Kategori : Aqidah
Lagi : Tauhid Mulkiyah/Hakimiyyah bukan dari Islam
Beliau menjawab : "Al-Hakimiyah adalah bagian dari 'Tauhid Uluhiyah". Mereka yang
mendengung-dengungkan kalimat yang 'muhdats' tadi di zaman ini bukanlah
untuk mengajari kaum muslimin tentang tauhid yang dibawa oleh para nabi dan para
rasul seluruhnya, melainkan hanyalah sebagai senjata politik. Karena itu aku akan tetap
menyatakan untuk kalian apa yang telah aku ucapkan tadi, walaupun sebenarnya sudah
berulang kali ditanyakan dan berulang kali aku menjawabnya. Atau kalau kau suka kita
lewatkan saja apa yang sedang kita bahas.
Dalam satu kesempatan seperti ini aku telah menyampaikan pendukung apa yang telah
aku ucapkan tadi bahwa penggunaan kata 'hakimiyah' adalah pelengkap dakwah politik
yang merupakan ciri khas beberapa 'hizb-hizb' yang ada pada hari ini. Pada kesempatan
ini aku sampaikan satu kisah yang terjadi antara aku dengan salah seorang 'khatib' di
salah satu masjid di Damaskus. Pada hari Jum'at dia berkhutbah yang seluruhnya berkisar
tentang 'hakimiyah' bagi Allah Azza wa Jalla. Kemudian dia keliru dalam salah satu
masalah fiqh.
Ketika selesai shalat Jum'at aku maju kepadanya, aku ucapkan salam kepadanya dan aku
katakan kepadanya : "Wahai saudaraku engkau berbuat seperti ini dan hal itu adalah
menyelisihi sunnah". Dia menjawab : "Aku
adalah orang yang bermadzhab Hanafi yang berpedapat dengan apa yang aku kerjakan
itu". Aku berkata : "Subhanallah', engkau berkhutbah bahwa 'hakimiyah' milik Allah Azza
wa Jalla dan kalian menggunakan kata itu hanya sekedar untuk memerangi orang-orang
yang kalian anggap sebagai hakim-hakim yang telah kafir karena tidak berhukum dengan
syari'at Islam.
Sedangkan kalian lupa pada diri kalian sendiri bahwa 'hakimiyah' itupun mencakup setiap
muslim. Maka mengapa sekarang ketika kusebutkan kepadamu bahwa Rasul berbuat
seperti ini, engkau mengatakan bahwa madzhabku demikian. Berarti engkau menyelisihi
apa yang kau dakwahkan. Maka, kalau saja tidak karena mereka mengambil kata tersebut
sebagai pengantar dakwah politik, tentu kami akan katakan : "Inilah dagangan kami
kembali kepada kami".[1]
Adapun dakwah yang manusia kami seru kepadanya di sana terdapat 'hakimiyah' dan
selain 'hakimiyah' yaitu 'tauhid uluhiyah' sebagai tauhid ibadah yang termasuk di
dalamnya apa yang mereka dengung-dengungkan. Atas apa yang kalian sebut-sebut
ketika kalian mendengung-dengungkan 'tauhid hakimiyah', maka kami menyebarkan
hadits Hudzaifah Ibnul Yaman bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan
kepada para sahabatnya ayat-ayat mulia.
Adi bin Hatim Ath-Tha'i mengatakan : "Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak pernah
menjadikan mereka sebagai rabb-rabb selain Allah". Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda : "Bukankah jika mereka mengharamkan untuk kalian apa yang halal,
maka kalian mengharamkannya ; dan jika mereka menghalalkan untuk kalian perkara
yang haram maka kalian menghalalkannya ?" Dia berkata : "Kalau demikian memang
terjadi". Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Itulah berarti kalian
menjadikan mereka sebagai rabb-rabb selain Allah".
Kami juga yang menyebarkan hadits ini sampai kepada orang-orang lain hingga
kemudian mereka mengembangkan dari 'tauhid Uluhiyah' atau tauhid ibadah dengan
penamaan yang bid'ah dengan tujuan politik. Maka saya tidak berpendapat adanya istilah
seperti ini. Kalau saja mereka mengucapkannya hanya dengan pengakuan tanpa
mengamalkan konsekuensinya sebagaimana yang aku sebutkan tadi bahwa dia sudah
termasuk dalam tauhid ibadah, tetapi kamu lihat mereka beribadah kepada Allah sesuai
dengan apa yang mereka sepakati.
Dan jika dikatakan sebagaimana yang kita sebut dalam kisah tadi bahwa amal ini
menyelisihi sunnah atau menyelisihi ucapan Rasul, dia berkata : "Ini Madzhabku".
'Alhakimiyah bagi Allah bukan berarti hanya menentang orang-orang kafir dan musyrik
saja, akan tetapi juga menentang orang-orang yang melanggar hukum seperti orang-orang
yang beribadah kepada Allah tanpa sesuai dengan apa yang datang dari Allah dalam
kitab-Nya dan dari Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sunnahnya.
Inilah yang ada dalam benakku tentang jawaban terhadap pertanyaan seperti
ini.
----------
[1] Ini adalah potongan terjemah ayat yang mengisahkan Nabi Yusuf yang maksud beliau
adalah bahwa ucapan orang tadi tentang 'hakimiyah' kalau saja benar yang dimaksudkan
adalah mengajak berhukum dengan hukum Allah tentu kata itu adalah dalil buat Syaikh
Al-Albani dalam membantah 'muta'ashib' (orang yang ta'ashub) dengan madzhab Hanafi
tadi. Yakni berhukumlah dengan hukum kitab wa sunnah jangan berhukum dengan
hukum madzhab tertentu.
Yang demikian itu karena 'al-hakimiyah' termasuk dalam tauhid 'rububiyah' dari sisi
bahwasanya Allah menghukum dengan apa-apa yang Dia kehendaki. Ia juga termasuk
dalam tauhid 'uluhiyah' (dari sisi), karena setiap hamba wajib beribadah kepada Allah
dengan hukum Allah. Dengan demikian 'hakimiyah' tidak keluar dari tiga jenis tauhid,
yaitu tauhid 'rububiyyah' tauhid 'uluhiyah' dan tauhid 'asma wa sifat'.
Ketika beliau ditanya tentang cara membantah mereka, beliau menjawab : "Saya
membantah mereka dengan bertanya kepada mereka : Apa makna 'al-hakimiyah ?'
Tidak lain mereka akan mengatakan : 'inil hukmu illa lillah (tidak ada hukum selain
hukum Allah). Padahal ini adalah tauhid 'rububiyah' Allah. Dia adalah 'Ar-Rabb' (Yang
Memelihara), 'Al-Khaliq' (Yang Menciptakan), 'Al-Malik' (Yang Memiliki), 'Al-
Mudabbir' (Yang Mengatur segala urusan).
Adapun tentang maksud dan niat ucapan mereka ini, sesungguhnya kita tidak
mengetahuinya, maka ita tidak bisa memastikannya.
Ketika seorang muslim memperhatikan kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sunnah
Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, dia akan mendapati bahwa tauhid ada tiga
macam.
1. Tauhid rububiyah yang juga diyakini oleh kaum musyrikin seluruhnya dan tidak ada
seorangpun yang menentangnya, yaitu keyakinan bahwa Allah adalah Rabb dan Khaliq
(Pencipta) segala sesuatu. Semua jiwa diciptakan di atas tauhid ini. Bahkan Fir'aun yang
berkata : 'Ana Rabbukumul A'la (Aku adalah Rabb kalian yang paling tinggi)'
(sesungguhnya juga meyakini akan hal ini
-pen).
Allah berfirman tentang Fir'aun.
"Artinya : Mereka (Fir'aun dan kaummnya) mendustakan (risalah yang dibawa
oleh Nabi Musa) karena kedhaliman (syirik) dan kesombongannya. Sedangkan
jiwa-jiwa mereka meyakininya" [An-Naml : 14]
2. Apa yang ada dalam kitab Allah berupa penjelasan nama-nama Allah dan sifat-sifat-
Nya dalam firman-Nya Ta'ala.
"Artinya : Allah memiliki nama-nama yang paling baik, maka berdo'alah kalian
kepada Allah dengannya" [Al-A'raaf : 180]
Begitu pula sifat-sifat Allah di dalam kitab-Nya. Allah mensifati diri-Nya dengan
beberapa sifat dan menamai diri-Nya dengan beberapa nama. Dan termasuk konsekwensi
iman adalah 'engkau mengimani nama-nama Allah dan
sifat-sifat-Nya'.
3. Tauhid yang didakwahkan oleh para rasul kepada umat-umat mereka adalah
mengikhlaskan agama hanya untuk Allah dan mengesakan Allah dalam segala bentuk
ibadah.
"Artinya : Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu melainkan Kami
wahyukan kepadanya bahwasanya : Tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi
selain Aku. Maka hendaklah kalian beribadah kepada-Ku" [Al-Anbiya : 25]
Allah berfirman.
"Artinya : Dan sungguh jika engkau bertanya kepada mereka : 'Siapakah yang
menciptakan langit-langit dan bumi ?' Tentu mereka akan menjawab : 'Allah' "[Luqman :
25]
Dan firman-Nya.
"Artinya : Katakanlah ; siapakah yang memberi rezki kepadamu dan langit dan
bumi atau siapakah yang mampu (menciptakan) pendengaran dan penglihatan dan
siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang
mati dari yang hidup serta siapakah yang mengatur segala urusan. Maka mereka
akan mengatakan : 'Allah ?' [Yunus : 31]
Pertama.
Kembali pada makna tasyri' dan perkara syar'i. Hal ini masuk ke dalam tauhid ilahiyah
(tauhid ibadah wa tha'ah). Seperti firman Allah.
"Artinya : Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari'at dari urusan
(agama), maka ikutilah syari'at itu..." [Al-Jatsiyah : 18]
Juga firman-Nya.
"Artinya : Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi kaum yang
yakin" [Al-Maidah : 50]
Kedua.
Kembali kepada hukum qadha dan qadar. Hal ini termasuk ke dalam tauhid
rububiyah. Seperti firman Allah. "Artinya : Akan tetapi milik Allah-lah semua perintah"
[Ar-Ra'd : 31]
Juga firman-Nya.
"Artinya : Maka bersabarlah dengan hukum Rabbmu" [Al-Qalam : 48]
Demikian pula sangkaan bahwa 'al-hakimiyah' adalah kekhususan ilahiyah yang paling
khusus, tidak ada asalnya dan ini adalah sangkaan yang diada-adakan. 'al-hakimiyah'
kadang dimungkinkan untuk makna yang benar, yaitu dikembalikan kepada lafadh syar'i
dan nama-nama Allah dan siafat-sifatNya yang warid dalam kitab dan sunnah. Dan
kadang mungkin untuk makna yang tidak
ada dalil atasnya, maka yang demikian ditolak.
Tidak boleh memaksakan lafadh-lafadh tersebut khususnya yang berkaitan dengan Allah
Azza wa Jalla, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya serta perbuatan-perbuatan-Nya, selama
tidak tersebut dalam kitab dan sunnah. Maka kalau begitu 'al-hakimiyah' merupakan
lafadh yang bermasalah yang tidak dibutuhkan agama ini dan akidah tida tegak di atasnya
serta pemahaman mereka
tidak lepas dari sikap yang melampaui batas dalam makna yang dimaksud menurut
mereka. Maka penggunaan kata 'al-hakimiyah' lebih utama untuk
ditinggalkan.