Anda di halaman 1dari 11

LARINGITIS

I. ANATOMI LARING
Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan suatu
rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi vertebra
cervicalis IV – VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi.
Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya kadang-kadang saja tertutup bila sedang
menelan makanan.

Gambar 1. Anatomi Laring


( Sumber: Trialsight Medical Media,2008)

Lokasi laring dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi dimana


didapatkannya kartilago tiroid yang pada pria dewasa lebih menonjol k edepan dan
disebut Prominensia Laring atau disebut juga Adam’s apple atau jakun.
Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat Aditus Laringeus yang
berhubungan dengan Hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior

1
kartilago krikoid dan berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan dari
vertebra cervicalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum laringofaring serta
disebelah anterior ditutupi oleh fascia, jaringan lemak, dan kulit. Sedangkan di
sebelah lateral ditutupi oleh otot-otot sternokleidomastoideus, infrahyoid dan lobus
kelenjar tiroid.
Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago tiroidea
di sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. Os Hyoid dihubungkan
dengan laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini merupakan tempat melekatnya
otot-otot dan ligamenta serta akan mengalami osifikasi sempurna pada usia 2 tahun.
Secara keseluruhan laring dibentuk oleh sejumlah kartilago, ligamentum dan
otot-otot.

II. FISIOLOGI LARING


Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi
disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut :
1. Fungsi Fonasi
Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara
dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi
antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan
udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi seperti
rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada dasar yang
dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring berperan
penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa
ujungujung bebas dan tegangan pita suara sejati. Ada 2 teori yang mengemukakan
bagaimana suara terbentuk :
a. Teori Myoelastik – Aerodinamik.
Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak langsung
menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-otot laring akan
memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam berbagai variasi) dan menegangkan
2
plika vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-otot pernafasan dan tekanan pasif dari
proses pernafasan akan menyebabkan tekanan udara ruang subglotis meningkat, dan
mencapai puncaknya melebihi kekuatan otot sehingga celah glotis terbuka. Plika
vokalis akan membuka dengan arah dari posterior ke anterior. Secara otomatis bagian
posterior dari ruang glotis yang pertama kali membuka dan yang pertama kali pula
kontak kembali pada akhir siklus getaran. Setelah terjadi pelepasan udara, tekanan
udara ruang subglotis akan berkurang dan plika vokalis akan kembali ke posisi saling
mendekat (kekuatan myoelastik plika vokalis melebihi kekuatan aerodinamik).
Kekuatan myoelastik bertambah akibat aliran udara yang melewati celah sempit
menyebabkan tekanan negatif pada dinding celah (efek Bernoulli). Plika vokalis akan
kembali ke posisi semula (adduksi) sampai tekanan udara ruang subglotis meningkat
dan proses seperti di atas akan terulang kembali.
b. Teori Neuromuskular
Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan bahwa awal dari getaran
plika vokalis adalah saat adanya impuls dari sistem saraf pusat melalui N. Vagus,
untuk mengaktifkan otot-otot laring. Menurut teori ini jumlah impuls yang
dikirimkan ke laring mencerminkan banyaknya / frekuensi getaran plika vokalis.
Analisis secara fisiologi dan audiometri menunjukkan bahwa teori ini tidaklah benar
(suara masih bisa diproduksi pada pasien dengan paralisis plika vokalis bilateral).

2. Fungsi Proteksi
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-otot
yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan, pernafasan
berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis,
plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui serabut
afferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan epiglotis menutup.
Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring tertutup
oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan
masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.

3
3. Fungsi Respirasi
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga
dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga kontraksinya
menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2
dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat pembukaan rima
glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis.
Hiperkapnia dan obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris,
sedangkan peningkatan pO2 arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan
laring. Tekanan parsial CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi
pita suara.

4. Fungsi Sirkulasi.
Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian
tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan dinding
laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti
jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari
reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N.
Laringeus Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila serabut ini
terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut jantung.

5. Fungsi Fiksasi
Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi,
misalnya batuk, bersin dan mengedan.

6. Fungsi Menelan.
Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat
berlangsungnya proses menelan, yaitu :
Pada waktu menelan faring bagian bawah (M. Konstriktor Faringeus Superior, M.
Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago

4
krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju basis lidah,
kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal.
Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran
pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh
epiglotis. Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus
laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus
laring dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.

7. Fungsi Batuk.
Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup,
sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak
menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi benda
asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada mukosa
laring.

8. Fungsi Ekspektorasi
Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha
mengeluarkan benda asing tersebut.

9. Fungsi Emosi.
Perubahan emosi dapat meneybabkan perubahan fungsi laring, misalnya pada
waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.

III. LARINGITIS
A. DEFINISI
Laringitis adalah peradangan pada laring yang dapat disebabkan oleh virus,
bakteri, atau jamur. Laringitis juga merupakan akibat dari penggunaan suara yang
berlebihan, pajanan terhadap polutan eksogen, atau infeksi pada pita suara. Refluks
gastroesofageal, bronkitis, dan pneumonia juga dapat menyebabkan laringitis.
Laringitis pada anak sering diderita oleh anak usia 3 bulan hingga 3 tahun, dan
5
biasanya disertai inflamasi pada trakea dan bronkus dan disebut sebagai penyakit
croup. Penyakit ini seringkali disebabkan oleh virus, yaitu virus parainfluenza,
adenovirus, virus influenza A dan B, RSV, dan virus campak.

B. ETIOLOGI
Terjadinya radang atau pembengkakan pada laring bisa disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain:
 Kerusakan pada pita suara karena adanya percepatan vibrasi pada organ
tersebut yang melebihi batas ketahanan, misalnya akibat penderita berteriak
terlalu keras atau bernyanyi dengan suara yang tinggi. Selain itu, kerusakan pita
suara juga dapat terjadi akibat batuk berkepanjangan dan trauma saat penderita
melakukan aktivitas fisik atau trauma akibat kecelakaan.
 Infeksi virus, bakteri, dan jamur. Virus yang umum menyebabkan laringitis
adalah virus flu dan pilek, dari golongan bakteri salah satunya adalah bakteri
penyakit difteria, dan dari jenis jamur salah satunya adalah Candida yang juga
menyebabkan penyakit sariawan. Infeksi jamur dan bakteri pada kasus laringitis
sebenarnya jarang terjadi dibandingkan infeksi virus. Biasanya infeksi jamur
rentan dialami oleh orang-orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang
lemah, misalnya akibat efek samping obat steroid, kemoterapi, atau akibat
penyakit HIV/AIDS.
 Reaksi alergi terhadap suatu zat kimia atau paparan debu.
 Naiknya asam lambung ke tenggorokan lewat kerongkongan pada kasus
penyakit refluks gastroesofageal atau GERD. Jika asam lambung mencapai
tenggorokan maka risiko untuk terjadinya iritasi laring cukup tinggi.
 Mengering dan teriritasinya laring akibat merokok dan konsumsi minuman
beralkohol. Sama seperti kasus GERD, peluang terjadinya infeksi pada laring
yang teriritasi juga cukup tinggi.
Berdasarkan rentang waktu timbulnya gejala, laringitis dibagi dua, yaitu
laringitis jangka pendek (akut) dan laringitis jangka panjang (kronis). Laringitis

6
akut lebih sering disebabkan oleh infeksi virus, sedangkan laringitis kronis lebih
sering disebabkan oleh reaksi alergi, iritasi dari asam lambung, asap rokok, serta
minuman keras.

C. KLASIFIKASI
1. Laringitis Akut
Laringitis akut adalah radang akut laring, dapat disebabkan oleh virus dan bakteri.
Keluhan berlangsung < 3 minggu dan pada umumnya disebabkan oleh infeksi virus
influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus dan adenovirus.
Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae, Branhamella catarrhalis, Streptococcus
pyogenes, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumoniae.

2. Laringitis Kronik
Laringitis kronik dapat terjadi setelah laringitis akut yang berulang, dan juga
dapat diakibatkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum berat, polip hidung, bronkitis
kronik, refluks laringofaring, merokok, pajanan terhadap iritan yang bersifat konstan,
dan konsumsi alkohol berlebih. Tanda dari laringitis kronik ini yaitu nyeri
tenggorokan yang tidak signifikan, suara serak, dan terdapat edema pada laring.
Mungkin juga disebabkan penyalahgunaan suara (vocal abuse) seperti berteriak-teriak
atau bicara keras.

3. Laringitis Kronik Spesifik


a. Laringitis tuberkulosa Penyakit ini disebabkan tuberkulosis paru. Setelah diobati,
biasanya tuberkulosis paru sembuh namun laringitis tuberculosis menetap
(membutuhkan pengobatan yang lebih lama), karena struktur mukosa laring sangat
lekat pada kartilago serta vaskularisasi tidak sebaik paru.
Terdapat 4 stadium:
Stadium Infiltrasi

7
Mukosa laring membengkak, hiperemis (bagian posterior), dan pucat.
Terbentuk tuberkel di daerah submukosa, tampak sebagai bintik-bintik kebiruan.
Tuberkel membesar, menyatu sehingga mukosa di atasnya meregang. Bila pecah akan
timbul ulkus.
Stadium Ulserasi
Ulkus membesar, dangkal, dasarnya ditutupi perkejuan dan terasa nyeri oleh
pasien
Stadium Perikondritis
Ulkus makin dalam mengenai kartilago laring, paling sering terkena kartilago
aritenoid, dan epiglottis. Terbentuk nanah yang berbau sampai terbentuk sekuester.
Pada stadium ini keadaan pasien buruk dan dapat meninggal. Bila bertahan maka
berlanjut ke stadium akhir yaitu stadium fibrotuberkulosis
Stadium Fibrotuberkulosis
Terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita suara, dan subglotik.

D. TANDA DAN GEJALA


1. Pasien datang dengan keluhan suara serak atau hilang suara (afonia).
2. Gejala lokal seperti suara parau, seperti suara yang kasar atau suara yang
susah keluar atau suara dengan nada lebih rendah dari suara yang biasa/normal
bahkan sampai tidak bersuara sama sekali(afoni). Hal ini terjadi karena gangguan
getaran serta ketegangan dalam pendekatan kedua pita suara kiri dan kanan.
3. Sesak nafas dan stridor.
4. Nyeri tenggorokan, terutama nyeri ketika menelan atau berbicara.
5. Gejala radang umum, seperti demam, malaise.
6. Batuk kering yang lama kelamaan disertai dengan dahak kental.
7. Gejala common cold, seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan,
sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan demam dengan
temperatur yang tidak mengalami peningkatan dari 38o C.

8
8. Obstruksi jalan nafas apabila ada edema laring diikuti edema subglotis yang terjadi
dalam beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada anak berupa anak menjadi
gelisah, nafas berbunyi, air hunger, sesak semakin bertambah berat.
9. Laringitis kronik ditandai dengan afonia yang persisten. Pada pagi hari, biasanya
tenggorokan terasa sakit namun membaik pada suhu yang lebih hangat. Nyeri
tenggorokan dan batuk memburuk kembali menjelang siang. Batuk ini dapat juga
dipicu oleh udara dingin atau minuman dingin.

E. FAKTOR RESIKO
1. Penggunaan suara yang berlebihan.
2. Pajanan terhadap zat iritatif seperti asap rokok dan minum-minuman alkohol.
3. Adanya refluks laringofaringeal, bronkitis, dan pneumonia.
4. Rhinitis alergi.
5. Perubahan suhu yang tiba-tiba.
6. Malnutrisi.
7. Keadaan menurunnya sistem imun atau daya tahan tubuh.

F. PEMERIKSAAN FISIK DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Fisik
Laringoskopi indirek (khusus untuk pasien dewasa):
1. Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukosa laring yang hiperemis dan
membengkak terutama di bagian atas dan bawah pita suara.
2. Biasanya terdapat tanda radang akut di hidung atau sinus paranasal.
3. Pada laringitis kronik, dapat ditemukan nodul, ulkus dan penebalan mukosa pita
suara.

Pemeriksaan Penunjang
1. Foto rontgen soft tissue leher AP lateral: bisa tampak pembengkakan jaringan
subglotis (Steeple sign). Tanda ini ditemukan pada 50% kasus.

9
2. Foto toraks AP.
3. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap.

Penegakan Diagnostik (Assessment)


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang jika diperlukan.

G. PENATALAKSANAAN
1. Non-medikamentosa
a. Istirahat suara (vocal rest).
b. Rehabilitasi suara (voice therapy), bila diperlukan.
c. Meningkatkan asupan cairan.
d. Bila terdapat sumbatan laring dilakukan pemasangan pipa endotrakea, atau
trakeostomi.
2. Medikamentosa
a. Parasetamol atau Ibuprofen sebagai antipiretik dan analgetik.
b. Pemberian antibiotik dilakukan bila peradangan dari paru dan bila penyebab
berupa Streptokokus grup A ditemukan melalui kultur. Pada kasus ini, antibiotik
yang dapat digunakan yaitu golongan Penisilin.
c. Proton Pump Inhibitor pada laringitis yang disebabkan oleh refluks
laringofaringeal.
d. Kortikosteroid dapat diberikan jika laringitis berat.
e. Laringitis tuberkulosis: obat antituberkulosis.
f. Laringitis luetika: penisilin dengan dosis tinggi.

Rencana Tindak Lanjut


Pemeriksaan laringoskopi indirek kembali untuk memeriksa perbaikan organ laring.

10
Konseling dan Edukasi
Memberitahu pasien dan keluarga untuk:
1. Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga
teratur.
2. Menghentikan merokok.
3. Mengistirahatkan pasien berbicara dan bersuara atau tidak bersuara berlebihan.
4. Menghindari makanan yang mengiritasi atau meningkatkan asam lambung.

11

Anda mungkin juga menyukai