariat.
o Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan,
harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian
dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang
sangat memerlukan.
o Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan
supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi
ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan
oleh jamaah.
o Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.
10. Ciri-ciri asuransi syari’ah Asuransi syariah
o Akad asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak
boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan
berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika
akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau
jika lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil mudhorobah bukan riba.
o Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi
kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak
bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan
tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi
atau pengurus yang ditunjuk bersama).
o Dalam asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan
dan aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
o Akad asuransi syari’ah bersih dari gharar dan riba.
o Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental
11. . Manfaat asuransi syariah
o Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara anggota.
o Implementasi dari anjuran Rasulullah SAW agar umat Islam salimg tolong menolong.
o Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat.
o Secara umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian
yang diderita satu pihak.
o Juga meningkatkan efesiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan
pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan
banyak tenaga, waktu, dan biaya.
o Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya
tertentu, dan tidak perlu mengganti/ membayar sendiri kerugian yang timbul yang
jumlahnya tidak tertentu dan tidak pasti.
o Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi akan
dikembalikan saat terjadi peristiwa atau berhentinya akad.

Asuransi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa

Asuransi adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada tindakan, sistem, atau bisnis
dimana perlindungan finansial (atau ganti rugi secara finansial) untuk jiwa, properti,
kesehatan dan lain sebagainya mendapatkan penggantian dari kejadian-kejadian yang tidak
dapat diduga yang dapat terjadi seperti kematian, kehilangan, kerusakan atau sakit, dimana
melibatkan pembayaran premi secara teratur dalam jangka waktu tertentu sebagai ganti polis
yang menjamin perlindungan tersebut. [1]

Istilah "diasuransikan" biasanya merujuk pada segala sesuatu yang mendapatkan


perlindungan.[1]

Daftar isi
[tampilkan]

[sunting] Asuransi dalam Undang-Undang No.2 Th 1992

Asuransi dalam Undang-Undang No.2 Th 1992 tentang usaha perasuransian adalah perjanjian
antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada
tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada
tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau
tanggung jawab hukum pihak ke tiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul
dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan
atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Badan yang menyalurkan risiko disebut "tertanggung", dan badan yang menerima risiko
disebut "penanggung". Perjanjian antara kedua badan ini disebut kebijakan: ini adalah sebuah
kontrak legal yang menjelaskan setiap istilah dan kondisi yang dilindungi. Biaya yang
dibayar oleh "tetanggung" kepada "penanggung" untuk risiko yang ditanggung disebut
"premi". Ini biasanya ditentukan oleh "penanggung" untuk dana yang bisa diklaim di masa
depan, biaya administratif, dan keuntungan.
Contohnya, seorang pasangan membeli rumah seharga Rp. 100 juta. Mengetahui bahwa
kehilangan rumah mereka akan membawa mereka kepada kehancuran finansial, mereka
mengambil perlindungan asuransi dalam bentuk kebijakan kepemilikan rumah. Kebijakan
tersebut akan membayar penggantian atau perbaikan rumah mereka bila terjadi bencana.
Perusahaan asuransi mengenai mereka premi sebesar Rp1 juta per tahun. Risiko kehilangan
rumah telah disalurkan dari pemilik rumah ke perusahaan asuransi.

[sunting] Asuransi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)

Definisi Asuransi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), tentang asuransi
atau pertanggungan seumurnya, Bab 9, Pasal 246:[2]

"Asuransi atau Pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung
mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk
memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak
tertentu.” ǍǍ

[sunting] Penanggung menggunakan ilmu aktuaria

Penanggung menggunakan ilmu aktuaria untuk menghitung risiko yang mereka perkirakan.
Ilmu aktuaria menggunakan matematika, terutama statistika dan probabilitas, yang dapat
digunakan untuk melindungi risiko untuk memperkirakan klaim di kemudian hari dengan
ketepatan yang dapat diandalkan.

Contohnya, banyak orang membeli kebijakan asuransi kepemilikan rumah dan kemudian
mereka membayar premi kepada perusahaan asuransi. Bila kehilangan yang dilindungi
terjadi, penanggung harus membayar klaim. Bagi beberapa tertanggung, keuntungan asuransi
yang mereka terima jauh lebih besar dari uang yang mereka telah bayarkan kepada
penanggung. Lainnya mungkin tidak membuat klaim. Kalau dirata-ratakan dari seluruh
kebijakan yang dijual, total klaim yang dibayar keluar lebih rendah dibanding total premi
yang dibayar kepada tertanggung, dengan perbedaannya adalah biaya dan keuntungan.

[sunting] keuntungan perusahaan asuransi

Perusahaan asuransi juga mendapatkan keuntungan investasi. Ini diperoleh dari investasi
premi yang diterima sampai mereka harus membayar klaim. Uang ini disebut "float".
Penanggung bisa mendapatkan keuntungan atau kerugian dari harga perubahan float dan juga
suku bunga atau deviden di float. Di Amerika Serikat, kehilangan properti dan kematian yang
tercatat oleh perusahaan asuransi adalah US$142,3 milyar dalam waktu lima tahun yang
berakhir pada 2003. Tetapi keuntungan total di periode yang sama adalah US$68,4 milyar,
sebagai hasil dari float.

[sunting] Prinsip dasar asuransi

Dalam dunia asuransi ada 6 macam prinsip dasar yang harus dipenuhi, yaitu :

*Insurable interest Hak untuk mengasuransikan, yang timbul dari suatu hubungan keuangan,
antara tertanggung dengan yang diasuransikan dan diakui secara hukum.
*Utmost good faith Suatu tindakan untuk mengungkapkan secara akurat dan lengkap, semua
fakta yang material (material fact) mengenai sesuatu yang akan diasuransikan baik diminta
maupun tidak. Artinya adalah : si penanggung harus dengan jujur menerangkan dengan jelas
segala sesuatu tentang luasnya syarat/kondisi dari asuransi dan si tertanggung juga harus
memberikan keterangan yang jelas dan benar atas obyek atau kepentingan yang
dipertanggungkan.

*Proximate cause Suatu penyebab aktif, efisien yang menimbulkan rantaian kejadian yang
menimbulkan suatu akibat tanpa adanya intervensi suatu yang mulai dan secara aktif dari
sumber yang baru dan independen.

*Indemnity Suatu mekanisme dimana penanggung menyediakan kompensasi finansial dalam


upayanya menempatkan tertanggung dalam posisi keuangan yang ia miliki sesaat sebelum
terjadinya kerugian (KUHD pasal 252, 253 dan dipertegas dalam pasal 278).

*Subrogation Pengalihan hak tuntut dari tertanggung kepada penanggung setelah klaim
dibayar.

*Contribution Hak penanggung untuk mengajak penanggung lainnya yang sama-sama


menanggung, tetapi tidak harus sama kewajibannya terhadap tertanggung untuk ikut
memberikan indemnity.

[sunting] Penolakan asuransi

Beberapa orang menganggap asuransi sebagai suatu bentuk taruhan yang berlaku selama
periode kebijakan. Perusahaan asuransi bertaruh bahwa properti pembeli tidak akan hilang
ketika pembeli membayarkan uangnya. Perbedaan di biaya yang dibayar kepada perusahaan
asuransi melawan dengan jumlah yang dapat mereka terima bila kecelakaan terjadi hampir
sama dengan bila seseorang bertaruh di balap kuda (misalnya, 10 banding 1). Karena alasan
ini, beberapa kelompok agama termasuk Amish menghindari asuransi dan bergantung kepada
dukungan yang diterima oleh komunitas mereka ketika bencana terjadi. Di komunitas yang
hubungan erat dan mendukung di mana orang-orangnya dapat saling membantu untuk
membangun kembali properti yang hilang, rencana ini dapat bekerja. Kebanyakan masyarakat
tidak dapat secara efektif mendukung sistem seperti di atas dan sistem ini tidak akan bekerja
untuk risiko besar.

Halal dan Haram dalam Islam


oleh Yusuf Qardhawi

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


4.2.15.3 Asuransi Menurut Aturan Islam

Kalau kita telah mengetahui, bahwa Islam tidak dapat menerima asuransi model sekarang ini
dengan segala aktivitasnya yang telah berlaku, maka ini bukan berarti Islam menentang
gagasan asuransi itu ansich.

Samasekali tidak demikian! Yang ditentang oleh Islam ialah beberapa prinsip dan caranya.
Adapun jika ada cara-cara lain yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka sudah
pasti Islam akan menyambutnya dengan baik.

Ringkasnya, bahwa aturan Islam telah menjamin ummatnya dan orang-orang yang berada di
bawah naungan pemerintahan Islam dengan cara-cara tersendiri, dalam seluruh peraturan dan
pengarahannya. Ada kalanya jaminannya itu melalui sikap solider dari anggota masyarakat
itu sendiri, dan ada kalanya melalui pemerintah dan lembaga baitul-maal.

Baitul-maal adalah asuransi secara umum untuk semua orang yang bernaung di bawah
pemerintahan Islam.

Dalam syariat Islam ada suatu jaminan dan cara-cara menyalurkannya kepada seseorang yang
sedang mendapat musibah,

Di bab yang terdahulu telah kami sebutkan, bahwa di antara hal-hal yang membolehkan
seseorang meminta, yaitu apabila dia ditimpa kelaparan. Dia boleh minta kepada pemerintah
(waliyul amri), dan waliyul amri akan memberi ganti semua yang dideritanya itu atau yang
kiranya cukup untuk meringankan sebagiannya.

Kita dapati juga suatu jaminan untuk ahli waris karena kematian keluarga, yaitu seperti yang
disabdakan Nabi s.a.w.:

"Saya lebih berhak mengurus setiap muslim daripada dirinya sendiri; barangsiapa meninggalkan
harta, maka harta itu untuk ahli warisnya, dan barangsiapa meninggalkan hutang atau kebangkrutan,
maka untuk saya dan menjadi tanggungan saya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Di antara jaminan Islam terhadap ummatnya, ialah apa yang disebut bagian khusus untuk
orang-orang yang berhutang (gharimin) dalam pembagian zakat.

Sementara ahli tafsir dari ulama-ulama salaf ada yang menafsirkan kata gharimin, yaitu:
orang yang rumahnya terbakar, atau hartanya hanyut oleh banjir dan sebagainya.

Sementara ahli fiqih juga ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan demikian dia boleh
diberi bantuan dari uang zakat, sebanyak harta yang dideritanya itu, sekalipun beribu-ribu
banyaknya.

4.2.16 Memanfaatkan Tanah Pertanian

Apabila seorang muslim memiliki tanah pertanian, maka dia harus memanfaatkan tanah
tersebut dengan bercocoktanam.
Islam samasekali tidak menyukai dikosongkannya tanah pertanian itu, sebab hal tersebut
berarti menghilangkan nikmat dan membuang-buang harta, sedang Rasulullah s.a.w.
melarang keras disia-siakannya harta.

"Rasulullah s.a.w. melarang membuang-buang harta."

Pemilik tanah ini dapat memanfaatkannya dengan berbagai cara.

4.2.16.1 Cara Pemanfaatannya

Cara pertama. Diurus sendiri dengan ditanaminya tumbuh-tumbuhan atau ditaburi benih
kemudian disiram dan dipelihara. Begitulah sampai keluar hasilnya. Cara semacam ini adalah
cara yang terpuji, di mana pemiliknya akan mendapat pahala dari Allah karena tanamannya
itu bisa dimanfaatkan oleh manusia, burung dan binatang ternak. Kebanyakan sahabat Anshar
adalah hidup bercocok-tanam. Mereka urus sendiri tanah-tanah mereka itu, sebagaimana telah
diterangkan terdahulu.

Cara kedua. Kalau dia tidak mungkin dapat mengurus sendiri, maka dipinjamkannya
tanahnya itu kepada orang lain yang mampu mengurusnya dengan bantuan alat, bibit ataupun
binatang untuk mengolah tanah, sedang dia samasekali tidak mengambil hasilnya. Cara
semacam ini sangat dituntut oleh Islam.

Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:

"Barangsiapa memiliki tanah, maka tanamilah atau berikan kepada kawannya." (Riwayat Bukhari dan
Muslim)

Dalam satu riwayat dikatakan demikian:

"Dari Jabir ia berkata: Kami biasa menyewa tanah dengan mendapatkan sebagai dari hasil
(mukhabarah), kemudian kami mendapat hasil tanah itu begini dan begini. Maka sabda Nabi:
barangsiapa memiliki tanah, maka tanamilah sendiri atau suruhlah saudaranya untuk menanaminya,
kalau tidak, tinggalkanlah." (Riwayat Ahmad dan Muslim)

Berdasar dhahir hadis ini sementara ulama salaf berpendapat, bahwa pemanfaatan tanah
hanya dapat ditempuh dengan salah satu dua cara:

1. Mungkin ditanaminya sendiri, atau


2. Mungkin diserahkan kepada orang lain untuk ditanami tanpa imbalan suatu apapun. Yakni
pengawasan terhadap tanah dilakukan oleh pemiliknya sedang hasilnya diambil oleh yang
mengerjakannya.

Ibnu Hazm meriwayatkan dengan sanadnya sendiri sampai kepada al-Auza'i, bahwa ia
berkata: "Atha', Makhul, Mujahid dan Hasan Basri semuanya berpendapat, bahwa tanah yang
tidak ditanami, tidak boleh disewakan dengan dirham maupun dinar dan tidak juga
dipekerjakan, melainkan harus ditanami oleh si pemiliknya sendiri atau diberikannya kepada
orang lain."
Diriwayatkan, bahwa Abdullah bin Abbas berpendapat, bahwa perintah memberi tanah dalam
hadis-hadis di atas, bukan wajib tetapi hanya sunnat belaka.

Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa 'Amr bin Dinar berkata: aku berkata kepada Thawus,
salah seorang rekan Ibnu Abbas: kalau kamu tinggalkan mukhabarah, maka mereka akan
beranggapan, bahwa Nabi melarangnya. Kemudian Thawus berkata: orang yang lebih tahu,
yakni Ibnu Abbas, pernah memberitahukan kepadaku, bahwa Rasulullah s.a.w. tidak
melarangnya, cuma beliau bersabda demikian:

"Sungguh salah seorang di antara kamu akan memberikan tanahnya kepada kawannya, lebih baik
daripada dia mengambil atas tanahnya itu hasil yang ditentukan." (Riwayat Bukhari)

Cara ketiga, ialah cara muzara'ah, yaitu pemilik tanah menyerahkan alat, benih dan hewan
kepada yang hendak menanaminya dengan suatu ketentuan dia akan mendapat hasil yang
telah ditentukan, misalnya: 1/2, 1/3 atau kurang atau lebih menurut persetujuan bersama.

Boleh juga si pemilik tanah itu membantu kepada yang hendak menaminya berupa bibit, alat
atau hewan.

Cara seperti ini disebut: muzara'ah, musagaat atau mukhabarah.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim diterangkan, bahwa
Rasulullah s.a.w. menyewakan tanah kepada penduduk Khaibar dengan perjanjian separuh
hasilnya untuk pemilik tanah.

Hadis ini diriwayatkan oleh beberapa orang sahabat, di antaranya: Ibnu Umar, Ibnu Abbas
dan Jabir bin Abdullah.

Hadis ini dijadikan alasan oleh orang yang membolehkan muzara'ah; dan mereka berkata:
"Muzara'ah adalah perkara yang baik dan sudah biasa berlaku, yang juga dikerjakan oleh
Rasulullah s,a.w. sampai beliau meninggal dunia, kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur
Rasyidin sampai mereka meninggal dunia. Dan kemudian diikuti oleh orang-orang
sesudahnya. Sehingga tidak seorang pun ahli bait Nabi di Madinah yang tidak mengerjakan
hal ini. Dan begitu juga isteri-isteri Nabi s.a.w. sepeninggal beliau."

Cara seperti ini tidak boleh dianggap mansukh.19 Sebab terjadinya mansukh harus semasa
hidup Rasulullah s.a.w. Adapun sesuatu yang dikerjakan oleh Nabi sampai beliau meninggal
dunia, dan kemudian disepakati oleh para khalifahnya dan mereka pun mengerjakannya, dan
tidak seorangpun yang menentangnya, maka bagaimana mungkin hal semacam ini dianggap
mansukh? Kalau hal itu dimansukh semasa hidup Nabi, tetapi mengapa beliau sendiri
mengerjakannya sesudah dimansukhnya hukum tersebut? Mengapa mansukhnya itu justru
dirahasiakan sehingga tidak seorang khalifah pun yang menyampaikan hal itu, padahal kisah
Khaibar ini sangat masyhur di kalangan mereka? Siapakah perawi mansukh ini, sehingga
mereka tidak menyebut dan dia sendiri tidak menyampaikan hal itu kepada para sahabat yang
lain?
harta orang lain tanpa adanya imbalan yang memadai. Sedangkan, dalam kamus al-
Munawir "arba rajulun" mengambil lebih banyak ari pada yang ia berikan (pinjamkan).

Sehubungan dengan arti kata riba dari segi bahasa tersebut, ada ungkapan orang

arab kuno yang menyatakan sebagai berikut; arba fulan 'ala fulan idha azada 'alahi

(seseorang melakukan riba (arba) jika di dalamnya terdapat tambahan.

Ada beberapa ayat al-Quran yang mempunyai arti tambahan. Misalnya, surah al-Hajj: 5;

….dan kamu lihat bumi itu kering, kemudian apabila telah kami turunkan aiur di

atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam
tumbuhan yang indah.

Arti kata riba dalam surat ini adalah bertambahnya kesuburan atas tanah. Sejalan

dengan ini, bisa juga dilihat dalam surat an-Nahl : 92;

……... disebabkan adanya satu golongan yang lebih benayuak jumlahnya (arba) dari

golongan yang lain.

Pengertian di atas masih secara umum sifatnya, dan belum menentukan jenis

riba apa yang diharamkan. Menurut sebagian para mufassir, jika suatu kata mendapat

kata sandang (alif dan lam), maka kata tersebut menunjuk terhadap suatu kasus tertentu.

Misalnya seperti kata al-riba yang dimaksud adalah praktik pengambilan untung dari

debitur yang sudah biasa berlaku di kalangan orang arab pra-islam ketika alQuran

diturunkan. Dengan pemahanan ini, dapat di simpulkan bahwa untuk memahami suatu

ayat maka dibutuhkan suatu pengetahuan tentang sebab-sebab yang melatarbelakangi

turunnya ayat tersebut. Setelah itu, barulah para ulama membuat definisi sesuai dengan

pemahaman mereka. Begitu juga dengan definisi tentang riba di sini para ulama

memberikan definisinya setelah mereka mendalami suatu ayat tersebut " riba adalah

bunga kredit yang harus diberikan oleh orang yang berhutang (kreditor) kepada orang

yang berpiutang (debitor), sebagai imbalan untuk menggunakan sejumlah uang milik

debitor dalan jangka waktu yang telah ditetapkan.

Pandangan mufassir sekitar ayat-ayat riba


a.Al-Quran
Ada sejumlah ayat al-Quran dan beberapa sunnah nabi yang membicarakan riba. Tetapi ayat-ayat

al-Quran tersebut, hanya membicarakan riba yang berhubungan dengan pinjam-meminjam. Sementara riba

jual beli dibahas dalam sunah nabi.

Ayat-ayat al-Quran, yang umumnya dicatat ulama, ketika berbicara tentang riba adalah

al-Baqarah:278-279, al-Imran:130-131, an-Nisa:160-161, ar-Rum:39.

1.al-Baqarah:278-279

2.al-Imran:130-131

3.an-Nisa:160-161

4.ar-Rum:39

Dengan memperhatikan ayat-ayat tersebut di atas, ada ayat yang secara tegas

mengharamkan riba. Ada juga yang memang tegas melarang, tapi masih berupa

gambaran umum dan belum mencakup seluruh.

Dilihat dari turunnya ayat, ternyata tidak cuma hanya satu ayat yang turun

menjelaskan tentang haramnya perbuatan riba. Dengan kata lain, dalam mengobati

penyakit social, al-Quran menggunakan cara yang berangsur-angsur. Seperti pelarangan

dalan riba, al-Quran tidak langsung mengatakan hukumnya haram, tetapi menggunakan

teori bertahap dan berangsur-angsur sedikit demi sedikit.

Menurut para mufasir dan fuqaha, ayat yang pertama diturunkan adalah surah ar- Rum:39. Pada

ayat ini terlihat bahwa al-Quran belum mengharamkan riba secara tegas. Tetapi hanya memberi penjelasan,

bahwa Allah membenci memberikan sesuatu kepada orang lain dengan harapan untuk mendapat tambahan

atau kelebihan dan perlu dicatat, bahwa ayat ini merupaka ayat yang diturunkan di mekkah.

Tahapan kedua adalah ayat yang diturunkan di Madinah, yaitu an-Nisa:160-161,

pada ini, Allah memberi cerita orang-orang yahudi yang telah mengambil riba dari

orang lain dan memakannya dengan keyakinan, bahwa riba dihalalkan bagi mereka.

Padahal Allah telah mengharamkannya. Ayat ini pun belum memberikan penjelasan

secara tegas memberikan larangan riba kepada orang Islam. Melainkan masih bersifat

pemberitaan gambaran kejahatan orang-orang Yahudi.


Tahapan berikutnya, ayat 130-131 surat al-Imran, masih sama dengan yang

sebelumya diturunkan di madinah. Dari ayat ini terlihat jelas tentang pengharaman riba,

namun masih bersifat parsial, belum secara menyeluruh. Sebab pengharaman riba pada

ayat ini baru pada riba yang berlipat ganda (adh'afan mudha'afah) dan sangat

memberatkan bagi sepeminjam, disejajarkan dengan larangan melakukan shalat bagi

orang yang sedang mabuk.

Tahapan keempat surat al-Baqarah:275-279. Dengan turunnya ayat ini, khusus

278, menurut umumya ulama, menjadi dasar pengharaman semua bentuk riba, baik sedikit Maupun

banyak. Pengaharaman di sini sama dengan pengaharaman minum khamar pada akhirnya dilarang secara

tegas dan jelas.

b.Sunah Nabi
Beberapa hadis yang membicarakan riba, misalnya bisa dilihat sebagai berikut:

1.Nabi bersabda; emas dengan emas sebanding, perak dengan perak sebanding,

korma dengan korma sebanding, garam dengan garam sebanding, gandum

dengan gandum sebanding, barang siapa yang meanambah dan meminta

tambahan, maka sesungguhnya dia melakukan riba, juallah emas dengan perak

terserah kepadamu dengan kontan dan juallah gandum dengan korma terserah

kepada mu dengan kontan dan juallah sha'r dengan korma terserah kepada mu

dengan kontan.

2.Sunah lain sabda nabi yuang mengatakan: emas dengan emas perak dengan

perak, gandum dengan gandum, sha'r dengan sha'r, korma dengan korma, dan

garam dengan garam, sebanding sama dan juga harus kontan. Karena itu,

apabila jenis ini berbeda, maka juallah sekehendakmu asalkan kontan. (HR.

Muslim).

3.Bahwa nabi Muhammad saw memperkerjakan seorang di daerah khaibar,

kamudian orang datang kepada beliau membawa korma yang baik, lalu beliau

bertanya "apa semua korma khaibar seperti ini? Orang itu menjawab tidak, demi

Allah wahai Rasulullah, kami mengambil (menukar) satu sha dari jenis ini
dengan dua sha jenis yang lain. Lalu Rasulullah bersabda; janganlah berbuat

begitu, juallah kurma yang jelek dengan dirham, kemudian belilah kurma

dengan dirhamn itu. (HR. Bukhari dan Muslim).

c.Penjelasan Mufassir

Menurut Muhammad Ali al-Shaubuni, bahwa semua bentuk riba hukumnya

haram. Beliau membantah terhadap orang yang berpendapat bahwa riba hanya terdapat

pada perlipatan ganda; pertama, lipat ganda bukanlah sebuah syarat dan bukan juga

Qayyid. Tujuan dari ungkapan ini, hanya mengungkapkan tentang betapa banyak

jumlah orang arab pra-islam yang melakukan praktek riba semacam ini. Kedua, kaum

muslim sudah sepakat (ijma) tentang pengharaman riba, baik sedikit ataupun banyak

suatu preventif harus diusahakan jauh-jauh sebelumnya. Ketiga, ayat-ayat yang

melarang riba tidak membedakan antara sedikit dengan banyak. Untuk menguatkan

pendapat ini, ash-Shaubuni menulis ayat-ayat yang melarang riba dalam surat al-

Baqarah dan al-Imran. Kemudian ditambah dengan hadis nabi yang diriwayatkan dari

jabir bahwa "akan dilaknat orang-orang yang memakan, memberi, penulis dan sanksi

dalam riba, dan mereka semua itu mempunyai hukuman atau status yang sama."

Setelah menyimpulkan kajian ini, ash-Shabuni menulis rahasia pengharama riba

yang menurutnya, minimal ada tiga; bagi diri sendiri, bagi masyarkat dan pemborosan,

hitungannya dengan rahasia pertama, bagi diri sendiri, menurut al-Shaubuni, bahwa

dengan riba akan membuat orang mempuyai sifat individualis, yang hanya memikirkan

kepentingan dirinya sendiri dan tidak peduli dengan kepentingan orang lain. dengan riba

seseorang hanya senantiasa berpikir apa yang menguntungkan bagi dirinya sendiri,

tanpa berpikir apakah hal itu merugikan orang lain atau tidak.

Hubungannya dengan efek negative kepada masyarakat yang ada di sekeliling

pelaku riba, bahwa dengan melakukan riba, akan memunculkan kebencian dan

permusuhan sebaliknya sifat saling tolong menolong dan cinta mencintai atau sayang

menyayangi akan musnah. Semantara agama sendiri senantiasa menganjurkan untuk

senantiasa saling tolong menolong dan sayang menyayangi antara sesama manusia.
Dengan demikian, efek negative melakukan riba, di dalam kehidupan masyarakat,

benar-benar bertentangan dengan tuntunan agama.

Sejalan dengan itu, pelaku riba ini menurut ash-Shaubuni, juga akan mempunyai

sifat pemborosan, sebuah sifat yang jelas-jelas dilarang oleh agama. Sebab itu sudah

menjadi kebiasaan, kalau seseorang mendapatkan harta dengan jalan yang mudah,

biasanya akan sangat mudah juga menghambur-hamburkannya, yang berarti akan

memunbuhkan sifat pemboros.

Pengaharaman prilaku riba ekonomi yang mengandung muatan riba muncul

sebagai konsekuensi dari kasus yang dipraktekkan masyarakat arab pra-Islam

(jahilliayah) yang berakibat adanya penindasan sehingga muncul riba jahiliyah.

Setelah mencatat beberapa riwayat yang menceritakan perilaku bangsa arab pra-
islam, ash-Shaubuni mengatakan bahwa praktek riba yang diaklukan pra-Islam adalah
adh'afan mudha'fah. Namun yang mengharamkan riba bukan Karena unsur itu, tetapi
llebih karena adanya unsur penganiayan (dhulum). Hal ini dipertegas dengan surah al- Baqarah/279 (kalau
kamu bertobat, maka bagi kamu pokok modal, dan janganlah menganiaya dan mau dianiaya)

Anda mungkin juga menyukai